Maidatul Khan
"Bau apa ini? Busuk sekali!"
"Hiiiii... bau apa sih?"
"Iya, bau apaan sih. Kayak bau batang (bangkai)!"
Laboratorium riuh ketika pembelajaran praktikum belum di mulai. Aku yang merasa malu bercampur takut memilih diam. Hingga salah satu temanku sadar, jika bau busuk itu berasal dari dalam keresek hitam yang aku buntal. Seketika semua orang menatapku dengan jijik. Bahkan temanku yang bernama Aris langsung menceletuk tanpa dosa.
"Hih, Datul bau batang, Datul bau batang!"
Aris bersorak mengejek, dan di ikuti tawa dan sorakan menghina dari teman-teman satu kelas.
Aku malu, malu sekali jadi bahan olok-olok.
"Oh, dasar kerupuk! bawa apa sih? jangan bilang ini bau badan kamu? bau batang! Hahaha..."
Aku masih diam, entah mengapa hatiku sakit sekali. Bukan karena di bully dengan panggilan kerupuk, memang benar Bapakku punya usaha kerupuk goreng pasir. Jadi, sejak Sekolah Dasar aku sudah kebal dengan panggilan itu.
Aku merasa malu bercampur sedih karena apa yang aku bawa ini adalah tugas praktikum yang aku buat dengan penuh perjuangan di rumah.
Teman satu kelompokku pun hanya nitip nama. Tidak ada yang mau membantu membuatnya. Mereka semua hanya bersedia iuran, masih beruntung masih sadar iuran. Karena bisa di bilang bahan praktikum kami yang paling merogoh kantung. Aku hanya dari keluarga biasa-biasa saja. Meski begitu Pak Farkhan, Bapakku tidak pernah telat membayar biaya sekolah. Uang sakuku pun lebih dari cukup, bisa buat naik angkot, beli nasi soto dan bakso kuah setelah pulang sekolah.
Aku bingung harus menjawab apa ketika mereka semua menertawakan aku. Ingin menjawab tapi mulut rasanya kelu. Akhirnya aku hanya mengumpat pada Aris, Dasar getuk! iya ibunya jualan getuk di pasar di dekat rumahku. Maka dari itu aku tahu. Harusnya mulutnya juga bisa di jaga dengan baik. Tapi tidak, dia memang kampret! Aku mengumpat dalam hati. Dan di ujung maluku, aku hanya bisa menelungkupkan wajah di atas meja. Aku menangis terisak.
"Woi, diam semuanya!" Bak pahlawan bertopeng teman sebangkuku, panggil saja Maktun menghentikan tawa mereka. Dan semua orang di sana diam detik itu juga.
"Tul, kamu kenapa nangis?"
Belum sempat aku menjawab, bahkan aku rasa aku tidak bisa menjawab karena masih menangis. Bu Yatin guru biologi kami datang. Karena kelas kami termasuk kelas unggulan, jadi kami tertib, siap praktikum sebelum guru masuk ke dalam kelas.
"Hei, ada apa ini ribut-ribut?"
"Ada yang bisa menjelaskan?"
Maktun maju di baris terdepan, dia mulai mengadu. Menceritakan peristiwa tadi dari awal hingga buntut. Bu Yatin berjalan mendekat, dari suara sepatunya yang beradu dengan lantai aku tahu. Beliau dengan lembut mengusap bahuku.
"Sudah jangan nangis."
"Cah, kalian semua harus minta maaf. Ini yang bau itu bahan praktikum daging sapi yang busuk."
"Kalian lupa, hari ini kita akan praktek mikroorganisme?"
"Ayo, yang merasa bersalah minta maaf sini!"
Aku mendongak dan mengusap air mata. Aris Getuk yang menyebalkan mengulurkan tangan. Tapi sebentar kenapa wajahnya jadi tampan sekali. Bukankah harusnya dia itu jelek, dekil dan hitam? Sejak kapan Getuk operasi keresek?
Kenapa wajahnya, oh tidak ini Lee Minho. Getuk jadi Lee Minho. Gantengnya, mau dong di peluk. Aku malah senyum-senyum menjijikan.
PLAK!
"Datul! bangun oi!"
Aku mengerang karena suara Pak Farkhan tiba-tiba muncul di rumah siput telingaku. Mataku mengerjap karena cahaya matahari yang tiba-tiba muncul gara-gara korden jendela di buka. Ah sialan! ternyata aku mimpi, parahnya mimpi itu berulang-ulang, padahal kejadian memalukan itu sudah setahun yang lalu. Saat aku masih duduk di kelas tiga SMA. Aku tidak terlalu pandai saat sekolah, hanya rajin mencatat dan selalu diam mendengarkan dengan khidmat saat guru menjelaskan pelajaran. Anehnya, hanya sekitar dua puluh persen saja materi yang terserap. Aku sadar aku memang manusia dengan otak yang biasa-biasa saja.
Kepalaku pening karena tiba-tiba di bangunkan paksa. "Bapak... aku masih ngantuk ah..."
"Ngantuk? mau tidur sampai jam berapa? ini hampir sudah jam sepuluh Datul! Seluruh dunia sudah sibuk, pasar Gladak sudah ramai sejak subuh bahkan sekarang sudah mulai sepi. Kamu masih bilang kurang tidur?"
"BANGUN! bantu Bapak nganter kerupuk pesanan Mbak Salamah."
"Cepet!"
Bapak keluar kamar, dan aku malah menarik selimut lagi hingga menutupi kepalaku. Ingin melanjutkan mimpi yang tadi. Bagian akhir saja saat Lee Minho mengulurkan tangan. Lima belas menit cukup.
Aku sudah mengarang mimpi seindah mungkin. Setelah bersalaman Lee Minho malah menarik tanganku keluar dari laboratorium. Dia seperti tidak terima dan menyelamatkan aku dari situasi menjengkelkan itu. Kami berdua kabur, bukan, dia seperti sedang menculikku.
Memboncengkan aku dengan sepeda mini berwarna biru. Ah senangnya. Kami tertawa sepanjang jalan.
Selesai mengarang aku tertidur lagi. Aku mimpi, tapi mimpiku bukan seperti yang aku karang tadi. Ini mimpi yang aneh, aku seperti berdiri di tengah sungai. Wow, ikannya banyak sekali. Ikan emas. Aku kegirangan lompat sana lompat sini, berusaha menangkap ikan-ikan itu.
Sampai kelelahan, satu ikan pun tidak aku dapatkan. Sialan! di mimpi saja aku tidak beruntung. Aku malah merasa capek sekali.
"Ya Rabbi, Datul." suara Bapak lagi. Bukan membentak mengagetkan, tapi datar saja. Aku langsung terlonjak bangun. Bagiku suara datar Bapak lebih menakutkan daripada raungan serigala.
"Hehe... ketiduran lagi Pak." Aku meringis karena ke dablekanku yang hakiki.
"Datul bangun ini, iya nanti kerupuknya Datul yang antar."
Bapak diam dan berlalu. Pria gempal yang baik hati, yang jarang marah, dan penyabar. Dialah Bapak Farkhan. Ibuku? ibuku sudah wafat setahun yang lalu. Aku anak tunggal, jadilah kami hanya hidup berdua.
Sudah mandi dan berganti baju. Aku akan pergi keluar rumah. Matahari semakin merangkak naik ke atas kepala. Tidak lupa aku mengoleskan krim siang di wajah. Memakai handbody dengan SPF tiga puluh yang katanya bagus untuk kulit. Agak rempong memang, masker aku butuh, jauh sebelum virus markonah menyerang dunia. Aku memang butuh masker untuk menutupi setidaknya sebagian wajahku yang penuh dengan jerawat berbagai ukuran.
Dari ukuran kecil mirip bintang-bintang bertaburan di mana-mana, hingga ada yang sebesar gunung Merapi. Meradang dan siap meletus kapan saja. Sakit tentu saja! Sakitnya tidak hanya di kulit wajah tapi meresap sampai ke ulu hati.
Aku benci sekali dengan jerawat ini. Entah kapan mereka pergi dari wajahku. Betah sekali, menempel dan tumbuh subur di sana. Bukan aku tidak berupaya. Meski pengangguran, aku rela menyisihkan uang untuk sekedar membeli skincare. Ganti-ganti dokter. Dari yang biasa sampai yang luar biasa. Aku rasa, jika di hitung-hitung, mungkin aku sudah kaya kalau tidak mengurusi jerawatku ini.
Kembali ke kerupuk. Aku membawa dua kantong plastik berukuran besar. Pesanan Mbak Salamah untuk acara tahlilan. Minta di bungkus seharga seribuan. Kami sanggupi karena memesan banyak, dua ratus bungkus. Free ongkir sampai depan rumah. Aku jalan kaki, karena tidak punya sepeda motor.
Aku tidak bohong, mungkin satu-satunya rumah yang tidak punya sepeda motor sekarang ini. Iya rumahku. Bapak hanya bisa naik sepeda onthel. Seumur hidupnya Bapak belum bisa mengendarai sepeda motor. Sedangkan aku, karena belum punya ya aku belum bisa.
Melewati gang-gang sempit, agak memutar tidak apa-apa. Agak jauh juga tidak apa-apa. Aku mencari rute yang adem. Lewat lontrong-lontrong. Biar saja, aku sengaja bersembunyi dari dunia. Tidak ada yang bisa di banggakan dari diriku. Bukan orang kaya, tidak populer, tidak cantik, tidak menarik, tidak juga pintar.
Sesampainya di rumah Mbak Salamah, wanita setengah tua itu ternyata sudah menunggu di depan rumah.
"Mbak, ini kerupuknya. Dua ratus bungkus, di kasih bonus dua bungkus."
"Oh iya, uangnya berarti berapa?" Anak SD pasti bisa menjawab, seribu di kali dua ratus gampang sekali. Batinku.
"Dua ratus ribu Mbak." Entah mengapa perasaanku tidak enak.
"Tidak di kurangi lagi? Saya pesan banyak hlo ini?" Hla to...
Aku meringis sedih. Apa dia pikir, laba kami jualan kerupuk sangat besar. Sudah di kasih bonus dua bungkus lho, free ongkir pula.
Padahal laba sebungkus kerupuk hanya seratus perak. Dua kantong besar ini, kami hanya dapat dua puluh ribu. Masih di tawar lagi? Ku menangis...
Seketika lagu soundtrack sinetron ikan terbang di putar.
.
.
.
.
.
note: mumpung dapat ide nulis cerita ini. Up date suka-suka.
like, komen, jadikan favorit 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Reiva Momi
mampir thor
2023-02-15
0
Roshana Purwanti
Baru baca sinopsisnya aja dah ngakak gara2 nama Khan tapi bukan spt artis Bollywood tapi gara2 nama bapaknya Farkhan,astogeee
2022-11-17
0
Achi
Semangat Up kak.
🤗🤗🤗💪💪
2022-11-02
0