The Shadow Awakens

The Shadow Awakens

Chapter 1

Darah mengalir keluar dari celah akibat sayatan dalam, lalu turun membasahi kulit wajah sebelum akhirnya menetes jatuh, membentuk jejak seperti cipratan benda cair di permukaan tanah. Dengan langkah sempoyongan Luna melewati satu pohon ke pohon lain. Dadanya naik-turun dengan cepat, sedangkan tangannya bergerak mencengkeram kuat batang pohon, berusaha menopang dirinya yang mulai kehabisan napas ini. Ia terbatuk beberapa kali seraya bersandar lemas pada batang pohon itu. Lelah dan juga lapar.

Uap dingin mengepul keluar dari celah diantara bibirnya saat ia berusaha mengatur kembali napasnya. Angin beku sedari tadi bertiup menusuk-nusuk masuk ke sum-sum tulangnya, dingin seperti es.

Luna mengalihkan perhatiannya ke sekelilingnya, tak ada siapa-siapa. Kesunyian hutan ini benar-benar membuatnya larut dalam kesendirian. Hanya ada dirinya beserta pohon yang entah berjenis apalah itu. Luna tidak tahu sudah seberapa jauh jarak yang telah dirinya tempuh sejak melarikan diri dari mansion tua bergaya Eropa kuno di balik hutan ini. Yang pasti ia baru saja melewati sepanjang malam dingin dan mencekam ini dengan terus berlari. Beruntung subuh segera tiba, setidaknya ia tak perlu lagi berlari sambil meraba-raba satu pohon ke pohon lain yang seolah menyatu dengan gelapnya bayangan hutan.

Suara gesekan dari arah semak-semak memecahkan keheningan di tempat itu. Masih dengan posisi bersandar, Luna berusaha menegakkan tubuhnya. Kepanikan tergambar jelas di wajah kotor penuh darahnya. Jika yang muncul adalah Kaum Liar, ia tidak terlalu takut, ia tidak takut jika harus berhadapan dengan makhluk liar yang menghuni alam di balik bayangan manusia tersebut.

Suara gesekan kembali terdengar dan bersamaan dengan itu, tampak kilat bayangan hitam melompat keluar, menghadang jalan di depan Luna. Kemunculan sosok hitam seperti bayangan makhluk berkaki empat sontak membekukan seluruh otot dan persendian Luna. Gadis itu terpaku—mematung, sementara iris berwarna violetnya tertuju pada sosok yang disebut Kaum Liar. Makhluk itu mendesis, berusaha menakut-nakutinya, namun di sisi lain tak berani mendekat.

Suara langkah lain terdengar mendekat dari arah belakang, membuat Luna semakin panik. Dengan sedikit bersusah payah ia mengayunkan tangan kanannya, pelan namun mantap. Sekejap bunga api hijau setinggi satu meter berkobar diantara dirinya dan Kaum Liar. Makhluk seperti bayangan itu melompat mundur menghindari api itu, dan tanpa membuang waktu, Luna memaksakan kakinya untuk kembali berlari, secepat mungkin, sejauh yang kakinya bisa, atau menghilang jika ia punya pilihan itu.

Seorang pemuda berwajah putih pucat dengan pipi tirus dan rahang tegap tiba tak lama kemudian. Ia menatap tajam kobaran api hijau yang masih menyala. Kemarahan terpancar jelas melalui sepasang matanya, tangannya terkepal erat sedangkan rahangnya mulai gemeretak akibat menahan luapan emosi yang teramat sangat.

“Ke mana lagi kau akan lari, Luna? Dengan luka itu, kau seharusnya diam menuruti keinginanku saja,” umpatnya seraya melirik murka pada Kaum Liar di depannya.

Makhluk yang meminjam wujud seperti bayangan manusia itu mengerti maksud tuannya. Secepat mungkin ia melesat berlari dengan kedua tangan dan kakinya, membawa jalan. Aroma darah manusia milik Luna begitu pekat, membuatnya mampu mengejar gadis itu dalam hitungan menit saja. Kaum Liar itu langsung melompat tinggi menerkam punggung Luna. Gadis manusia itu kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjerembab jatuh. Api hijau itu kembali menyala lalu membakar habis Kaum Liar sebelum makhluk itu menancapkan sederet gigi tajamnya pada bahu Luna.

Di saat yang bersamaan, pemuda berwajah putih pucat tiba. Sudut bibirnya sedikit terangkat, membentuk seulas senyum sinis ketika melihat perjuangan Luna. Ia senang melihat gadis itu mulai tak berdaya.

“Kau sungguh tak mengenal yang namanya menyerah, Luna,” sahutnya dari jarak sekitar lima meter dari Luna.

Perlahan Luna bangkit berdiri. Rambutnya yang berwarna coklat cherry dengan panjang mencapai pinggang tampak awut-awutan tak terurus. Darah mengucur keluar dari beberapa luka sayat pad kulit lengan, perut serta lehernya, sekaligus mengubah warna pakaiannya menjadi merah gelap. Tapi luka-luka itu belum seberapa dibanding garis sayatan vertikal panjang dan dalam yang berhasil membelah mata kiri Luna, membuatnya harus kehilangan setengah penglihatannya.

Seulas senyum mengejek tersungging di wajah Luna, sementara dirinya menatap sengit pada pemuda itu. “Kau tahu aku seorang yang sangat keras kepala, Ferenc,” desisnya penuh kebencian. Ia benci pemuda di depannya itu. Ia benci bagaimana pemuda itu tiba-tiba muncul dan menculiknya ke mansion tua bergaya Eropa kuno itu, mengurungnya di sana seolah ia hanyalah seekor burung kecil saja.

Sosok yang bernama Ferenc itu maju selangkah. Tak puas hanya selangkah, ia kembali maju satu langkah lagi. “Karena itulah aku suka padamu.” Terdengar nada halus yang terkesan dipaksakan dibalik ucapannya.

“Kau seharusnya bersyukur, Luna. Tak banyak manusia yang dibawa hidup-hidup ke alam ini, dan alam ini pun tak sembarang menerima manusia. Kau tahu apa artinya?”

Ferenc diam sejenak, memberi jeda singkat sebelum kembali berkata “Kau spesial, Luna, terbukti dari kekuatan api hijaumu itu.” Nada bicara Ferenc semakin melembut. Sementara jaraknya dengan Luna mendadak mengecil hingga hanya tertinggal sejengkal tangan saja.

Luna masih menatap Ferenc dengan sorot penuh perselisihan. Sedangkan kakinya refleks mundur selangkah. Benaknya tahu persis alam apa yang dimaksud Ferenc tadi. Fakta bahwa dirinya sedang berada di alam asing yang disebut alam bayangan ini tak bisa dipungkiri, seakan ia diculik oleh bangsa alien dan dibawa pergi ke planet lain.

“Kau hanya menginginkan kekuatanku saja, Ferenc. Tapi sayang, kau mungkin takkan mendapatkannya.” Luna membalas sarkastis, dan jujur saja, ia sendiri sebenarnya tak yakin dengan kata yang baru saja terlontar dari mulutnya. Namun di sisi lain, ada semacam dorongan kuat untuk mengatakan hal itu, dan Luna tak bisa menahan dirinya. Well, mungkin ia hanya ingin memanas-manasi pemuda saja dan hasilnya… Luna merasa sangat puas.

Ferenc menarik napas dalam-dalam, sementara sudut bibirnya tetap mempertahankan seulas senyum kaku. Sebisa mungkin ia ingin menghindari perselisihan dengan Luna. Ia tak ingin membuat gadis manusia itu semakin berontak, dan itu tidak bagus. Ferenc tak mau Luna kembali lari. Setidaknya sampai ia berhasil mendapatkan kekuatan api gadis manusia itu.

“Di luar sana jauh lebih berbahaya, Luna. Banyak yang mengincar dirimu. Ayo, kembalilah ke sisiku.” Ferenc melunak, berusaha membujuk Luna.

Tapi kelihatannya gadis manusia itu jauh lebih keras kepala, karena detik berikutnya api hijau kembali berkobar, menciptakan dinding pembatas yang memisahkan dirinya dengan pemuda berwajah putih pucat itu. Ferenc sontak mundur dua langkah, senyum kakunya sirna, sementara kelopak matanya melebar, terkejut dengan kemunculan api hijau itu.

Di sisi lain, ketegangan otot wajah Luna sedikit mulai mengendur lega. Semua Kaum Liar takut pada apinya, dan hal yang sama mungkin juga berlaku untuk Ferenc. Mungkin… entahlah, Luna belum pernah benar-benar menyerang pemuda itu dengan api hijaunya. Sewaktu di mansion tua itu, ia hanya bertarung dengan para penjaganya yang merupakan Kaum Liar saja, dan dari sanalah ia mendapatkan semua luka-luka ini.

Sinar matahari mulai menyeruak diantara celah dedaunan pohon, menerangi sedikit demi sedikit hutan yang semula dikuasai oleh kegelapan. Ferenc melangkah menembus begitu saja dinding api hijau di depannya. Sementara senyum kembali terkembang di wajahnya—lebih seperti seringai seorang bocah yang akhirnya berhasil mendapatkan sebuah permen.

Luna terperangah. Ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan ketika melihat api hijaunya yang bahkan tak melukai Ferenc sedikit pun, menempel di bajunya saja pun tidak! Namun saat ia tersentak sadar, Ferenc telah berdiri persis di hadapannya. Dengan gesit pemuda itu menangkap pergelangan Luna, mencegah gadis itu lari atau pun sekedar mundur untuk menjaga jarak darinya.

“Tak ada gunanya melawan, Luna. Api ini tak cukup kuat untuk melukaiku,” desisnya disertai hembusan napas kuat persis di depan wajah Luna. Halus namun penuh ancaman.

Luna menatap Ferenc tajam, seakan ingin segera melahapnya hidup-hidup. Ia memberontak, berusaha melepaskan pegangan Ferenc, tak sudi berada sedekat ini barang sedetik pun.

Api hijaunya kembali berkobar, kali ini membara pada genggaman Ferenc. Luna masih terus meronta sementara benaknya berharap pemuda itu akan terkejut dan refleks melepaskan tangannya. Sangat disayangkan, karena yang dilakukan Ferenc adalah sebaliknya, ia malah menarik kasar tangan Luna, hingga mau tidak gadis itu tertarik maju menubruk dadanya.

Luna terlonjak kaget, api hijau padam seketika. Di saat yang bersamaan, sesuatu terasa bergerak melingkari pinggangnya dari arah belakang, terasa geli dan tidak menyenangkan. Luna mendorong kuat bahu Ferenc, berusaha menjauhkan sosok itu. Namun sesuatu itu tampak menahan dirinya atau Ferenc untuk berpisah. Bodoh! Satu umpatan itu sontak melejit keluar dari benak Luna ketika ia baru sadar bahwa tangan Ferenc-lah yang sedari tadi menyusup melingkari pinggangnya!

Luna mendongak marah, kerutan pada keningnya semakin dalam sementara sorot penuh peringatan-untuk-segera-melepaskan-pinggangnya terpancar jelas dibalik iris violet sebelah kanannya.

Menanggapi tatapan sengit Luna, Ferenc malah memperkuat rangkulannya seraya tersenyum puas. Lalu didekatkan wajahnya pada gadis manusia itu hingga jarak diantara mereka hanya tersisa hitungan mili saja.

“Nah, sekarang ayo kita pulang, Luna sayang,” bisiknya pelan diikuti kecupan lembut pada pipi kanan Luna.

Lagi, Luna langsung meronta muak. Dengan satu tangan yang masih bebas bergerak, didorongnya tubuh pemuda itu agar segera menjauh. Sialnya, Ferenc mendekap dirinya semakin erat sementara wajah pemuda itu telah beralih ke telinga kanan Luna lalu turun menelusuri lekukan pada leher gadis itu. Hembusan napasnya terasa memburu, menggelitik, sekaligus… menjijikkan!

Luna benci diperlakukan seperti ini!

Ferenc mengangkat kepalanya, melepaskan wajahnya dari kulit leher Luna, sementara matanya beralih pada iris violet Luna. Ia tersenyum senang ketika melihat sorot kebencian yang terpancar oleh gadis manusia itu, namun di satu sisi juga terlihat amat sangat putus asa dan tak berdaya.

“Kau adalah milikku, Luna…” lirih Ferenc pelan, lalu mendaratkan bibirnya pada bibir Luna. Sempurna sudah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!