Tubuhku lemah lunglai nyaris ambruk saat berhasil membuka pintu rumah. Tengah malam aku tiba di rumah setelah menempuh perjalanan panjang menggunakan taksi karena Pram memiliki urusan di Bogor. Aku menyentuh saklar lampu dan terkejut melihat Marco duduk bersila di sofa ruang tamu. Kepalaku semakin berdenyut membuatku enggan berdebat dengan Marco. Aku melewatinya dengan langkah terseret, sedikit lagi aku tiba di kamar, tapi tanganku sudah dicekal dengan kuat.
"Kasih penjelasan Nes."
Aku sedang tidak ingin berdebat Marco.
"Nes?!"
Aku merosot ke lantai sementara Marco berteriak heboh memanggil namaku.
"Kamu demam Nes."
Sudah tahu demam!
"Aku ambil air buat ngompres."
Aku menahan lengan Marco sebelum laki-laki itu berlari ke dapur.
"Gendong aku ke kamar," ucapku pelan.
"Gendong?!" Marco histeris. "Kamu kelihatan berat Nes."
Ya ampun, mulut suamiku itu!
"Aku jalan sendiri aja," putusku enggan berdebat.
Aku berusaha bangkit dari lantai, tapi tubuhku yang lemah tidak bisa sekadar mengangkat kaki. Terpaksa aku menyeret tubuhku mirip suster ngesot demi kamar yang sudah menungguku terlelap.
Decakan serta umpatan Marco membuatku kesal, tapi laki-laki itu justru mengangkat tubuhku menuju kamar. Dalam jarak sedekat itu aku bisa melihat wajah Marco, sejenak merasa waktu bergerak lambat. Kunang-kunang beterbangan di mataku, berkerlip di wajah Marco yang sialnya tampan. Pertama kalinya aku memperhatikan suamiku begitu intens.
"Setan!"
Kaki Marco tersangkut karpet, kelewat sial kepalaku membentur ujung ranjang. Aku hampir mengeluarkan air mata menyesali kepala yang berdosa ini.
"Karpet nggak punya mata, kamu beli di mana sih Nes? Aku hampir mati kebentur lantai." Marco mengusap sikunya yang lecet.
Aku tidak memiliki tenaga untuk berdebat, kepalaku sudah minta diistirahatkan. Rasa nyeri bercampur benturan di ranjang sukses membuatku meneteskan air mata. Aku terlampau takjub menyadari posisi Marco yang berada di atas tubuhku sementara aku setengah bersandar di sisi ranjang.
Sedikit lagi aku bisa mencium keningnya kalau saja Marco menyadari betapa canggungnya posisi ini.
"Nes?"
Aku menangis sesenggukan supaya Marco segera menyingkir dari tubuhku, tapi laki-laki itu justru mendekatkan wajahnya.
"Jangan nangis Nes, maaf aku nggak sengaja jatuh."
Tiba-tiba ide melintas di kepalaku.
"Aku hampir dicium sama bosku," ucapku lirih.
"Cium apa?!" tanya Marco galak.
Aku menunjuk bibirku dengan ekspresi memelas, air mata buaya semakin menggenang di pelupuk mata.
Marco menatapku tajam dan sebelah tangannya mengusap bibirku. Jantungku berdetak kencang menyadari jarak kami hanya beberapa senti. Hembusan napas Marco membelai wajahku meninggalkan jejak hangat yang familiar.
"Kamu tahu kan Nes kita udah menikah?"
Aku mengangguk tidak berani bersitatap langsung dengan Marco.
"Selain aku seharusnya orang lain nggak boleh sentuh kamu, kenapa biarin dia cium kamu?" tanya Marco.
"Aku—"
Belum sempat aku meneruskan kalimatku, bibirku sudah dibungkam oleh ciuman Marco. Aku berjengit merasakan bibir laki-laki itu tidak sebatas menempel, tapi memaksa bibirku terbuka. Sial, laki-laki labil ini justru ahli berciuman. Aku kehabisan napas akibat ciuman yang membabi buta itu.
"Nes, jangan dilepas," bisik Marco kembali mencium bibirku.
Hampir saja aku terbuai dengan ciuman itu seandainya otakku tidak cepat tanggap. Aku mendorong Marco lalu mengusap bibirku menghilangkan jejak yang aku akui rasanya memabukkan.
"Kamu nggak boleh khianati Vecchia."
Marco berhasil menguasai diri setelah beberapa menit berlalu sejak nama Vecchia disebutkan. Aku mengusap wajahnya berusaha mencairkan suasana.
"Aku tadi cuma bercanda Mark. Bosku orang baik, aku malah fitnah dia," jelasku.
"Aku ambil air buat ngompres." Marco menepis tanganku lalu beranjak dari tubuhku.
"Aku mau langsung tidur Mark capek banget seharian nggak istirahat. Besok aku kerjain tugasmu, kamu istirahat aja udah hampir pagi nih."
"Ok thanks Nes."
"Jangan lupa kunci pintu depan."
Marco sudah menghilang membuatku bernapas lega. Tadi hampir saja aku terlena dengan sentuhan Marco. Dan hebatnya kejadian tadi termasuk rekor baru karena aku tidak mendengar laki-laki itu mengumpat.
Aku menyentuh bibirku bekas ciuman tadi.
Vecchia, maaf.
***
Cahaya matahari menerobos masuk membuatku menyipitkan mata. Aku melepas serbet di keningku kemudian menatap Marco yang tertidur di sisi ranjang. Dengan hati-hati aku turun dari ranjang menuju kamar mandi. Aku menatap wajahku di cermin. Lingkaran hitam serta bibir pecah-pecah tidak seperti Vanessa yang sempurna. Aku mengutuk demam hingga membuatku kehilangan penampilan cantik itu.
Lima belas menit aku keluar dari kamar mandi dan melihat Marco sudah duduk di ranjangku. Laki-laki itu menatapku lekat seolah hendak menelanku hidup-hidup.
"Aku udah putus sama Vecchia."
Lho, putus?
"Sejak aku setuju nikah sama kamu, aku udah nggak berhubungan lagi sama dia Nes."
Aku tidak begitu tertarik mengenai hubungan percintaan mereka, tapi namaku disebut membuatku penasaran. Aku ini hanya korban dari drama sepasang kekasih, Marco dan Vecchia. Kedua orang itu mengganggu hidupku yang dulunya damai menjadi sekarang ini. Aku malas menjelaskan dan membuatku bernostalgia, kilas balik masa lalu menyebabkan hati seseorang patah. Termasuk aku sendiri.
"Keluar Mark, aku mau ganti baju," ucapku pelan lalu memilih baju di lemari. Menimbang pakaian apa yang akan gunakan untuk mengambil mobil di bengkel. Demamku juga sudah turun rasanya pantas saja memakai blouse tanpa lengan berwarna biru tua.
"Sekali-kali dengerin aku ngomong bisa nggak Nes?!"
Tuh mulai kumat darah tinggi. Aku berbalik arah menghadap Marco dengan tatapan garang.
"Ngomong apaan?" tanyaku masih sabar.
"Hubunganku sama Vecchia, kamu nggak denger?!"
"Kamu aneh banget sih Mark," aku mengusap wajahku kasar, "hubungan kalian itu nggak ada urusannya sama aku."
"Aku lupa kamu masih cinta sama mantan kamu." Marco tertawa mengejek.
Kok malah bawa-bawa mantan sih?!
"Tama udah tunangan Mark," ucapku geram.
"Tahu dari mana dia udah tunangan? Kamu masih berhubungan sama mantan kamu?" cecar Marco menuntut.
"Aku udah dewasa bukan remaja labil kayak kamu, masalah sedikit aja langsung perang dingin. Lost komunikasi padahal kamu masih bisa berteman sama dia."
"Aku bukan remaja labil Nes!"
Ya ampun, aku bisa tuli mendengar teriakan Marco. Kalau tidak labil apa namanya berteriak siang hari dan melihatku seperti musuh. Aku belum sempat berpakaian akibat pertengkaran ini. Lama kelamaan aku bisa masuk angin, wahai suamiku yang tampan bisakah anda mengerti?
"Keluar sana, aku mau ganti baju." ucapku mengabaikan kemarahannya.
Bukannya pergi Marco justru menghampiriku dan melempar blouse biru tuaku ke lantai. Aroma mint yang menguar dari rambut Marco membuatku kehilangan fokus. Anak itu kapan mandinya?
"Nes?"
Aku kembali tersadar saat Marco memegang pundakku yang terbuka. Handuk ini bisa lepas lho kalau aku lupa menahannya, tapi laki-laki tidak tahu diri ini semakin menjadi.
"Aku mau ke bengkel Mark. Udah siang nih belum sempat masak, kamu nggak lapar emang?" tanyaku yang dibalas Marco dengan senyum aneh
"Lapar Nes." Marco menyibak rambutku ke belakang membuatku was-was. "Kamu wangi banget," ucapnya pelan.
Tanganku mendadak lemas serasa handuk ini akan melorot seandainya aku menepis tangan Marco yang mengelus rambutku.
"Mark."
"Hmmm." gumam Marco pelan. Tangannya masih sibuk memainkan rambutku. Aku bukan kucing!
"Kamu kenapa sih?" tanyaku langsung. Merasa aneh dengan sikap Marco sejak ciuman kami semalam. Lebih aneh lagi dia mau mengompres demamku, biasanya hanya memberikan obat tanpa repot-repot bertanya.
"Kita nikah udah berapa lama Nes?"
Semakin melenceng nih anak!
Aku berdehem mengusir seluruh kalimat umpatan. "Tiga bulan," tebakku asal.
"Tiga bulan belum pernah malam pertama ya. Semalam fisrt kiss kita Nes."
Ya ampun Marco kenapa sih? Aku menghentakkan kaki di lantai sebagai bentuk rasa kesal.
"Iya," ucapku singkat.
"Aku jadi kepikiran Nes."
"Kepikiran apa?" tanyaku malas.
"Malam pertama sama kamu."
Demi apa siang bolong begini membahas tentang malam pertama. Marco makin lama makin sinting, aku tidak bisa berlama-lama menghadapi otak mesumnya itu.
"Nes."
Marco memerangkap tubuhku sehingga aku berada dalam pelukannya. Tangan lelaki itu mengusap punggungku membuat kakiku lemas dan pegangan di handukku mulai mengendur. Aku tidak siap dengan adegan intim begini, siapa saja tolong aku!
"Sekarang ya Nes?" bisik Marco lirih.
"Mark," aku memberanikan diri menatap matanya, keinginan itu tampak terlihat jelas di mata Marco, tapi aku ....
"Please Nes."
Napas Marco membelai wajahku membuat tubuhku bergetar dalam pelukannya. Aku mencengkeram erat handuk saat bibir Marco mendarat di bibirku. Rengkuhan Marco di bahuku semakin kuat saat laki-laki itu memperdalam ciumannya. Otakku sudah tidak bisa berpikir jernih selain deru napas dan detak jantung. Darahku berdesir ketika lidah Marco bermain di rongga mulutku. Aku meremas rambutnya melupakan tentang handuk yang terlepas dari tubuhku. Sudahlah aku tidak peduli dengan tubuhku yang polos selain ciuman Marco yang memabukkan.
Aku berjinjit untuk menyamakan tinggi badan kami tanpa sekali pun melepaskan tautan bibir. Membiarkan mencecap rasa dari kegilaan ini.
"Nes." Marco melepas ciumannya. "Kamu udah siap punya anak?"
Aku menggeleng. "Baby without love this is stupid, Mark. Some people make love with someone in one night stand, but love is different. Aku belum siap," ucapku lalu mendorong Marco menjauh.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Fitmr31_
Hai kk aku hadir
2021-12-17
0
Novact
keren kok ceritanya thor.aku ngakak bacanya
2021-10-21
1