Ban berderit keras.
Bis antar provinsi berhenti secara mendadak di persimpangan jalan. Penumpang sampai terdorong ke depan dan membentur sandaran kursi. Lumayan keras. Keluhan kesal meluncur membentuk paduan suara.
Al turun dengan tergesa. Menghirup udara segar adalah satu-satunya kebutuhan saat ini.
Penumpang kebanyakan warga kampung dan tidak biasa dengan pendingin udara. Biasa menggunakan kipas bambu. Mereka banyak yang muntah-muntah dan buang tembakan diam-diam karena masuk angin. Bau tak sedap campur aduk seperti sampah busuk.
Benar-benar perjalanan yang menjengkelkan.
Menyesal Al sudah menolak kebaikan Aisyah yang bersedia mengantar secara sukarela. Naik sedan mewah bersama hijaber cantik tentu sangat menyenangkan. Wangi parfum mobil menyegarkan pernafasan.
Tapi Al tidak berani membawa perempuan pulang ke rumah. Di asrama saja, ia tidak pernah menerima tamu perempuan, padahal ada ruangan khusus untuk itu.
Menurutnya menerima tamu perempuan banyak negatifnya. Tugas kuliah cuma modus, padahal ingin berbagi rasa yang menggelincirkan iman, dan barangkali berlanjut ke dalam kamar jika kepala asrama tidak tegas.
Al tidak bermaksud menghujat mereka. Tanggung jawabnya sebagai teman hanya menyampaikan nasehat. Dilaksanakan atau tidak, urusan masing-masing. Mahasiswa penganut hidup bebas memanggilnya Mas USA, bukan United State of America, tapi Ustadz Sok Alim. Al cuma mengelus dada.
Lagi pula, rumahnya terlalu sederhana untuk tempat bermalam seorang crazy rich. Aisyah biasa mandi di bathtub dan shower bertirai emas. Nah, di rumahnya cuma ada satu kamar mandi untuk sekeluarga, dan pakai gayung kayu.
"Aku tidak enak pulang bawa perempuan," kata Al saat Aisyah mendesaknya. "Bukan oleh-oleh menarik buat orang tuaku."
"Kan cuma bawa pulang, bukan bawa masuk kamar," protes Aisyah. "Masa orang tuamu marah?"
"Marah sih tidak," ujar Al. "Tidak enak saja."
Ayah dan Ibu bukan orang tua ortodoks. Mereka tidak melarang pacaran. Tapi kedatangan Aisyah tentu membuat mereka kurang nyaman. Di kampung, perempuan berani melakukan perjalanan bukan bersama muhrim kesannya kurang baik.
"Hidup jadi ribet kalau banyak mendengar omongan orang," gerutu Aisyah. "Yang penting kitanya."
"Kamu dapat izin dari Abi?"
Al tahu ayahnya sangat ketat. Dia pasti menghubungi kampus kalau anaknya telat pulang. Aisyah kelihatannya saja seperti merpati bebas, padahal kehidupannya terkontrol.
"Tidak masalah," jawab Aisyah. "Asal bawa pendamping."
"Adikmu mau jadi pendamping?"
"Dia pasti mau karena sangat suka alam pedesaan."
Tapi mereka pasti tidak suka makanan kampung. Orang tuanya tidak sanggup untuk menyediakan hidangan yang harganya ratusan ribu sekali makan. Seminggu saja mereka liburan di rumahnya, sudah ada barang terjual.
"Terus aku mengenalkan kamu ke orang tua sebagai apa?" tanya Al.
"Terserah."
"Pacar tidak mungkin. Tidak ada kamusnya di keluargamu. Tahunya ta'aruf."
"Nah, itu saja."
"Lulus saja belum."
"Jadi tunggu lulus?"
Jeleknya Al adalah suka memberi harapan palsu, meski sekedar untuk menyenangkan hati. The King of PHP kadang disandangnya.
"Jangan bicarakan hari yang belum tentu kita sampai."
Al tidak mau Aisyah berbunga-bunga membangun mimpi, tidak juga menutup harapan. Tiada seorangpun tahu apa yang terjadi di hari nanti.
"Ada yang cemburu ya kalau aku liburan di rumahmu?" selidik Aisyah penasaran. "Ada yang rindu di kampung?"
Alasan utama menolak tawaran Aisyah sebenarnya untuk menjaga hal itu. Kehadirannya pasti mengacaukan suasana kalau ratu kecil menanggung perasaan yang sama.
Ratu kecil adalah julukan Riany di masa anak-anak. Ia adalah musuh bebuyutannya dan terpaksa jadi pengantin cilik karena kalah dalam sebuah permainan.
Entah bagaimana kabarnya sekarang. Lama sekali mereka tidak bertemu. Tapi Al masih ingat raut wajahnya.
Sejak lulus SD, Al melanjutkan sekolah di Yogya. Tinggal bersama Oma sampai lulus SMA. Setelah kuliah pindah ke asrama karena jaraknya lumayan jauh ke kampus. Kini sudah tingkat akhir.
Al kadang iri pada teman kuliahnya kalau liburan tiba. Lin Wei pergi ke Hawaii, berselancar di pantai Waikiki pasti sangat mengasyikkan setelah enam bulan berkencan dengan buku. Wulandari sudah jauh-jauh hari pesan tiket promo ke Dubai. Rivaldo bahkan sudah terbang ke Las Vegas.
Sementara Al pulang saja butuh perjuangan. Antri beli tiket, berdesak-desakan, banyak copet.
Maka itu dia tidak pernah pulang.
Liburan di Yogya lebih seru. Lesehan di Malioboro sambil mendengarkan musik jalanan sungguh nikmat.
Di rumah sepi, tidak ada hiburan. Sekalinya ramai, suara Ibu ngomel-ngomel.
Orang tuanya kadang berkunjung. Ayah begitu mengagumi kota Yogya, barangkali karena perempuan yang dicintainya berasal dari sana.
Ayah mengajukan pensiun dini enam tahun lalu dan beralih profesi jadi petani buah. Mencari kehidupan yang lebih baik adalah harga mati, agar namanya tidak terpuruk di mata keluarga Ibu yang kaya raya.
Al mengayunkan langkah menelusuri trotoar di bawah pohon peneduh yang berderet rapi, sehingga terlindung dari sengatan matahari.
Ada rasa tak percaya di hatinya walau sering menerima kabar dari ibunya lewat SMS. Kalau Ayah hobinya kirim surat, mentang-mentang mantan tukang pos.
Pembangunan telah menyulap wajah kampung jadi demikian elok. Rumah megah bermunculan di sepanjang jalan. Satu dua kendaraan mewah parkir di halaman. Barangkali sekarang sulit mendengar suara jangkrik atau kungkung kodok, ladang dan huma tergusur oleh minimarket dan gerai kuliner.
Sebuah motor sport yang berhenti melintang tajam secara tiba-tiba di hadapan Al menerbangkan segenap rasa kagumnya.
"Kok jalan kaki?" tanya Arya sambil menggerungkan gas memekakkan telinga. "Angkutan umum kan banyak?"
Sejak tadi angkutan umum silih berganti membunyikan klakson. Taksi tinggal stop. Tapi Al mau lihat-lihat kampung halaman, lihat-lihat kantong juga. Yang tersisa di dompet, hanya KTP dan kartu mahasiswa.
Al memperhatikan motor yang ditumpangi adiknya. Model baru. Mahal pula. Ayah tentu pikir-pikir untuk mengeluarkan uang sebanyak itu. Lagi pula uang dari mana? Lusuhnya kertas surat yang dikirim ke Yogya menandakan ayahnya belum terbebas dari kesulitan ekonomi. Tapi Arya banyak akalnya.
"Motor siapa?" tanya Al.
"Motor aku dong," sahut Arya bangga. "Masa motor Ariel Noah?"
"Kamu bisanya cuma menyusahkan orang tua."
Arya pasti merengek minta dibelikan motor. Ia pasti mengancam mogok sekolah kalau permintaannya tidak dipenuhi, dan Ayah bisa berkorban apa saja kalau sudah urusan sekolah.
"Bukan aku yang minta," kata Arya ketika motornya sudah melaju membelah senja. "Gubernur."
"Bercanda."
"Gubernur yang membangun jalan ini. Namanya jalan raya buat lalu-lalang kendaraan. Pejalan kaki tempatnya di trotoar. Nah, kita terpaksa harus keluar modal daripada rebutan sama kaki lima dan Satpol PP."
"Kecil-kecil pintar cari kambing hitam. Mau jadi apa kalau sudah besar?"
"Asal jangan jadi kambing hitam."
Arya melambatkan laju motor dan menghidupkan lampu sen, kemudian belok memasuki pintu gerbang yang terbuka dan berhenti di jalan marmer dekat kran taman.
"Mampir di rumah siapa?" tanya Al heran. "Yang punya rental motor?"
Rumah ini sangat megah, bertingkat, modelnya unik dan menarik, dikelilingi taman yang indah.
"Sepuluh tahun meninggalkan kampung membuat kakak betul-betul lupa alamat rumah sendiri."
"Jadi...ini rumah kita?"
Al bengong. Bagaimana mereka bisa tinggal di istana?
"Ayah dan Ibu pergi ke perkebunan," kata Arya yang masuk dengan tubuh berkeringat. Biasa. Motor baru semangat juga baru. Kotor sedikit dicuci. "Sebentar lagi pulang."
"Ya," jawab Al singkat.
Dia sedang melihat-lihat keadaan rumah. Interior memantulkan kemewahan dengan lampu kristal antik. Beberapa lukisan kaligrafi dan naturalisme gotik menambah indah dan menarik. Banyaknya foto jeruk dengan berbagai perspektif. Dia hampir tak percaya kalau rumah ini adalah rumah mantan tukang pos.
"Ayah sekarang jadi crazy rich," ujar Arya. "Motor bututnya sudah dipensiunkan sejak harga jeruk impor booming. Sebagai gantinya, dia naik Nissan Elgrand."
Al terbelalak. "Pergi ke kebun bawa mobil? Sekalian saja pakai jas! Dasi!"
"Abad 21."
"Buang hajat juga ada tarifnya, begitu?"
"Mobil second, harganya tidak seberapa."
"Biar second, Nissan loh bukan batu nisan?"
"Ayah masih terbilang irit dibanding tetangga."
"Jadi Ayah menghamburkan uang karena tetangga?"
"Kamar kakak di lantai atas kalau mau istirahat," kata Arya seolah ingin menghindari perdebatan. "Aku bangunkan nanti kalau Ayah sama Ibu pulang."
Al sudah tahu yang mana kamarnya. Foto dari masa ke masa terpampang di dinding hijau daun itu. Pasti Ibu yang menyiapkan untuk menyambut kedatangannya.
Banyak di rumah ini yang tidak cocok dengan hatinya, pikir Al seraya rebahan di kasur empuk. Ayah sudah jadi petani sukses. Tapi hasil suksesnya digunakan untuk membeli barang sesuai keinginan, bukan sesuai kebutuhan.
Sayup-sayup terdengar suara orang tuanya di lantai bawah. Al segera keluar kamar dan menuruni anak tangga menemui mereka.
"Kamu sudah pulang?" seru Bu Haikal girang. "Kok nggak ngebel dulu, biar dijemput sama sopir di pertigaan?"
"Lowbat," jawab Al sambil mencium tangan ibunya. "Lagian aku biasa jalan kaki."
"Bagaimana kuliahmu?" tanya Pak Haikal saat Al mencium tangannya. "Dapat yudisium SM lagi?"
Al diam. Selalu, pertanyaan itu yang pertama menggelinding di setiap pertemuan mereka. Yang mengisi baris pertama surat yang dikirim ke Yogya. Satu-satunya pertanyaan milik ayahnya.
Pak Haikal curiga. "Kenapa? IPK jelek?"
"Mana berani aku pulang kalau ada nilai yang remedial," sahut Al tanpa semangat.
Hampir lima bulan mereka tidak bertemu, sejak terakhir kali ayahnya membawa sekeranjang jeruk sunkist. Tapi sedikitpun dia tidak mengungkit rasa rindunya.
Pak Haikal tersenyum bangga. "Bagus. Kamu sungguh pandai menghargai keringat orang tua. Prestasimu adalah sembah sujud yang terbaik."
"Ayah mau lihat transkrip nilainya?" tanya Al tanpa gairah.
"Boleh."
"Sudahlah," tegur Bu Haikal lembut. "Anak kita pulang bukan cuma buat laporan."
Berbeda dengan ibunya. Dia lebih pengertian. Kuliah bukan hanya menghadapi tebalnya diktat, banyak rintangan menghadang. Dia selalu memberi motivasi yang cukup setiap kali anaknya menghadapi masalah.
Maka itu Al banyak mengadu kepada ibunya kalau ada apa-apa, termasuk semua kejutan yang didapatnya hari ini.
"Sebenarnya apa yang Ayah cari?" tanya Al sambil memperhatikan ibunya membantu juru masak. Rumah sebesar ini tidak bisa diurus seorang diri, butuh beberapa asisten. Biaya lagi. "Kemuliaan hidup atau pujian orang?"
"Kemuliaan hidup didapat dari pujian orang," jawab Bu Haikal seolah membela suaminya. "Maka itu Ayah berhenti jadi tukang pos untuk membangun mimpi yang lebih baik. Salahkah dia mewujudkannya ketika ada kesempatan?"
"Tapi buat apa pasang parabola? Berlangganan channel? Globalisasi bukan untuk kalangan seperti kita, untuk orang yang membuat istilah itu."
"Omonganmu ketinggian."
"Pakai tangga."
"Panen apel pakai tangga?" balik Bu Haikal. "Arya minta. Katanya nonton televisi lokal pete ..."
"Bete," ralat Al.
"Tidak jauh dari sinetron dan pencitraan."
"Terus pasang WiFi?"
"Yang suka loncat di pohon itu ya?"
"Tupai."
"Semua itu keinginan Arya. Lagi Ayah suka pakai juga buat cari informasi. Dia kan ketua KUD, ketua BPD juga."
"Ibu jangan terlalu memanjakan Arya. Bisa-bisa dia jadi generasi terkontaminasi."
"Ibu pusing kalau tidak dipenuhi, segala apa disebut-sebut. Ibu jadi bete. Tapi Ibu paham maksudnya. Dia ingin kayak orang-orang."
"Ayah diam saja?"
"Kayak tidak tahu ayahmu saja. Yang penting rajin belajar."
"Cuma buat Arya."
"Buat kamu juga. Itu gempor bini ..."
"Lamborghini."
"Buat kamu itu."
Al tidak terkesan. Dia sudah melihat mobil itu di garasi. Edisi terbaru dan harganya sangat mahal.
Bu Haikal menoleh dengan penasaran. "Memangnya kamu ingin apa?"
"Aku ingin Ibu hati-hati sama Arya."
"Susah."
Arya tidak bisa hidup prihatin. Dia hanya mau sekolah jika uang jajan cukup. Prestasinya amat bergantung pada fasilitas. Untung Ayah sekarang bersahabat dengan uang. Dia tidak perlu banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya.
Diam-diam Al merasa iri. Dia makan enak paling banter kalau ada yang traktir. Telur mata sapi adalah santapan sehari-hari. Tapi mereka makan seolah mau buka restoran, dari lobster sampai salmon asap tersedia.
"Jadi kehidupan seperti ini yang coba disembunyikan oleh Ayah?" sindir Al seraya menarik kursi untuk duduk. "Sampai kirim kabar saja pakai cara tradisional. Sekalinya ngebel kehabisan pulsa."
"Ayah ingin kamu belajar prihatin," kata Pak Haikal. "Apa yang kamu lihat sekarang berasal dari prihatin."
"Sesekali tak ada salahnya dikirim uang lebih."
"Sering kan?"
"Itu buat acara seminar."
"Terus buat apa lagi?"
"Acara kan tidak cuma seminar."
"Uang bukan sahabat yang baik. Bisa berkhianat di manapun kamu berpijak, apalagi kamu jauh dari orang tua."
"Ayah tidak percaya padaku?"
"Ayah tidak percaya pada uang."
"Lagi percaya itu sama Allah," sela Arya. "Jangan sama uang."
"Anak seumur kamu baru bisa bermain kata-kata," sergah Al. "Dan rajin memindahkan kurikulum ke jalanan, mall."
"Aku sebentar lagi tamat SMA, sudah gede."
"Apalagi sudah gede! Tambah gede lagakmu!"
"Sudah," potong Bu Haikal. "Kalian semua anak Ibu, sama-sama Ibu sayangi."
Tapi mereka pilih kasih, pikir Al tawar. Dia selalu jadi nomor dua. Selalu dapat sisa. Hanya karena Arya anak bungsu! Anak manja!
"Sebagai kakak, kamu harus memberi contoh yang baik buat kemajuan studinya," ujar Pak Haikal.
"Aku sudah banyak kasih contoh. Hasilnya Arya lebih kenal Justin Bieber daripada Justin Webber."
Justin Bieber adalah seorang penyanyi berkebangsaan Kanada, sedangkan Justin Webber adalah fisikawan berkebangsaan Jerman.
"Ayah sudah hidup enak," kata Al. "Apa lagi yang diharapkan dariku?"
"Jadi kamu mengejar prestasi cuma ingin membuat Ayah bangga? Tidak punya cita-cita sendiri?"
"Cita-citaku adalah menjamin kebahagiaan Ayah dan Ibu. Kini rasa-rasanya hidupku yang terjamin."
"Harta tidak menjamin kebahagiaan seutuhnya. Hidup butuh pengakuan."
"Dari jaman ke jaman yang berkuasa adalah orang kaya, bukan doktor atau profesor."
"Karena pola pikir mereka masih berkutat sekitar perut. Orang kaya bisa mengenyangkan."
"Nah, ikuti saja ke mana air mengalir. Pandai-pandailah cari kehormatan, cari kedudukan, dan cari kambing hitam biar selamat."
"Jadi itu hasil kuliahmu di Yogya?"
Al tersenyum. "Mungut di halaman depan."
Senyum Al mendadak surut. Seorang perempuan muda dan seksi muncul dengan senyum maafnya.
"Telat ya?"
Ayah tersenyum ceria, Ibu memasang muka perang.
"Tidak ada kata telat buat kamu," jawab ayahnya.
Al memandang heran. Siapa perempuan ini?
Mata Al mengikuti wanita bertubuh semampai yang berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. Jari-jari lentik membalik piring yang tertelungkup di meja, tenang sekali, seakan tidak terpengaruh dengan muka masam ibunya.
Wanita itu menoleh ke arahnya dan tersenyum manis, kemudian bertanya, "Kamu yang bernama Al Farisi Haikal Najid?"
"Cukup Al," jawabnya. "Kamu bukan petugas KTP, kan?"
Al tak lepas memperhatikan, bukan terpesona oleh kecantikan yang menghanyutkan, rasa penasarannya belum terjawab. Siapa perempuan ini? Dia hadir dalam acara makan malam dan kelihatan sudah biasa menghadapi sikap Ibu yang tidak bersahabat.
Al tahu adiknya menyukai wanita lebih tua. Pacar yang terakhir seorang mahasiswi semester enam. Perempuan ini sangat matang. Usianya barangkali selisih beberapa tahun saja dengan ibunya. Jadi tidak mungkin pacar Arya.
Lebih tidak mungkin lagi, jodoh yang disiapkan untuknya. Perempuan lebih tua bukan tipenya. Dia kuatir dalam rumah tangga banyak digurui karena kalah pengalaman, meski belum tentu demikian.
Wanita itu memperkenalkan diri, "Jennifer Nirvana. Cukup Jen."
Dia pasti bukan warga kampung. Namanya ala metropolis. Penampilannya juga. Jennifer sepertinya anggota baru di keluarga ini. Al hapal semua kerabat yang tinggal di kota.
"Atau terserah panggil apa," kata Jennifer dengan senyum tak lepas dari bibirnya.
"Panggil pelakor," bisik Arya di telinganya. "Cocok jadi barbeque buat hidangan utama."
Al melirik sekilas ke ayahnya yang mulai siap-siap makan malam. Ibu patuh melayani, padahal mungkin hatinya berombak.
Ayah memilih wanita tidak berhijab adalah menakjubkan, karena setiap kali berkunjung ke Yogya selalu memberi ceramah tentang pentingnya bergaul dengan gadis berhijab, untuk menjaga mata bermaksiat.
Ada kesan menyalahkan lingkungan, seolah maksiat terjadi karena apa yang tersedia, padahal semua kembali pada diri sendiri. Al tidak perlu menyeleksi lingkungan untuk jadi orang baik, tapi bagaimana jadi orang baik di lingkungan yang ada.
Pelaku maksiat sulit untuk hijrah kalau tak ada lentera yang menuntun langkah mereka untuk keluar dari kegelapan. Orang di dalam kegelapan mustahil mendapatkan cahaya tanpa ada bantuan dari luar.
Maka itu Al tidak membatasi pergaulan. Teman gadisnya banyak yang berpenampilan berani. Yang penting selalu ingat untuk menjaga mata. Dia kehilangan banyak teman kalau menuruti kemauan ayahnya.
Al lebih melihat nasehat itu adalah bentuk kekhawatiran seorang ayah terhadap anaknya, takut terjerumus ke dalam pergaulan bebas.
"Namamu tidak tercatat di surat yang dikirim ke Yogya," kata Al dengan maksud menyindir ayahnya. "Jadi aku tidak tahu harus panggil apa."
Pak Haikal ternyata cukup peka. Dia memandang anaknya dengan selidik, dan bertanya, "Maksudnya apa ya? Apa hal ini perlu disampaikan dalam surat?"
Pantas saja Ayah tidak mau tahu keluh kesahnya hidup di rantau, rupanya dia menghendakinya untuk tidak mau tahu masalah yang terjadi di rumah. Apalah artinya keluarga kalau mereka harus menyelesaikan masalah sendiri-sendiri?
"Uang sudah membuat seorang petani pandai bersandiwara," sindir Al. "Sehingga bisa menciptakan suasana seolah tidak ada masalah."
Pak Haikal menatap tak mengerti. "Bersandiwara apa? Masalah apa?"
Al merasa muak. Tapi ada rasa santun yang membuatnya menahan diri. Dia angkat bahu sedikit. "Sudahlah. Kita makan sebelum hilang selera."
"Sebentar." Pak Haikal mulai membaca kesalahpahaman yang terjadi. "Kayaknya ada yang salah sambung."
Al memandang tanpa gairah. "Ada yang mau Ayah jelaskan? Terlalu banyak yang disembunyikan dariku."
"Begini." Pak Haikal merubah posisi duduknya. "Ayah tahu ke mana arah ucapanmu. Jennifer bukan seperti apa yang ada di pikiranmu. Dia istri muda Opa."
Al terpana, dan segera beristighfar karena sudah menuduh ayahnya macam-macam. Diinjaknya kaki Arya yang memberi informasi menjebak. Anak itu terpekik kesakitan.
"Ada apa?" tatap Bu Haikal kaget. "Kamu makan batu teriak kesakitan?"
Arya tersenyum menahan sakit. "Ada teror di kolong meja."
"Itu baru diinjak sama kaki kakakmu," geram Al pelan. "Belum sama kaki gajah."
Al kehilangan selera untuk makan. Istri muda Ayah atau Opa, tidak mengurangi rasa kecewanya. Ayah seharusnya menyelipkan wanita itu di surat lusuhnya, tidak hanya bercerita tentang anak singkong yang berhasil jadi cukong, dan ternyata itu adalah kisah tentang dirinya sendiri!
Al perlu tahu apa yang terjadi dengan keluarga mereka, mengapa Opa nekat mengambil madu di usia senja. Dia perlu memahami alasannya sehingga tidak keliru dalam menentukan sikap.
Selama ini rumah tangga Opa rukun-rukun saja. Tidak pernah terdengar pertengkaran yang mengganggu keharmonisan hubungan suami istri. Kemudian tiba-tiba saja beliau menikah lagi. Ada masalah apa?
"Aku sengaja datang dari Jakarta untuk bertemu denganmu," kata Jennifer.
Al tersenyum sedikit. "Aku tersanjung."
"Boleh kan aku kepingin kenal?"
"Sudah seharusnya." Al tidak bisa menghakimi seseorang tanpa mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, meski seseorang itu sangat dibenci oleh ibunya. "Opa tidak ikut?"
"Giliran di mbaknya."
Al tidak paham, ia menatap sejurus. "Mbaknya?"
"Oma," jawab Arya. "Yang ini Omu."
"Apa itu?" toleh Al.
Arya tersenyum. "Oma muda."
Usia adiknya terlalu belia untuk memahami masalah yang terjadi. Di matanya, kehadiran madu dalam rumah tangga seperti keberadaan madu dalam roti sarapan pagi. Nikmatnya sama, uang jajan makin berlimpah, minta sana sini.
"Kamu tinggal di rumah Opa?" tanya Al.
"Aku istrinya," sahut Jennifer tersenyum. "Masa tinggal di rumah masing-masing?"
"Terus Oma?"
"Bangun rumah dekat-dekat sini."
Al mengangkat sudut bibirnya sedikit. Istri tua tersingkir bukan kabar terkini. Basi banget. Opa seharusnya berlaku adil.
"Bangun sendiri," tukas Bu Haikal ketus. "Opa tidak membuatkan rumah."
"Mas Priyo ingin mbaknya tinggal serumah, tapi mbaknya kepingin sendiri."
Keinginan Opa sulit terpenuhi. Menjaga cinta satu sama lain tidak harus satu atap. Di antara mereka pasti ada cemburu dan bisa mengarah ke emosi kalau tinggal satu atap. Istri Nabi saja memiliki rumah masing-masing. Atau Opa ingin disebut lelaki hebat karena mampu membuat istri-istrinya tinggal satu rumah?
"Siapa yang sudi tinggal satu atap sama madu?" sambar Bu Haikal pedas.
Ibu kelihatannya sudah mengambil garis keras. Dia tidak mau mengakui kalau Jennifer jadi bagian dari keluarga besar.
"Banyak," kata Jennifer santai.
"Siapa?" pandang Bu Haikal sinis. "Kerabatmu?"
Jennifer tersenyum kecil. Senyum itu justru membuat ibunya jijik. Dia harusnya tidak banyak bicara. Apapun yang dikatakan tidak ada benarnya.
Ibu adalah seorang muslimah yang taat. Tapi urusan istri muda bukan perkara yang gampang diterima. Bukan tidak mengimani sunah rasul, tapi apa benar wanita itu hadir karena sunah rasul?
"Ada satu rumah sampai empat," ujar Jennifer. "Dan mereka hidup rukun."
"Perempuan itu pasti kayak kamu!"
Perdebatan makin tidak terkendali. Al jadi pendengar setia. Dia tidak pernah terlibat dalam perdebatan orang tua kecuali diminta pendapat, apalagi untuk masalah sensitif. Ayahnya saja tidak bisa berbuat banyak.
Makan malam jadi tidak nyaman.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!