Mata Al mengikuti wanita bertubuh semampai yang berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. Jari-jari lentik membalik piring yang tertelungkup di meja, tenang sekali, seakan tidak terpengaruh dengan muka masam ibunya.
Wanita itu menoleh ke arahnya dan tersenyum manis, kemudian bertanya, "Kamu yang bernama Al Farisi Haikal Najid?"
"Cukup Al," jawabnya. "Kamu bukan petugas KTP, kan?"
Al tak lepas memperhatikan, bukan terpesona oleh kecantikan yang menghanyutkan, rasa penasarannya belum terjawab. Siapa perempuan ini? Dia hadir dalam acara makan malam dan kelihatan sudah biasa menghadapi sikap Ibu yang tidak bersahabat.
Al tahu adiknya menyukai wanita lebih tua. Pacar yang terakhir seorang mahasiswi semester enam. Perempuan ini sangat matang. Usianya barangkali selisih beberapa tahun saja dengan ibunya. Jadi tidak mungkin pacar Arya.
Lebih tidak mungkin lagi, jodoh yang disiapkan untuknya. Perempuan lebih tua bukan tipenya. Dia kuatir dalam rumah tangga banyak digurui karena kalah pengalaman, meski belum tentu demikian.
Wanita itu memperkenalkan diri, "Jennifer Nirvana. Cukup Jen."
Dia pasti bukan warga kampung. Namanya ala metropolis. Penampilannya juga. Jennifer sepertinya anggota baru di keluarga ini. Al hapal semua kerabat yang tinggal di kota.
"Atau terserah panggil apa," kata Jennifer dengan senyum tak lepas dari bibirnya.
"Panggil pelakor," bisik Arya di telinganya. "Cocok jadi barbeque buat hidangan utama."
Al melirik sekilas ke ayahnya yang mulai siap-siap makan malam. Ibu patuh melayani, padahal mungkin hatinya berombak.
Ayah memilih wanita tidak berhijab adalah menakjubkan, karena setiap kali berkunjung ke Yogya selalu memberi ceramah tentang pentingnya bergaul dengan gadis berhijab, untuk menjaga mata bermaksiat.
Ada kesan menyalahkan lingkungan, seolah maksiat terjadi karena apa yang tersedia, padahal semua kembali pada diri sendiri. Al tidak perlu menyeleksi lingkungan untuk jadi orang baik, tapi bagaimana jadi orang baik di lingkungan yang ada.
Pelaku maksiat sulit untuk hijrah kalau tak ada lentera yang menuntun langkah mereka untuk keluar dari kegelapan. Orang di dalam kegelapan mustahil mendapatkan cahaya tanpa ada bantuan dari luar.
Maka itu Al tidak membatasi pergaulan. Teman gadisnya banyak yang berpenampilan berani. Yang penting selalu ingat untuk menjaga mata. Dia kehilangan banyak teman kalau menuruti kemauan ayahnya.
Al lebih melihat nasehat itu adalah bentuk kekhawatiran seorang ayah terhadap anaknya, takut terjerumus ke dalam pergaulan bebas.
"Namamu tidak tercatat di surat yang dikirim ke Yogya," kata Al dengan maksud menyindir ayahnya. "Jadi aku tidak tahu harus panggil apa."
Pak Haikal ternyata cukup peka. Dia memandang anaknya dengan selidik, dan bertanya, "Maksudnya apa ya? Apa hal ini perlu disampaikan dalam surat?"
Pantas saja Ayah tidak mau tahu keluh kesahnya hidup di rantau, rupanya dia menghendakinya untuk tidak mau tahu masalah yang terjadi di rumah. Apalah artinya keluarga kalau mereka harus menyelesaikan masalah sendiri-sendiri?
"Uang sudah membuat seorang petani pandai bersandiwara," sindir Al. "Sehingga bisa menciptakan suasana seolah tidak ada masalah."
Pak Haikal menatap tak mengerti. "Bersandiwara apa? Masalah apa?"
Al merasa muak. Tapi ada rasa santun yang membuatnya menahan diri. Dia angkat bahu sedikit. "Sudahlah. Kita makan sebelum hilang selera."
"Sebentar." Pak Haikal mulai membaca kesalahpahaman yang terjadi. "Kayaknya ada yang salah sambung."
Al memandang tanpa gairah. "Ada yang mau Ayah jelaskan? Terlalu banyak yang disembunyikan dariku."
"Begini." Pak Haikal merubah posisi duduknya. "Ayah tahu ke mana arah ucapanmu. Jennifer bukan seperti apa yang ada di pikiranmu. Dia istri muda Opa."
Al terpana, dan segera beristighfar karena sudah menuduh ayahnya macam-macam. Diinjaknya kaki Arya yang memberi informasi menjebak. Anak itu terpekik kesakitan.
"Ada apa?" tatap Bu Haikal kaget. "Kamu makan batu teriak kesakitan?"
Arya tersenyum menahan sakit. "Ada teror di kolong meja."
"Itu baru diinjak sama kaki kakakmu," geram Al pelan. "Belum sama kaki gajah."
Al kehilangan selera untuk makan. Istri muda Ayah atau Opa, tidak mengurangi rasa kecewanya. Ayah seharusnya menyelipkan wanita itu di surat lusuhnya, tidak hanya bercerita tentang anak singkong yang berhasil jadi cukong, dan ternyata itu adalah kisah tentang dirinya sendiri!
Al perlu tahu apa yang terjadi dengan keluarga mereka, mengapa Opa nekat mengambil madu di usia senja. Dia perlu memahami alasannya sehingga tidak keliru dalam menentukan sikap.
Selama ini rumah tangga Opa rukun-rukun saja. Tidak pernah terdengar pertengkaran yang mengganggu keharmonisan hubungan suami istri. Kemudian tiba-tiba saja beliau menikah lagi. Ada masalah apa?
"Aku sengaja datang dari Jakarta untuk bertemu denganmu," kata Jennifer.
Al tersenyum sedikit. "Aku tersanjung."
"Boleh kan aku kepingin kenal?"
"Sudah seharusnya." Al tidak bisa menghakimi seseorang tanpa mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, meski seseorang itu sangat dibenci oleh ibunya. "Opa tidak ikut?"
"Giliran di mbaknya."
Al tidak paham, ia menatap sejurus. "Mbaknya?"
"Oma," jawab Arya. "Yang ini Omu."
"Apa itu?" toleh Al.
Arya tersenyum. "Oma muda."
Usia adiknya terlalu belia untuk memahami masalah yang terjadi. Di matanya, kehadiran madu dalam rumah tangga seperti keberadaan madu dalam roti sarapan pagi. Nikmatnya sama, uang jajan makin berlimpah, minta sana sini.
"Kamu tinggal di rumah Opa?" tanya Al.
"Aku istrinya," sahut Jennifer tersenyum. "Masa tinggal di rumah masing-masing?"
"Terus Oma?"
"Bangun rumah dekat-dekat sini."
Al mengangkat sudut bibirnya sedikit. Istri tua tersingkir bukan kabar terkini. Basi banget. Opa seharusnya berlaku adil.
"Bangun sendiri," tukas Bu Haikal ketus. "Opa tidak membuatkan rumah."
"Mas Priyo ingin mbaknya tinggal serumah, tapi mbaknya kepingin sendiri."
Keinginan Opa sulit terpenuhi. Menjaga cinta satu sama lain tidak harus satu atap. Di antara mereka pasti ada cemburu dan bisa mengarah ke emosi kalau tinggal satu atap. Istri Nabi saja memiliki rumah masing-masing. Atau Opa ingin disebut lelaki hebat karena mampu membuat istri-istrinya tinggal satu rumah?
"Siapa yang sudi tinggal satu atap sama madu?" sambar Bu Haikal pedas.
Ibu kelihatannya sudah mengambil garis keras. Dia tidak mau mengakui kalau Jennifer jadi bagian dari keluarga besar.
"Banyak," kata Jennifer santai.
"Siapa?" pandang Bu Haikal sinis. "Kerabatmu?"
Jennifer tersenyum kecil. Senyum itu justru membuat ibunya jijik. Dia harusnya tidak banyak bicara. Apapun yang dikatakan tidak ada benarnya.
Ibu adalah seorang muslimah yang taat. Tapi urusan istri muda bukan perkara yang gampang diterima. Bukan tidak mengimani sunah rasul, tapi apa benar wanita itu hadir karena sunah rasul?
"Ada satu rumah sampai empat," ujar Jennifer. "Dan mereka hidup rukun."
"Perempuan itu pasti kayak kamu!"
Perdebatan makin tidak terkendali. Al jadi pendengar setia. Dia tidak pernah terlibat dalam perdebatan orang tua kecuali diminta pendapat, apalagi untuk masalah sensitif. Ayahnya saja tidak bisa berbuat banyak.
Makan malam jadi tidak nyaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments