Suamiku Bukan CEO
Kenapa orang-orang mempermasalahkan status ku yang belum menikah diumurku yang ke 28 tahun. Aku tak masalah, aku senang dengan kehidupanku sekarang tapi hari itu tiba-tiba mama membicarakan soal perjodohan, ia akan menikah kan ku dengan seorang lelaki yang sama sekali tidak ku kenal sebelumnya.
"Dianya mau kok sama kamu, masih untung ada yang mau dari pada kamu jadi perawan tua!"
Sudahlah aku turuti kemauan mama dan papa untuk menikah, tak masalah asal mereka bahagia. Aku tidak memiliki hal spesial untuk membahagiakan mereka, sepertinya dengan menikah itu sudah menjadi hadiah paling spesial bagi mereka.
Minggu pagi aku merencanakan pertemuan pertama ku dengan calon suami yang bahkan aku lupa nama nya, sebenarnya aku bukan pelupa hanya saja otak ku enggan mengingat hal yang tidak penting seperti itu.
Dua gelas espresso tersaji di depan kami, tadinya mereka mengepulkan asap bersama aroma nya yang nikmat menusuk-nusuk hidung. Namun sekarang mereka sudah dingin, kesepian tak tersentuh. Aku melirik lelaki yang mengenakan batik biru tua dan celana bahan hitam, pandangannya menunduk meratapi espresso dingin di hadapan kami. Kenapa ia tak mulai bicara terlebih dahulu? bukankah katanya dia yang lebih dulu menyetujui perjodohan ini.
Pokoknya ya Car, kamu harus bersyukur karena dia langsung mau dijodohin sama kamu. Anaknya ganteng, mapan dan sopan, calon suami idaman banget.
Itulah ucapan Mama seminggu yang lalu saat membicarakan rencana perjodohan ku dengan anak salah satu teman arisannya. Dan sekarang adalah pertemuan pertama kami, baik ku akui dia memang tampan tapi kenapa penampilannya sedikit aneh, bukan sedikit tapi banyak. Oke lah dia cinta Indonesia dengan mengenakan batik, tapi ....
Kita ketemu abis CFD ya di Pigeonhole Coffee.
Pesan yang ku kirimkan satu jam yang lalu melalui aplikasi WhatsApp. Pertanyaanku adalah kenapa dia mengenakan batik saat CFD? Sedangkan aku sudah penuh keringat akibat bersepeda dari Sudirman hingga MH. Thamrin, untung saja jaket parasut ini bisa menyembunyikan bulir keringat ku.
Wajahku cerah dengan senyum mekar seperti bunga matahari di ladang kuaci 15 menit yang lalu saat ia pertama kali datang. Tubuhnya tinggi atletis dengan gaya rambut rapi tidak aneh-aneh. Alisnya tebal hampir bertaut satu sama lain, terdapat tahi lalat di dagunya yang membuat lelaki itu terlihat sangat manis. Kulitnya kecoklatan seperti orang Indonesia pada umumnya, benar ucapan Mama, ia memang calon suami idaman. Tipe cowok matang siap menikah.
Aku menghela napas keras, seharusnya ia tahu kalau aku sudah mulai bosan dengan keheningan ini. Tapi ia tetap pada posisinya, ia robot atau manusia? jangan-jangan Mama akan menikah kan ku dengan robot karena stok manusia di bumi sudah menipis.
Sekarang aku menepis kuat-kuat bahwa ia calon suami idaman, tidak sama sekali. Padahal jika melihat sekilas, orang akan berpikir ia lelaki yang ramah tamah tapi aku salah besar. Sampai sekarang tak ada satu pun kata yang terucap dari mulutnya, mungkin ia sedang menderita radang tenggorokan hingga enggan bicara.
Aku mengalah dan menyesap espresso dingin milik ku perlahan, lalu bersiap-siap memulai pembicaraan.
"Umm ... kamu lagi kerja?" Pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku dari tadi, melihat penampilannya mungkin ia sedang bekerja dan menyempatkan diri ke tempat ini demi menemui calon istrinya. Mama hanya bilang kalau dia mapan dan punya gaji tinggi dibandingkan dengan ku yang seorang Teller di salah satu bank swasta di Indonesia.
"Hm?" Ia mendongak dan sedikit membelalak. "oh enggak, kalau weekend libur." bibir nya mengembangkan senyum tipis.
Kini giliran aku membelalak karena terkejut, jika ia tidak sedang bekerja mengapa mengenakan batik seperti itu? akhirnya aku berOh saja sambil mengangguk beberapa kali seolah-olah paham pada keadaannya padahal tidak. Jika Mama tidak berpesan agar aku bersikap baik dan sopan pada laki-laki kaku ini mungkin aku sudah mengoloknya seperti kebiasaan ku.
"Kamu seperti PNS jika berpakaian seperti ini."
"Benar."
"Apa?"
"Aku memang PNS."
Mulutku menganga, ahh kenapa Mama tidak menjodohkan ku dengan seorang CEO muda yang punya perusahaan dimana-mana agar kehidupanku sejahtera seperti cewek-cewek di novel yang sedang trend saat ini.
"Aku denger kamu langsung terima rencana perjodohan kita?"
"Iya." Ia mengangguk.
"Kenapa kamu langsung terima padahal kita belum pernah ketemu sebelumnya." Aku menyangga dagu dengan tangan menatap lurus ke arahnya.
"Karena Caramel cantik."
Aku membelalak lagi, jawaban apa itu? kenapa polos sekali seperti jawaban anak SMP yang tak mengerti apa-apa.
"Dari mana kamu tahu aku cantik, maksudku–kita belum pernah ketemu sebelumnya." Aku memperjelas lagi pertanyaan yang sangat mudah itu, bahkan anak TK saja pasti langsung bisa mengerti.
"Aku punya foto kamu."
"Oh ya?" Alisku terangkat tidak percaya, "oh kamu pasti salah satu follower instagram ku ya, yaa memang aku punya banyak followers." Aku memperbaiki posisi duduk ku lebih tegap.
"Ini .... " Ia mengeluarkan foto seukuran KTP dari dompet nya.
Entah sudah berapa kali aku terkejut, tapi ini adalah hal paling mengejutkan. Itu adalah foto perpisahan ku 10 tahun yang lalu bahkan aku sudah lupa mana kah sosok Caramel di antara puluhan murid lain.
"Kamu, siapa nama mu?" Aku menunjuk nya dengan dagu, apakah ia menyebutku cantik barusan? dari foto 10 tahun lalu yang hanya seukuran KTP. Apakah ia punya mata super hingga bisa melihat kecantikan ku dari foto sekecil itu?
"Rafka Kalandra Pradipta."
"Rafka, kau mempermainkan ku?" Aku melempar tatapan tajam ke arahnya.
"Tidak sama sekali," Rafka menggeleng kuat, mulutnya terbuka laku tertutup lagi seolah-olah ingin menjelaskan sesuatu tapi tidak jadi. "Lihatlah, disini kamu memang cantik." Telunjuknya menyentuh salah satu sosok perempuan mengenakan kebaya hijau tosca yang berdiri di ujung kiri pada permukaan kertas foto tersebut. Oh ternyata dia memang tahu sosok Caramel remaja.
"Bukankah lebih cantik sekarang?" Nada bicaraku sedikit menggodanya ditambah gerakan mengayun tangan untuk sekedar menyisipkan anak rambut ke belakang telinga.
"Tidak."
Raut wajahku seketika berubah mendengar kata tidak dari mulutnya, sialan cowok kaku ini. Apakah serum anti aging ku tidak berfungsi selama ini, sia-sia aku membelinya dengan harga dua bulan gaji.
"Kamu cantik dari dulu hingga sekarang tidak ada bedanya." Nadanya lembut seperti oase di tengah gurun, api dalam tubuhku padam seketika. Sekali lagi aku menyesap espresso dingin yang bahkan kini terasa enak, sepertinya aku akan menyukai espresso hangat yang sudah jadi dingin setelah bertemu cowok kaku bernama Rafka ini.
"Jadi kamu kerja di bagian apa?"
"Saya di informasi perubahan iklim."
Aku melongo dan berkedip dua kali mendengar jawabannya, apa itu? aku tidak mengerti pada ucapannya, apakah kami memang diciptakan untuk saling tidak mengerti satu sama lain.
"Aku nggak tahu ada pekerjaan semacam itu."
Rafka tersenyum lagi kali ini lebih lebar dari sebelumnya, aku pikir ia akan menjelaskan perkerjaanya lebih detail tapi aku salah besar. Rafka justru sibuk memasukkan foto SMA ku lagi ke dalam dompet nya. Mengapa ia tidak menanyakan apapun tentang ku, kesannya seperti aku yang tergila-gila padanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya menikah dengan cowok paling membosankan se-antero galaksi Bima Sakti ini.
"Aku nggak percaya kamu pakai batik ke CFD."
"Hm?" Ia mengangkat kedua alisnya.
"Lihatlah ... " aku menunjukkan layar ponselku yang sedang menampilkan pesan ku tadi padanya, pesan bertanda ceklis berwarna biru tanpa balasan.
"Saya tidak ikut."
"Oh." Perasaan lega seketika menyelimuti ku saat tahu ia tidak ikut berlari atau bersepeda tadi, aku pikir calon suamiku tidak normal bahkan sedikit sinting karena mengenakan kemeja batik pada kegiatan CFD. Aku tersenyum lalu kembali meminum espresso yang tersisa setengah itu hingga habis, aku jengah berada di dekatnya. Kami benar-benar berbeda dari segi penampilan, kepribadian, hingga prinsip hidup. Tapi mau bagaimana lagi, aku hanya tidak ingin Mama dan Papa mengoceh setiap hari menanyakan tentang jodoh yang tak kunjung datang. Jika boleh memilih maka aku tidak akan mau menikah dengan cowok ini. Namun apalah daya, anak gadis 28 tahun ini tidak diperkenankan memilih calon suaminya.
"Kita akan mengadakan pernikahannya bulan depan."
Suara berat itu membuatku tersedak dan terbatuk beberapa kali hingga mencuri perhatian orang-orang di sekitar kami. Tangan Rafka terulur hendak menepuk tengkuk ku tapi segera saja ku tepis, aku malu.
Mataku berair dan memerah karena batuk barusan, aku menatap tajam ke arahnya. Aku pikir kami akan melakukan pendekatan 6 bulan sampai 1 tahun tapi dia–dengan wajah polosnya bilang akan menikah bulan depan, wtf!
"Aku akan mengatur semua persiapan pernikahan kita, nanti aku hubungi lewat telepon." Katanya dengan wajah polos tanpa dosa.
"Aku mau pulang." Aku memalingkan wajah darinya berharap ia menanyakan pendapatku juga mengenai rencana pernikahan ini.
"Baik."
Aku memutar kepala, apa katanya? baik? tanganku mengepal kuat berusaha menahan emosi yang membuncah hingga ubun-ubun. Aku menghapus air mata bercampur keringat yang membanjiri wajah ku, bisa-bisanya ia berkata seperti itu.
"Aku pergi dulu." Ia beranjak lebih dulu, aku menunduk enggan melihat kepergiannya. Kenapa justru ia pergi lebih dulu padahal aku yang bilang ingin pulang.
"Ini, minumlah."
Aku mendongak mendengar suara itu, ia meletakkan sebotol air mineral dan sapu tangan di atas meja tepat di samping gelas espresso ku yang sudah kosong.
"Aku meninggalkan payung di samping pintu masuk, bawa lah ketika pulang, setelah ini akan turun hujan."
Sok tahu amat! emang dia BMKG yang bisa meramal cuaca, rasanya aku ingin mencakar wajah sok manis itu hingga berubah jelek.
"Gunakan sapu tangan itu untuk membersihkan bibirmu."
Aku mendongak melihat ia keluar dari pintu kaca, aku menyeringai ke arah sosok nya yang sudah tak terlihat. Ahh bahkan ia memakai sepatu pantofel hitam mengkilap seperti baru saja dicuci lalu digosok sangat lama.
"Awas aja Mama, pasti dia belum pernah ketemu sama calon menantu aneh nya ini." Tanganku meraih ponsel untuk bercermin, What! kenapa dia baru bilang kalau ada busa espresso di bibirku. "Sapu tangan jelek!" Omel ku sambil membersihkan bibirku dengan sapu tangan merah hati pemberian si jelek Rafka. Jangan-jangan sejak pertama kali minum tadi, bibirku sudah penuh busa. Kenapa Rafka tidak membantuku membersihkannya seperti adegan film atau sinetron. "Dasar ingus onta!"
Aku meneguk air mineral hingga habis dan beranjak dari sana. Aku ingin segera mengguyur tubuhku dengan air dingin agar kepala ku yang terasa panas ini bisa kembali dingin. Baru pertemuan pertama sudah menguras emosi apalagi nanti setelah menikah pasti kerutan di wajah ku akan terlihat jelas.
Aku mengabaikan pandangan aneh dari pengunjung lain, pasti mereka berpikir bahwa aku baru saja dicampakkan oleh lelaki, ya memang aku merasa si Rafka mencampakkan ku dengan membiarkan ku pulang sendiri. Mengapa ia tidak seperti cowok romantis di drama korea, seharusnya paling tidak ia menawarkan tumpangan kepadaku. Walaupun aku akan menolak tapi apa salahnya bertanya.
"Oh ada payung beneran," Aku terperangah melihat payung bening bersandar pada dinding bagian depan Pigeonhole Coffee. "Sepertinya cuaca terlalu cerah untuk turun hujan." Aku mendongak, bahkan matahari bersinar terang menyilaukan mata. Tanganku menengadah ke udara, memastikan tidak ada titik air yang turun dari langit.
"Huh? apa nih?" aku terkejut melihat telapak tanganku basah, lalu titik-titik air berikutnya menyusul semakin banyak membuatku reflek mundur. Hujan benar-benar turun deras membuatku melongo di depan pintu, belum selesai aku mencibir Rafka yang mengatakan akan turun hujan dan sekarang?
Ah sudahlah, mengabaikan rasa gengsi ku yang sebesar gunung Semeru, aku meraih payung tersebut dan membuka nya lebar. Padahal biasanya gengsi ku amat tinggi tapi aku lebih memilih membuang jauh rasa itu dari pada harus kehujanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
bunda Thalita
baru baca sepertinya seru Thor aku semangat bacanya
2023-11-07
2
BUNDA ZAHRA
😂😂😂😂😂kayak nya seru nich alur nya dr awal baca sudah ketawa sendiri
2023-10-22
1
Zaira Nhara
salam kenal thorr, baru baca bab pertama, tapi dah naksir sama bahasanya,
2023-10-08
1