Pulang dalam keadaan basah kuyup serta tubuh menggigil sukses membuatku seperti orang gila. Bukannya mengeringkan tubuh setelah berhasil tiba di rumah. Aku memilih duduk di teras sambil menatap hujan. Malam pekat sama seperti perasaanku. Aku tidak baik-baik saja setelah pertemuanku dengan Tama. Beban berat di hatiku belum terangkat sudah ditambah dengan beban lainnya. Otakku tidak sanggup menampung segala praduga. Terlebih Marco yang saat ini berdiri di depanku dengan wajah murka.
"Dari mana Nes?" tanya Marco penuh penekanan.
Aku mengabaikan pertanyaannya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Namun, Marco menahan lenganku sebelum aku berhasil membuka pintu kamar. Dari ekspresi wajahnya aku bisa melihat kemarahan. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Marco tampak serius.
"Aku tanya dari mana?!"
Bentakan Mario membuatku enggan menjawab, bukannya terpancing emosi, aku justru menunduk untuk menyembunyikan air mata. Ucapan Tama masih terngiang di telingaku dan semua itu cukup membuat hatiku teriris.
"Jawab Nes?!" ucap Marco keras.
"Aku capek Mark."
"Udah tahu capek, kenapa nggak langsung pulang? Kamu keluyuran ke mana Nes?" tanya Marco belum menyerah.
Aku tidak menjawab pertanyaan itu.
"Nes?!"
Tubuh menggigil ditambah teriakan Marco melengkapi penderitaanku. Meskipun aku ingin membalas, tapi mulutku enggan terbuka. Aku lelah menghadapi Marco berteriak ke sana kemari seolah aku anak TK.
"Vanessa?!"
Aku menepis tangan Marco lalu membuka pintu kamar. Namun, Marco lebih dulu mencegahku masuk.
"Kasih penjelasan Nes." Marco menurunkan nada bicaranya.
"Aku capek Mark."
"Besok nggak usah kerja, biar aku yang ngomong sama bosmu."
"Aku capek nikah sama kamu," ucapku jujur sontak membungkam Marco. Aku bersandar pada dinding berusaha menyeimbangkan tubuh supaya Marco tidak melihatku hampir jatuh. "Kamu nggak bisa pahami aku Mark."
"Kita beda sepuluh tahun Nes, ajari aku supaya bisa pahami kamu."
"Harusnya kamu nggak nikah sama aku, harusnya kamu nolak pernikahan ini, harusnya kamu nggak ikut campur urusanku. Aku capek tiap hari hadapi sikapmu yang kekanakan. Benar, kita beda sepuluh tahun dan di sini aku yang lebih banyak mengalah. Kamu nggak paham Mark kalau hubungan itu nggak bisa jalan satu arah. Sekali-kali kamu lihat masalah dari sudut pandangku, gimana susahnya nikah sama laki-laki yang lebih muda. Aku berusaha sabar, tapi aku udah capek Mark."
"Di matamu aku seburuk itu Nes?" tanya Marco.
Aku mengangguk enggan.
"Bukan aku yang nggak bisa pahami kamu Nes." Marco mundur memberi space di antara kami. "Kamu lihat jarak kita berdiri pasti ada ruang kosong di tengah-tengah. Mirip sama kamu Nes, tapi yang ada di tengah itu bukan space. Aku paham kok, cuma selama ini aku berusaha jadi suami yang peduli sama istri. Kalau penilaian kamu tentang aku begitu." Marco tersenyum getir. "Makasih banyak."
Aku hanya diam mendengar Marco berbicara tanpa emosi seperti biasanya. Dari nada bicara Marco tampaknya laki-laki itu kecewa.
"Aku nggak maksa Nes karena di dalam hati kamu cuma ada Abitama, mantan kamu yang keberadaannya nggak bisa dibandingkan sama siapa pun. Maaf, kalau aku terus-terusan ikut campur urusanmu. Ini terakhir kalinya aku interogasi kamu."
Marco melangkah menjauhiku menyisakan keheningan yang membuatku merasa bersalah. Aku sudah menyinggung Marco hanya karena Tama.
Aku mencari Marco dan tidak melihat motor laki-laki itu di garasi. Hujan deras begini Marco pergi ke mana?
Aku menghubungi Marco, tapi ponsel laki-laki itu tertinggal di rumah. Aku kembali ke teras dengan tubuh menggigil.
"Kamu di mana Mark?" gumamku pelan.
Aku menatap ponsel, pukul dua dini hari. Seingatku Marco tidak memiliki kerabat di Bandung kecuali perempuan yang selalu bersamanya setiap hari sabtu. Tiba-tiba aku merasa mual membayangkan Marco menginap di rumah perempuan itu. Namun, pemikiranku terbantah saat melihat Marco dari kejauhan.
Aku mengembuskan napas lega lalu masuk ke dalam rumah. Sepuluh menit kemudian aku sudah berganti pakaian. Perut keroncongan menggiringku menuju dapur. Tengah malam mencari makanan bukan tipeku seandainya aku tidak melewatkan makan malam. Akibat perasaan, aku membiarkan masakanku sia-sia di meja makan milik Tama. Entah bagaimana nasib masakanku, aku yakin berakhir di tong sampah. Tama sudah tidak bersedia menyantap masakanku, mengingatnya saja cukup membuatku prihatin.
Perhatianku teralihkan pada semangkuk mie di meja serta minyak kayu putih. Aku menarik secarik kertas di bawah mangkuk dan membacanya dalam hati.
Jangan lupa minum obat Nes.
Perlahan aku merasa hangat bukan karena semangkuk mie, tapi perhatian Marco yang membuatku tersentuh.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments