Cinta Untuk Gadis Madinah
Ban berderit keras.
Bis antar provinsi berhenti secara mendadak di persimpangan jalan. Penumpang sampai terdorong ke depan dan membentur sandaran kursi. Lumayan keras. Keluhan kesal meluncur membentuk paduan suara.
Al turun dengan tergesa. Menghirup udara segar adalah satu-satunya kebutuhan saat ini.
Penumpang kebanyakan warga kampung dan tidak biasa dengan pendingin udara. Biasa menggunakan kipas bambu. Mereka banyak yang muntah-muntah dan buang tembakan diam-diam karena masuk angin. Bau tak sedap campur aduk seperti sampah busuk.
Benar-benar perjalanan yang menjengkelkan.
Menyesal Al sudah menolak kebaikan Aisyah yang bersedia mengantar secara sukarela. Naik sedan mewah bersama hijaber cantik tentu sangat menyenangkan. Wangi parfum mobil menyegarkan pernafasan.
Tapi Al tidak berani membawa perempuan pulang ke rumah. Di asrama saja, ia tidak pernah menerima tamu perempuan, padahal ada ruangan khusus untuk itu.
Menurutnya menerima tamu perempuan banyak negatifnya. Tugas kuliah cuma modus, padahal ingin berbagi rasa yang menggelincirkan iman, dan barangkali berlanjut ke dalam kamar jika kepala asrama tidak tegas.
Al tidak bermaksud menghujat mereka. Tanggung jawabnya sebagai teman hanya menyampaikan nasehat. Dilaksanakan atau tidak, urusan masing-masing. Mahasiswa penganut hidup bebas memanggilnya Mas USA, bukan United State of America, tapi Ustadz Sok Alim. Al cuma mengelus dada.
Lagi pula, rumahnya terlalu sederhana untuk tempat bermalam seorang crazy rich. Aisyah biasa mandi di bathtub dan shower bertirai emas. Nah, di rumahnya cuma ada satu kamar mandi untuk sekeluarga, dan pakai gayung kayu.
"Aku tidak enak pulang bawa perempuan," kata Al saat Aisyah mendesaknya. "Bukan oleh-oleh menarik buat orang tuaku."
"Kan cuma bawa pulang, bukan bawa masuk kamar," protes Aisyah. "Masa orang tuamu marah?"
"Marah sih tidak," ujar Al. "Tidak enak saja."
Ayah dan Ibu bukan orang tua ortodoks. Mereka tidak melarang pacaran. Tapi kedatangan Aisyah tentu membuat mereka kurang nyaman. Di kampung, perempuan berani melakukan perjalanan bukan bersama muhrim kesannya kurang baik.
"Hidup jadi ribet kalau banyak mendengar omongan orang," gerutu Aisyah. "Yang penting kitanya."
"Kamu dapat izin dari Abi?"
Al tahu ayahnya sangat ketat. Dia pasti menghubungi kampus kalau anaknya telat pulang. Aisyah kelihatannya saja seperti merpati bebas, padahal kehidupannya terkontrol.
"Tidak masalah," jawab Aisyah. "Asal bawa pendamping."
"Adikmu mau jadi pendamping?"
"Dia pasti mau karena sangat suka alam pedesaan."
Tapi mereka pasti tidak suka makanan kampung. Orang tuanya tidak sanggup untuk menyediakan hidangan yang harganya ratusan ribu sekali makan. Seminggu saja mereka liburan di rumahnya, sudah ada barang terjual.
"Terus aku mengenalkan kamu ke orang tua sebagai apa?" tanya Al.
"Terserah."
"Pacar tidak mungkin. Tidak ada kamusnya di keluargamu. Tahunya ta'aruf."
"Nah, itu saja."
"Lulus saja belum."
"Jadi tunggu lulus?"
Jeleknya Al adalah suka memberi harapan palsu, meski sekedar untuk menyenangkan hati. The King of PHP kadang disandangnya.
"Jangan bicarakan hari yang belum tentu kita sampai."
Al tidak mau Aisyah berbunga-bunga membangun mimpi, tidak juga menutup harapan. Tiada seorangpun tahu apa yang terjadi di hari nanti.
"Ada yang cemburu ya kalau aku liburan di rumahmu?" selidik Aisyah penasaran. "Ada yang rindu di kampung?"
Alasan utama menolak tawaran Aisyah sebenarnya untuk menjaga hal itu. Kehadirannya pasti mengacaukan suasana kalau ratu kecil menanggung perasaan yang sama.
Ratu kecil adalah julukan Riany di masa anak-anak. Ia adalah musuh bebuyutannya dan terpaksa jadi pengantin cilik karena kalah dalam sebuah permainan.
Entah bagaimana kabarnya sekarang. Lama sekali mereka tidak bertemu. Tapi Al masih ingat raut wajahnya.
Sejak lulus SD, Al melanjutkan sekolah di Yogya. Tinggal bersama Oma sampai lulus SMA. Setelah kuliah pindah ke asrama karena jaraknya lumayan jauh ke kampus. Kini sudah tingkat akhir.
Al kadang iri pada teman kuliahnya kalau liburan tiba. Lin Wei pergi ke Hawaii, berselancar di pantai Waikiki pasti sangat mengasyikkan setelah enam bulan berkencan dengan buku. Wulandari sudah jauh-jauh hari pesan tiket promo ke Dubai. Rivaldo bahkan sudah terbang ke Las Vegas.
Sementara Al pulang saja butuh perjuangan. Antri beli tiket, berdesak-desakan, banyak copet.
Maka itu dia tidak pernah pulang.
Liburan di Yogya lebih seru. Lesehan di Malioboro sambil mendengarkan musik jalanan sungguh nikmat.
Di rumah sepi, tidak ada hiburan. Sekalinya ramai, suara Ibu ngomel-ngomel.
Orang tuanya kadang berkunjung. Ayah begitu mengagumi kota Yogya, barangkali karena perempuan yang dicintainya berasal dari sana.
Ayah mengajukan pensiun dini enam tahun lalu dan beralih profesi jadi petani buah. Mencari kehidupan yang lebih baik adalah harga mati, agar namanya tidak terpuruk di mata keluarga Ibu yang kaya raya.
Al mengayunkan langkah menelusuri trotoar di bawah pohon peneduh yang berderet rapi, sehingga terlindung dari sengatan matahari.
Ada rasa tak percaya di hatinya walau sering menerima kabar dari ibunya lewat SMS. Kalau Ayah hobinya kirim surat, mentang-mentang mantan tukang pos.
Pembangunan telah menyulap wajah kampung jadi demikian elok. Rumah megah bermunculan di sepanjang jalan. Satu dua kendaraan mewah parkir di halaman. Barangkali sekarang sulit mendengar suara jangkrik atau kungkung kodok, ladang dan huma tergusur oleh minimarket dan gerai kuliner.
Sebuah motor sport yang berhenti melintang tajam secara tiba-tiba di hadapan Al menerbangkan segenap rasa kagumnya.
"Kok jalan kaki?" tanya Arya sambil menggerungkan gas memekakkan telinga. "Angkutan umum kan banyak?"
Sejak tadi angkutan umum silih berganti membunyikan klakson. Taksi tinggal stop. Tapi Al mau lihat-lihat kampung halaman, lihat-lihat kantong juga. Yang tersisa di dompet, hanya KTP dan kartu mahasiswa.
Al memperhatikan motor yang ditumpangi adiknya. Model baru. Mahal pula. Ayah tentu pikir-pikir untuk mengeluarkan uang sebanyak itu. Lagi pula uang dari mana? Lusuhnya kertas surat yang dikirim ke Yogya menandakan ayahnya belum terbebas dari kesulitan ekonomi. Tapi Arya banyak akalnya.
"Motor siapa?" tanya Al.
"Motor aku dong," sahut Arya bangga. "Masa motor Ariel Noah?"
"Kamu bisanya cuma menyusahkan orang tua."
Arya pasti merengek minta dibelikan motor. Ia pasti mengancam mogok sekolah kalau permintaannya tidak dipenuhi, dan Ayah bisa berkorban apa saja kalau sudah urusan sekolah.
"Bukan aku yang minta," kata Arya ketika motornya sudah melaju membelah senja. "Gubernur."
"Bercanda."
"Gubernur yang membangun jalan ini. Namanya jalan raya buat lalu-lalang kendaraan. Pejalan kaki tempatnya di trotoar. Nah, kita terpaksa harus keluar modal daripada rebutan sama kaki lima dan Satpol PP."
"Kecil-kecil pintar cari kambing hitam. Mau jadi apa kalau sudah besar?"
"Asal jangan jadi kambing hitam."
Arya melambatkan laju motor dan menghidupkan lampu sen, kemudian belok memasuki pintu gerbang yang terbuka dan berhenti di jalan marmer dekat kran taman.
"Mampir di rumah siapa?" tanya Al heran. "Yang punya rental motor?"
Rumah ini sangat megah, bertingkat, modelnya unik dan menarik, dikelilingi taman yang indah.
"Sepuluh tahun meninggalkan kampung membuat kakak betul-betul lupa alamat rumah sendiri."
"Jadi...ini rumah kita?"
Al bengong. Bagaimana mereka bisa tinggal di istana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
N Hayati
next
2022-03-22
2
Muhammad Al Fatih Lubis
kerennnn
2022-03-20
1
Nun
Terima kasih, kak.
2022-03-19
1