Baru beberapa jam di rumah, Al sudah merasakan perbedaan.
Rumah mewah tapi tidak memewahkan kehidupan di dalamnya. Kaya kecurigaan dan miskin kebersamaan.
Mereka mencari kesenangan sendiri-sendiri, meninggalkan nilai kebersamaan yang sudah lama dipupuk.
Opa dan Jennifer pulang ke Jakarta untuk siap-siap berangkat ke Dubai. Dua sejoli berbeda usia itu baru sempat bulan madu karena menunggu suasana adem. Padahal badai tidak akan sirna di hati Oma. Dia hanya menahan diri. Malu ribut di usia senja.
Ayah main bulu tangkis di bawah curiga Ibu. Lapangannya dekat rumah Fatimah. Dia seakan tidak percaya diri kalau pesona alami yang dimiliki dapat mengikat kesetiaan suami. Maka itu dia kirim tukang kebun untuk melaporkan setiap kejadian sekecil apapun. Tidak terpikir olehnya kalau mata-mata itu bisa saja berkhianat.
Arya pergi entah ke mana. Dia sudah sibuk chat sejak sore, dan selesai shalat Isya langsung pergi dengan motornya.
Al khawatir adiknya terjerumus dalam pergaulan bebas. Maka itu dikirim chat agar bisa menjaga kehormatan keluarga. Gang motor akan tamat kalau nasehatnya tidak diindahkan.
Al duduk santai di kursi taman sambil memperhatikan kedai bakso di seberang jalan.
Aroma sedap yang terbawa angin sedikit mengurangi kegersangan musim kemarau. Sinar rembulan malu-malu menyelinap di antara lampu jalan yang berbaris rapi sepanjang trotoar, menyapa cahaya warna-warni yang terpancar dari rumah penduduk. Bebukitan tampak menghitam di kejauhan. Lalu lalang kendaraan meramaikan malam. Membuat betah mata yang memandang.
Al tidak kenal pengunjung yang keluar masuk kedai. Ibu pandai juga membaca peluang bisnis. Kampung ini mulai ramai didatangi kaum urban.
"Ibu kira ikut adikmu jalan-jalan." Bu Haikal yang hendak mengontrol kedai mampir dan duduk di hadapannya. "Lihat pemandangan di malam hari."
"Paling lihat hantu gentayangan."
"Hantu-hantu diturunkan dari pohon, dedemit kehilangan situ. Dibangun supermarket, diskotik, karaoke, tempat manusia gentayangan."
Setiap pembangunan tentu ada yang jadi korban, entah lingkungan atau apa. Sulit untuk menampung semua keinginan dan mewujudkan dalam satu tujuan. Kampung tidak maju-maju. Pemerintah desa sudah mengambil kebijakan sesuai kearifan lokal.
"Perkebunan kita di kampung tetangga sudah mulai dilirik developer," kata Bu Haikal.
"Untuk proyek apa?"
"Lapangan golf."
Lapangan golf di tengah kampung bisa menimbulkan kecemburuan sosial kalau kurang sosialisasi. Tidak jadi tempat gembala sapi saja sudah untung. Dia berharap warga jadi penonton yang baik. Lebih bagus dapat berperan aktif dalam setiap pembangunan, karena pendidikan mereka rata-rata tidak rendah.
"Ada rencana dijual?" tanya Al ingin tahu.
"Ada," jawab Bu Haikal. "Ayah lagi mencari lahan alternatif. Sebagian hasil penjualan tanah perkebunan akan diinvestasikan untuk usaha lain."
"Buat apa sih punya duit banyak-banyak?" komentar Al seakan tidak setuju dengan rencana itu. "Semakin kaya semakin berat tanggung jawab di akhirat."
"Buat masa depan kalian. Ibu tidak yakin Arya bisa memperoleh pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhannya."
Arya lagi, pikir Al jemu. Kehidupan adiknya mirip selebritis. Semua pakaian bermerek. Motor tidak cukup satu. Mentok sama Ayah, minta ke Opa. Kemarin dibelikan mobil sport sebagai hadiah ulang tahun. Dia tidak tahu kalau pemberian itu adalah modus. Opa mencari dukungan agar Jennifer diterima jadi anggota keluarga.
"Sekarang Arya pergi ke mana?" selidik Al. "Anak itu tidak betah sekali di rumah."
"Katanya ada cacing."
"Chatting."
"Sekalian beli serbet."
"Nge-date. Jauh banget."
"Apa sih itu?”
Ini konyolnya Arya. Dia menggunakan bahasa slang untuk memperdaya orang tua. Baginya yang penting keluar izin untuk pergi main.
Al memandang ibunya dengan tak percaya. "Ibu tidak tahu arti nge-date, tapi diizinkan pergi?"
"Malam Minggu Ibu kasih kemerdekaan."
"Pacaran juga?"
"Prinsipnya Ibu tak keberatan, asal tidak mengganggu sekolah, dan yang penting pacaran bersih.”
“Pacaran apa cleaning service pakai istilah bersih segala?”
"Ibu sudah tahu pacarnya siapa, keluarganya bagaimana. Nomor kontaknya ada. Itu syaratnya kalau ingin dapat izin dari Ibu."
Kemudian Bu Haikal menatap puteranya dengan selidik. "Buat apa tanya-tanya? Sudah punya calon?"
"Calon pacar?"
"Mahasiswa tingkat akhir masa calon pacar? Calon istri!"
Al mengusap-usap kepala. “Gimana ya?”
"Yang penting satu golongan."
"Satu agama kali."
"Tidak cukup.” Bu Haikal mengamati anaknya bolak-balik. "Ibu sebenarnya curiga. Ibu perhatikan kamu tidak lepas dari wudhu."
“Bagus kan?”
“Sejak kapan itu?”
“Sejak ada niat.”
“Niat apa?”
“Menjaga kesucian hati.”
“Tidak lepas dari zikir harusnya.”
“Zikir bisa lepas kalau hati tidak suci.”
“Dan dimulai dari mensucikan tubuh?”
“Betul.”
“Terus?”
“Di dalam tubuh yang kotor sulit tertanam hati yang bersih. Wudhu adalah hijab dari maksiat dunia. Kalau kelakuannya begitu-begitu juga, berarti ada apa-apa dengan wudhunya."
“Selain itu?”
“Menjaga dari maksiat akhirat juga.”
“Maksudnya?”
“Beribadah bukan karena Allah, tapi ada kepentingan semenjana."
“Apa lagi?”
"Aku ingin dipanggil Allah dalam keadaan suci."
Bu Haikal kaget. Matanya memandang lekat-lekat.
“Betapa indahnya jika dalam keadaan berpuasa juga," kata Al berharap. "Mati dalam keadaan termuliakan."
"Cah bagus," desis Bu Haikal bergetar. Sorot matanya berubah sendu. "Ada apa sebenarnya? Kamu punya penyakit apa?”
Al memandang tak mengerti. “Maksud Ibu?”
"Ada apa ngomong-ngomong soal mati? Kamu masih muda, cah bagus. Satu-satunya harapan Ibu yang ikhlas merawat Ibu kalau sudah jompo nanti."
"Mati tidak menunggu tua. Mati bisa di setiap waktu."
"Kalau bisa Ibu duluan."
Al tersenyum. "Siapa saja bisa duluan. Aku sehat kok. Tidak mengidap penyakit apa-apa.”
Keresahan di wajah Bu Haikal mencair. Sekali lagi dia memperhatikan anaknya bolak-balik.
“Apa lagi, Bu?” pandang Al sabar.
"Tampilan kamu lain. Celana di atas tumit. Kamu masuk golongan mereka?"
"Golongan apa?"
“Celana itu mulai banyak dipakai pemuda kampung.”
“Berarti nge-trend.”
“Nge-trend apa? Jadi musuh warga!"
“Kok bisa?”
"Islam radikal."
Al tersenyum sedikit. "Model celana tidak ada hubungan dengan paham atau golongan tertentu. Itu budaya, intinya menutup aurat. Al pakai celana ngatung supaya tidak kena debu jalanan, yang belum tentu suci. Sekarang musim kemarau. Al sering jalan kaki dan shalat di masjid mana saja kalau sudah tiba waktunya."
"Alhamdulillah."
"Hilangkan anggapan itu."
"Anggapan apa?"
"Islam adalah Islam. Tidak ada embel-embelnya. Sebutan itu hanya membuat umat terkotak-kotak. Radikal adalah sebutan bagi kelompok tertentu yang mengambil garis keras dan berseberangan dengan tatanan kehidupan yang ada. Jadi orangnya yang radikal, bukan agamanya."
"Kepala desa menyebutnya begitu."
"Beliau memandang dari aspek kemajemukan yang ada, pemeluk Islam berbeda-beda golongan, sehingga bisa teridentifikasi secara jelas."
"Jadi jangan menghubungkan perilaku tertentu dengan agama tertentu?"
"Betul. Al kuatir Ibu mendirikan Islam waru doyong karena perilaku segelintir warga yang memberi sesajen di pohon waru angker. Mereka mau memberi sesajen silakan saja, tapi jangan dipaksakan untuk diakui oleh agama."
Bu Haikal kembali ke persoalan awal. "Jadi belum punya calon?”
“Ibu ada calon?” Al balik bertanya.
“Cocok apa sama gadis kampung?”
“Aku orang kampung.”
Tiba-tiba saja Al menyesal memberi peluang kepada ibunya. Bagaimana kalau pilihannya tidak cocok?
Tapi syukurlah Ibu belum ada calon.
“Di kampus tidak ada pilihan?”
Al tersenyum, membuat ibunya jadi penasaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments