Datul dan temannya sudah duduk bersila di teras rumah. Dua mangkuk mie rebus ayam bawang mengepulkan uap menandakan mie itu masih panas. Baunya sedap sesuai dengan nama mie itu. Tak bohong, Datul kelaparan. Dia aduk mie itu dan bersiap menyantapnya. Saat sendok berisi mie itu berada di depan mulutnya yang mangap, Datul berhenti.
"Kenapa?" tanya Maktun heran, karena tangan Datul yang menggantung. Wajahnya pun langsung murung lagi.
"Lihat mie keriting begini, aku jadi ingat brekele..." lantas menaruh kembali sendok itu. Tanpa berniat memakan mie itu lagi.
Bahu Maktun merosot. "Salahkan rambut Zaen yang brekele, sejak zaman Majapahit juga bentuk mie sudah kriting. Jangan gara-gara brekele kamu jadi benci mie ya, cepat makan, aku tahu kamu suka banget sama mie rebus," "ahhhh... ini enak sekali," terang Maktun yang sudah mengunyah mie miliknya.
"Ga kolu..."
"Aduh... gimana lagi aku hibur kamu. Move on Datul! Kasihani dirimu sendiri, kamu terlalu berharga untuk dia yang brengsek! huh hah, vanas..."
Baru saja di umpat Maktun, suara motor berisik yang Datul kenali terdengar mendekat. Datul berdebar. Oh apa sekarang telinganya sudah mulai ikut berhalusinasi?
Tapi tidak! Itu memang brekele. Datul terpaku dengan tatapan berkaca dan hati yang semakin merana.
"Hei, kamu lihat apa?" Maktun mengedarkan pandangan meneliti arah pandangan mata Datul. "Wah benar-benar brengsek!"
Zaen lewat memboncengkan seorang perempuan. Datul tahu perempuan itu. Beberapa kali Zaen menyebut nama perempuan itu saat bercerita. Zaen bahkan memuji perempuan itu. Namanya Sri, penjual jamu di pasar. Dua tahun lebih tua dari Datul, manis memang. Tapi untuk ukuran tubuhnya, Sri itu kurus, kerempeng, mirip papan penggilas cucian, dadanya rata. Oh... Datul bahkan mulai membanding-bandingkan dadanya.
Datul mencampakan mie miliknya dan memilih masuk ke dalam rumah. Dia menenggelamkan wajahnya di kasur dan menangis lagi. Sedangkan temannya memilih menghabiskan mienya dulu di banding menyusul Datul. Takut mie miliknya mendodog medok kalau tidak segera di habiskan.
****
Hari berikutnya, Datul di suruh Farkhan mengantarkan kerupuk ke lapak-lapak pasar. Sebenarnya Datul malas, tapi karena ini perintah ayah tercinta terpaksa Datul bergerak meski dengan mulut monyong-monyong.
"Pak bagi uang dong sepuluh ribu aja"
Farkhan mendengus, belum apa-apa Datul udah minta upah. "Kamu antarkan itu dulu sekalian minta uangnya yang kemarin, buat beli apa sepuluh ribu, bukannya kamu udah makan? kurang kenyang?" Ya Datul nyerah, perutnya lapar dari kemarin sibuk menangisi mantan bangsat. Akhirnya dia makan banyak pagi ini.
"Buat beli ikan pindang, kasihan kucing-kucing pasar, sejak kemarin Datul belum beliin ikan buat mereka"
"Huh, uang masih minta gaya sekali ngasih makan kucing liar!"
"Ga apa, sedekah di masa sulit justru lebih keren dari pada sedekah pas punya berlimpah, meski Datul baru mampu sedekahnya sama koceng dan ga tau kapan di kasih rejeki yang berlimpahnya"
"Heleh, yawes kono ndang!" Ya udah sana cepat!
Datul membawa dua karung kerupuk sekaligus di tangan kanan dan kirinya. Datul bangga pada kekuatan tangannya sendiri. Padahal mana berat kerupuk sekarung, kayak angin doang tuh.
Pasar Gladak hanya lima langkah dari rumah Datul. Jadi Datul cukup membuka pintu belakang rumahnya dan boom sampai pasar dong.
"Misi-misi jarang panas! jarang panas!(air panas)" ucap Datul yang jalan miring-miring menghindari bokong ibu-ibu yang sedang sibuk berbelanja. Seperti pasar tradisional pada umumnya, pasar ini selalu ramai bahkan sebelum ayam berkokok. Kehidupan di pasar sudah di mulai.
Datul berpindah dari lapak satu ke lapak lainnya. Menyetorkan kerupuk goreng pasir hasil produksi rumahan milik Farkhan.
"Mbak Nur, kata Bapak di suruh minta uang yang kemarin sekalian, udah ada?"
"Udah Tul, jangan khawatir, udah tak siapin ini!" jawab salah satu penjual yang biasa berlangganan pada Bapak Datul sembari mengulurkan uang pecahan dua ribuan yang sudah di buntal plastik.
"Yawes, makasih ini tak terima"
"Di itung dulu Tul, kalau kelebihan ngomong, kalau kurang diam aja!"
"Ye... enak di mbak Nur kalau gitu, percaya sih udah pas aja" dua wanita beda generasi itu saling terkekeh.
"Tul, itu wajah kamu jerawatnya kog ga sembuh-sembuh, sekarang ada banyak skincare tinggal pilih masak ga ada yang cocok"
Kalau sudah ngomong topik ini Datul merasa harus cepat-cepat kabur. Males buanggget. Di kira Datul ga usaha, padahal segala macam daya dan upaya sudah dia coba. Yang lebih prihatin Datul baru aja putus gegara jerawat ini juga. Tuh Datul jadi pengen mewek lagi.
"Belum ada skincare yang berjodoh dengan jerawat saya mbak, jadi ya gini, jerawatnya masih betah ikut aku" jawab Datul sekenanya. Wanita itu terkekeh lagi dan kali ini membiarkan Datul pergi.
Tinggal satu karung lagi. Ini jatah lapak yang paling ujung Barat. Datul malas asli karena itu artinya dia harus melewati lapak ikan-ikan dan lapak ayam potong. Bau amis ikan dan ayam bercampur mengaduk perut Datul. Belum lagi bau got yang tersumbat. Wes toh ambune mulek-mulek.
Datul menggerutu dalam hati. Mana dia lupa ga pakai masker. Mau balik lagi juga males desakan sama bokong-bokong ibok-ibok. Tahan napas aja jadinya. Sampai sebuah pemandangan indah mampu membuat Datul benar-benar lupa dan malah menghirup dalam-dalam bau tak sedap yang sejak tadi dia hujat.
Diantara kerumunan pedagang ikan dan ayam potong. Sesosok manusia indah berdiri di sana. Tinggi menjulang, berwajah mulus dan bersih dari dosa-dosa dunia. Tampan sungguh tampan. Bagaimana Tuhan menciptakan makhluk seindah itu? Diambil dari tanah sebelah mana? Manusia bisa setampan dan secantik itu berkolaborasi dalam satu wajah yang mampu membuat siapa saja langsung kepincut untuk mengaguminya.
Datul beringsut, reflek menyembunyikan wajahnya di balik karung kerupuk saat laki-laki itu terlihat berjalan ke arah Datul. Darul minder hanya karena akan berpapasan dengan laki-laki berwajah mulus itu. Sumpah, Datul ingin migrasi saja ke planet lain. Tak perduli jika dia harus sebangsa dengan alien.
Kenapa? kenapa harus bertemu dia sekarang. Sial, mana wajahku sedang pada masa buruk rupa seperti ini. Yah meskipun aku juga belum pernah merasakan punya wajah cantik sih. Mana belum mandi juga tadi. Jangan sampai dia melihatku Tuhan. Wus-wus cepat jalan berlalu sana! Jangan tengok kesini! Wus!
Datul masih menyembunyikan wajahnya di balik karung kerupuk. Laki-laki tampan itu melewatinya begitu saja. Seakan makhluk bernama Datul itu hanya karung berisi timun yang teronggok. Padahal isinya kerupuk ding. Jalankan memandang, melirik saja tidak. Memang dia sejak dulu seperti itu. Dan selama dua puluh tahun Datul hidup, dia juga masih sama, Datul hanya berani memandang dari kejauhan dan mengagumi dengan diam-diam pemuda tampan itu.
Jika Zaen gambaran sesosok laki-laki yang tak enak di pandang. Maka ini adalah sosok laki-laki bau surga yang layak untuk di nikahi. Dialah Hamam Amirul mukminin. Pemuda paling tampan sekampung Tanjungsari. Yang di puja setiap gadis. Termasuk gadis berjerawat bernama Maidatul Khan. Yang dengan senyumannya mampu membuat para gadis histeris bahkan guling-guling di tanah.
Hamam Amirul mukminin, anak tunggal Haji Rojak, juragan potong ayam tersohor. Pemilik satu-satunya rumah dua lantai di kampung itu. Pemuda populer, karena selain tampan dia juga seorang mahasiswa keren. Mahasiswa Undip! yang ganteng! yang pakai baju bagus tiap pergi ke kampus. Wangi sudah pasti, ga kayak brekele yang bau kambing.
Saat punggung laki-laki tampan itu menjauh, Datul baru bisa bernafas lega.
Huh, syukurlah...
Melihatnya seperti mendapat nikmat tiada tara, namun bersamaan dengan itu aku juga minder nda...panda! Wajahnya masyaAllah glowingggg... jadi pengen nanya apa dia pakai skincare? apa mereknya?
Datul membuang nafas kasar lalu berjalan cepat. Bau busuk campur-campur kembali tercium. Datul mengumpat dalam hati lagi.
Asem! Buaaaadewwwwkkkkk!
Kemudian Datul lari. Keburu muntah kalau kelamaan.
****
"Pus...pus...pus!"
"Meongg... meongg...meongggg..."
Datul berjongkok meletakkan dua keranjang ikan pindang yang kini di kerubungi tiga ekor kucing sekaligus. Maklum uangnya cuma 10k, dapat dua keranjang udah bagus, Datul menawarnya dengan mengatasnamakan Farkhan, alhasil dikasih murah. Mayan, dapat yang besar-besar ikannya. Satu keranjang isi dua. Semoga aja kucingnya bisa kenyang.
"Ceng, koceng, jangan rebutan ya, sedikit brayan sedikit, nanti nak aku udah punya uang sendiri, aku bakal beli ikan lebih banyak"
"Doakan aku ya Ceng! cepet move on, cepet dapet kerja, punya uang sekarung juga aku mau Ceng!"
"Meongggg...."
Datul anggap itu aminan sang kucing. Hehe...
Dalam hati Datul bersyukur, yang datang kali ini hanya tiga kucing. Bayangkan kalau lebih dari ini, bisa-bisa rebutan dan malah jadi rame. Cakar-cakaran.
Tanpa Datul sadari. Hamam yang balik ke pasar lagi untuk mengantarkan pesanan ibunya tadi, tersenyum melihat tingkah konyol Datul.
Gabut kali ya, kucing kog diajak ngobrol...
.
.
.
.
.
.
Semangati aku dong gaes, jujur aku rada minder nulis ini, aku pengennya terus produktif nulis, tapi kadang rasa ga PD itu muncul, apa aku layak jadi penulis, apalah cerita ga bermutu ini😒😒😒😒
Makasih yang sudah bersedia ngikuti cerita ini... kalem sek wae ya😑
Btw, aku suka bgt dgn nama Hamam ini dan aku bayangin cogan di bawah ini saat nulis si Hamam Amirul mukminin 😘😘😘
Mas Hamam Amirul mukminin, ga sempet edit lah...ngantuk aku🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Reiva Momi
suka ceritanya
2023-02-16
0
Pa Muhsid
ini yang kusuka gak mistis,,, kalo cerita holang kayah mh mistis bagi orang miss quin😆😆😆😆😆😆
2022-12-24
0
Elfian Elfandi
othor orang mana to bahasanee medhok jowo,,,🤗🤗
2022-10-05
0