Pukul lima sore aku sudah keluar kantor. Rencana malam ini aku ingin makan malam di luar dan mengajak Marco ikut serta jika anak itu tidak sibuk. Aku menghubungi Marco memastikan dia belum pulang ke rumah. Lalu pesan singkat yang dikirimkan Marco membuatku jengah.
Gue masih di kampus Ci. Lo balik duluan aja. Habis ini gue masih ada acara, tadi Silvia ngajak gue dinner. Sepupunya buka resto baru. Lumayan makan gratisan. Sorry ya Ci.
Satu pesan baru muncul.
Vanessa.
Pesan singkat yang dikirimkan Abitama membuatku sesak napas. Melupakan keinginanku membalas pesan Marco dan perempuan bernama Silvia itu. Aku kehilangan semangat hanya satu kata dari Abitama padahal aku sudah berbesar hati sejak pertemuan kami di Bintan.
Ponselku berbunyi menampilkan nama Abitama di layar. Aku menyandarkan tubuhku di sisi mobil, membiarkan panggilan itu berakhir begitu saja.
Kuat Nes, aku sudah menikah. Namun, air mataku menetes tanpa bisa dicegah.
"Nessa."
Aku menghapus air mata saat melihat Tama berdiri di depanku. Laki-laki itu tampak pucat dari terakhir kali kami bertemu di Bintan. Aku menahan diri untuk tidak memeluk Tama detik itu juga. Bagaimanapun kami dua orang yang tidak bisa bersama, entah sekuat apa pun perasaanku padanya.
"Hai Tam," sapaku gugup.
"Pulang sama siapa?" tanya Tama basa-basi.
"Sendiri, kamu?"
Tama tersenyum canggung. "Gue nunggu Pram, tapi dia udah balik."
Gue? Mendadak aku merasa sangat asing dengan sebutan itu. Sebelum malam di resort aku masih mengenal sosoknya yang hangat. Kini, Tama terasa begitu asing.
"Kalau gitu gue duluan, Tam."
Tama menahan lenganku sebelum aku membuka pintu mobil. Parkiran sangat sepi membuatku tidak begitu khawatir ada orang lain yang melihatku bersama Tama. Gosip lebih mudah cepat menyebar ketimbang berita selebritis.
"Lo bisa anter gue Sa?"
Aku hampir menolak jika tidak melihat Basya berjalan menuju mobilnya. Dengan cepat aku mengangguk dan meminta Tama duduk di kursi penumpang. Aku bernapas lega saat melewati jalan raya berbaur bersama kendaraan lainnya.
Perjalanan menuju rumah Tama hanya diisi keheningan meskipun sesekali aku meliriknya melalui kaca spion. Laki-laki itu tampak melamun memperhatikan jalanan tidak menyadari jika aku memperhatikannya.
Aku menghidupkan musik sekadar mengusir rasa bosan. Lagu go back to December milik Taylor Swift mengalun lembut membuatku bersenandung pelan. Aku sangat menyukai lagu ini karena liriknya mengingatkanku pada seseorang.
Abitama.
Mungkin laki-laki itu masih mengingatnya, atau malah sudah melupakannya.
Jalanan kota Bandung menjelang malam terasa begitu menawan, mungkin karena aku tidak sendiri. Ada seseorang yang aku rindukan kehadirannya. Lagu yang pernah kami nyanyikan sebelum waktu merampas kebahagiaan itu.
Aku menghapus air mata sebelum terbawa perasaan di masa lalu. Seharusnya aku tidak memupuk perasaan ini pada Tama, seharusnya aku berhenti sejak menerima pernikahan itu. Namun, egoku lebih tinggi dibandingkan akal sehatku. Aku benar-benar tidak bisa bertahan dalam drama ini.
Aku menyandarkan kepalaku saat berhenti di lampu merah. Hujan kembali mengguyur Bandung, langit pun telah berubah gelap. Aku masih harus terjebak bersama Tama hingga hujan reda. Sampai kapan aku terkurung dalam diam? Otakku sudah tidak rasional menghadapi segala kemungkinan. Aku tidak ingin menangis di depan Tama meskipun air mataku tidak bisa berhenti menetes.
Suara klakson membuatku tersadar, aku kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Setengah jam kemudian aku berhenti di depan rumah lantai dua. Aku pernah menghabiskan waktu di rumah itu menanam bunga mawar. Kini, bunga itu sudah tidak ada lagi di sana. Tama sudah menyingkirkannya.
Aku menoleh ke belakang melihat Tama yang tertidur. Aku tidak tega membangunkannya dan sebagai gantinya aku mengeluarkan ponsel. Melihat ada banyak panggilan serta beberapa pesan singkat dari Marco.
Maaf Nes aku salah kirim. Kamu udah pulang belum?
Aku membaca pesan lainnya.
Nes, hujan deras kamu jangan sampai demam lagi. Aku nggak punya teman berantem kalau kamu demam. Kita belum sempat perang benaran Nes.
Pesan Marco lainnya.
Nes, kok diam? masih di kantor ya? Teleponku kok nggak diangkat? Kamu lagi di mana Nes?
Nes?
Nes??
Vanessa???!
Marco kembali menghubungiku, tapi aku mengubah ponselku menjadi mode silent. Saat ini aku tidak ingin diganggu, biarkan waktu berhenti sebentar saja.
Maaf Mark.
***
Aku sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Perutku yang keroncongan serta hujan deras memaksaku mengacau dapur Abitama. Menu makan malam sederhana berupa udang goreng tepung dan tumis brokoli menjadi pilihanku. Selain praktis alasan lainnya hanya ada bahan itu di kulkas. Biasanya Tama jarang makan di rumah dan nyaris tidak pernah menyimpan bahan makanan di kulkas. Sepertinya kebiasaan itu sudah berubah.
Aku menata hasil masakanku di meja makan. Suara petir membuatku hampir menjatuhkan piring ke lantai. Aku memekik keras saat lampu padam dan dapur menjadi gelap gulita. Hujan semakin deras disertai angin dan petir. Aku berpegangan pada sisi meja, tanganku gemetar hebat. Aku tidak suka dengan situasi seperti ini.
Tama meletakkan lilin di meja menghilangkan sedikit ketakutanku. Aku memandang lilin itu tanpa berkedip.
"Ini bukan candle light dinner ya. Kebetulan pas mati lampu jadi gue siapin lilin biar sedikit meringankan fobia lo Sa."
"Thanks," ucapku pelan. Setengah tidak rela.
"Makan dulu Sa, lo pasti lapar. Gue tunggu di ruang tamu ya."
Tama sudah melangkah sebelum aku mengajaknya makan bersama. Jadi, Tama sudah tidak bersedia makan masakanku. Aku mengusap air mataku dan meraih tasku. Untuk apa aku berada di sini jika hanya menyakiti perasaanku sendiri. Aku sudah tidak pantas berharap karena statusku adalah perempuan yang sudah menikah.
Aku melangkah menuju pintu melewati Tama yang duduk di ruang tamu. Begitu melihatku, Tama berusaha menahanku.
"Mau ke mana Sa?"
"Pulang," ucapku singkat.
"Di luar hujan deras. Tunggu sampai hujannya reda Sa."
Aku tidak mendengar ucapan Tama dan terus melangkah menuju mobil. Aku berhenti sejenak di halaman memandangi rumah tempatku dulu meletakkan harapan. Sekarang aku sudah tidak pantas menempati posisi itu.
Hujan deras meredam air mataku, aku sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menangis. Biar hujan mengambil semua rasa sakit atas perbuatanku sendiri.
Suara petir dan hujan menjadi satu-satunya hal yang aku dengar. Hingga aku merasakan seseorang memelukku dari belakang.
"Nessa,"
Aku terisak hingga tubuhku bergetar hebat, hujan pun ikut andil dalam kondisi tubuhku.
"Aku nggak punya pilihan selain lepasin kamu Sa," bisik Tama di telingaku.
Aku menyentuh tangan Tama yang melingkar di perutku, rasanya dingin tidak hangat seperti dulu. Aku menggenggamnya seerat mungkin.
"Aku nggak bisa Tam, aku capek, aku mau berhenti." Aku menunduk menatap tangan kami saling menggenggam. "Tapi aku nggak punya pilihan, sama seperti kamu Tam."
"Sekali aja, biarin aku peluk kamu Nessa."
Aku membiarkan hujan menghapus semua luka yang diberikan oleh waktu. Tama pun begitu, membiarkan aku menggenggam tangannya hanya untuk malam ini. Mungkin besok dan seterusnya kita berdua tidak lagi memiliki topik yang sama.
"Sama seperti candle light dinner, aku nggak buat rencana apa pun Tam," ucapku miris.
"Kamu punya banyak candle light dinner, tapi bukan aku orangnya Sa."
"Kalau aku minta orang itu kamu, apa kamu keberatan Tam?" tanyaku di tengah derasnya hujan.
"Candle light dinner cuma buat suamimu Sa."
Aku menggeleng. "Harusnya kamu yang jadi suamiku Tam."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments