Pagi ini benar-benar turun hujan sesuai dengan ucapan Rafka kemarin pada pesan singkat yang ia kirimkan kepada ku. Si cowok berbaju batik baru saja duduk di kursi kemudi, ia sedang memasang seat belt dan menyalakan mesin mobil.
BMW series coupe putih metalic yang aku tumpangi melaju dengan kecepatan rendah keluar komplek perumahan ku yang masih sepi, maklum Rafka datang ke rumah terlalu lagi padahal kemarin aku sudah memberitahu nya untuk datang pukul tujuh. Namun Rafka tiba di depan rumah tepat pukul 6 ketika aku masih mengeringkan rambut. Jadilah Rafka harus menunggu lama hingga aku selesai bersiap-siap. Bahkan kami sempat sarapan bersama, Mama dan Papa tampak menyukai Rafka sepertinya mereka yang akan menikah dengan Rafka bukan aku.
Awalnya aku kira Rafka akan datang dengan mobil pelat merah tapi ternyata ia mengendarai mobil sekeren BMW series coupe, ia punya selera yang bagus. Apakah gaji BMKG sebanyak itu atau ia harus nabung hingga umurnya 30 tahun untuk membeli mobil ini.
Tadi Rafka banyak bicara dengan orangtuaku tapi sekarang bahkan ia tak mengeluarkan sepatah kata pun, sama seperti kemarin. Kali ini aku tidak akan mulai bicara lebih dulu walaupun sebenarnya mulut ku gatal ingin ngoceh banyak hal.
"Cara, boleh aku bertanya?" Akhirnya setelah 5 menit, Rafka buka suara.
"Mau nanya aja pake nanya." Aku melipat tangan di depan dada, kenapa dia bersikap formal sekali dengan calon istrinya sendiri.
"Apa ada istilah khusus untuk menyebutkan calon istri?"
"Maksudnya?" Aku tidak mengerti dengan pertanyaan Rafka, benar kan kami diciptakan untuk saling tidak mengerti, apakah ini jodoh yang tertukar? mungkin saja di luar sana ada satu wanita yang bisa mengerti ucapan Rafka dan bisa menjawab semua pertanyaan aneh nya.
"Kemarin Danu menyebut Caramel dengan sebutan santan instan, apa itu sebutan baru untuk calon istri yang belum aku tahu?"
Aku mendelik, benarkah calon suamiku ini berusia 30 tahun? mengapa seperti anak TK yang polos dan belum melakukan dosa apapun. Siapa Danu? awas kamu Danu kalau ketemu aku injek pakai high heels ku yang masih baru. Berani-beraninya menyebutku dengan merek salah satu santan instan yang biasa digunakan mama untuk membuat sayur lodeh, Kara. Memang pengucapannya sama tapi tulisannya berbeda, aku ini Caramel si manis berhati lembut.
"Kamu benar-benar nggak tahu?" Tanyaku memastikan bahwa ia tidak sedang mempermainkan ku.
Rafka menggeleng. "Jika tahu kenapa saya nanya Caramel."
"Banyak merek santan instan salah satunya adalah Kara." Jawab ku santai. Sementara itu Rafka tampak terkejut dengan ucapan ku, mungkin ia takut aku marah.
"Mm nanti Caramel mau nggak tinggal di rumah dinas?"
"Hm?" Aku terkejut, rupanya ia begitu memikirkan masa depan hingga memberiku pertanyaan seperti ini. "Memangnya kamu punya rumah lagi selain rumah dinas?"
"Kalau Caramel tidak mau biar kita tinggal di apartemen aja, aku udah nyiapin itu buat jaga-jaga."
"Apartemen kamu dimana?"
"Nggak jauh dari sini, kita bisa lihat pemandangan bundaran HI dari jendela nya."
Aku membelalak, jangan bilang kami akan tinggal di Apartemen Kempinski Residence yang merupakan tempat tinggal orang-orang kaya dengan uang berlebih. Siapa sangka Rafka punya tempat tinggal disana, ah itu hunian impianku sejak remaja tapi tak mungkin mendapatkan nya karena harga sewa yang sangat mahal.
"Ya udah kita di apartemen aja, lokasinya lebih strategis." Aku nyengir, cewek mana yang menolak diajak tinggal di apartemen mewah.
Mobil Rafka menepi saat kami hampir sampai ke minimarket paling dekat dengan komplek perumahan ku. Jangan bilang kalau Rafka hendak mencari santai instan tersebut untuk memastikan, dia kan cowok super aneh.
"Ngapain berhenti?" Tanyaku.
"Caramel kan biasa beli kopi disini sebelum kerja."
Alisku terangkat, pasti mama memberitahu Rafka tentang kebiasaanku minum kopi di minimarket ini saat berangkat kerja. Tadi mereka cukup lama mengobrol sebelum aku datang bergabung.
"Aku saja yang turun." Kata Rafka menghentikan ku yang hendak turun dari mobil. "di luar hujan, sebaiknya Caramel tunggu disini." Ia buru-buru keluar dari mobil menembus gerimis menuju minimarket.
Kenapa Rafka memilih hujan-hujanan padahal di jok belakang ada payung. Apakah aku harus tersentuh dengan perlakuan nya? ah sudahlah, Rafka tidak pernah bisa ditebak, pasti ia memilih turun karena ingin memastikan santan instan itu. Apakah hidupnya dihabiskan untuk meramal cuaca dan menganalisa iklim hingga tidak tahu hal sepele seperti itu.
Rafka datang 5 menit kemudian membawa satu cup kertas kopi susu, ia menyodorkannya padaku setelah masuk mobil dengan gerakan cepat tapi tetap saja rambut rapi itu basah oleh hujan.
"Kok cuma satu?"
"Iya kan Caramel yang mau minum." Katanya dengan nada lembut, kenapa cara bicaranya begitu lembut seperti busa yang biasa menemaniku saat berendam di bathtub.
"Kamu?" Aku mulai menyesap kopi susu tersebut perlahan, Rafka benar-benar tahu seleraku.
"Saya tidak bisa minum kopi." Jawabnya sembari menginjak gas meninggalkan area parkir minimarket.
"Tapi kenapa kemarin kamu pesan espresso?" Pantas saja Rafka tidak menyentuh espresso miliknya kemarin.
"Karena Caramel pesan espresso."
"Hanya karena aku pesan espresso maka kamu juga memesan menu yang sama padahal ada banyak pilihan lain, kenapa kamu tidak bisa menentukan pilihanmu sendiri dan bergantung pada orang lain?" Aku emosi walaupun kopi susu hangat yang mulai menghangat kan tubuh ku ini seharusnya bisa membuatku tenang. "Pantas saja kamu hanya bisa menikah karena perjodohan kalau tidak, mungkin kamu tidak akan pernah menikah seumur hidupmu."
Rafka terdiam tidak menanggapi ucapan ku. Biarlah aku hanya mengajarinya memiliki pendirian.
10 menit yang terasa lama dari rumah menuju tempat kerja ku. Aku tidak terbiasa diam seperti ini bahkan saat mengemudi sendiri, biasanya aku akan menghubungi Jane atau Kayla melalui video call agar mereka menemaniku selama perjalanan. Sekarang aku tidak sendiri, tapi manusia lugu dan kaku di sebelah ku ini tidak bicara seperti robot yang kehabisan daya. Atau mungkin dia marah karena ucapkan ku.
"Nanti kamu jemput nggak?" Tanya ku sebelum keluar dari mobil. Ia bukan tipe pria yang membuka kan mobil untuk wanita, lihatlah dia hanya diam di kursi kemudi menatap lurus ke depan.
Rafka mengangguk menjawab pertanyaan ku. Aku terdiam sesaat menunggu dia bertanya pulang jam berapa tapi tak ada. Sepertinya Rafka benar-benar marah. Ahh lebih baik menghadapi ratusan nasabah lansia dari pada satu orang bernama Rafka yang sialnya aku akan hidup dengannya, melakukan segala hal dengan si robot ini, aku bisa mati muda.
"Cie yang mau nikah dianterin mas calon suami." Meli menggodaku yang baru masuk.
Tuh kan mulut mereka nggak bisa diem, mereka kira aku suka digoda seperti itu, tidak sama sekali.
"Mobilnya keren lagi, jangan-jangan CEO tampan, kaya dan arogan." Timpal Sani.
Aku hanya geleng-geleng tidak menanggapi ucapan dua teman ku sesama Teller tersebut. Mereka menggunakan jas biru dongker, rok span hitam serta rambut digulung ke atas sama seperti ku bedanya mereka sudah menikah dan memiliki anak sedangkan aku?
Andai Rafka arogan maka aku akan merasa tertantang menikahinya, tapi ia terlalu pendiam untuk ukuran lelaki 30 tahun bahkan sangat lugu seperti manusia yang baru keluar dari hutan setelah terjebak bertahun-tahun. Rafka terlalu biasa, kisah cintaku tidak cukup menarik untuk diceritakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
bunda Thalita
rafka tau segala hal tentang cara
2023-11-07
0
Fa Rel
baru paham.klo.santan kara 0😂😂dr td gua mikir santan isntan apaan ehh santen kara 😂😂😂😂🤔
2022-01-20
2
💋🅲🅷🆈💋
menarik
2021-04-29
1