NovelToon NovelToon

Immature Husband

Umpatan

"Kamu lihat laptopku nggak Nes?!"

Pagi buta di musim penghujan aku kembali mengumpat. Sepuluh kali sejak Marco—suamiku bangun tidur hingga bersiap berangkat ke kampus. Aku sudah bersabar sampai urat nadiku hampir putus seandainya Marco paham dengan situasi. Namun, suamiku yang tidak tahu diri itu terus memancing emosiku. 

"Bantu cari donk Nes, aku udah hampir telat nih!" teriak Marco dari balik kamar.

Aku mengacak koleksi bukuku dan beralih menuju kolong meja, tapi laptop sialan itu tidak terlihat rimbanya. Aku bersumpah kemarin masih melihat benda itu menyala di pangkuan Marco. Namun, sang pemilik yang asyik bermain game online hingga larut kemungkinan lupa meletakkan laptop itu. Bodohnya aku justru membantu Marco mencari benda yang mungkin saja sudah dimasukkan ke tong sampah. 

"Ketemu nggak Nes?!" tanya Marco menghampiriku dengan napas terengah.

Aku menggeleng. "Nggak."

"Aku simpan semua data di sana, lupa belum aku salin ke flashdisk. Nes, aku bakalan mati di bantai pak Sakur. Besok terakhir ngumpulin tugas, gimana nih?!"

Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengatur emosiku. Menghadapi Marco dan sikap cerobohnya aku harus menjadi orang paling sabar.

"Nanti aku bantu," ucapku singkat.

"Aku tagih janjimu Nes."

Suara klakson motor menyebabkan Marco kabur sebelum aku mengatakan sesuatu. Aku mengintip dari balik tirai memperhatikan Marco yang tertawa lebar bersama seorang perempuan. Pemandangan yang biasa aku lihat setiap hari sabtu karena perempuan itu selalu menjemput Marco dan pulang hingga larut malam. Entah hubungan apa yang dimiliki keduanya, aku sama sekali tidak peduli.

Sabtu yang dingin ini aku membatalkan niatku bermalas-malasan. Persediaan makanan menipis dan waktunya aku belanja mingguan. Jadwal rutin setelah aku menikah. Tentu saja Marco tidak selalu menemaniku berbelanja karena laki-laki itu disibukkan dengan tugas kuliah. 

Sial.

Sebelas kalinya aku mengumpat. 

Hujan kembali turun menyebabkan aku terpaksa berteduh di halte saat mobilku mogok. Hari yang sial itu belum sepenuhnya berakhir karena sebuah mobil menginjak genangan air. Aku kembali mengumpat saat menyadari pakaianku basah terciprat air yang disebabkan oleh mobil tadi.

"Vanessa!"

Lambaian tangan seseorang yang aku kenal membuatku sumringah. Setengah berlari aku masuk ke mobil Pram—bosku. Di tengah hujan deras yang mengguyur Bandung aku tidak menyangka akan bertemu Pram. Bos super sibuk mendadak memiliki waktu luang berkendara di tengah hujan deras. 

"Mau kemana Nes?" tanya Pram setelah memastikan aku memakai sabuk pengaman. 

"Belanja pak," jawabku sopan merasa canggung berada satu mobil tanpa seorang sopir. 

"Sendiri?" 

"Iya pak."

Hening sejenak karena aku sibuk mengirim pesan singkat pada Marco. Meminta laki-laki itu mengambil mobilku di bengkel. Jika tidak dihubungi Marco sudah pasti tidak peduli mengenai mobilku. Aku menarik napas kasar saat melihat pesan balasan yang dikirimkan Marco. 

Aku sibuk Nes. Kamu ambil sendiri aja ya, besok kan masih hari minggu. 

Aku memasukkan ponselku ke dalam tas tanpa berniat membalas pesan Marco. Kepalaku terasa berat akibat kehujanan tadi. Kebiasaan buruk jika terkena hujan pasti terserang flu. Aku menyandarkan kepalaku menghadap samping melihat jejeran pohon melalui kaca mobil. Sekilas aku melihat pengendara motor, tapi mobil Pram mengambil jalur berbeda. Aku menoleh ke belakang dan benar saja Marco dan perempuan tadi berbelok arah. Sibuk yang dikatakan laki-laki itu rupanya menghabiskan waktu bersama perempuan lain.

Dasar bocah sialan!

"Kenapa Nes?"

"Nggak apa-apa pak," ucapku enggan.

"Kamu kelihatan pucat, pasti karena kehujanan tadi ya."

Sepertinya bosku berbakat menjadi cenayang sehingga bisa menebak kebiasaan lamaku. 

"Saya cuma kecapekan pak," ucapku berbohong.

"Kemarin kamu habis dari pulau Bintan kan?" tanya Pram.

"Iya pak saya gantikan Basya periksa pembangunan resort."

"Saya sudah minta orang gantikan kamu awasi pembangunan resort itu. Vanessa, kamu bisa ambil cuti buat hari senin. Perhatikan kesehatan kamu di musim penghujan seperti sekarang."

Kepalaku semakin berdenyut mendengar ucapan Pram yang merambat entah ke mana. Topiknya masih seputar pembangunan resort di Bintan, tapi menyinggung pernikahan sepupunya. Aku pernah mendengar sejarah keluarga Pram sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Memiliki banyak aset pribadi serta kekayaan yang tidak akan habis tujuh turunan. 

"Bagi saya pernikahan itu sakral. Keputusan menikah bukan demi menyenangkan orang lain, tapi berdasarkan kesiapan mental menjalani kehidupan rumah tangga. Saya menemukan banyak kasus pernikahan tanpa cinta dan berakhir di meja hijau. Vanessa, saya tidak ingin kamu menjadi salah satu dari mereka."

Aku berpura-pura memahami ucapan Pram sekaligus mengutuk mobil yang aku tumpangi ini sangat lambat. Aku tidak ingin terjebak bersama bosku lebih lama, kebohonganku bisa saja terbongkar. 

"Nes, saya lupa kalau kamu mau belanja. Saya malah bawa kamu ke Bogor, bagaimana ini?"

Aku tertawa keras hampir menangis menyadari Pram melupakan tujuanku. Pantas saja perjalanan ini tidak memiliki akhir.

"Saya boleh mengumpat tidak pak?"

***

Ponsel berbunyi dari balik tas membuatku terbangun dari tidur. Aku mengucek mata dan melihat nama Marco muncul di layar.

Tumben anak itu menghubungiku.

Aku berdehem pelan sebelum menempelkan ponsel di telinga. "Kenapa?" tanyaku serak.

"Kamu di mana Nes?"

Aku melihat sekelilingku yang mulai gelap, mobil masih bergerak membawaku entah ke mana. Pram fokus menyetir membuatku sungkan bertanya tujuan bosku itu.

"Nggak tahu," ucapku jujur.

"Kunci rumah kamu bawa kan?"

Aku mendengus, alasan Marco menghubungiku ternyata karena kunci rumah. 

"Iya," jawabku pendek.

"Pulang sekarang!"

Kesabaranku menghadapi Marco sudah sampai batas akhir. Seenaknya saja membentak orang padahal aku ini istrinya. Memang sih kesalahanku membawa kunci beserta cadangannya karena aku pikir bakalan pulang sebelum Marco.  

"Kamu tidur aja di gazebo buat semalam."

"Suamimu disuruh tidur di gazebo, mau jadi istri durhaka Nes?!"

Ingat juga kalau aku istrinya.

"Vanessa, saya belikan pakaian buat kamu. Di depan sana kelihatanya masih ada toko yang buka." Pram melirikku sekilas. 

Aku mengangguk mengalihkan perhatianku dari ponsel. Hujan semakin deras membuatku tidak begitu mendengar suara Marco dari seberang.

"Kamu sama siapa Nes?!"

Teriakan super kencang hampir memecah gendang telingaku. Aku menjauhkan ponsel dari telinga barang sejenak memikirkan alasan tepat. 

"Nes?!"

Punya suami hobi teriak-teriak!

"Kamu selingkuh di belakangku Nes?!"

Aku belum menjawab sepatah kata pun Marco sudah menyerangku dengan tuduhan palsu. Anak itu sama sekali tidak bisa bersikap dewasa. Aku sudah bersabar menerima sikap semena-mena Marco tanpa protes. Termasuk pergi bersama teman perempuannya setiap hari sabtu. Sementara aku baru pergi sekali dia sudah menuduhku macam-macam.

Life is not fair. Damn it!

Aku kembali mengumpat bersamaan dengan mobil Pram berhenti di sebuah toko pakaian wanita. 

"Aku ke Bogor sama bosku, ada kerjaan yang nggak bisa ditunda. Kamu nginap semalam di hotel nanti uangnya aku ganti. Besok aku pulang, udah ya jangan marah."

Tuh kan, justru aku yang membujuk anak itu. Tingkat kewarasanku menurun saat berhadapan dengan Marco.

"Terus kamu nginap di hotel sama bosmu?" Suara Marco terdengar sinis. "Kita belum malam pertama Nes, kamu jangan macam-macam ya."

"Kamu jangan bahas soal nggak penting Mark." Aku mulai terpancing emosi.

"Jangan menghindar Nes, aku memang masih labil, tapi aku ngerti affair bos sama bawahannya. Ingat kamu itu udah nikah, kita juga belum pernah ngapa-ngapain. Aku nggak bisa masuk rumah kamu malah pergi sama bosmu. Kamu hargai aku nggak Nes?!"

Marco sudah mulai memperkeruh suasana.

"Yang nggak mau malam pertama itu kamu kan? Katanya kamu impoten, makanya aku setuju kita pisah kamar. Kenapa kamu malah bahas soal ini?!"

Aku ikut nyolot untungnya Pram sudah masuk ke toko sehingga tidak melihat kedua bola mataku nyaris terlempar. 

"Aku nggak impoten, kapan aku bilang gitu?"

Aku bungkam merasa Marco tidak pernah mengatakan tentang itu. Lalu dari siapa aku mendengarnya?

"Balik sekarang Nes! Aku mau buat perhitungan sama kamu!"

"Perhitungan apa?! Aku bukan budak yang bisa kamu suruh seenaknya ya Mark!" 

"Aku mau buat kamu hamil Nes!"

Marco sudah gila dan kepalaku semakin berdenyut. Aku yakin sebentar lagi aku akan pingsan di mobil Pram. Bosku itu belum terlihat wujudnya, aku sudah tidak kuat menahan drama suami istri ini. 

"Ingat Nes, aku nggak impoten."

Aku menarik napas panjang bersiap mengeluarkan semua amarahku.

"Impoten atau nggak bukan urusanku! Kamu selingkuh sama perempuan lain, setiap sabtu pergi bareng dia tengah malam baru pulang. Kamu nggak bisa atur-atur aku seenaknya, aku manusia merdeka punya hak asasi manusia. Ngerti nggak?!"

Tidak ada sahutan rupanya panggilan itu sudah berakhir.

"Marco, sialan!"

Deheman dari samping membuatku terkejut, Pram sudah duduk di balik kemudi sambil memasang ekspresi canggung. Semoga saja bosku itu tidak mendengar umpatan dan perbuatanku meninju dashboard mobil mewah miliknya.

"Saya sudah belikan pakaian ganti buat kamu, nanti kalau sudah sampai villa kamu bisa ganti di sana," ucap Pram menyerahkan bungkusan padaku.

Aku tersenyum kecil. "Makasih pak."

"Maaf ya saya bawa kamu tanpa izin. Kalau saya bilang dari awal kamu pasti tidak setuju."

"Maksud bapak?" tanyaku bingung.

"Venessa sekali lagi saya minta maaf."

Aku belum memahami maksud ucapan itu dan secara tiba-tiba Pram mencondongkan wajahnya ke arahku. Aku mundur ke belakang khawatir ada setan lewat dan membuatku lupa ingatan. Namun, Pram sudah menarik wajahku sebelum aku menyadari suatu hal. Otakku membeku seperti kepingan es di kutub utara, jejak hangat yang menempel di bibirku serta bayangan Marco membawa pisau daging bersiap membunuhku. 

"Maaf Vanessa."

Aku mengangguk lalu menyentuh bibirku bekas usapan jari Pram. Apa maksudnya laki-laki itu mengusap bibirku?

"Ini maksudnya apa ya pak?" tanyaku langsung.

Pram tersenyum kecil. "Kamu pasti capek ngomong dari tadi, jadi saya cuma membantu kamu merilekskan wajah."

Sejak kapan ada hukum seperti itu? Aku menatap Pram tidak mengerti.

"Pak, anak saya sudah menunggu di rumah. Tolong antar saya pulang ya pak."

Mobil berhenti mendadak membuatku hampir mencium dashboard. Aku melirik Pram yang memucat. Marco, setelah kejadian ini jangan pernah mengungkit tentang perselingkuhan!

***

First kiss

Tubuhku lemah lunglai nyaris ambruk saat berhasil membuka pintu rumah. Tengah malam aku tiba di rumah setelah menempuh perjalanan panjang menggunakan taksi karena Pram memiliki urusan di Bogor. Aku menyentuh saklar lampu dan terkejut melihat Marco duduk bersila di sofa ruang tamu. Kepalaku semakin berdenyut membuatku enggan berdebat dengan Marco. Aku melewatinya dengan langkah terseret, sedikit lagi aku tiba di kamar, tapi tanganku sudah dicekal dengan kuat.

"Kasih penjelasan Nes."

Aku sedang tidak ingin berdebat Marco.

"Nes?!"

Aku merosot ke lantai sementara Marco berteriak heboh memanggil namaku.

"Kamu demam Nes."

Sudah tahu demam!

"Aku ambil air buat ngompres."

Aku menahan lengan Marco sebelum laki-laki itu berlari ke dapur.

"Gendong aku ke kamar," ucapku pelan.

"Gendong?!" Marco histeris. "Kamu kelihatan berat Nes."

Ya ampun, mulut suamiku itu!

"Aku jalan sendiri aja," putusku enggan berdebat.

Aku berusaha bangkit dari lantai, tapi tubuhku yang lemah tidak bisa sekadar mengangkat kaki. Terpaksa aku menyeret tubuhku mirip suster ngesot demi kamar yang sudah menungguku terlelap.

Decakan serta umpatan Marco membuatku kesal, tapi laki-laki itu justru mengangkat tubuhku menuju kamar. Dalam jarak sedekat itu aku bisa melihat wajah Marco, sejenak merasa waktu bergerak lambat. Kunang-kunang beterbangan di mataku, berkerlip di wajah Marco yang sialnya tampan. Pertama kalinya aku memperhatikan suamiku begitu intens.

"Setan!"

Kaki Marco tersangkut karpet, kelewat sial kepalaku membentur ujung ranjang. Aku hampir mengeluarkan air mata menyesali kepala yang berdosa ini.

"Karpet nggak punya mata, kamu beli di mana sih Nes? Aku hampir mati kebentur lantai." Marco mengusap sikunya yang lecet.

Aku tidak memiliki tenaga untuk berdebat, kepalaku sudah minta diistirahatkan. Rasa nyeri bercampur benturan di ranjang sukses membuatku meneteskan air mata. Aku terlampau takjub menyadari posisi Marco yang berada di atas tubuhku sementara aku setengah bersandar di sisi ranjang.

Sedikit lagi aku bisa mencium keningnya kalau saja Marco menyadari betapa canggungnya posisi ini.

"Nes?"

Aku menangis sesenggukan supaya Marco segera menyingkir dari tubuhku, tapi laki-laki itu justru mendekatkan wajahnya.

"Jangan nangis Nes, maaf aku nggak sengaja jatuh."

Tiba-tiba ide melintas di kepalaku.

"Aku hampir dicium sama bosku," ucapku lirih.

"Cium apa?!" tanya Marco galak.

Aku menunjuk bibirku dengan ekspresi memelas, air mata buaya semakin menggenang di pelupuk mata.

Marco menatapku tajam dan sebelah tangannya mengusap bibirku. Jantungku berdetak kencang menyadari jarak kami hanya beberapa senti. Hembusan napas Marco membelai wajahku meninggalkan jejak hangat yang familiar.

"Kamu tahu kan Nes kita udah menikah?"

Aku mengangguk tidak berani bersitatap langsung dengan Marco.

"Selain aku seharusnya orang lain nggak boleh sentuh kamu, kenapa biarin dia cium kamu?" tanya Marco.

"Aku—"

Belum sempat aku meneruskan kalimatku, bibirku sudah dibungkam oleh ciuman Marco. Aku berjengit merasakan bibir laki-laki itu tidak sebatas menempel, tapi memaksa bibirku terbuka. Sial, laki-laki labil ini justru ahli berciuman. Aku kehabisan napas akibat ciuman yang membabi buta itu.

"Nes, jangan dilepas," bisik Marco kembali mencium bibirku.

Hampir saja aku terbuai dengan ciuman itu seandainya otakku tidak cepat tanggap. Aku mendorong Marco lalu mengusap bibirku menghilangkan jejak yang aku akui rasanya memabukkan.

"Kamu nggak boleh khianati Vecchia."

Marco berhasil menguasai diri setelah beberapa menit berlalu sejak nama Vecchia disebutkan. Aku mengusap wajahnya berusaha mencairkan suasana.

"Aku tadi cuma bercanda Mark. Bosku orang baik, aku malah fitnah dia," jelasku.

"Aku ambil air buat ngompres." Marco menepis tanganku lalu beranjak dari tubuhku.

"Aku mau langsung tidur Mark capek banget seharian nggak istirahat. Besok aku kerjain tugasmu, kamu istirahat aja udah hampir pagi nih."

"Ok thanks Nes."

"Jangan lupa kunci pintu depan."

Marco sudah menghilang membuatku bernapas lega. Tadi hampir saja aku terlena dengan sentuhan Marco. Dan hebatnya kejadian tadi termasuk rekor baru karena aku tidak mendengar laki-laki itu mengumpat.

Aku menyentuh bibirku bekas ciuman tadi.

Vecchia, maaf.

***

Cahaya matahari menerobos masuk membuatku menyipitkan mata. Aku melepas serbet di keningku kemudian menatap Marco yang tertidur di sisi ranjang. Dengan hati-hati aku turun dari ranjang menuju kamar mandi. Aku menatap wajahku di cermin. Lingkaran hitam serta bibir pecah-pecah tidak seperti Vanessa yang sempurna. Aku mengutuk demam hingga membuatku kehilangan penampilan cantik itu.

Lima belas menit aku keluar dari kamar mandi dan melihat Marco sudah duduk di ranjangku. Laki-laki itu menatapku lekat seolah hendak menelanku hidup-hidup.

"Aku udah putus sama Vecchia."

Lho, putus?

"Sejak aku setuju nikah sama kamu, aku udah nggak berhubungan lagi sama dia Nes."

Aku tidak begitu tertarik mengenai hubungan percintaan mereka, tapi namaku disebut membuatku penasaran. Aku ini hanya korban dari drama sepasang kekasih, Marco dan Vecchia. Kedua orang itu mengganggu hidupku yang dulunya damai menjadi sekarang ini. Aku malas menjelaskan dan membuatku bernostalgia, kilas balik masa lalu menyebabkan hati seseorang patah. Termasuk aku sendiri.

"Keluar Mark, aku mau ganti baju," ucapku pelan lalu memilih baju di lemari. Menimbang pakaian apa yang akan gunakan untuk mengambil mobil di bengkel. Demamku juga sudah turun rasanya pantas saja memakai blouse tanpa lengan berwarna biru tua.

"Sekali-kali dengerin aku ngomong bisa nggak Nes?!"

Tuh mulai kumat darah tinggi. Aku berbalik arah menghadap Marco dengan tatapan garang.

"Ngomong apaan?" tanyaku masih sabar.

"Hubunganku sama Vecchia, kamu nggak denger?!"

"Kamu aneh banget sih Mark," aku mengusap wajahku kasar, "hubungan kalian itu nggak ada urusannya sama aku."

"Aku lupa kamu masih cinta sama mantan kamu." Marco tertawa mengejek.

Kok malah bawa-bawa mantan sih?!

"Tama udah tunangan Mark," ucapku geram.

"Tahu dari mana dia udah tunangan? Kamu masih berhubungan sama mantan kamu?" cecar Marco menuntut.

"Aku udah dewasa bukan remaja labil kayak kamu, masalah sedikit aja langsung perang dingin. Lost komunikasi padahal kamu masih bisa berteman sama dia."

"Aku bukan remaja labil Nes!"

Ya ampun, aku bisa tuli mendengar teriakan Marco. Kalau tidak labil apa namanya berteriak siang hari dan melihatku seperti musuh. Aku belum sempat berpakaian akibat pertengkaran ini. Lama kelamaan aku bisa masuk angin, wahai suamiku yang tampan bisakah anda mengerti?

"Keluar sana, aku mau ganti baju." ucapku mengabaikan kemarahannya.

Bukannya pergi Marco justru menghampiriku dan melempar blouse biru tuaku ke lantai. Aroma mint yang menguar dari rambut Marco membuatku kehilangan fokus. Anak itu kapan mandinya?

"Nes?"

Aku kembali tersadar saat Marco memegang pundakku yang terbuka. Handuk ini bisa lepas lho kalau aku lupa menahannya, tapi laki-laki tidak tahu diri ini semakin menjadi.

"Aku mau ke bengkel Mark. Udah siang nih belum sempat masak, kamu nggak lapar emang?" tanyaku yang dibalas Marco dengan senyum aneh

"Lapar Nes." Marco menyibak rambutku ke belakang membuatku was-was. "Kamu wangi banget," ucapnya pelan.

Tanganku mendadak lemas serasa handuk ini akan melorot seandainya aku menepis tangan Marco yang mengelus rambutku.

"Mark."

"Hmmm." gumam Marco pelan. Tangannya masih sibuk memainkan rambutku. Aku bukan kucing!

"Kamu kenapa sih?" tanyaku langsung. Merasa aneh dengan sikap Marco sejak ciuman kami semalam. Lebih aneh lagi dia mau mengompres demamku, biasanya hanya memberikan obat tanpa repot-repot bertanya.

"Kita nikah udah berapa lama Nes?"

Semakin melenceng nih anak!

Aku berdehem mengusir seluruh kalimat umpatan. "Tiga bulan," tebakku asal.

"Tiga bulan belum pernah malam pertama ya. Semalam fisrt kiss kita Nes."

Ya ampun Marco kenapa sih? Aku menghentakkan kaki di lantai sebagai bentuk rasa kesal.

"Iya," ucapku singkat.

"Aku jadi kepikiran Nes."

"Kepikiran apa?" tanyaku malas.

"Malam pertama sama kamu."

Demi apa siang bolong begini membahas tentang malam pertama. Marco makin lama makin sinting, aku tidak bisa berlama-lama menghadapi otak mesumnya itu.

"Nes."

Marco memerangkap tubuhku sehingga aku berada dalam pelukannya. Tangan lelaki itu mengusap punggungku membuat kakiku lemas dan pegangan di handukku mulai mengendur. Aku tidak siap dengan adegan intim begini, siapa saja tolong aku!

"Sekarang ya Nes?" bisik Marco lirih.

"Mark," aku memberanikan diri menatap matanya, keinginan itu tampak terlihat jelas di mata Marco, tapi aku ....

"Please Nes."

Napas Marco membelai wajahku membuat tubuhku bergetar dalam pelukannya. Aku mencengkeram erat handuk saat bibir Marco mendarat di bibirku. Rengkuhan Marco di bahuku semakin kuat saat laki-laki itu memperdalam ciumannya. Otakku sudah tidak bisa berpikir jernih selain deru napas dan detak jantung. Darahku berdesir ketika lidah Marco bermain di rongga mulutku. Aku meremas rambutnya melupakan tentang handuk yang terlepas dari tubuhku. Sudahlah aku tidak peduli dengan tubuhku yang polos selain ciuman Marco yang memabukkan.

Aku berjinjit untuk menyamakan tinggi badan kami tanpa sekali pun melepaskan tautan bibir. Membiarkan mencecap rasa dari kegilaan ini.

"Nes." Marco melepas ciumannya. "Kamu udah siap punya anak?"

Aku menggeleng. "Baby without love this is stupid, Mark. Some people make love with someone in one night stand, but love is different. Aku belum siap," ucapku lalu mendorong Marco menjauh.

***

After kissing

"Woy Nes!"

Geplakan di kepala membuatku tersadar dari lamunan. Basya nyengir lebar lalu berdiri di sampingku. Senin siang aku memeriksa proyek tidak jauh dari kantor. Pram belum kembali dari Bogor sehingga aku dan Basya menggantikan tugasnya memeriksa proyek.

"Pak Pram cari desainer interior buat dekorasi rumahnya. Dengar-dengar dia mau nikah tahun ini Nes," ucap Basya membuatku meliriknya sekilas.

"Gosip mulu lo Bas," sahutku malas.

"Gue serius Nes, anak-anak kantor udah dengar kok. Lo aja yang ketinggalan berita karena sering keluar kota."

"Gue kerja cari duit bukan dengerin gosip nggak penting."

"Pak Pram tuh naksir sama lo Nes, dia sering nanya jadwal lo kalau pas keluar kota. Dia juga ke Bintan, tapi pas itu lo lagi sama Abitama dari Violet Group. Terus besoknya kabar pernikahannya tersebar, dia putus asa sama lo Nes."

Aku bergumam pelan mendengar gosip si mulut ember Basya. Panas terik siang hari tidak cukup meredam mulutnya.

"Gue mau beli es, lo ikut kagak?" tanyaku.

"Ikut Nes!"

Aku sudah berada di warung tenda pinggir jalan. Cuaca panas begini cocok minum yang dingin-dingin. Aku memesan es kelapa serut dengan tambahan sirup. Basya memesan es cendol lalu duduk di sampingku. Laki-laki itu mengipasi wajahnya tampak jelas cuaca siang ini membunuh kami para pekerja lapangan.

"Siang panas ntar malam hujan. Gue kemarin basah kuyup pulang dari gym."

Aku mengangguk. "Gue juga kehujanan Bas."

"Eh, lo nggak demam 'kan?" Basya mengamati wajahku.

"Demam paginya udah sembuh. Gue ketemu pak Pram di halte dia malah bawa gue ke Bogor. Tengah malam gue baru pulang Bas," ucapku yang dihadiahi tepukan keras.

"Gue bilang juga apa!"

Teriakan Basya memancing pelanggan menoleh ke arah kami. Bahkan rombongan yang baru saja datang ikut menoleh. Jantungku mencelos melihat Marco di antara rombongan itu. Basya duduk membelakangi Marco tidak melihat bagaimana cara laki-laki itu menatapku.

"Pak Pram naksir lo dari zaman batu Nes. Gue nggak habis pikir dia bisa naksir sama lo."

"Ngomong pelan dikit Bas."

Marco dan rombongannya mengambil tempat duduk di belakang Basya. Kursi di warung tenda ini cukup banyak, tapi anehnya Marco memilih tempat duduk di dekat kami. Rombongan yang terdiri dari para mahasiswa itu tampak kelelahan, termasuk Marco yang kulit putihnya memerah. Aku memalingkan wajah saat Marco menatapku, sial aku tertangkap basah sedang memperhatikannya.

Basya menoleh ke belakang dan seketika mengerti maksud ucapanku. Dia menggeser tubuhnya sehingga aku bisa melihat jelas Marco tanpa terhalang tubuh Basya. Aku menyesal memperingati Basya dan memberikan kesempatan Marco melihatku.

"Nes?" panggil Basya.

"Apa?" jawabku singkat.

"Pesanan lo, awas jatuh."

Aku berdiri untuk mengambil segelas es kelapa, tapi tubuhku kehilangan keseimbangan sehingga Basya menahan lenganku. Aku mendengar suara berisik dari rombongan Marco dan samar-samar laki-laki itu mengumpat.

Aku pasti dituduh selingkuh lagi.

"Hati-hati Nes, lo hampir ketiban gelas segede gaban."

"Sorry gue nggak fokus," ucapku lalu kembali duduk di kursi setelah meletakkan gelas di meja.

"Habis dari Bintan lo kelihatan aneh, bukan karena Abitama kan?"

Aku mengutuk mulut bocor Basya yang kembali mengungkit soal perjalananku ke Bintan. Marco menatapku tajam sementara teman-temannya sibuk berdiskusi. Aku sudah tidak memiliki keinginan meminum es kelapa. Rasanya ingin segera angkat kaki dari tempat ini.

"Bas, diam bentar bisa nggak?"

"Gue penasaran beb."

Aku menarik napas panjang mencari cara mengenyahkan bayangan Tama dari otakku. Namun, aku tidak bisa melupakan kalimat terakhirnya sebelum kami berpisah.

"Dia mau tunangan Bas."

"Gue ikut prihatin Nes. Sebagai teman semasa kuliah gue paham alasan lo nggak peka sama orang-orang di sekitar lo. Alasannya karena Tama. Gue nggak paham kenapa kalian putus, tapi gue yakin kalau kalian saling mencintai."

"Waktu nggak bisa putar balik Bas. Gue cuma mau hidup damai aja sekarang. Yah, meskipun gue tahu kehidupan itu nggak semudah dulu. Gue musti kerja keras biar lupa sama rasa sakit itu. Toh, jodoh udah ada yang ngatur."

"Intinya lo masih belum rela Nes, percuma pake teori kalau nyatanya lo belum ikhlas." Basya menepuk bahuku sekadar menguatkan.

"Gue nggak tahu," ucapku jujur.

Gebrakan meja membuatku terkejut, aku melupakan keberadaan Marco akibat Basya memancingku perihal Tama. Sekarang rombongan itu kacau balau dengan ekspresi wajah berbeda-beda. Aku melirik Marco yang serius mengamati makalah di tangannya. Kemarin aku mengerjakan tugasnya di sela kesibukan mengambil mobil dan berbelanja. Kini, aku tidak percaya Marco menggunakan makalah itu.

"Si Marco jurig mana paham soal begituan Ujang."

Aku melihat Marco sekilas.

"Marco teh pahamnya soal paha ayam. Sok tanya ke dia barangkali ada yang mau sharing. Rajanya adegan plus-plus Marco mah."

Mulut lelaki kalau sudah berkumpul lupa difilter, aku menyedot minumanku dengan kecepatan super. Waktu istrihatku sudah habis setelah ini aku mau kembali ke kantor. Mendinginkan tubuh sambil menyantap mie instan di pantry.

"Bas, gue mau balik ke kantor." Aku berdiri hendak membayar pesananku.

Basya menatap arlojinya. "Gue punya janji sama klien, tapi masih sempat antar lo ke kantor. Tunggu bentar gue abisin minuman dulu."

"Gue tunggu di proyek aja Bas." Aku membayar pesananku kemudian meninggalkan warung tenda itu.

Aku berjalan menyusuri jalan berdebu dan kendaraan melintas menambah jumlah debu di udara. Aku terbatuk-batuk saat partikel debu masuk ke mulutku.

"Pakai ini Nes."

Aku terlonjak kaget melihat Marco berdiri di belakangku. Basya belum terlihat batang hidungnya membuatku menurunkan rasa waspada. Aku menerima masker pemberian Marco dan memasangnya di wajahku.

"Thanks Mark," ucapku.

"Aku antar ke kantor ya."

"Nggak usah, kamu kan sibuk ngerjain tugas. Habis penelitian ya?" tanyaku basa-basi.

Marco mengangguk. "Makasih ya Nes."

"Buat apa?"

"Makasih udah ngerjain makalahku."

"Sama-sama," ucapku singkat.

Marco menarik bahuku sehingga kami berjalan bersisian. Laki-laki itu menggunakan jaketnya sebagai penutup kepala. Aku merasa seperti satu payung berdua. Perlahan aku tersenyum kecil merasa cuaca panas ini tidak begitu buruk.

Suara langkah kaki menjadi fokus perhatianku sekarang. Marco menoleh ke arahku sekilas.

"Nes."

"Iya?"

"Jangan terlalu dekat sama cowok lain ya."

Aku tertawa keras melihat ekspresi serius Marco. Bocah labil yang berpengalaman ini terlihat lucu di mataku.

"Basya itu teman kuliahku. Zaman kamu belum paham sama paha ayam Mark," ucapku geli.

"Bukan dia, tapi Tama."

Tawaku menghilang dalam sekejap.

"After kissing then what, Nes?"

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!