Immature Husband
"Kamu lihat laptopku nggak Nes?!"
Pagi buta di musim penghujan aku kembali mengumpat. Sepuluh kali sejak Marco—suamiku bangun tidur hingga bersiap berangkat ke kampus. Aku sudah bersabar sampai urat nadiku hampir putus seandainya Marco paham dengan situasi. Namun, suamiku yang tidak tahu diri itu terus memancing emosiku.
"Bantu cari donk Nes, aku udah hampir telat nih!" teriak Marco dari balik kamar.
Aku mengacak koleksi bukuku dan beralih menuju kolong meja, tapi laptop sialan itu tidak terlihat rimbanya. Aku bersumpah kemarin masih melihat benda itu menyala di pangkuan Marco. Namun, sang pemilik yang asyik bermain game online hingga larut kemungkinan lupa meletakkan laptop itu. Bodohnya aku justru membantu Marco mencari benda yang mungkin saja sudah dimasukkan ke tong sampah.
"Ketemu nggak Nes?!" tanya Marco menghampiriku dengan napas terengah.
Aku menggeleng. "Nggak."
"Aku simpan semua data di sana, lupa belum aku salin ke flashdisk. Nes, aku bakalan mati di bantai pak Sakur. Besok terakhir ngumpulin tugas, gimana nih?!"
Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengatur emosiku. Menghadapi Marco dan sikap cerobohnya aku harus menjadi orang paling sabar.
"Nanti aku bantu," ucapku singkat.
"Aku tagih janjimu Nes."
Suara klakson motor menyebabkan Marco kabur sebelum aku mengatakan sesuatu. Aku mengintip dari balik tirai memperhatikan Marco yang tertawa lebar bersama seorang perempuan. Pemandangan yang biasa aku lihat setiap hari sabtu karena perempuan itu selalu menjemput Marco dan pulang hingga larut malam. Entah hubungan apa yang dimiliki keduanya, aku sama sekali tidak peduli.
Sabtu yang dingin ini aku membatalkan niatku bermalas-malasan. Persediaan makanan menipis dan waktunya aku belanja mingguan. Jadwal rutin setelah aku menikah. Tentu saja Marco tidak selalu menemaniku berbelanja karena laki-laki itu disibukkan dengan tugas kuliah.
Sial.
Sebelas kalinya aku mengumpat.
Hujan kembali turun menyebabkan aku terpaksa berteduh di halte saat mobilku mogok. Hari yang sial itu belum sepenuhnya berakhir karena sebuah mobil menginjak genangan air. Aku kembali mengumpat saat menyadari pakaianku basah terciprat air yang disebabkan oleh mobil tadi.
"Vanessa!"
Lambaian tangan seseorang yang aku kenal membuatku sumringah. Setengah berlari aku masuk ke mobil Pram—bosku. Di tengah hujan deras yang mengguyur Bandung aku tidak menyangka akan bertemu Pram. Bos super sibuk mendadak memiliki waktu luang berkendara di tengah hujan deras.
"Mau kemana Nes?" tanya Pram setelah memastikan aku memakai sabuk pengaman.
"Belanja pak," jawabku sopan merasa canggung berada satu mobil tanpa seorang sopir.
"Sendiri?"
"Iya pak."
Hening sejenak karena aku sibuk mengirim pesan singkat pada Marco. Meminta laki-laki itu mengambil mobilku di bengkel. Jika tidak dihubungi Marco sudah pasti tidak peduli mengenai mobilku. Aku menarik napas kasar saat melihat pesan balasan yang dikirimkan Marco.
Aku sibuk Nes. Kamu ambil sendiri aja ya, besok kan masih hari minggu.
Aku memasukkan ponselku ke dalam tas tanpa berniat membalas pesan Marco. Kepalaku terasa berat akibat kehujanan tadi. Kebiasaan buruk jika terkena hujan pasti terserang flu. Aku menyandarkan kepalaku menghadap samping melihat jejeran pohon melalui kaca mobil. Sekilas aku melihat pengendara motor, tapi mobil Pram mengambil jalur berbeda. Aku menoleh ke belakang dan benar saja Marco dan perempuan tadi berbelok arah. Sibuk yang dikatakan laki-laki itu rupanya menghabiskan waktu bersama perempuan lain.
Dasar bocah sialan!
"Kenapa Nes?"
"Nggak apa-apa pak," ucapku enggan.
"Kamu kelihatan pucat, pasti karena kehujanan tadi ya."
Sepertinya bosku berbakat menjadi cenayang sehingga bisa menebak kebiasaan lamaku.
"Saya cuma kecapekan pak," ucapku berbohong.
"Kemarin kamu habis dari pulau Bintan kan?" tanya Pram.
"Iya pak saya gantikan Basya periksa pembangunan resort."
"Saya sudah minta orang gantikan kamu awasi pembangunan resort itu. Vanessa, kamu bisa ambil cuti buat hari senin. Perhatikan kesehatan kamu di musim penghujan seperti sekarang."
Kepalaku semakin berdenyut mendengar ucapan Pram yang merambat entah ke mana. Topiknya masih seputar pembangunan resort di Bintan, tapi menyinggung pernikahan sepupunya. Aku pernah mendengar sejarah keluarga Pram sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Memiliki banyak aset pribadi serta kekayaan yang tidak akan habis tujuh turunan.
"Bagi saya pernikahan itu sakral. Keputusan menikah bukan demi menyenangkan orang lain, tapi berdasarkan kesiapan mental menjalani kehidupan rumah tangga. Saya menemukan banyak kasus pernikahan tanpa cinta dan berakhir di meja hijau. Vanessa, saya tidak ingin kamu menjadi salah satu dari mereka."
Aku berpura-pura memahami ucapan Pram sekaligus mengutuk mobil yang aku tumpangi ini sangat lambat. Aku tidak ingin terjebak bersama bosku lebih lama, kebohonganku bisa saja terbongkar.
"Nes, saya lupa kalau kamu mau belanja. Saya malah bawa kamu ke Bogor, bagaimana ini?"
Aku tertawa keras hampir menangis menyadari Pram melupakan tujuanku. Pantas saja perjalanan ini tidak memiliki akhir.
"Saya boleh mengumpat tidak pak?"
***
Ponsel berbunyi dari balik tas membuatku terbangun dari tidur. Aku mengucek mata dan melihat nama Marco muncul di layar.
Tumben anak itu menghubungiku.
Aku berdehem pelan sebelum menempelkan ponsel di telinga. "Kenapa?" tanyaku serak.
"Kamu di mana Nes?"
Aku melihat sekelilingku yang mulai gelap, mobil masih bergerak membawaku entah ke mana. Pram fokus menyetir membuatku sungkan bertanya tujuan bosku itu.
"Nggak tahu," ucapku jujur.
"Kunci rumah kamu bawa kan?"
Aku mendengus, alasan Marco menghubungiku ternyata karena kunci rumah.
"Iya," jawabku pendek.
"Pulang sekarang!"
Kesabaranku menghadapi Marco sudah sampai batas akhir. Seenaknya saja membentak orang padahal aku ini istrinya. Memang sih kesalahanku membawa kunci beserta cadangannya karena aku pikir bakalan pulang sebelum Marco.
"Kamu tidur aja di gazebo buat semalam."
"Suamimu disuruh tidur di gazebo, mau jadi istri durhaka Nes?!"
Ingat juga kalau aku istrinya.
"Vanessa, saya belikan pakaian buat kamu. Di depan sana kelihatanya masih ada toko yang buka." Pram melirikku sekilas.
Aku mengangguk mengalihkan perhatianku dari ponsel. Hujan semakin deras membuatku tidak begitu mendengar suara Marco dari seberang.
"Kamu sama siapa Nes?!"
Teriakan super kencang hampir memecah gendang telingaku. Aku menjauhkan ponsel dari telinga barang sejenak memikirkan alasan tepat.
"Nes?!"
Punya suami hobi teriak-teriak!
"Kamu selingkuh di belakangku Nes?!"
Aku belum menjawab sepatah kata pun Marco sudah menyerangku dengan tuduhan palsu. Anak itu sama sekali tidak bisa bersikap dewasa. Aku sudah bersabar menerima sikap semena-mena Marco tanpa protes. Termasuk pergi bersama teman perempuannya setiap hari sabtu. Sementara aku baru pergi sekali dia sudah menuduhku macam-macam.
Life is not fair. Damn it!
Aku kembali mengumpat bersamaan dengan mobil Pram berhenti di sebuah toko pakaian wanita.
"Aku ke Bogor sama bosku, ada kerjaan yang nggak bisa ditunda. Kamu nginap semalam di hotel nanti uangnya aku ganti. Besok aku pulang, udah ya jangan marah."
Tuh kan, justru aku yang membujuk anak itu. Tingkat kewarasanku menurun saat berhadapan dengan Marco.
"Terus kamu nginap di hotel sama bosmu?" Suara Marco terdengar sinis. "Kita belum malam pertama Nes, kamu jangan macam-macam ya."
"Kamu jangan bahas soal nggak penting Mark." Aku mulai terpancing emosi.
"Jangan menghindar Nes, aku memang masih labil, tapi aku ngerti affair bos sama bawahannya. Ingat kamu itu udah nikah, kita juga belum pernah ngapa-ngapain. Aku nggak bisa masuk rumah kamu malah pergi sama bosmu. Kamu hargai aku nggak Nes?!"
Marco sudah mulai memperkeruh suasana.
"Yang nggak mau malam pertama itu kamu kan? Katanya kamu impoten, makanya aku setuju kita pisah kamar. Kenapa kamu malah bahas soal ini?!"
Aku ikut nyolot untungnya Pram sudah masuk ke toko sehingga tidak melihat kedua bola mataku nyaris terlempar.
"Aku nggak impoten, kapan aku bilang gitu?"
Aku bungkam merasa Marco tidak pernah mengatakan tentang itu. Lalu dari siapa aku mendengarnya?
"Balik sekarang Nes! Aku mau buat perhitungan sama kamu!"
"Perhitungan apa?! Aku bukan budak yang bisa kamu suruh seenaknya ya Mark!"
"Aku mau buat kamu hamil Nes!"
Marco sudah gila dan kepalaku semakin berdenyut. Aku yakin sebentar lagi aku akan pingsan di mobil Pram. Bosku itu belum terlihat wujudnya, aku sudah tidak kuat menahan drama suami istri ini.
"Ingat Nes, aku nggak impoten."
Aku menarik napas panjang bersiap mengeluarkan semua amarahku.
"Impoten atau nggak bukan urusanku! Kamu selingkuh sama perempuan lain, setiap sabtu pergi bareng dia tengah malam baru pulang. Kamu nggak bisa atur-atur aku seenaknya, aku manusia merdeka punya hak asasi manusia. Ngerti nggak?!"
Tidak ada sahutan rupanya panggilan itu sudah berakhir.
"Marco, sialan!"
Deheman dari samping membuatku terkejut, Pram sudah duduk di balik kemudi sambil memasang ekspresi canggung. Semoga saja bosku itu tidak mendengar umpatan dan perbuatanku meninju dashboard mobil mewah miliknya.
"Saya sudah belikan pakaian ganti buat kamu, nanti kalau sudah sampai villa kamu bisa ganti di sana," ucap Pram menyerahkan bungkusan padaku.
Aku tersenyum kecil. "Makasih pak."
"Maaf ya saya bawa kamu tanpa izin. Kalau saya bilang dari awal kamu pasti tidak setuju."
"Maksud bapak?" tanyaku bingung.
"Venessa sekali lagi saya minta maaf."
Aku belum memahami maksud ucapan itu dan secara tiba-tiba Pram mencondongkan wajahnya ke arahku. Aku mundur ke belakang khawatir ada setan lewat dan membuatku lupa ingatan. Namun, Pram sudah menarik wajahku sebelum aku menyadari suatu hal. Otakku membeku seperti kepingan es di kutub utara, jejak hangat yang menempel di bibirku serta bayangan Marco membawa pisau daging bersiap membunuhku.
"Maaf Vanessa."
Aku mengangguk lalu menyentuh bibirku bekas usapan jari Pram. Apa maksudnya laki-laki itu mengusap bibirku?
"Ini maksudnya apa ya pak?" tanyaku langsung.
Pram tersenyum kecil. "Kamu pasti capek ngomong dari tadi, jadi saya cuma membantu kamu merilekskan wajah."
Sejak kapan ada hukum seperti itu? Aku menatap Pram tidak mengerti.
"Pak, anak saya sudah menunggu di rumah. Tolong antar saya pulang ya pak."
Mobil berhenti mendadak membuatku hampir mencium dashboard. Aku melirik Pram yang memucat. Marco, setelah kejadian ini jangan pernah mengungkit tentang perselingkuhan!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Rizki Setiawan
nice novel kak
2022-01-11
1
Mayya_zha
hai ka. aku mampir di sini
2021-12-13
1
Lemon Tree
ceritanya bagus bahasanya lugas 👍
2021-11-25
1