NovelToon NovelToon

Suamiku Bukan CEO

Satu

Kenapa orang-orang mempermasalahkan status ku yang belum menikah diumurku yang ke 28 tahun. Aku tak masalah, aku senang dengan kehidupanku sekarang tapi hari itu tiba-tiba mama membicarakan soal perjodohan, ia akan menikah kan ku dengan seorang lelaki yang sama sekali tidak ku kenal sebelumnya.

"Dianya mau kok sama kamu, masih untung ada yang mau dari pada kamu jadi perawan tua!"

Sudahlah aku turuti kemauan mama dan papa untuk menikah, tak masalah asal mereka bahagia. Aku tidak memiliki hal spesial untuk membahagiakan mereka, sepertinya dengan menikah itu sudah menjadi hadiah paling spesial bagi mereka.

Minggu pagi aku merencanakan pertemuan pertama ku dengan calon suami yang bahkan aku lupa nama nya, sebenarnya aku bukan pelupa hanya saja otak ku enggan mengingat hal yang tidak penting seperti itu.

Dua gelas espresso tersaji di depan kami, tadinya mereka mengepulkan asap bersama aroma nya yang nikmat menusuk-nusuk hidung. Namun sekarang mereka sudah dingin, kesepian tak tersentuh. Aku melirik lelaki yang mengenakan batik biru tua dan celana bahan hitam, pandangannya menunduk meratapi espresso dingin di hadapan kami. Kenapa ia tak mulai bicara terlebih dahulu? bukankah katanya dia yang lebih dulu menyetujui perjodohan ini.

Pokoknya ya Car, kamu harus bersyukur karena dia langsung mau dijodohin sama kamu. Anaknya ganteng, mapan dan sopan, calon suami idaman banget.

Itulah ucapan Mama seminggu yang lalu saat membicarakan rencana perjodohan ku dengan anak salah satu teman arisannya. Dan sekarang adalah pertemuan pertama kami, baik ku akui dia memang tampan tapi kenapa penampilannya sedikit aneh, bukan sedikit tapi banyak. Oke lah dia cinta Indonesia dengan mengenakan batik, tapi ....

Kita ketemu abis CFD ya di Pigeonhole Coffee.

Pesan yang ku kirimkan satu jam yang lalu melalui aplikasi WhatsApp. Pertanyaanku adalah kenapa dia mengenakan batik saat CFD? Sedangkan aku sudah penuh keringat akibat bersepeda dari Sudirman hingga MH. Thamrin, untung saja jaket parasut ini bisa menyembunyikan bulir keringat ku.

Wajahku cerah dengan senyum mekar seperti bunga matahari di ladang kuaci 15 menit yang lalu saat ia pertama kali datang. Tubuhnya tinggi atletis dengan gaya rambut rapi tidak aneh-aneh. Alisnya tebal hampir bertaut satu sama lain, terdapat tahi lalat di dagunya yang membuat lelaki itu terlihat sangat manis. Kulitnya kecoklatan seperti orang Indonesia pada umumnya, benar ucapan Mama, ia memang calon suami idaman. Tipe cowok matang siap menikah.

Aku menghela napas keras, seharusnya ia tahu kalau aku sudah mulai bosan dengan keheningan ini. Tapi ia tetap pada posisinya, ia robot atau manusia? jangan-jangan Mama akan menikah kan ku dengan robot karena stok manusia di bumi sudah menipis.

Sekarang aku menepis kuat-kuat bahwa ia calon suami idaman, tidak sama sekali. Padahal jika melihat sekilas, orang akan berpikir ia lelaki yang ramah tamah tapi aku salah besar. Sampai sekarang tak ada satu pun kata yang terucap dari mulutnya, mungkin ia sedang menderita radang tenggorokan hingga enggan bicara.

Aku mengalah dan menyesap espresso dingin milik ku perlahan, lalu bersiap-siap memulai pembicaraan.

"Umm ... kamu lagi kerja?" Pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku dari tadi, melihat penampilannya mungkin ia sedang bekerja dan menyempatkan diri ke tempat ini demi menemui calon istrinya. Mama hanya bilang kalau dia mapan dan punya gaji tinggi dibandingkan dengan ku yang seorang Teller di salah satu bank swasta di Indonesia.

"Hm?" Ia mendongak dan sedikit membelalak. "oh enggak, kalau weekend libur." bibir nya mengembangkan senyum tipis.

Kini giliran aku membelalak karena terkejut, jika ia tidak sedang bekerja mengapa mengenakan batik seperti itu? akhirnya aku berOh saja sambil mengangguk beberapa kali seolah-olah paham pada keadaannya padahal tidak. Jika Mama tidak berpesan agar aku bersikap baik dan sopan pada laki-laki kaku ini mungkin aku sudah mengoloknya seperti kebiasaan ku.

"Kamu seperti PNS jika berpakaian seperti ini."

"Benar."

"Apa?"

"Aku memang PNS."

Mulutku menganga, ahh kenapa Mama tidak menjodohkan ku dengan seorang CEO muda yang punya perusahaan dimana-mana agar kehidupanku sejahtera seperti cewek-cewek di novel yang sedang trend saat ini.

"Aku denger kamu langsung terima rencana perjodohan kita?"

"Iya." Ia mengangguk.

"Kenapa kamu langsung terima padahal kita belum pernah ketemu sebelumnya." Aku menyangga dagu dengan tangan menatap lurus ke arahnya.

"Karena Caramel cantik."

Aku membelalak lagi, jawaban apa itu? kenapa polos sekali seperti jawaban anak SMP yang tak mengerti apa-apa.

"Dari mana kamu tahu aku cantik, maksudku–kita belum pernah ketemu sebelumnya." Aku memperjelas lagi pertanyaan yang sangat mudah itu, bahkan anak TK saja pasti langsung bisa mengerti.

"Aku punya foto kamu."

"Oh ya?" Alisku terangkat tidak percaya, "oh kamu pasti salah satu follower instagram ku ya, yaa memang aku punya banyak followers." Aku memperbaiki posisi duduk ku lebih tegap.

"Ini .... " Ia mengeluarkan foto seukuran KTP dari dompet nya.

Entah sudah berapa kali aku terkejut, tapi ini adalah hal paling mengejutkan. Itu adalah foto perpisahan ku 10 tahun yang lalu bahkan aku sudah lupa mana kah sosok Caramel di antara puluhan murid lain.

"Kamu, siapa nama mu?" Aku menunjuk nya dengan dagu, apakah ia menyebutku cantik barusan? dari foto 10 tahun lalu yang hanya seukuran KTP. Apakah ia punya mata super hingga bisa melihat kecantikan ku dari foto sekecil itu?

"Rafka Kalandra Pradipta."

"Rafka, kau mempermainkan ku?" Aku melempar tatapan tajam ke arahnya.

"Tidak sama sekali," Rafka menggeleng kuat, mulutnya terbuka laku tertutup lagi seolah-olah ingin menjelaskan sesuatu tapi tidak jadi. "Lihatlah, disini kamu memang cantik." Telunjuknya menyentuh salah satu sosok perempuan mengenakan kebaya hijau tosca yang berdiri di ujung kiri pada permukaan kertas foto tersebut. Oh ternyata dia memang tahu sosok Caramel remaja.

"Bukankah lebih cantik sekarang?" Nada bicaraku sedikit menggodanya ditambah gerakan mengayun tangan untuk sekedar menyisipkan anak rambut ke belakang telinga.

"Tidak."

Raut wajahku seketika berubah mendengar kata tidak dari mulutnya, sialan cowok kaku ini. Apakah serum anti aging ku tidak berfungsi selama ini, sia-sia aku membelinya dengan harga dua bulan gaji.

"Kamu cantik dari dulu hingga sekarang tidak ada bedanya." Nadanya lembut seperti oase di tengah gurun, api dalam tubuhku padam seketika. Sekali lagi aku menyesap espresso dingin yang bahkan kini terasa enak, sepertinya aku akan menyukai espresso hangat yang sudah jadi dingin setelah bertemu cowok kaku bernama Rafka ini.

"Jadi kamu kerja di bagian apa?"

"Saya di informasi perubahan iklim."

Aku melongo dan berkedip dua kali mendengar jawabannya, apa itu? aku tidak mengerti pada ucapannya, apakah kami memang diciptakan untuk saling tidak mengerti satu sama lain.

"Aku nggak tahu ada pekerjaan semacam itu."

Rafka tersenyum lagi kali ini lebih lebar dari sebelumnya, aku pikir ia akan menjelaskan perkerjaanya lebih detail tapi aku salah besar. Rafka justru sibuk memasukkan foto SMA ku lagi ke dalam dompet nya. Mengapa ia tidak menanyakan apapun tentang ku, kesannya seperti aku yang tergila-gila padanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya menikah dengan cowok paling membosankan se-antero galaksi Bima Sakti ini.

"Aku nggak percaya kamu pakai batik ke CFD."

"Hm?" Ia mengangkat kedua alisnya.

"Lihatlah ... " aku menunjukkan layar ponselku yang sedang menampilkan pesan ku tadi padanya, pesan bertanda ceklis berwarna biru tanpa balasan.

"Saya tidak ikut."

"Oh." Perasaan lega seketika menyelimuti ku saat tahu ia tidak ikut berlari atau bersepeda tadi, aku pikir calon suamiku tidak normal bahkan sedikit sinting karena mengenakan kemeja batik pada kegiatan CFD. Aku tersenyum lalu kembali meminum espresso yang tersisa setengah itu hingga habis, aku jengah berada di dekatnya. Kami benar-benar berbeda dari segi penampilan, kepribadian, hingga prinsip hidup. Tapi mau bagaimana lagi, aku hanya tidak ingin Mama dan Papa mengoceh setiap hari menanyakan tentang jodoh yang tak kunjung datang. Jika boleh memilih maka aku tidak akan mau menikah dengan cowok ini. Namun apalah daya, anak gadis 28 tahun ini tidak diperkenankan memilih calon suaminya.

"Kita akan mengadakan pernikahannya bulan depan."

Suara berat itu membuatku tersedak dan terbatuk beberapa kali hingga mencuri perhatian orang-orang di sekitar kami. Tangan Rafka terulur hendak menepuk tengkuk ku tapi segera saja ku tepis, aku malu.

Mataku berair dan memerah karena batuk barusan, aku menatap tajam ke arahnya. Aku pikir kami akan melakukan pendekatan 6 bulan sampai 1 tahun tapi dia–dengan wajah polosnya bilang akan menikah bulan depan, wtf!

"Aku akan mengatur semua persiapan pernikahan kita, nanti aku hubungi lewat telepon." Katanya dengan wajah polos tanpa dosa.

"Aku mau pulang." Aku memalingkan wajah darinya berharap ia menanyakan pendapatku juga mengenai rencana pernikahan ini.

"Baik."

Aku memutar kepala, apa katanya? baik? tanganku mengepal kuat berusaha menahan emosi yang membuncah hingga ubun-ubun. Aku menghapus air mata bercampur keringat yang membanjiri wajah ku, bisa-bisanya ia berkata seperti itu.

"Aku pergi dulu." Ia beranjak lebih dulu, aku menunduk enggan melihat kepergiannya. Kenapa justru ia pergi lebih dulu padahal aku yang bilang ingin pulang.

"Ini, minumlah."

Aku mendongak mendengar suara itu, ia meletakkan sebotol air mineral dan sapu tangan di atas meja tepat di samping gelas espresso ku yang sudah kosong.

"Aku meninggalkan payung di samping pintu masuk, bawa lah ketika pulang, setelah ini akan turun hujan."

Sok tahu amat! emang dia BMKG yang bisa meramal cuaca, rasanya aku ingin mencakar wajah sok manis itu hingga berubah jelek.

"Gunakan sapu tangan itu untuk membersihkan bibirmu."

Aku mendongak melihat ia keluar dari pintu kaca, aku menyeringai ke arah sosok nya yang sudah tak terlihat. Ahh bahkan ia memakai sepatu pantofel hitam mengkilap seperti baru saja dicuci lalu digosok sangat lama.

"Awas aja Mama, pasti dia belum pernah ketemu sama calon menantu aneh nya ini." Tanganku meraih ponsel untuk bercermin, What! kenapa dia baru bilang kalau ada busa espresso di bibirku. "Sapu tangan jelek!" Omel ku sambil membersihkan bibirku dengan sapu tangan merah hati pemberian si jelek Rafka. Jangan-jangan sejak pertama kali minum tadi, bibirku sudah penuh busa. Kenapa Rafka tidak membantuku membersihkannya seperti adegan film atau sinetron. "Dasar ingus onta!"

Aku meneguk air mineral hingga habis dan beranjak dari sana. Aku ingin segera mengguyur tubuhku dengan air dingin agar kepala ku yang terasa panas ini bisa kembali dingin. Baru pertemuan pertama sudah menguras emosi apalagi nanti setelah menikah pasti kerutan di wajah ku akan terlihat jelas.

Aku mengabaikan pandangan aneh dari pengunjung lain, pasti mereka berpikir bahwa aku baru saja dicampakkan oleh lelaki, ya memang aku merasa si Rafka mencampakkan ku dengan membiarkan ku pulang sendiri. Mengapa ia tidak seperti cowok romantis di drama korea, seharusnya paling tidak ia menawarkan tumpangan kepadaku. Walaupun aku akan menolak tapi apa salahnya bertanya.

"Oh ada payung beneran," Aku terperangah melihat payung bening bersandar pada dinding bagian depan Pigeonhole Coffee. "Sepertinya cuaca terlalu cerah untuk turun hujan." Aku mendongak, bahkan matahari bersinar terang menyilaukan mata. Tanganku menengadah ke udara, memastikan tidak ada titik air yang turun dari langit.

"Huh? apa nih?" aku terkejut melihat telapak tanganku basah, lalu titik-titik air berikutnya menyusul semakin banyak membuatku reflek mundur. Hujan benar-benar turun deras membuatku melongo di depan pintu, belum selesai aku mencibir Rafka yang mengatakan akan turun hujan dan sekarang?

Ah sudahlah, mengabaikan rasa gengsi ku yang sebesar gunung Semeru, aku meraih payung tersebut dan membuka nya lebar. Padahal biasanya gengsi ku amat tinggi tapi aku lebih memilih membuang jauh rasa itu dari pada harus kehujanan.

Dua

Makasih payungnya.

Aku menahan senyum membaca pesan dari Caramel, sepertinya ia baru saja sampai di rumah. Aku bersyukur jika Caramel sampai rumah tanpa kehujanan.

"Ngapain lu senyum-senyum sendiri?" Seseorang menepuk bahu ku dari belakang, spontan aku kembali memasukkan ponsel ke dalam saku. Tanpa melihatnya aku sudah tahu kalau ia adalah Danu, sahabat ku sejak Sekolah Dasar.

"Udah mulai?" Aku melihat Danu yang juga mengenakan kemeja batik, ia duduk di samping ku. Hari ini aku menghadiri acara ulang tahun ke-empat anak pertama Danu yang bertemakan batik jadi semua tamu undangan diwajibkan mengenakan pakaian berbau batik. Kami memang seumuran, tapi soal jodoh ia lebih beruntung dibandingkan denganku. Danu sudah menikah lima tahun yang lalu dan dikaruniai dua orang anak berumur 4 tahun dan 2 bulan.

"Gimana pertemuan mu dengan si santan instan?" Ia kembali menepuk bahuku.

"Hm?" Santan instan apa maksudnya? apakah ada sebutan baru di tahun 2020 untuk seorang calon istri? aku benar-benar tidak tahu soal istilah zaman now yang biasa disebutkan oleh teman-teman seangkatanku.

"Si Cara." Danu gemas bahkan ia mengeratkan gigi-gigi nya karena aku tidak paham pada ucapannya, siapa suruh dia menggunakan istilah yang tak ku mengerti.

"Oh." Aku mengangguk walaupun masih belum mengerti mengapa Cara disebut santan instan, apakah karena kulit nya yang putih bersih seperti santan? "iya, dia tetap cantik dan lucu seperti dulu." Kali ini aku tidak bisa menahan senyum lagi mengingat sosok Caramel tadi.

Akhirnya setelah 10 tahun aku bisa bertemu bahkan akan menikah dengannya, penantian panjang ku berujung pada kebahagiaan. Kami bertemu sekitar 30 menit yang lalu tapi getaran itu masih terasa kuat di dadaku, tak berubah hingga sekarang. Bahkan tanganku masih gemetar merasakan kehadiran Caramel, tubuh tinggi semampai, kulitnya yang putih langsat dengan rambut hitam bergelombang. Caramel remaja hingga sekarang tak ada bedanya, tetap cantik dan mempesona membuatku tak bisa berkata-kata saat pertama kali melihat sosok nya dari dekat. Biasanya aku hanya memperhatikan Caramel dari jauh, tersenyum saat ia tersenyum walaupun alasan senyumnya bukan aku melainkan orang lain yang dulu hampir menjadi suaminya.

"Dia mengenalmu?"

Aku menggeleng, Caramel punya banyak teman dan orang-orang baik di sekelilingnya, berbeda dengan ku yang hanya menghabiskan waktu untuk mengawasi nya, mencari tahu kabar nya, dan segala hal tentang nya.

Beberapa tahun lalu Caramel hampir saja menikah dengan laki-laki yang sudah menjadi pacarnya 8 tahun. Saat itu aku hampir saja menyerah, tapi tanpa diduga sore itu Mama membawa kabar baik.

"Tadi Mama arisan di rumah nya Bu Winda, dia punya anak namanya Caramel, belum nikah. Katanya dulu hampir mau nikah sama pacarnya tapi batal padahal undangan telanjur disebar, kasihan banget deh Ka."

Kebiasaan Mama saat pulang arisan adalah menceritakan segala hal yang terjadi disana. Biasanya aku hanya akan menanggapi dengan iya dan tidak tapi kali ini berbeda. Caramel, gadis cantik yang sudah membuatku jatuh hati sejak SMA. Kabar pernikahan nya beberapa tahun lalu berhasil membuatku hancur tak karuan bahkan aku berniat tidak akan pernah menikah dengan wanita mana pun. Namun ucapan Mama waktu itu seperti angin segar di tengah keringnya musim panas.

"Nasib kalian sama, belum nikah padahal umur udah lewat."

"Aku mau menikahinya."

"Siapa?"

"Aku."

"Nikahin siapa?"

"Caramel."

Respon Mama hanya melongo saat itu, tapi aku berhasil meyakinkan nya bahwa ucapan ku serius. Aku tidak tahu alasan mereka batal menikah, aku menganggapnya sebagai kesempatan untuk menikahinya. Aku tak mau Caramel terlepas lagi dan menikah dengan laki-laki lain, aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang tak akan datang lagi di hari lain.

Akhirnya Mama mengatakan niat ku kepada orangtua Caramel lalu kabar baiknya adalah ia menerima perjodohan ini. Menurut sepengetahuan Caramel, kami dijodohkan oleh orangtua dari kedua belah pihak, ia tak tahu kalau aku selalu mencintainya diam-diam sejak kami masih SMA. Dulu aku tak pernah punya keberanian untuk menyatakan cinta karena Caramel selalu dikelilingi cowok tampan satu sekolah nya.

"Kenapa kamu nggak terus terang aja sama dia kalau selama ini kamu selaku mengawasinya dari jauh dan mencintainya dengan ketulusan hati, seorang Rafka yang nggak pernah berani pacaran sama cewek padahal banyak loh yang ngejar kamu."

Aku mengembuskan napas dan menegakkan tubuh, "aku tidak perlu melakukan itu."

"Kenapa? supaya dia tahu betapa besar cinta calon suaminya."

"Waktunya belum tepat."

"Ah kamu tuh!" Danu menepuk bahu ku lagi, terhitung tiga kali ia melakukan ini. "Cinta itu nggak kayak meramal cuaca atau perubahan iklim yang harus dianalisa dulu, dihitung apalagi diamati, cinta itu soal rasa." Danu menyentuh dadanya sendiri, bergaya dramatis seperti seorang pembaca puisi yang sedang tampil di hadapan penonton. "Kamu harus belajar dari pengalaman, kebiasaan mu yang terlalu memperhitungkan sesuatu itu bikin cewek impian mu hampir menikah sama cowok lain."

"Hampir." Timpal ku.

"Ya, kamu pikir kalian bisa menikah karena usaha mu? nggak sama sekali, kamu cuma diam di tempat tanpa usaha buat deketin dia."

Benar ucapan Danu, selama ini aku hanya bisa memperhatikan Caramel dari jauh, menyapa nya saja aku tak berani. Namun sepertinya Caramel memang diciptakan untuk menjadi pasangan hidupku, menghabiskan setiap hari dengan penuh cinta, membesarkan anak-anak dengan kasih sayang lalu menua bersama hingga maut memisahkan.

"Kami akan menikah bulan depan."

"Eh buset! nggak salah lu, si santan instan nggak kaget tiba-tiba mau dinikahin sama cowok yang baru dia temuin."

"Entah lah, tadi dia tersedak dan batuk berkali-kali, wajahnya merah dan penuh air mata saat mendengar ucapan ku." Senyumku mengembang lagi, bayangan wajah Caramel kembali berkelebat.

"Terus terus." Danu menarik kursinya agar lebih dekat denganku.

"Aku hendak mengusap tengkuk nya tapi ia menepis tanganku."

"Ya jelas lah, dia kesel sama lu harusnya elu jangan terlalu buru-buru gitu bilang mau nikah, lu kasih lah kesempatan buat kalian PDKT."

"Aku sudah mengetahui segala hal tentang nya, tak perlu waktu untuk pendekatan."

"Iya elu, lah dia."

Mungkin aku emang sedikit membuat Caramel terkejut tapi aku sudah berbaik hati padanya dengan memberikan waktu 30 hari sebelum menikah. Bahkan rencana sebelumnya aku hendak menikahinya setelah dua minggu kami bertemu tapi Mama bilang itu terlalu cepat. Menurutku satu bulan itu sangat lama setelah penantian 10 tahun.

"Sekilas barusan aku lihat ada WA dari Cara, tapi kenapa nggak ada balasan dari Elu?" Danu melirik sekilas ke arah ponsel di samping ku.

"Dia bilang makasih." Jelasku.

"Kenapa nggak lu bales?"

"Bales apa?"

"Ampun dah!" Danu mengusap wajahnya hingga rambut seperti orang frustrasi. "Lu masih mau nikah sama dia nggak?"

"Mau lah."

"Bales sekarang atau kalau nggak, kalian batal nikah."

Aku mendelik, apa hubungannya membalas pesan dengan pernikahan. Tapi sebaiknya aku menuruti ucapan Danu mengingat ia jauh lebih berpengalaman dibandingkan dengan ku.

Bawa payung itu lagi saat berangkat kerja karena besok pagi akan kembali turun hujan.

"Formal banget sih kalian, geli gue liatnya."

Aku tidak mempedulikan ucapan Danu. Mau bagaimana lagi, ini lah diriku, Caramel akan menikah denganku kenapa aku harus berpura-pura jadi orang lain.

Gimana kalau aku numpang kamu aja?

"Tuh nggak malu lu, harusnya elu nawarin dia tumpangan bukannya malah dia yang minta."

Apa? satu mobil dengan Caramel? apa yang harus kami bicarakan di dalam mobil selama di perjalanan. Aku bisa mati kutu karena tidak punya bahan obrolan seperti tadi di Pigeonhole Coffee.

"Oke Car besok aku jemput, ayo bilang gitu sama dia." Danu mendorong-dorong tanganku dengan sikunya.

Mobilku lagi dipake Papa.

Satu pesan lagi dari Caramel.

Jam berapa berangkat kerja?

Jam tujuh boleh kurang boleh lebih, asal dikit aja nggak bakal aku marahin.

Oke Caramel.

"Jiah senyum-senyum lu kayak anak ABG jatuh cinta." Danu menepuk bahuku lalu beranjak dari kursi.

Siapa yang tersenyum? rupanya sekarang bibirku bisa tersenyum sendiri tanpa seizinku.

Pandanganku mengikuti ke arah perginya Danu, ia menyambut kedatangan badut yang sudah dipesannya untuk menjadi pembawa acara. Aku memasukkan ponsel kembali ke dalam saku dan menyusul Danu bersama tamu undangan lain, para orangtua dengan anak-anaknya seumuran putri pertama Danu. Aku satu-satunya tamu undangan yang tidak membawa anak kecil, jika bukan karena Danu maka aku tidak akan hadir di acara ini, bukan karena malu tapi pasti mereka akan menanyakan pertanyaan paling horor sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Kapan nikah? Aku udah punya anak dua loh. Rafka nggak kerasa ya kita udah kepala tiga tapi kamu masih belum menikah, nunggu apa lagi?

Begitu pertanyaan mereka kepadaku, semua pertanyaan hampir sama yakni tentang pernikahan dan anak. Itu bukan hal memalukan lagi bagiku, itu menyakitkan. Suatu hari jika aku sudah menikah aku tidak akan memberikan pertanyaan seperti itu pada teman-teman ku.

Karena semua temanku sudah menikah :)

Tiga

"Lihatlah apa aku terlihat seperti gadis kebelet nikah?" Aku melempar ponsel ke sembarang tempat disusul jaket parasut dan tali rambut. Aku menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur tak peduli jika keringat akan membuatnya basah.

Jika bukan mama yang meminta ku untuk mengucapkan terimakasih pada Rafka, aku tidak sudi melakukannya. Sikap Rafka tadi membuatku sangat kesal, lihat saja besok aku akan balas dendam

"Minta Rafka jemput kamu besok, bilang aja mobil kamu dipakai Papa."

Ahh sejak kapan aku begitu menuruti kemauan mama!

"Caraaa!" Suara mama yang tadinya hanya berada di pikiranku kini juga terdengar di dunia nyata.

Satu ... dua ... tiga!

"Kamu tuh Mama belum selesai ngomong udah ditinggal."

Tepat sasaran! mama menerobos ke kamar setelah hitungan ketiga. Sebentar lagi pasti ia akan nyerocos hingga telingaku berdenging padahal aku sudah menuruti perintah nya mengucapkan terimakasih pada Rafka. Mama belum pernah bertemu dengan sang calon menantu, ia hanya mendengar cerita dari orangtua Rafka tapi mama bersikap seolah-olah telah mengenalnya lama.

"Jadi dia ninggalin kamu?"

Tempat tidur ku sedikit bergerak yang berarti mama telah duduk di samping ku. Aku pura-pura tidak dengar dan setia memejamkan mata seperti mama yang tetap setia menanyakan segala hal tentang pertemuan ku dengan Rafka pagi. Aku sudah menceritakan semua keanehan Rafka, mulai dari dia yang enggan bicara lebih dulu sampai pakaian batik nya. Tapi di mata mama, Rafka tetaplah calon menantu yang sempurna.

"Dia manis sekali memberikan payung untuk mu."

"Yang manis tuh gula bukan nya Rafka." Cibirku seraya berguling memunggungi mama. "Bagian yang paling nyebelin adalah .... " Aku bangkit dari tidur ku, membuka mata lebar-lebar melihat mama. "Bawalah payung itu, sebentar lagi akan turun hujan." Tanganku terlipat di depan dada menirukan gaya bicara Rafka tadi, kepalaku kembali panas mengingat itu semua. "Emang dia anggota BMKG yang bisa meramal cuaca!" Aku menghentakkan kaki ke lantai beberapa kali meluapkan rasa kesal. Lebih baik aku segera mandi sebelum kepalaku meledak gara-gara mengingat kejadian itu.

"Emang."

"Hm?" Tanganku tergantung di udara, urung memutar kenop pintu kamar mandi dan menoleh ke arah mama.

"Masa dia nggak ngasih tahu kamu tadi?" mama beranjak menghampiriku.

"Ngasih tahu apa?" Aku melongo, sepertinya setelah bertemu dengan Rafka aku mulai sering melongo.

"Kalau dia kerja di BMKG."

Aku mendelik, naluri ku berkata bahwa aku sudah melakukan hal yang memalukan tadi di depan Rafka.

"Dia bilang tentang perubahan iklim." Nada suaraku sangat pelan tapi aku yakin mama bisa mendengarnya dengan jelas, walaupun sudah berumur setengah abad telinga mama masih bekerja dengan baik apalagi saat mendengar gosip dari teman-temannya.

"Ya betul sekali!" Mama melompat tepat ke depan wajah membuatku terkesiap. "Kamu nggak tahu kalau itu salah satu dari bagian BMKG?

Oh jadi Rafka emang kerja di BMKG. Aku beringsut dari hadapan Mama sebelum ia menyadari kebodohanku tadi, ahh mungkin sekarang Rafka sedang mentertawakan ku. Mau ditaruh dimana muka ku besok saat bertemu dengan Rafka, Caraaa percuma lu lulusan cum laude kalau akhirnya malu-maluin begini!

Sebaiknya aku menenangkan diri dengan berendam air hangat yang penuh dengan busa beraroma vanila, jika tidak aku bisa stress karena terlalu banyak memikirkan Rafka.

Aku pasrah jika harus menikah bulan depan walaupun dengan laki-laki yang sama sekali tidak aku cintai, bertemu saja baru tadi pagi. Aku tidak tahu bagaimana sifat dan kepribadian nya, menurut pengamatan ku sekilas tadi, Rafka orang yang sangat lugu untuk laki-laki seumurannya. Padahal suami impianku seperti ....

Ah sudahlah, percuma jadi sosok impian kalau akhirnya ninggalin calon istrinya. Aku membuka mata saat wajah cowok–yang tadi kusebut sebagai calon suami impian muncul di pikiranku. Aku tidak boleh memikirkannya barang sebentar, Caramel lemah! ini sudah 3 tahun berlalu, kau seharusnya move on dari dia.

******

"Tante ... tante!"

Apa ini?

Aku merasa waktu berkualitas ku dengan air hangat dan sabun akan segera berakhir.  Dengan sangat terpaksa, aku turun dari bathub kesayanganku yang paling mengerti segala tentang gundah gulana kehidupan seorang Caramel.

"Yeay Tante udah selesai mandi!"

Suara itu menyambut ku saat baru keluar dari kamar mandi. Dua bocah laki-laki dan perempuan seumuran yang selalu mengganggu ketenangan weekend ku, mengobrak-abrik kamarku yang indah tapi jika mereka tak datang, aku merasa kehilangan.

"Panggil Kakak ya bukan Tante." Aku berjongkok di depan mereka melemparkan senyum paling manis. "Ayo bilang Kak Caramel."

"Iya kak Calamel." Mereka tersenyum membuat ku ingin mencubit pipi kemerahan itu dengan dua tangan sekaligus, bahkan mereka belum bisa menyebutkan huruf R dengan benar.

"Ya ampun Car, udah mau nikah masih aja nggak mau kelihatan tua lu!" Suara Jane.

Aku berdiri, dua sahabat ku Jane dan Kayla sudah stand by di atas tempat tidur seperti kebiasaan mereka saat akhir pekan mengunjungi rumah ku yang sudah seperti base camp untuk kami. Sebelum mereka menikah, kami bisa bertemu kapan pun tapi kini kehidupan baru mereka membuat kami tak bisa bertemu sesering dulu. Menghabiskan satu hari penuh di kamar ditemani berbagai makanan ringan dan soft drink hingga anak-anak mereka tidur.

Aku hanya mencibir ke arah mereka dan melenggang pergi ke closet room untuk mengganti bathrobe dengan piyama. Selain mencintai air hangat dan busa, aku juga punya hubungan erat dengan piyama, mereka selalu menemani keseharian ku di rumah tanpa mengeluh.

"Tante udah cerita sedikit tentang pertemuan lu sama mas calon suami." Jane meletakkan Kiara anak keduanya di atas stroller, bayi 6 bulan itu sudah tidur mendahului kakak nya, Riko

Jane dan Kayla sudah menikah 5 tahun yang lalu dengan pacar mereka masing-masing, bukan pacar orang, eh. Jane memiliki dua anak Riko 3 tahun dan Kiara 6 bulan sedangkan Kayla memiliki seorang putri bernama Mila dan satu lagi masih di dalam perut. Dan aku? sudah hampir menikah 4 tahun yang lalu. Kenapa aku mengatakan ini berkali-kali, kesannya seperti membanggakan diri karena batal menikah padahal aku hanya ingin membuktikan pada dunia bahwa aku dan hidupku sudah baik-baik saja.

"Aku yakin dia bisa jadi suami yang baik buat lu Car, nggak kayak Rama." Kayla menutup mulutnya sendiri karena keceplosan mengucapkan kata terlarang, Rama. Ya, mereka membuat peraturan tidak boleh mengucapkan nama itu sejak 4 tahun lalu tapi mereka sendiri yang melanggarnya.

"Sok tahu lu," Sewot ku. "dia orangnya aneh, gue pikir tadi dia alien yang nyasar ke bumi." Aku melompat ke atas tempat tidur, memeluk guling sambil mengawasi Riko dan Mila yang berlari berputar-putar tiada henti.

"Dia punya foto gue waktu perpisahan SMA masa!" Aku melihat Jane dan Kayla gantian.

"Wah, jangan-jangan dia secret admirer lu selama ini tapi terlalu takut buat nyamperin langsung." Jane mulai mengatakan analisa nya yang lebih sering salah.

"Cih, zaman sekarang mana ada begituan." Aku tak percaya ada pengagum rahasia di dunia nyata

"Denger-denger dia SMA di Pelita Nusa," Tukas Jen, "nah sekolah kita kan hadap-hadapan sama Pelita Nusa, bisa jadi dia suka ngawasin kamu dari sekolah nya."

"Denger dari siapa?" Aku melihat Jane melalui ekor mataku.

"Dari Tante lah, siapa lagi." Sahut nya.

Usia kami terpaut 2 tahun itu berarti saat aku kelas 10, Rafka kelas 12. Kemungkinan bertemu sangat kecil, aku juga tak ingat apakah pernah bertemu dengan Rafka dulu, tapi sepertinya tidak pernah. Dengar nama Rafka saja baru pertama kali, mana mungkin pernah bertemu walaupun sekolah kami bersebrangan.

"Gue bawa ini buat lu," Jane mengeluarkan tiga botol berukuran berbeda. "ini body care khusus buat cewek yang mau nikah."

Aku memajukan bibir bawah tak percaya pada ucapan Jane, apa semua orang yang mau menikah harus menggunakan perawatan khusus? ku rasa tidak.

"Dan ini," Giliran Kayla, "sabun khusus daerah kewanitaan, elu harus pakai waktu malam pertama." Ia meletakkan dua botol berwarna merah muda dengan gambar bunga sakura bergabung dengan botol yang Jane bawa.

Mereka terlihat lebih semangat dibandingkan sang calon pengantin. Aku tidak ada niat menyiapkan sabun khusus daerah kewanitaan itu, lagi pula setelah menjadi suami, Rafka harus menerima aku apa adanya.

"Nanti lu harus pakai lingerie warna cerah biar dia tergugah." Bisik Jane di telinga ku takut didengar oleh dua bocah yang juga berada disini.

"Apaan sih, nggak mau!" Tolak ku mentah-mentah, membayangkan saja bulu kuduk ku meremang apalagi saat eksekusi nanti. Bukannya bergairah, Rafka akan terkejut dan kabur melihat calon istrinya mengenakan lingerie terang menyala.

"Kapan kalian ketemu lagi?" Tanya Jane seraya menata botol-botol di atas meja rias ku.

"Besok." Aku mengubah posisi menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar.

"Cie baru hari besok udah mau ketemu lagi, calon pengantin jadi lengket sejak pertemuan pertama." Kayla menyeringai ke arah ku, matanya berkilat-kilat bahagia.

Iya besok, kalau bukan mama yang memaksa maka pertemuan kami tak akan seintens ini, aku yakin Mama akan salah berusaha membuat kami sering bertemu. Mama tak memikirkan perasaan anaknya yang muak dengan cowok kaku itu, ia hanya bilang kalau aku akan jatuh cinta pada Rafka seiring berjalannya waktu. Aku tak mementingkan cinta, umurku sudah 28 tahun, aku hanya ingin membahagiakan kedua orang tua ku dengan mengikuti kemauan mereka. Dulu aku pernah jatuh cinta, setiap hari jatuh cinta lalu perasaan itu dipatahkan, dihancurkan begitu saja hingga sekarang aku lupa bagaimana cara melakukan itu lagi. Aku sudah lupa rasanya dada berdebar saat  bertemu dengan orang terkasih. Aku tak akan jatuh cinta lagi setelah hari itu, yang ada hanya patah hati dan jengah.

Sabarlah hati, aku tahu kau lelah jatuh cinta, jika lelah maka jangan lakukan itu, jangan pernah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!