NovelToon NovelToon

Maidatul Khan

Chapter 1: Ku Menangis...

"Bau apa ini? Busuk sekali!"

"Hiiiii... bau apa sih?"

"Iya, bau apaan sih. Kayak bau batang (bangkai)!"

Laboratorium riuh ketika pembelajaran praktikum belum di mulai. Aku yang merasa malu bercampur takut memilih diam. Hingga salah satu temanku sadar, jika bau busuk itu berasal dari dalam keresek hitam yang aku buntal. Seketika semua orang menatapku dengan jijik. Bahkan temanku yang bernama Aris langsung menceletuk tanpa dosa.

"Hih, Datul bau batang, Datul bau batang!"

Aris bersorak mengejek, dan di ikuti tawa dan sorakan menghina dari teman-teman satu kelas.

Aku malu, malu sekali jadi bahan olok-olok.

"Oh, dasar kerupuk! bawa apa sih? jangan bilang ini bau badan kamu? bau batang! Hahaha..."

Aku masih diam, entah mengapa hatiku sakit sekali. Bukan karena di bully dengan panggilan kerupuk, memang benar Bapakku punya usaha kerupuk goreng pasir. Jadi, sejak Sekolah Dasar aku sudah kebal dengan panggilan itu.

Aku merasa malu bercampur sedih karena apa yang aku bawa ini adalah tugas praktikum yang aku buat dengan penuh perjuangan di rumah.

Teman satu kelompokku pun hanya nitip nama. Tidak ada yang mau membantu membuatnya. Mereka semua hanya bersedia iuran, masih beruntung masih sadar iuran. Karena bisa di bilang bahan praktikum kami yang paling merogoh kantung. Aku hanya dari keluarga biasa-biasa saja. Meski begitu Pak Farkhan, Bapakku tidak pernah telat membayar biaya sekolah. Uang sakuku pun lebih dari cukup, bisa buat naik angkot, beli nasi soto dan bakso kuah setelah pulang sekolah.

Aku bingung harus menjawab apa ketika mereka semua menertawakan aku. Ingin menjawab tapi mulut rasanya kelu. Akhirnya aku hanya mengumpat pada Aris, Dasar getuk! iya ibunya jualan getuk di pasar di dekat rumahku. Maka dari itu aku tahu. Harusnya mulutnya juga bisa di jaga dengan baik. Tapi tidak, dia memang kampret! Aku mengumpat dalam hati. Dan di ujung maluku, aku hanya bisa menelungkupkan wajah di atas meja. Aku menangis terisak.

"Woi, diam semuanya!" Bak pahlawan bertopeng teman sebangkuku, panggil saja Maktun menghentikan tawa mereka. Dan semua orang di sana diam detik itu juga.

"Tul, kamu kenapa nangis?"

Belum sempat aku menjawab, bahkan aku rasa aku tidak bisa menjawab karena masih menangis. Bu Yatin guru biologi kami datang. Karena kelas kami termasuk kelas unggulan, jadi kami tertib, siap praktikum sebelum guru masuk ke dalam kelas.

"Hei, ada apa ini ribut-ribut?"

"Ada yang bisa menjelaskan?"

Maktun maju di baris terdepan, dia mulai mengadu. Menceritakan peristiwa tadi dari awal hingga buntut. Bu Yatin berjalan mendekat, dari suara sepatunya yang beradu dengan lantai aku tahu. Beliau dengan lembut mengusap bahuku.

"Sudah jangan nangis."

"Cah, kalian semua harus minta maaf. Ini yang bau itu bahan praktikum daging sapi yang busuk."

"Kalian lupa, hari ini kita akan praktek mikroorganisme?"

"Ayo, yang merasa bersalah minta maaf sini!"

Aku mendongak dan mengusap air mata. Aris Getuk yang menyebalkan mengulurkan tangan. Tapi sebentar kenapa wajahnya jadi tampan sekali. Bukankah harusnya dia itu jelek, dekil dan hitam? Sejak kapan Getuk operasi keresek?

Kenapa wajahnya, oh tidak ini Lee Minho. Getuk jadi Lee Minho. Gantengnya, mau dong di peluk. Aku malah senyum-senyum menjijikan.

PLAK!

"Datul! bangun oi!"

Aku mengerang karena suara Pak Farkhan tiba-tiba muncul di rumah siput telingaku. Mataku mengerjap karena cahaya matahari yang tiba-tiba muncul gara-gara korden jendela di buka. Ah sialan! ternyata aku mimpi, parahnya mimpi itu berulang-ulang, padahal kejadian memalukan itu sudah setahun yang lalu. Saat aku masih duduk di kelas tiga SMA. Aku tidak terlalu pandai saat sekolah, hanya rajin mencatat dan selalu diam mendengarkan dengan khidmat saat guru menjelaskan pelajaran. Anehnya, hanya sekitar dua puluh persen saja materi yang terserap. Aku sadar aku memang manusia dengan otak yang biasa-biasa saja.

Kepalaku pening karena tiba-tiba di bangunkan paksa. "Bapak... aku masih ngantuk ah..."

"Ngantuk? mau tidur sampai jam berapa? ini hampir sudah jam sepuluh Datul! Seluruh dunia sudah sibuk, pasar Gladak sudah ramai sejak subuh bahkan sekarang sudah mulai sepi. Kamu masih bilang kurang tidur?"

"BANGUN! bantu Bapak nganter kerupuk pesanan Mbak Salamah."

"Cepet!"

Bapak keluar kamar, dan aku malah menarik selimut lagi hingga menutupi kepalaku. Ingin melanjutkan mimpi yang tadi. Bagian akhir saja saat Lee Minho mengulurkan tangan. Lima belas menit cukup.

Aku sudah mengarang mimpi seindah mungkin. Setelah bersalaman Lee Minho malah menarik tanganku keluar dari laboratorium. Dia seperti tidak terima dan menyelamatkan aku dari situasi menjengkelkan itu. Kami berdua kabur, bukan, dia seperti sedang menculikku.

Memboncengkan aku dengan sepeda mini berwarna biru. Ah senangnya. Kami tertawa sepanjang jalan.

Selesai mengarang aku tertidur lagi. Aku mimpi, tapi mimpiku bukan seperti yang aku karang tadi. Ini mimpi yang aneh, aku seperti berdiri di tengah sungai. Wow, ikannya banyak sekali. Ikan emas. Aku kegirangan lompat sana lompat sini, berusaha menangkap ikan-ikan itu.

Sampai kelelahan, satu ikan pun tidak aku dapatkan. Sialan! di mimpi saja aku tidak beruntung. Aku malah merasa capek sekali.

"Ya Rabbi, Datul." suara Bapak lagi. Bukan membentak mengagetkan, tapi datar saja. Aku langsung terlonjak bangun. Bagiku suara datar Bapak lebih menakutkan daripada raungan serigala.

"Hehe... ketiduran lagi Pak." Aku meringis karena ke dablekanku yang hakiki.

"Datul bangun ini, iya nanti kerupuknya Datul yang antar."

Bapak diam dan berlalu. Pria gempal yang baik hati, yang jarang marah, dan penyabar. Dialah Bapak Farkhan. Ibuku? ibuku sudah wafat setahun yang lalu. Aku anak tunggal, jadilah kami hanya hidup berdua.

Sudah mandi dan berganti baju. Aku akan pergi keluar rumah. Matahari semakin merangkak naik ke atas kepala. Tidak lupa aku mengoleskan krim siang di wajah. Memakai handbody dengan SPF tiga puluh yang katanya bagus untuk kulit. Agak rempong memang, masker aku butuh, jauh sebelum virus markonah menyerang dunia. Aku memang butuh masker untuk menutupi setidaknya sebagian wajahku yang penuh dengan jerawat berbagai ukuran.

Dari ukuran kecil mirip bintang-bintang bertaburan di mana-mana, hingga ada yang sebesar gunung Merapi. Meradang dan siap meletus kapan saja. Sakit tentu saja! Sakitnya tidak hanya di kulit wajah tapi meresap sampai ke ulu hati.

Aku benci sekali dengan jerawat ini. Entah kapan mereka pergi dari wajahku. Betah sekali, menempel dan tumbuh subur di sana. Bukan aku tidak berupaya. Meski pengangguran, aku rela menyisihkan uang untuk sekedar membeli skincare. Ganti-ganti dokter. Dari yang biasa sampai yang luar biasa. Aku rasa, jika di hitung-hitung, mungkin aku sudah kaya kalau tidak mengurusi jerawatku ini.

Kembali ke kerupuk. Aku membawa dua kantong plastik berukuran besar. Pesanan Mbak Salamah untuk acara tahlilan. Minta di bungkus seharga seribuan. Kami sanggupi karena memesan banyak, dua ratus bungkus. Free ongkir sampai depan rumah. Aku jalan kaki, karena tidak punya sepeda motor.

Aku tidak bohong, mungkin satu-satunya rumah yang tidak punya sepeda motor sekarang ini. Iya rumahku. Bapak hanya bisa naik sepeda onthel. Seumur hidupnya Bapak belum bisa mengendarai sepeda motor. Sedangkan aku, karena belum punya ya aku belum bisa.

Melewati gang-gang sempit, agak memutar tidak apa-apa. Agak jauh juga tidak apa-apa. Aku mencari rute yang adem. Lewat lontrong-lontrong. Biar saja, aku sengaja bersembunyi dari dunia. Tidak ada yang bisa di banggakan dari diriku. Bukan orang kaya, tidak populer, tidak cantik, tidak menarik, tidak juga pintar.

Sesampainya di rumah Mbak Salamah, wanita setengah tua itu ternyata sudah menunggu di depan rumah.

"Mbak, ini kerupuknya. Dua ratus bungkus, di kasih bonus dua bungkus."

"Oh iya, uangnya berarti berapa?" Anak SD pasti bisa menjawab, seribu di kali dua ratus gampang sekali. Batinku.

"Dua ratus ribu Mbak." Entah mengapa perasaanku tidak enak.

"Tidak di kurangi lagi? Saya pesan banyak hlo ini?" Hla to...

Aku meringis sedih. Apa dia pikir, laba kami jualan kerupuk sangat besar. Sudah di kasih bonus dua bungkus lho, free ongkir pula.

Padahal laba sebungkus kerupuk hanya seratus perak. Dua kantong besar ini, kami hanya dapat dua puluh ribu. Masih di tawar lagi? Ku menangis...

Seketika lagu soundtrack sinetron ikan terbang di putar.

.

.

.

.

.

note: mumpung dapat ide nulis cerita ini. Up date suka-suka.

like, komen, jadikan favorit 😘

Chapter 2: Jerawat dan Tutul Bedak Keramat

Hai saya balik nih bawa cerita baru, ringan aja ceritanya semoga kalian suka, tambahkan favorit di rak kalian, dan ikuti author ya...

@Rifa Mukherjee

happy reading 🥰

...

Whitehead adalah jerawat dasar berupa komedo putih. Jika terlalu lama tertimbun, komedo ini bermetamorfosis jadi komedo hitam, lalu naik kelas berubah menjadi benjolan kecil berwarna merah. Para ahli menyebutnya Papula. Papula bukan Paula, kalau Paula sih istrinya Baim wong.

Datul gemas, di depan cermin yang memantulkan wajahnya, jari-jari tangan Datul lincah memencet salah satu koleksi jerawat yang dia punya. Kalau di lihat dari penampakannya, Datul meyakini jerawat ini bernama si Pustula. Benjolan merah yang berisi nanah jika di pencet. Terlalu menjijikkan jika di biarkan begitu saja. Maka dari itu Datul nekat memencetnya tanpa ampun. Meski setelah memaksa si nanah keluar, Datul akan meringis karena perih. Datul memanyunkan bibirnya.

Wajah itu, Datul ingin sekali membencinya, tapi itu wajahnya sendiri jadi mana bisa. Semua jenis jerawat ada di sana. Whitehead, blackhead, Papula, Pustula, Nodul atau bopeng, hampir rata menghiasi wajahnya, hanya kedua kelopak mata Datul yang selamat. Dari situ Datul masih bisa bersyukur, selebihnya dia insecure.

Ponsel Datul berdering, menilik sekilas lalu wajah Maktun memenuhi layar ponselnya.

"Ya, ada apa?" tanya Datul dengan bibir masih mecucu, lama-lama dia mirip ikan buntal kalau sedang begitu.

"Weh lagi apa? jelek banget mukanya!"

"Emang kamu pernah lihat aku cantik?" tanya Datul sinis.

Dan sialnya gadis di seberang sana yang mengaku sahabat karib menggelengkan kepala lalu terbahak. "Kagak! hahaha..."

Meski Maktun juga bukan gadis yang cantik, setidaknya wajahnya bersih dari jerawat. Warna kulitnya yang coklat sawo matang mendekati busuk tidak membuat Maktun minder, maklum tingkat kepercayaan diri gadis ini di atas Datul. Datul yang lebih minderan dan tak tahu arah tujuan hidupnya pantas saja cocok berteman dengan Maktun yang lebih tegas dan pemberani.

"Cuma mau memastikan nanti jadi bareng 'kan?" Padahal Maktun bisa chat lho, repot vidio call dan mengganggu Datul yang sedang panen jerawat.

"Jadilah, jemput kayak biasa ke rumah. Kalau ga nebeng kamu, masak iya aku naik odong-odong kesananya. Udah aku tutup dulu, lagi ribet nih!"

"Heran, pagi-pagi sudah menjelajah ke ruang angkasa aja, ga nunggu siangan kek!"

"Apalagi coba?" tanya Datul malas.

"Ya itu, pasti kamu lagi ngurusi batu batuan meteor di wajah kamu 'kan? Biarin aja kenapa sih, nanti tambah parah sedih, nangis, ga doyan makan, ngurung diri di bawah kolong kasur, yang ada aku takut kalau kamu tiba-tiba mati ga konangan, hahaha...."

"Njir... mulutnya, pengen aku sulam pakai benang kenur layangan! kamu pikir aku batang tikus mati ga konangan! Dasar sahabat laknat!"

Maktun terkekeh lagi, lalu memutuskan panggilan itu.

****

Datul dan Maktun sudah berada di sebuah ruangan khusus di pabrik manufaktur perakit mesin mobil terkemuka. Ada sekitar enam puluh orang atau lebih ya, padahal yang di butuhkan hanya tiga orang saja untuk mengisi lowongan bagian operator produksi. Dengan perasaan berdebar, mereka menunggu giliran nama mereka di panggil.

"Aku ga yakin kita bakalan lolos" bisik Datul pesimis.

"Hei, mencoba keberuntungan itu tidak dosa!" timpal Maktun dengan penuh percaya diri.

Bukan tanpa alasan Datul pesimis seperti itu. Pada persyaratan sudah jelas tertulis tinggi badan minimal 150cm. Sedangkan Datul? tingginya cuma 148cm, kurangnya mau nyolong dari mana? Dan Datul ikut saja ajakan Maktun itu. Mencoba keberuntungan.

"Kata kakakku, pas pengukuran nanti kita jinjit sedikitlah asal hati-hati, jangan sampai ketahuan panitia" Mengingat tinggi Maktun juga tidak lebih dari 150cm.

"Hish, itu namanya curang... aku ga berani" Datul langsung keringat dingin jika di ajak ke jalan yang sesat. Lebih baik jujur apa adanya dari pada harus menuruti ide gila temannya.

"Ya ga usah kalau ga berani, A1 gagal"

"Kamu mau pakai cara itu?" selidik Datul. Semakin cemas semakin kandung kemihnya penuh, jadi pengen pipis.

"Enggaklah, itu tadi cuma saran!" jawab Maktun dengan muka datar.

Datul geregetan, rasanya ingin melempar Maktun hingga ke neraka. Maktun tidak mau tersesat tapi mau menyesatkan temannya. Dasar memang!

"Aku kebelet pipis nih, lama ga di panggil-panggil."

"Tinggal aja kali, ijin sana keburu ngompol malah ribet"

"Ga berani, anterin..." Datul merengek. Wajahnya yang berminyak memelas seperti anak kucing yang minta ikan Salmon. Padahal jelas ga bakal di kasih, Salmon mahal. Kaum seperti mereka berdua saja belum pernah makan Salmon. Itu fakta.

Maktun mengangkat tangan minta ijin, sedangkan Datul seperti biasa jadi ekor di belakang.

"Buruan, jangan lama-lama di dalam!"

"Iya ciwis..." Punggung Datul menghilang di balik kamar mandi. Sepuluh menit, Maktun yang sudah tidak sabar menggedor pintu. Barang kali Datul ketiduran di dalam.

"Woi, pipis apa beranak kog lama?"

"Bentar!" teriak Datul dari dalam.

"Jangan bilang kamu lagi touch up muka pakai tutul bedakmu yang laknat itu!" Datul tak menjawab. Itu memang benar.

Lantas pintu terbuka dan Datul merengut bodoh. "Jangan suka mengatai tutul bedakku, nanti kualat!"

"Dih! emang tutul bedak kamu sakti? udah buluk gitu wahai Maidatul Khan!"

Sebelum di rampas paksa dan di buang ke tempat sampah oleh Maktun, Datul buru-buru mengantongi tutul bedak keramat miliknya di saku celana. Terhitung tutul bedak milik Datul sudah menemaninya sejak lima tahun yang lalu. Sejak Datul masih duduk di bangku SMP kelas IX. Dan selalu di bawa kemanapun Datul pergi. Bahkan jika kelak Datul punya kesempatan naik Haji, Datul berjanji akan mengajak tutul bedaknya ikut serta. Biar sekalian tutul bedaknya naik haji. Lucu ga?

Hemat Datul, di banding memakai tisu untuk mengelap keringat berlebih di wajah, Datul lebih memilih tutul bedaknya, lebih hemat dan mencegah pemanasan global. Karena itu artinya dia ikut mengurangi pemakaian tisu yang bahan dasarnya serat kayu.

"Memang tutul milikku sudah tak sedap di pandang, tapi tutul ini menemaniku selama bertahun-tahun dan masih enak di pakai, aku nyaman sama dia, andai di ganti baru juga belum tentu seenak ini, belum lagi kalau ingat jasa-jasanya selama ini, mengelap minyak di wajahku, aku tidak rela kamu bilang dia laknat! Dia keramat tahu...!"

Maktun mencibir. Datul mulai mendramatisir. "Keramat itu identik dengan kesaktian, coba sebutkan apa saktinya itu tutul, di gosok juga ga berubah jadi uang, buat DP motor juga ga laku, udah dekil ga pernah di cuci pula, yang ada malah jadi hunian asri para kuman dan bakteri"

Datul nyengir, matanya yang sipit tambah terlihat segaris karena tidak munafik dia terkekeh. Apa yang di katakan Maktun itu benar semua. Meski begitu Datul tidak akan mengganti tutul bedaknya, sampai kapanpun.

Kumal asal nyaman, dari pada baru tapi tak memberi kenyamanan? Itu berlaku juga pada pria idamannya, meski Datul lemah pada pria tampan, tapi jika dapatnya kumal Datul juga tidak akan congkak lantas menolak. Asal nyaman di hati itu saja, ga neko-neko.

****

Datul turun dari angkot dan berjalan masuk ke gang rumahnya yang cukup jauh dari jalan raya. Matahari sedang terik-teriknya siang itu. Datul benci panas dan debu. Belum juga perutnya yang keroncongan karena lapar.

Tahu tidak memenuhi syarat dari awal, harusnya aku pulang dari tadi, gerutu Datul dalam hati.

Sedangkan Maktun meski tipis sekali, dia lolos seleksi pengukuran tinggi badan dan bisa melanjutkan ke sesi berikutnya . Alkisah, Datul pulang duluan. Sedih memang saat gagal sedang teman kita bisa lolos. Sedihnya dua kali, karena tidak munafik itu sifat dasar manusia yang bernama iri pasti banyak sedikitnya ada di hati, mana jerawat bekas di pencet tadi pagi masih perih. Datul merasa hidupnya ga ada beruntung-beruntungnya. Apes aja yang ada. Dilema jerawat, dilema pekerjaan, dilema pacar.

Ampun Datul lupa membalas pesan dari pacar pertamanya. Setelah berabad-abad menjomblo, hal yang harus di syukuri Datul, dia punya pacar, pacar pertama meski bukan cinta pertama. Cinta pertama Datul... e-em, e-em... terlalu sulit di gapai. Jadi Datul simpan saja dalam hati tanpa ada satu orang pun yang tahu. Setan pun tak tau.

Kembali ke pacar pertama Datul, namanya Zaenal. Baru pacaran tiga bulan sih, tapi Datul sudah cinta setengah hidup. Meski pacarnya itu sering ngilang tak jelas, Datul orangnya pemaaf. Seperti seminggu ini, Zaen tanpa kabar. Dan baru muncul tanda-tanda kehidupannya tadi pas Datul balik dari toilet. Darul belum sempat membalas karena harus fokus lagi tadi Datul membuka pesan itu lagi, mengetik balasan sambil jalan. Kaki Datul sudah hapal jalan pulang, jadi Datul tak butuh mata hanya sekedar untuk melihat jalan.

Zaen💖

Aku baru pulang dari Bromo, nanti sore ketemu bisa?

Datul senyum-senyum menjijikan, pacarnya itu apa dia merindukan Datul? baru pulang dari mendaki gunung langsung minta ketemu. Dosa menghilang tanpa kabar lebur, karena Datul terlanjur bahagia dengan pikirannya sendiri.

^^^Tutul macan🐸^^^

^^^Apa kamu kangen? mau bertemu di mana?^^^

Zaen💖

Di dekat kebun pisang gang rumah kamu aja, biar kamu ga jalan jauh...

Datul nyengir, pacarnya perhatian tidak mau merepotkan Datul. Meski tempat ketemuan mereka tidak berkelas sama sekali. Tak apa, Datul bukan tipe pacar yang banyak menuntut. Di cintai saja Datul sudah bahagia.

^^^Tutul Macan🐸^^^

^^^Baik, di mana pun itu, asal ketemu kamu, aku mau😘 Miss u pacar...^^^

Tidak di balas!

Dih, dasar krebo! selalu begitu... ga pernah balas emot cium. Padahal aku pengen di kasih emot itu...

Datul cemberut lagi. Kali ini dia berlari agar cepat sampai rumah. Datul takut matahari. Terpapar matahari lama-lama wajahnya langsung memerah. Datul tidak mau pas simpangan sama tetangganya nanti, tetangganya syok melihat wajah Datul yang merah mengalahkan merahnya wajah tuan Crab. Lebih parah ada jerawat di sana!

OMG!!!!

To be continued...

Chapter 3: Brekele

Adzan ashar baru berkumandang saat Datul selesai mandi. Masih berbalut handuk, Datul berdiri di depan cermin dan mengoleskan krim sore di wajahnya. Menepuk-nepuk pelan agar krim itu benar-benar meresap sempurna.

Zaen bukan gambaran pria tampan yang klimis. Apalagi pria tampan yang mirip artis Korea yang berwajah manis dan berpipi mulus. Jauh dari itu. Jauuuuh sekali! Wajahnya lebar, dengan bentuk mulut yang agak tomingse, maksudnya tolong mingkem sedikit. Verbal halusnya, dia agak mrongos! Eh, itu kasar kali Thor, oke maap.

Zaen punya rambut yang krebo, kriting tak beraturan, maka dari itu Datul sering memanggilnya brekele. Hobinya yang naik gunung membuat Zaen semakin dekil dan pantas di hujat. Dia jarang mandi, dan kebiasaan buruk itu di bawa saat dia pulang dan hidup di kampung. Bagi orang lain Zaen gambaran pemuda yang euhhh banget, ga pantas di kagumi dari segi apapun apalagi di cintai, ga ada yang minat selain Datul. Datul bisa tenang menjalin hubungan dengan laki-laki yang model begituan, pelakor pun tidak akan ada yang melirik, amanlah pokoknya.

Datul menerima Zaen dengan segala kekurangannya, kurang tampan, kurang mapan, kurang gaul, bahkan kurang uang. Datul cinta pada Zaen karena saat bersama Zaen, Datul bisa melihat kupu-kupu berterbangan atau bulan yang nampak besar dan terang di sekelilingnya. Roman picisan memang. Zaen mengisi kekosongan hati Datul, maka tidak salah jika Datul bisa segila ini.

Selesai dengan krim, Datul mengaplikasikan bedak tabur Mars dengan tutul keramat miliknya. Lalu memoles bibirnya yang diam-diam seksi itu dengan sebuah lip tint berwarna pink. Bibirnya sekarang merekah mirip cendol es Gempol yang berwarna merah muda. Masker earlop berwarna putih seperti biasa, Datul butuh itu. Lumayan, jerawatnya tersamarkan sebagian. Dia jadi terlihat sedikit cantik karena hanya mata dan alis saja yang terlihat. Meski di kening juga masih ada jerawat sih, tapi wes lumayanlah.

Datul berjalan melangkahkan kakinya dengan ringan. Dia bahkan hampir saja bersenandung sangking bahagianya. Tidak butuh waktu lama, Datul sudah sampai di tempat jajian mereka. Di jalan dekat kebun pisang yang adem. Datul celingukan, mencari pacar brekelenya.

Huh kebiasaan ngaret... dasar brekele!

Datul berdiri di bawah pohon nangka yang cukup rindang, masih di area kebun pisang tadi. Saat akan menghubungi Zaen, laki-laki itu muncul bersama motor berisiknya. Motor bebek yang di modifikasi sedemikian rupa hingga tak berupa dan tak beradab karena kenalpotnya benar-benar memekakkan telinga.

Wajah Zaen glowing kileng-kileng berminyak, andaikata ibu-ibu kampung lihat pasti mereka pada antri beli minyak di Zaen dari pada berebut di Mamamart. Apalagi harga minyak goreng yang sekarang mahalnya audzubillah.

"Oi brekele! belum mandi ya?" tanya Datul bersamaan saat Zaen mematikan mesin motor.

"Mandi? buat apa?"

Ngeselin memang, Datul paripurna demi bertemu dia, dianya udah mirip gelandangan. Datul menghembuskan nafas kasar. Apalagi kulit Zaen yang semakin gosong. Setengah sebel Datul, pacarnya semakin buruk rupa setiap kembali dari gunung.

"Biar lebih manusiawi gitu mas,"

Zaen hanya menarik tepi bibirnya sedikit.

"Mau ngomong apa? kenapa ga mampir ke rumah aja, bisa tak buatin kopi lho padahal"

Rumah Zaen hanya beda kampung saja dengan Datul, masih satu kelurahan. Tapi Zaen sekalipun tidak pernah mau jika diajak mampir. Malu sama bapak Datul katanya. Cukup sadar diri.

"Aku mau kita putus!" tembak Zaen dengan wajah datar.

Datul ternganga-nganga, bahkan dia belum sempat mengatakan jika di lubang hidung Zaen ada upilnya yang ngintip. Tapi hati Datul sudah di hantam keras begitu saja. Datul menunduk. Meski kakinya tidak lemas. Tapi dia berhasil cosplay jadi bego.

"Hlo ada apa?" tanya Datul dengan suara bergetar. Datul cengeng, matanya pun sudah berkaca-kaca.

"Kita ga bertengkar, aku belum marah juga karena seminggu ini kamu ngilang, muncul minta putus? aku salahnya dimana?" lirih Datul. Beruntung jalan itu sepi. Dari tadi belum ada motor atau orang jalan lewat.

"Bosen sama kamu, aku kira tiga bulan ini jerawat di wajah kamu bakal hilang, udah naik turun gunung berapa kali pun ternyata masih sama. Kamu bilang baru ganti skincare, tapi mana hasilnya. Sama saja!" Datul diam, itu kalimat paling menyakitkan sebenarnya, kalau minta putus saja sih belum seberapa tapi di tambah hinaan. Kan nyesek!

"Udah jangan drama, jangan nangis di sini, kita udah ga bisa barengan, aku udah ga ada rasa, kalau ketemu di jalan kamu ga mau nyapa juga ga papa, anggap aku orang asing"

"Aku balik dulu, mau nyuci tenda"

Setelah itu Zaen benar-benar pergi tanpa menoleh. Menyisakan kepulan asap motor yang membuat Datul terbatuk-batuk. Datul berjongkok memegang kedua lututnya.

Bosan?

Kecewa karena jerawat di wajahku tidak juga hilang?

Anggap dia orang asing?

Kampret brekele! Dia bilang bosan kayak dia laki-laki berkelas, mengeluhkan jerawat ku padahal sedikit pun tidak ngasih iuran uang buat beli skincare ku, anggap dia orang asing? tentu saja, Pas lewat, lihat saja pasti akan aku lempar kepalanya pakai arit. Biar sekalian rambut brekelenya lepas dari kepalanya!

****

Datul ingin mengumpati mantan pacarnya yang kampret itu. Tapi apa daya, yang ada dia nelangsa karena patah hati. Mirip mumi, Datul tidak doyan makan tiga hari ini. Separah itu sampai Maktun datang karena khawatir.

"Datul kamu masih hidup?"

Datul tidur siang bukan mati. Mendengar suara Maktun yang cempreng dia lantas ngesot membuka pintu kamar. Rambut awut-awutan, mata sembab dan jerawat yang meradang. Di ujung hidungnya bahkan ada satu jerawat besar yang sudah matang, tinggal di panen.

"Ya Allah Tul, apa ini? kapan kamu terakhir sisiran?"

"Apa? aku lagi ga mood bertengkar!" jawab Datul dengan bibir manyun.

"Gara-gara brekele kamu se hancur ini? Hah, rugi tau ga sih!"

"Makkkkkkkkk.... hibur aku... huaaaaa...."

"Aku rasanya mau mati saja, dia jahat banget sama aku, dia bilang bosan karena jerawat ku yang ga ilang-ilang, padahal aku udah mati-matian ngerawat wajah, aku kira dia bisa Nerima aku dan jerawat-jerawatku, ternyata omongan manisnya hanya palsu! Huaaaaa..."

Maktun malah rebahan di kasur Datul. Terlentang sambil mengamati langit-langit kamar Datul. "Tiduran sini! dari awal juga aku udah bilang, dia itu tidak semeyakinkan itu buat di kasih hati, pantesnya di kasih tai aja sih!"

Datul tidak bangun dari duduknya di lantai.

"Mboh ah, aku sampai ga napsu makan, baru buka mulut kebayang rambutnya yang brekele, wajahnya kayak yang muncul di mana-mana, di tembok, di tv, bahkan kipas nyala geleng-geleng aja aku kira dia, huaaaa..."

Maktun membiarkan Datul menyelesaikan tangisannya. Tanpa mau repot-repot menghibur. Hingga Datul kembali curhat dengan sendirinya.

"Dia itu meskipun jelek tapi bisa buat aku nyaman, sering gombal receh, ngajak aku muter-muter naik motornya, belum lagi kenangan indah waktu aku ke Dieng sama dia"

"Naik bukit Sikunir, dia gendong aku di punggungnya, kita ketawa bareng, aku ngerasa dia benar-benar tulus dan itu adalah hal paling romantis yang pernah aku rasakan seumur hidup ku ini" Maktun nyimak kali ini.

"Bah... di gendong doang udah bahagia? Monkey kalau punya anak monkey juga di gendong di punggungnya kali Tul, anaknya biasa aja tuh! Malahan di gendong sambil loncat-loncat bergelantungan"

"Itu sih emang kebiasaan mereka Makkkk!"

"Ah Percuma cerita sama kamu, jomblo yang tidak pernah merasakan cinta ya gitu, mana tahu rasanya!"

"Eitsss... paling tidak aku tidak menyia-nyiakan air mata buat laki-laki brengsek gitu, menye-menye, eman-eman!"

"Panas banget, nyalain kipasnya dong Tul!" Teman tak tau diri memang, sudah kasur di kuasai masih minta kenyamanan yang lain. Datul ngesot lagi buat menyalakan kipas angin yang berada di sudut kamar itu.

"Aku sampai ga nyuci baju berhari-hari, lihat tuh sekeranjang,"

"Di loundry aja kalau malas sih"

"Ga punya uang, kamu lupa aku pengangguran?"

"Hahaha... aman, aku temani. Btw dari pada capek nangisi mantan kampret mending fokus cari kerja lagi, aku baru dapat info ada loker di garmen, mau ikut ga?" Saat tes di pabrik manufaktur kemarin ternyata teman Datul itu juga tidak lolos.

"Ga bisa jahit!"

"Sama, aku juga ga bisa, tapi kan di sana ga harus bisa jahit, ada bagian lainnya, barangkali keterima, gajinya gede, bisa buat borong skincare, gimana?"

"Up dulu, aku sedang berkabung"

Maktun geleng-geleng kepala. Datul selemah itu, pacaran tiga bulan mungkin baru bisa move on nunggu tiga abad mendatang.

"Inalillahi wa innailaihi rojiun"

"Siapa yang mati?" tanya Datul yang malah heran.

"Zaen brekele!"

"Hish!" Datul mengeplak paha temannya itu, masih tidak terima, jika mantan kampretnya di sumpahi mati seperti itu. Padahal sudah di sakiti.

"Situ sendiri yang bilang berkabung tadi..." Cibir Maktun yang kali ini bangkit dari rebahan.

"Mau kemana?"

"Pesen es di Mbak Minem, dari tadi bertamu ga di kasih minum"

Datul meringis, sibuk meratapi patah hati, dia lupa kewajibannya memuliakan tamu.

"Aku mau es good day sekalian, sama pesenin mie rebus kayak biasa, patah hati ternyata juga bikin lelah..." Samar terdengar Maktun mengiyakan titipan pesanan Datul.

"Hah, sialannnnnnn!" Umpat Datul. Di susul sambatan kecil, "Perih ya Allah..."

Datul memegangi hidungnya, jerawat matang itu meletus juga. Patah hati sialan!

.

.

.

.

.

like, komen, bagi hadiah biar aku cemungut🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!