Mereka yang masih berada di depan pintu kaget bukan main dan langsung pergi secepat kilat meninggalkan perusahaan ini. Mata Putri terfokus pada pintu bertuliskan CEO, bukan hanya bunyi gelas pecah yang terdengar, berbagai benda pun beriringan membuat gaduh.
Kakinya melangkah mendekati pintu tersebut. Menatapnya lama. Ia ingin mengecek ke dalam ruangan tersebut namun hatinya ragu. Badannya berbalik segera menjauh dari ruangan itu.
"Hei, kau! Bisa kemari sebentar."
Tubuh Putri mematung, refleks menelan saliva. Mendengar suaranya saja sudah membuat ia tertekan, pantaslah dua karyawan tadi keluar dengan kondisi seperti itu.
"Kau mendengar saya kan?"
Putri membalikan tubuhnya menatap lawan bicaranya. Dalam sekejap ia bisa menebak orang yang kini berada di hadapannya sekarang. Persis seperti perkataan Meera, sulit untuk tidak terpesona oleh wajahnya yang tampan, Putri pun terdiam seketika dan hanya menatap wajah itu.
Andrian Irmansyah, CEO (Chief Excecutive Officer) Firma Grup: perusahaan swasta yang bergerak di bidang property tempat Putri bekerja sekarang. Memiliki paras yang rupawan. Matanya tajam, hidung mancung, rahang yang tegas dan rambut yang selalu tertata rapi, membuatnya terkenal dikalangan karyawan perempuan, seringkali menjadi perbincangan yang tidak mengenakan karena sikapnya yang terkesan pemarah.
"Kau tuli?!"
Putri terperanjat mendengar suara Andrian yang meninggi. Kepalanya spontan menunduk meminta maaf.
"Bereskan yang di dalam." Titahnya sambil membuka pintu lebar-lebar.
Kepala Putri menjulur melihat ruangan tersebut sudah seperti kapal pecah. Benda-benda tergeletak tidak pada tempatnya, sangat berantakan.
"Saya akan mengambil peralatan dulu." Ucapnya masih dengan kepala menunduk. Andrian hanya berdehem lalu masuk kembali ke dalam ruangannya.
Helaan napas keluar dari mulutnya, berbicara dengan CEO membuatnya tidak bisa bernapas dengan bebas. Setiap perkataannya mampu menelan kepercayaan diri seseorang hanya tunduk kepadanya.
"Kenapa bisa setampan itu sih? Tapi sifatnya jelek banget." Dalam perjalanan menuju pantry ia meracau. "Ayo hindari dia dan segera selesaikan tugasnya."
Beberapa menit kemudian Putri kembali ke ruangan CEO dengan membawa peralatan yang dibutuhkan. Tangannya dengan telaten membersihkan kekacauan yang ada. Sementara Andrian sibuk dengan tumpukan dokumen yang ada di mejanya.
Brak!
Putri terperanjat kaget, Andrian tiba-tiba saja memukul mejanya sendiri.
"Enggak ada yang beres." Dia bergumam masih fokus mengecek dokumen.
Putri hanya memperhatikan dari jauh sambil meletakan barang-barang ke tempat asalnya. Ia bekerja dalam diam, namun rasa frustasi yang di alami Andrian seakan tertular. Pekerjaannya begitu sangat berisik.
Sebuah dokumen diremasnya lalu dilempar ke sembarang arah. Putri Menghela napas dalam, mengambil dokumen yang sudah tidak berbentuk lalu memasukannya ke tempat sampah.
Andrian sangat serius dengan pekerjaannya. Setumpukan dokumen pun sudah selesai di tanda tangani. Lalu ia menelepon sekretarisnya untuk datang segera ke ruangannya.
Suara pintu diketuk terdengar. Andrian bergeming dari duduknya seraya berteriak menyuruh orang itu masuk. Dengan sikap yang santun seorang berbadan tegap masuk ke dalam ruangannya.
"Bawa semua dokumen ini." Titahnya. Sekretaris itu langsung mengambil dokumen yang tertumpuk di atas meja. Keningnya mengerut, pasalnya dokumen yang berada di tangannya kini menjadi lebih sedikit.
"Hanya segini pak?" tanya sekretaris itu. Andrian menyemirikan senyum.
"Dokumen yang tidak penting sudah saya singkirkan. Kau boleh mengeceknya kembali lalu lengkapi yang tidak ada. Jangan sampai ada kesalahan lagi." Nadanya begitu dingin.
Sekretaris itu hanya bisa menurut kemudian keluar dari ruangan ini.
Rasa lelah membuat Andrian menjatuhkan kepalanya di atas meja. Seminggu ini baginya tidak ada yang beres sama sekali. Waktunya disibukkan hanya untuk bekerja, sangat berbeda dengan dulu. Tapi dia senang karena bisa memimpin perusahaan dengan kerja kerasnya.
Satu cangkir terlihat dalam pandangannya. Kepala Andrian sontak mendongkak keheranan melihat wanita dengan pakaian OG sedang berdiri di dekatnya mengulurkan cangkir itu.
"Apa ini?"
"Ko-kopi,"
"Untuk apa?"
"Saya lihat Pak Andrian sepertinya kelelahan, jadi saya membuatkan kopi."
Andrian menelengkan kepalanya melihat pada papan nama di saku kiri baju wanita itu.
"Putri Lily," Ia menyerukan namanya, "apa kamu tidak takut dengan saya?"
Manik mata Putri bergetar. "Sa-saya ... takut. Tap-tapi saya lihat anda benar-benar kelelahan, jadi silahkan diminum."
Hening. Andrian hanya menatap wajah Putri yang membuat wanita itu kembali merasa tertekan.
"Ka-kalau tidak mau biar saya saja yang minum." Putri hendak mengambil cangkir kopi itu kembali, namun tangannya dengan cepat digenggam oleh Andrian.
"Jangan gugup."
Mata keduanya saling bertemu. Debaran menyelinap masuk di hati mereka. Andrian yang merasakan itu langsung menepiskan tangannya.
"Dari tadi kamu belum pergi?"
"Belum."
"Kenapa tidak pergi?"
"Tadi saya memang berniat begitu. Tapi, ruangan ini selalu berantakan." Putri mendelik, "apalagi beberapa kertas melayang ke mana-mana. Kalau saya tinggalkan ruangan ini akan menjadi berantakan lagi."
Tawa Andrian pecah sampai sudut matanya berair. "Cuma kamu yang berani begitu."
"Hemm?" Putri keheranan.
"Kamu sudah punya kekasih belum?"
Pertanyaan tak terduga meluncur dari mulut Andrian, sontak membuat kedua mata Putri membulat sempurna.
"Hah?!"
Andrian tersenyum lalu mengulurkan tangannya. "Mana hapemu?" Putri yang masih kebingungan mengeluarkan handphone dari dalam kantong. Andrian menerimanya entah apa yang ia lakukan.
"Kita sudah bertukar nomor telepon sekarang. Aku akan menghubungi kamu nanti." Andrian mengembalikan handphone itu, Putri segera menerimanya lalu tanpa sepatah kata pun wanita itu pergi dari sana.
Sesampainya di pantry tempat para pegawai beristirahat, Putri duduk temenung sambil memegangi handphone-nya. Sebuah tepukan di pundak membuatnya sedikit terperanjat.
"Kenapa melamun? Jam pulang sebentar lagi."
"Bukan begitu mbak. Emm... sepertinya aku sudah membuat kesalahan."
Meera yang berdiri langsung duduk di samping Putri.
"Kenapa? Ada apa?"
"Tadi aku disuruh membersihkan ruangan Pak Andrian, lalu ..." Meera menatapnya penuh keingintahuan, "tanpa disuruh, aku membuatkannya kopi."
"Oh, mbak kira kenapa." Meera tersenyum.
"Dia meminta hapeku, lalu kami bertukar nomor telepon."
Mendengar itu membuat Meera melotot tak percaya. Dia menundukkan kepalanya berbisik di samping Putri.
"Kamu serius?" Putri mengangguk, handphone yang digenggam diperlihatkannya. "Enggak boleh ada yang tau soal ini." Ucapnya lagi.
"Kenapa?" Putri bertanya pelan.
"Karena mereka akan iri."
Putri menjadi semakin penasaran. "Siapa?"
Meera mengawasi sekitar lalu kembali berbisik. "Pokoknya ada deh. Kamu beruntung banget." Lalu tersenyum sumringah.
"Kok beruntung?"
"Pak Andrian itu orang yang susah didekati, bahkan dia sangat cuek dengan wanita lain. Sedikit banget orang yang tahu nomor pribadinya. Sepertinya dia tertarik sama kamu."
"Hah! Aku?" Putri menunjuk dirinya sendiri. "Nggak mungkin mbak, apa yang istimewa dariku? Bahkan kita saja baru bertemu tadi?"
"Kamu cantik Putri, walau cubby." Meera mencubit pipi Putri. "Prihal jodoh enggak ada yang tahu." Tambahnya membuat Putri kembali merenung.
Pekerjaan hari pertama cukup lancar, Putri mulai terbiasa dengan semuanya. Dia berjalan pulang ke kosannya. Ia teringat kembali sosok misterius yang berada di kamarnya kemarin malam.
Ia jelas melihat ada pria di sana, tapi kenapa orang lain tidak melihat keberadaannya? Apa mungkin pria itu hantu?
Tanpa sadar Putri menyentuh bibirnya, seketika dia mengingat kembali bagaimana ciuman pertamannya itu diambil oleh ‘hantu'.
“Akhhh! Kenapa bisa begini?” Putri berjalan pelan menuju kosannya sesekali mengacak-acak rambutnya sedikit frustasi. Rasa lelah bekerja terganti oleh kekesalan yang terjadi semalam.
“Ciuman pertamaku....” keluhnya. Kenapa dia harus mengalami kejadian tersebut.
Putri menundukan kepalanya tidak mau bila ada orang yang mengetahui kalau ia sedang menangis sekarang.
Padahal ia berjanji pada dirinya sendiri akan memberikan ciuman pertama itu pada pria yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Tapi, semua harapan itu musnah seketika karena hantu yang tidak tahu diri berani menciumnya tanpa izin.
Sesampainya di kosan. Putri mulai mengendap-endap melihat sekeliling kamarnya lewat kaca jendela yang ada di sebelah pintu. Tidak terlihat ada seseorang di sana. Perasaannya masih kalut, akan tetapi ia sangat kelelahan dan ingin segera mengistirahatkan tubuhnya.
Setelah pintu yang terkunci di buka, Putri masuk dengan hati hati. Ia merasa lega karena tidak menemukan siapa pun. Segera tubuhnya berbaring di kasur. Pandangan matanya menatap langit-langit.
Ia meraih hape yang berada di dalam tas, membuka daftar kontak, mencari nomor baru yang tersimpan. Bibirnya seketika menyungging senyum.
"CEO-ku dengan tambahan gambar hati." Begitulah nama yang tersemat dalam kontak yang baru ditambahkan.
Putri mengecek pada aplikasi percakapan berwarna hijau. Rasa keingintahuan menuntunnya untuk melihat foto profil yang tersemat. Wajah yang tampan namun pemarah itu terlihat.
Sulit sekali mengatur senyum yang terus mengembang di bibirnya.
Detik itu juga sebuah panggilan masuk mengagetkan dirinya. Handphone yang di pegangnya terlepas dan jatuh tepat ke atas wajahnya.
"Aw!" teriaknya karena terasa begitu sakit mengenai hidung.
Ia bangkit dari tidurnya sambil mengusap wajah yang berkedut. Tanpa disangka Andrian akan menghubunginya secepat itu dan di waktu yang salah. Putri masih mengusap wajahnya yang kini terasa perih.
"Haruskah aku angkat?"
Handphone-nya terus bergetar. Akhirnya ia memutuskan untuk mengangkatnya sebagai formalitas.
"Iya, Pak Andrian. Ada yang bisa saya bantu?"
Terdengar suara tawa dari seberang sana, Putri menautkan kedua alisnya.
Apa yang lucu?
"Santai saja bicaranya. Aku mau lebih dekat denganmu."
"Baik,"
"Sekarang kamu lagi apa?"
"A-aku lagi istirahat." Walau terasa canggung berbicara santai terhadap atasan, tapi Putri mengikuti sesuai perintahnya.
"Jangan lupa makan, ya. Atau mau makan bersama? Aku akan menjemput kamu sekarang."
"Enggak, nggak usah." Cepat Putri menjawab.
"Kenapa?" terdengar kekecewaan dari suaranya.
"Aku sudah makan. Iya ... pas sampai aku langsung makan."
"Oh, ya sudah kalau begitu. Kapan-kapan kita makan bersama ya." Putri terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. "Ini terlalu cepat ya?"
"Apaanya?"
"Enggak apa-apa. Ya sudah, kamu kembali istirahat sana. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sekarang. Sampai besok dan mimpi yang indah."
Sambungan pun selesai.
Putri membeku, wajahnya terasa sangat panas, hatinya berdebar tak keruan. Ada apa dengannya, apa ia sakit? Hatinya sedikit tidak wajar. Menerima perlakuan yang hangat membuatnya terasa sangat istimewa.
"Enggak boleh Putri!" Ia memperingati dirinya sendiri. Mengingat derajat mereka sangatlah berbeda.
Andrian seorang CEO dengan kekayaan yang melimpah. Sedangkan dirinya hanya seorang OG dengan latar belakang yang tidak jelas. Sebelum rasa itu terus tumbuh lebih baik ia menjaga jarak dengan CEO itu.
Putri menggenggam handphone-nya erat, kembali merenung pada takdirnya, tanpa ia sadari ada seseorang yang berada di sampingnya.
“Telepon dari siapa?”
“Ini dari Andri ... an ... !?”
Putri menelan saliva dengan susah payah. Ia baru menyadari sesuatu. Bukankah ia sedang sendirian di sini? lalu siapa orang yang bertanya tadi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments