Opa datang tepat pada waktunya sehingga suasana makan malam yang memanas kembali dingin. Tidak ada yang berani lancang di hadapan pria yang berwibawa itu.
Gayanya santai sekali. Wajah bercahaya bagai bulan purnama. Cahaya yang tidak pernah terbit sebelum Al lahir.
Opa sebenarnya tidak setuju punya menantu tukang pos. Kehadiran Al membawa berkah bagi mereka. Beliau ingin sekali mempunyai cucu untuk mewarisi usahanya. Ibu anak tunggal.
Al bangkit menyambut opanya, cium tangan, lalu menarik kursi yang merapat ke meja. Setelah beliau duduk, dia kembali ke kursinya.
"Jam berapa dari Yogya?" tanya Opa.
"Malam."
Opa terkejut. "Malam? Kamu naik bis?"
Al tiba-tiba saja merasa salah menjawab, dan dia tahu apa akibatnya.
"Piye toh, Haikal?" Opa memandang menantunya dengan marah. "Ngomong kalau tidak mampu membeli tiket pesawat buat cucuku. Jangan diam saja."
"Ini keinginan aku sendiri, Opa," sahut Al tidak enak. "Naik bis lebih nikmat, bisa lihat pemandangan di jalan."
"Mana ada naik bis lebih nikmat dibanding naik pesawat? Lagi pula, pemandangan apa yang mau dilihat? Jangan-jangan kamu tidak pernah dikasih uang buat rekreasi."
"Opa kayak tidak pernah muda saja. Waktu kuliah, Opa lebih suka naik andong daripada naik mobil mewah. Kid jaman now apalagi. Kalau ingin naik truk, ya naik truk."
Senjata paling ampuh untuk meredam kemarahan Opa adalah menjadikan masa lalunya sebagai cermin. Lalu dia akan bercerita tentang pertemuan pertama dengan Oma saat naik andong. Cerita itu sudah didengarnya dari kecil sampai Al paham arti sebuah nostalgia, akhirnya beliau lupa pada masalah yang dibicarakan.
Malam ini Opa tidak mungkin bercerita karena ada Jennifer.
Tamat riwayat Ayah kalau Opa tahu kehidupan cucunya di Yogya. Sejak kecil dia sudah dididik untuk menjaga martabat ayahnya. Dia tidak mau namanya semakin terbenam di mata Opa.
"Mbaknya tidak ikut?" tanya Jennifer sambil menyiapkan makan buat suaminya. "Jadi tidak enak mengganggu suasana."
"Ada keperluan."
"Masnya bilang dong kalau aku ingin bicara empat mata."
"Harni sudah bisa menerima. Tapi sepertinya tidak bisa tinggal di Jakarta. Dia ingin dekat sama cucunya."
"Ingin dekat sama cucunya, Al pulang tidak disambut," protes Jennifer halus. "Malah ditinggal pergi."
"Masa aku harus mengulang apa alasannya?"
"Bukan bisa-bisanya si mas, kan?"
"Aku sangat hati-hati untuk urusan ini."
Laki-laki, pikir Al jemu. Tidak pernah kehabisan kata-kata agar perempuan percaya. Opa sebenarnya jarang bicara kalau tidak penting. Tapi semuanya jadi penting buat Jennifer, istri kedua yang sangat segar laksana apel baru keluar dari kulkas!
Al makan hingga separuh kenyang. Kebiasaan. Lagi pula, dia bosan mendengar kisah klasik pernikahan mereka.
Papi Jennifer jatuh pailit karena saham perusahaan terjun bebas. Sebagai sahabat lama, Opa datang membantu, dan uang membuat yang tidak mungkin jadi mungkin.
Jennifer trauma berumah tangga dengan laki-laki seumuran. Perusahaan papinya bangkrut akibat ketamakan sang suami. Hidup menjanda banyak godaan. Akhirnya dia menerima tawaran papinya untuk menikah dengan Opa, walau tahu jadi upeti.
Opa rupanya sulit menolak balas budi seperti ini. Lagi pula di agama boleh sampai empat. Sebuah perbuatan halal yang dibenci kaum wanita dan jadi tameng laki-laki!
Al simpati kepada Oma yang setianya terkalahkan oleh drama kehidupan. Masa tua yang seharusnya penuh kedamaian malah dilanda kekacauan.
Ibunya juga tidak dapat menahan diri, meski cuma berani di belakang, dan ayahnya kena sasaran.
"Ayahmu juga mulai banyak gaya," gerutu Bu Haikal ketika anaknya ikut beres-beres meja makan. "Sering cari alasan. Kardus."
"Modus," ralat Al.
"Ngomongnya santunan anak yatim, padahal nengok emaknya."
"Siapa?"
"Fatimah."
Al coba mengingat-ingat. Nama itu tidak terlintas di pikirannya. Masa lalu banyak yang hilang dari ingatan.
"Jandanya Ustadz Bashori," jelas Bu Haikal ketus. "Yang paling cantik."
Al kenal kalau ustadz karismatik itu. Ayah pasti memberi tahu setiap kali ada yang meninggal di kampung sebagai pengingat kematian. Waktu dia pergi, Ustadz Bashori punya istri dua.
"Yang ketiga?"
"Yang keempat!"
"Biasa saja kali ngomongnya."
"Kikil."
"Ilfeel."
"Ompong."
"Rempong."
Bu Haikal membentak, "Kamu ini kenapa sih?!"
Al mengusap-usap kepala. "Dikasih tahu yang betul jadi sewot ya?"
"Habis kamu suka membela Ayah."
"Maksudnya?"
"Kamu pasti setuju punya ibu dua. Bisa minta uang sana sini."
"Itu Arya."
Al selalu mengatakan 'ya' kepada ayahnya, tapi tak pernah mengatakan 'tidak' kepada ibunya. Barangkali karena beliau lagi badmood, sehingga lupa kalau dia tidak pernah membantah mereka.
Yang ketiga kayaknya mandul juga, maka itu Ustadz Bashori mengambil istri lagi. Sebuah logika yang sulit diterima oleh mommy jaman now!
"Wajar kan perhatian?" Al seakan mancing-mancing. "Ustadz Bashori adalah imam besar masjid dan Ayah ketua DKM."
"Modus. Sudah tua banyak tingkah."
"Lalu Opa banyak apa?"
"Banyak harta!"
"Kalau banyak harta, boleh mengambil madu?"
"Ayah blangsaknya sama Ibu!"
"Senangnya juga sama Ibu. Anaknya yang di Yogya malah tidak tahu."
"Ayah sudah menyiapkan surprise buat kamu." Bu Haikal tiba-tiba merenung. "Jangan-jangan ayahmu mau mengambil hati biar setuju."
"Setuju apa?"
"Ambil madu!"
"Buktinya apa kalau Ayah ada main?"
"Setiap kali pergi ke masjid pasti mampir."
"Kan biasa dari dulu."
"Sekarang di rumah itu ada empat janda!"
"Berarti Ayah harus sering mampir, karena di rumah itu tidak ada lagi yang menafkahi."
"Bukan tanggung jawab ayahmu!"
"Terus tanggung jawab siapa? Raja Salman? Mana tahu di rumah itu ada empat janda."
"Jauh-jauh dari Palestina cuma mau jadi pelakor."
"Siapa?"
"Fatimah!"
Al tersenyum pahit. Perempuan kadang hilang kendali kalau bicara madu. Madu adalah sunah yang paling berat bagi mereka.
"Jadi relawan ke Gaza pulang-pulang bawa madu," dengus Bu Haikal sinis. "Jadi relawan apa cari perawan?"
Percuma banyak omong, Ibu tidak siap menerima. Perkara madu adalah tabu bagi perempuan.
Al mendingan pergi.
"Bersih-bersihnya sudah, kan? Aku cari angin dulu."
"Cari angin di kamar saja. Hidupkan AC."
Ibu sarjana tarbiyah. Dia sering memberi ceramah di majlis ta'lim kalau ustadzah berhalangan. Karena lagi badmood, jadi tidak connect.
"Maksudnya santuy," terang Al sabar.
"Suku di pedalaman Lebak itu ya?"
"Baduy."
Ibu tidak suka nonton infotainment. Sinetron juga pilih-pilih. Buka medsos jarang. Hingga wajar tidak tahu bahasa slang. Dia paham karena sering mendengar dari Arya. Rasa ingin tahunya pada bahasa slang cukup besar. Dia sering menyelipkannya dalam ceramah supaya lebih mudah diterima kids jaman now, yang mulai ramai mendatangi majlis ta'lim.
Ibu jarang bergaul dengan tetangga. Cuma menambah dosa karena banyak merumpi, begitu katanya.
Ibu keluar rumah kalau ada acara keagamaan, resepsi pernikahan, atau belanja kebutuhan dapur. Kadang ikut suami kalau buruh perkebunan gajian. Selebihnya di rumah, menunggu suami pulang sambil mengontrol kedai bakso. Pulang telat sedikit, langsung menyuruh tukang kebun cari informasi.
Sehabis shalat Isya di masjid, Al sempat melihat ayahnya mengobrol dengan perempuan muda bercadar yang menuntun anak kecil. Apakah itu cemburunya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments