Makasih payungnya.
Aku menahan senyum membaca pesan dari Caramel, sepertinya ia baru saja sampai di rumah. Aku bersyukur jika Caramel sampai rumah tanpa kehujanan.
"Ngapain lu senyum-senyum sendiri?" Seseorang menepuk bahu ku dari belakang, spontan aku kembali memasukkan ponsel ke dalam saku. Tanpa melihatnya aku sudah tahu kalau ia adalah Danu, sahabat ku sejak Sekolah Dasar.
"Udah mulai?" Aku melihat Danu yang juga mengenakan kemeja batik, ia duduk di samping ku. Hari ini aku menghadiri acara ulang tahun ke-empat anak pertama Danu yang bertemakan batik jadi semua tamu undangan diwajibkan mengenakan pakaian berbau batik. Kami memang seumuran, tapi soal jodoh ia lebih beruntung dibandingkan denganku. Danu sudah menikah lima tahun yang lalu dan dikaruniai dua orang anak berumur 4 tahun dan 2 bulan.
"Gimana pertemuan mu dengan si santan instan?" Ia kembali menepuk bahuku.
"Hm?" Santan instan apa maksudnya? apakah ada sebutan baru di tahun 2020 untuk seorang calon istri? aku benar-benar tidak tahu soal istilah zaman now yang biasa disebutkan oleh teman-teman seangkatanku.
"Si Cara." Danu gemas bahkan ia mengeratkan gigi-gigi nya karena aku tidak paham pada ucapannya, siapa suruh dia menggunakan istilah yang tak ku mengerti.
"Oh." Aku mengangguk walaupun masih belum mengerti mengapa Cara disebut santan instan, apakah karena kulit nya yang putih bersih seperti santan? "iya, dia tetap cantik dan lucu seperti dulu." Kali ini aku tidak bisa menahan senyum lagi mengingat sosok Caramel tadi.
Akhirnya setelah 10 tahun aku bisa bertemu bahkan akan menikah dengannya, penantian panjang ku berujung pada kebahagiaan. Kami bertemu sekitar 30 menit yang lalu tapi getaran itu masih terasa kuat di dadaku, tak berubah hingga sekarang. Bahkan tanganku masih gemetar merasakan kehadiran Caramel, tubuh tinggi semampai, kulitnya yang putih langsat dengan rambut hitam bergelombang. Caramel remaja hingga sekarang tak ada bedanya, tetap cantik dan mempesona membuatku tak bisa berkata-kata saat pertama kali melihat sosok nya dari dekat. Biasanya aku hanya memperhatikan Caramel dari jauh, tersenyum saat ia tersenyum walaupun alasan senyumnya bukan aku melainkan orang lain yang dulu hampir menjadi suaminya.
"Dia mengenalmu?"
Aku menggeleng, Caramel punya banyak teman dan orang-orang baik di sekelilingnya, berbeda dengan ku yang hanya menghabiskan waktu untuk mengawasi nya, mencari tahu kabar nya, dan segala hal tentang nya.
Beberapa tahun lalu Caramel hampir saja menikah dengan laki-laki yang sudah menjadi pacarnya 8 tahun. Saat itu aku hampir saja menyerah, tapi tanpa diduga sore itu Mama membawa kabar baik.
"Tadi Mama arisan di rumah nya Bu Winda, dia punya anak namanya Caramel, belum nikah. Katanya dulu hampir mau nikah sama pacarnya tapi batal padahal undangan telanjur disebar, kasihan banget deh Ka."
Kebiasaan Mama saat pulang arisan adalah menceritakan segala hal yang terjadi disana. Biasanya aku hanya akan menanggapi dengan iya dan tidak tapi kali ini berbeda. Caramel, gadis cantik yang sudah membuatku jatuh hati sejak SMA. Kabar pernikahan nya beberapa tahun lalu berhasil membuatku hancur tak karuan bahkan aku berniat tidak akan pernah menikah dengan wanita mana pun. Namun ucapan Mama waktu itu seperti angin segar di tengah keringnya musim panas.
"Nasib kalian sama, belum nikah padahal umur udah lewat."
"Aku mau menikahinya."
"Siapa?"
"Aku."
"Nikahin siapa?"
"Caramel."
Respon Mama hanya melongo saat itu, tapi aku berhasil meyakinkan nya bahwa ucapan ku serius. Aku tidak tahu alasan mereka batal menikah, aku menganggapnya sebagai kesempatan untuk menikahinya. Aku tak mau Caramel terlepas lagi dan menikah dengan laki-laki lain, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tak akan datang lagi di hari lain.
Akhirnya Mama mengatakan niat ku kepada orangtua Caramel lalu kabar baiknya adalah ia menerima perjodohan ini. Menurut sepengetahuan Caramel, kami dijodohkan oleh orangtua dari kedua belah pihak, ia tak tahu kalau aku selalu mencintainya diam-diam sejak kami masih SMA. Dulu aku tak pernah punya keberanian untuk menyatakan cinta karena Caramel selalu dikelilingi cowok tampan satu sekolah nya.
"Kenapa kamu nggak terus terang aja sama dia kalau selama ini kamu selaku mengawasinya dari jauh dan mencintainya dengan ketulusan hati, seorang Rafka yang nggak pernah berani pacaran sama cewek padahal banyak loh yang ngejar kamu."
Aku mengembuskan napas dan menegakkan tubuh, "aku tidak perlu melakukan itu."
"Kenapa? supaya dia tahu betapa besar cinta calon suaminya."
"Waktunya belum tepat."
"Ah kamu tuh!" Danu menepuk bahu ku lagi, terhitung tiga kali ia melakukan ini. "Cinta itu nggak kayak meramal cuaca atau perubahan iklim yang harus dianalisa dulu, dihitung apalagi diamati, cinta itu soal rasa." Danu menyentuh dadanya sendiri, bergaya dramatis seperti seorang pembaca puisi yang sedang tampil di hadapan penonton. "Kamu harus belajar dari pengalaman, kebiasaan mu yang terlalu memperhitungkan sesuatu itu bikin cewek impian mu hampir menikah sama cowok lain."
"Hampir." Timpal ku.
"Ya, kamu pikir kalian bisa menikah karena usaha mu? nggak sama sekali, kamu cuma diam di tempat tanpa usaha buat deketin dia."
Benar ucapan Danu, selama ini aku hanya bisa memperhatikan Caramel dari jauh, menyapa nya saja aku tak berani. Namun sepertinya Caramel memang diciptakan untuk menjadi pasangan hidupku, menghabiskan setiap hari dengan penuh cinta, membesarkan anak-anak dengan kasih sayang lalu menua bersama hingga maut memisahkan.
"Kami akan menikah bulan depan."
"Eh buset! nggak salah lu, si santan instan nggak kaget tiba-tiba mau dinikahin sama cowok yang baru dia temuin."
"Entah lah, tadi dia tersedak dan batuk berkali-kali, wajahnya merah dan penuh air mata saat mendengar ucapan ku." Senyumku mengembang lagi, bayangan wajah Caramel kembali berkelebat.
"Terus terus." Danu menarik kursinya agar lebih dekat denganku.
"Aku hendak mengusap tengkuk nya tapi ia menepis tanganku."
"Ya jelas lah, dia kesel sama lu harusnya elu jangan terlalu buru-buru gitu bilang mau nikah, lu kasih lah kesempatan buat kalian PDKT."
"Aku sudah mengetahui segala hal tentang nya, tak perlu waktu untuk pendekatan."
"Iya elu, lah dia."
Mungkin aku emang sedikit membuat Caramel terkejut tapi aku sudah berbaik hati padanya dengan memberikan waktu 30 hari sebelum menikah. Bahkan rencana sebelumnya aku hendak menikahinya setelah dua minggu kami bertemu tapi Mama bilang itu terlalu cepat. Menurutku satu bulan itu sangat lama setelah penantian 10 tahun.
"Sekilas barusan aku lihat ada WA dari Cara, tapi kenapa nggak ada balasan dari Elu?" Danu melirik sekilas ke arah ponsel di samping ku.
"Dia bilang makasih." Jelasku.
"Kenapa nggak lu bales?"
"Bales apa?"
"Ampun dah!" Danu mengusap wajahnya hingga rambut seperti orang frustrasi. "Lu masih mau nikah sama dia nggak?"
"Mau lah."
"Bales sekarang atau kalau nggak, kalian batal nikah."
Aku mendelik, apa hubungannya membalas pesan dengan pernikahan. Tapi sebaiknya aku menuruti ucapan Danu mengingat ia jauh lebih berpengalaman dibandingkan dengan ku.
Bawa payung itu lagi saat berangkat kerja karena besok pagi akan kembali turun hujan.
"Formal banget sih kalian, geli gue liatnya."
Aku tidak mempedulikan ucapan Danu. Mau bagaimana lagi, ini lah diriku, Caramel akan menikah denganku kenapa aku harus berpura-pura jadi orang lain.
Gimana kalau aku numpang kamu aja?
"Tuh nggak malu lu, harusnya elu nawarin dia tumpangan bukannya malah dia yang minta."
Apa? satu mobil dengan Caramel? apa yang harus kami bicarakan di dalam mobil selama di perjalanan. Aku bisa mati kutu karena tidak punya bahan obrolan seperti tadi di Pigeonhole Coffee.
"Oke Car besok aku jemput, ayo bilang gitu sama dia." Danu mendorong-dorong tanganku dengan sikunya.
Mobilku lagi dipake Papa.
Satu pesan lagi dari Caramel.
Jam berapa berangkat kerja?
Jam tujuh boleh kurang boleh lebih, asal dikit aja nggak bakal aku marahin.
Oke Caramel.
"Jiah senyum-senyum lu kayak anak ABG jatuh cinta." Danu menepuk bahuku lalu beranjak dari kursi.
Siapa yang tersenyum? rupanya sekarang bibirku bisa tersenyum sendiri tanpa seizinku.
Pandanganku mengikuti ke arah perginya Danu, ia menyambut kedatangan badut yang sudah dipesannya untuk menjadi pembawa acara. Aku memasukkan ponsel kembali ke dalam saku dan menyusul Danu bersama tamu undangan lain, para orangtua dengan anak-anaknya seumuran putri pertama Danu. Aku satu-satunya tamu undangan yang tidak membawa anak kecil, jika bukan karena Danu maka aku tidak akan hadir di acara ini, bukan karena malu tapi pasti mereka akan menanyakan pertanyaan paling horor sepanjang sejarah kehidupan manusia.
Kapan nikah? Aku udah punya anak dua loh. Rafka nggak kerasa ya kita udah kepala tiga tapi kamu masih belum menikah, nunggu apa lagi?
Begitu pertanyaan mereka kepadaku, semua pertanyaan hampir sama yakni tentang pernikahan dan anak. Itu bukan hal memalukan lagi bagiku, itu menyakitkan. Suatu hari jika aku sudah menikah aku tidak akan memberikan pertanyaan seperti itu pada teman-teman ku.
Karena semua temanku sudah menikah :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Yeni Jueni
sudah baca.lanjut baca lg ketagihn
2023-12-15
1
Cahya Zanara
aku baru ketemu sama novelmu ini thor... aku suka gaya tulisanmu.. enak dibaca.. runtun dan rapih.. padahal baru baca 2 bab tapi aku langsung suka..
2022-03-14
1
iranadira
lucu bgt si farka.. gmn mau nanya kapan nikah orang temennya udh pada nikah smua🤣🤣🤣
2022-02-24
0