Garis-garis cahaya berwarna kuning dan orange berpendar sekaligus melompat-lompat kecil membentuk pilinan halus di atas luka-luka Luna. Gadis manusia itu tampak tengah berbaring nyaman di atas tempat tidur sembari menikmati irama dari lekukan pilinan cahaya tersebut. Sebagian besar pilinan cahaya berkumpul di mata kirinya. Tak heran karena bagian itulah luka sayatan terdalam yang ia dapatkan.
Di sisi lain kamar berukuran 7x7 itu, seorang dokter wanita tampak duduk santai di meja tak jauh dari tempat tidur Luna. Umurnya mungkin sekitar lima tahun lebih tua dari Luna. Ia memakai kacamata bingkai hitam yang sewarna dengan rambutnya yang lurus mengkilap. Pakaiannya terkesan formal dengan kemeja merah muda bermotif renda di sepanjang kancing dan dilapisi oleh jas putih panjang khas seorang dokter. Sebuah name tag bertali hitam tampak tergantung di lehernya. Florentina, itulah nama yang tertulis di atas name tag.
Tangan Florentina terlihat sibuk menulis sesuatu di atas map yang ditopang dengan tangan kirinya. Pulpen yang sedari tadi bergerak ringan naik turun kini berhenti sepenuhnya. Flo mengangkat kepalanya. “Sayatan mata kirimu sepertinya sangat dalam. Tapi tidak masalah. Tak ada luka yang tak bisa kusembuhkan,” komentarnya sambil menutup map dan meletakkannya di meja tak jauh di belakangnya.
Iris berwarna biru cerah Florentina menatap luka-luka Luna yang lain. Ia tersenyum puas saat luka-luka itu hampir pulih sepenuhnya. “Jangan khawatir, penglihatanmu akan segera pulih. Bahkan lebih cepat dari kau pikirkan. Tapi…”
Florentina diam sejenak seraya mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan kalimatnya. “Sepertinya bekas sayatan tak bisa hilang total. Akan ada segaris tipis nantinya,” katanya jujur dengan nada menyayangkan.
“Tidak apa-apa. Aku sudah cukup berterima kasih kau telah menyembuhkan seluruh lukaku,” balas Luna sama sekali tidak keberatan dengan keberadaan bekas luka di wajahnya.
Pilinan cahaya kuning orange mulai memudar satu demi satu. Kelopak mata kiri Luna terbuka pelan-pelan dengan sendirinya. Ia lalu mengejapkan mata beberapa kali seraya mengangkat tangannya, berusaha melihat tangannya sendiri dengan penglihatan normalnya. Wajah Luna berseri-seri ketika tahu penglihatan di mata kirinya telah kembali normal.
Sudut bibir Florentina mengembang menciptakan seulas senyum melebar. “Kalau bukan Rei yang minta, mungkin lukamu takkan sembuh secepat ini, atau mungkin saat ini kau sedang mengantri panjang di bawah saja,” ujarnya sembari kembali ke meja kerjanya.
Luna bangkit dari baringannya. Matanya terus mengamati gerak-gerik Florentina yang mulai kembali menulis sesuatu. “Apa kau dan Rei saling mengenal?” tanyanya ingin tahu.
“Lebih dari sekedar mengenal. Bisa dibilang teman yang sangat akrab dan bahkan melebihi adikku, Zeriel.” Florentina menjawab tanpa beralih dari mejanya.
“Well, Rei telah menunggumu di luar. Tak baik membuatnya menunggu lebih lama.” Florentina memberi isyarat ke arah pintu.
Sebenarnya Luna ingin bertanya lebih banyak. Dirinya ingin sedikit lebih memahami pemuda tak acuh namun menyimpan banyak sisi lembut itu. Tapi sepertinya kelihatannya sekarang bukan saat yang tepat. Toh di lain waktu ia masih bisa menemui Florentina dan bertanya lebih banyak. Untuk saat ini lebih baik ia segera keluar menemui Rei.
Rei terlihat berdiri bersandar pada dinding di depan kamar Luna. Iris coklatnya terfokus pada ponsel di tangannya namun langsung teralihkan oleh suara pintu terbuka. Bibirnya sontak tertarik sedikit membentuk sebuah senyum tipis yang teramat samar.
“Sepertinya Flo benar-benar mengembalikanmu seperti sedia kala.” Pilihan katanya sedikit aneh. Tapi Luna mengerti.
“Well, kecuali di bagian ini…” Rei menambahkan seraya menunjuk garis vertikal tipis pada mata kiri Luna. Luna tersenyum kecil menanggapi ucapan Rei. Ia sendiri sama sekali tak berusaha menutupi bekas sayatan itu.
“Jadi… bagaimana keadaanmu?” Rei kembali bertanya saat dirinya membawa Luna menuju lift antar tingkat. Entah ke mana lagi mereka akan pergi sekarang.
“Aku baik-baik saja,” jawab Luna secara natural membalas tatapan Rei. Layaknya tersihir oleh pesona di balik sepasang warna violet itu, Rei merasa dirinya seperti tengah dijerat dan tak mampu melepaskan diri dari pesona itu. Detik berikutnya ia langsung memalingkan wajahnya memandang ke arah lain.
“Baguslah,” sahutnya singkat. Tersirat kelegaan dibalik ucapan Rei yang masih kukuh memasang wajah tak berekspresi itu.
Mereka kembali masuk ke lift. “Aku telah mengurus semua surat tempat tinggalmu di sini. Sebenarnya ini adalah tugas Zeriel, tapi kurasa ia sendiri sedang sibuk di luar sana. Entah mengurus apa.” Rei kembali berkata sambil membimbing Luna menuju tingkat dua, lantai seratus sebelas.
Di lantai seratus sebelas inilah para manusia dari Alam Manusia yang kotanya secara tak beruntung menyatu dengan Alam Bayangan tinggal. Untuk sementara Pusat memutuskan untuk menampung para manusia di sini. Well, lantai seratus sebelas ini tampak seperti sebuah kota kecil, lengkap dengan rumah model kondominium, taman, jalan, trotoar dan banyak lagi. Sedangkan di langit-langit terpasang sebuah alat yang berfungsi mengatur perubahan siang dan malam. Jika tidak melihat keluar kaca jendela hitam—yang rupanya bisa melihat pemandangan luar dengan jernih—maka tak seorang pun yang sadar kalau mereka sebenarnya berada dalam sebuah gedung.
Di sini Luna melihat beberapa wajah yang ia kenal. Beberapa tetangga, teman kuliah serta wajah khas manusia yang sangat ekspresif. Mereka bahkan langsung tersenyum melihat kedatangan Luna. Tak seperti wajah-wajah Kaum Bayangan yang cenderung kaku, datar atau hanya sesekali tersenyum tipis—tak terkecuali Rei.
“Kau akan tinggal di sini. Jangan keluar dari lantai ini, karena tanpa sadar kau akan tersesat. Tentu saja kali ini aku tak mau merepotkan diriku untuk mencarimu.” Rei mengingatkan sambil menyerahkan amplop putih kecil yang ditarik keluar dari saku celananya. “Nomor dan kunci kamar.”
“Oh ya, mungkin Zeriel atau seseorang akan datang mencarimu nanti. Membicarakan satu atau beberapa hal.” Rei menambahkan sebelum berbalik.
“Bagaimana denganmu?” Luna menahan kepergian Rei. “Apakah kau akan berhadapan dengan naga itu?” Dengan ragu-ragu Luna menebak.
Rei tak berniat menjawab. Ia hanya memasang wajah antara iya dan tidak. Berhadapan mungkin bukan kata yang cocok untuk merepresentasikan tugas berikutnya. Tapi ia tidak berkewajiban untuk menjelaskan lebih lanjut pada gadis manusia itu—tidak untuk saat ini. Satu hari ini sudah cukup melelahkan. Rei tak mau membebani pikiran Luna lebih jauh.
Sekali lagi, tidak untuk saat ini.
*****
Kepulan uap dingin berwarna putih tebal keluar dari dua lubang besar secara bersamaan dan teratur. Menandakan udara di tempat itu sangatlah dingin. Bagian atas lubang tampak mengembang dan mengempis dalam interval yang tidak terlalu panjang. Sepasang bola mata merah menyala bagaikan bara magma tiba-tiba terbuka lebar tak jauh di atas lubang tersebut. Biji matanya bergerak pelan melirik sosok yang menghampirinya.
Mata itu tiba-tiba terangkat ke atas digantikan oleh pemandangan deretan gigi tajamnya. Lidah panjang tampak terjulur keluar. Sang naga menguap lebar dan diakhiri dengan hembusan napas kuat hingga menerpa debu halus di ujung moncongnya.
“Kau hampir membuatku mati kebosanan, Nathanael.” Sang naga menyapa sosok menyerupai raga manusia yang dibentuk oleh campuran cairan seperti tinta hitam dengan kabut segelap malam.
Sosok Nathanael muncul begitu saja dengan perantara bayangan. Lapisan kulit sawo matang perlahan tersingkap saat cairan tinta hitam mulai tersedot ke satu titik di lengan kanannya, memperlihatkan wujud nyata seorang pemuda.
“Kau sendiri langsung terbang ke sini begitu merasakan kekuatan itu, bukan? Selalu saja tak sabaran,” gerutu pemuda yang dipanggil Nathanael itu. Ia kemudian memanjat dari satu puing ke puing lain yang lebih tinggi agar bisa bertatapan langsung dengan sang makhluk raksasa bersisik merah bata itu. Dalam jarak sedekat ini, ia mampu melihat jelas sepasang tanduk runcing yang menjulang di atas kepala sang naga. Sedangkan gerigi kecil, tebal, dan tak sama rata tampak berdiri berjejer dari puncak kepala menuju leher, punggung hingga berakhir di ekornya.
Sedangkan sinar bulan purnama di malam itu tampaknya cukup terang untuk menguak identitas sosok pemuda berkekuatan bayangan itu. Wajahnya sudah tak asing lagi, hanya saja penampilannya sekarang terlihat lebih rapi. Rambut hitam pendek yang di sisir rapi ke atas serta iris mata berwarna coklat yang berkilau akibat pantulan cahaya bulan. Ia mengenakan sebuah kaos abu-abu dibalik jaket hoodie merah marun dengan ritsleting yang ditarik hingga setengah saja.
Rei Nathanael memilih duduk di atas puing yang menghadap ke arah kota. Tak ada aura permusuhan atau pun ketegangan diantara mereka, dan malah sebaliknya, keakraban dan kedamaian seolah keduanya akhirnya bertemu setelah sekian lama.
“Gadis manusia itu, bukan? Aku melihatnya melalui jendela tadi. Apakah dia adalah keturunan dari pemilik api kematian sebelum dirimu?” Sang naga berbicara.
Rei menundukkan kepalanya, menatap retakan pada batu yang ia duduki. “Takdir bukanlah sesuatu yang bisa kita atur sendiri, kawan. Meski telah dibawa ke Alam Manusia, tapi pada akhirnya api itu tetap kembali ke sini.”
“Benar, Luna adalah keturunannya sekaligus pemilik api kematian yang baru.” Tersirat ribuan kecemasan juga kegelisahan dibalik ucapan Rei. Ia menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan lagi, “Pertempuran sebulan yang lalu telah direncanakan. Mereka sengaja mengacaukan keseimbangan Alam Manusia dan Alam Bayangan. Tujuannya hanya satu, yaitu mengambil kembali api kematian.”
Sang naga mengangkat kepalanya. Sepasang iris merah magma miliknya menatap serius pada Rei. “Kaum Ifrit… ya, sudah dua puluh tahun lebih mereka mengincar api kematian itu,” gumamnya bersungut-sungut.
Ia sudah menebak pertempuran besar di alam bayangan beberapa waktu lalu adalah perbuatan Kaum Ifrit, makhluk licik kejam dan memiliki rupa buruk itu tak mungkin menyerah begitu gampang. “Tapi aku masih tak menyangka pertempuran itu mempengaruhi Alam Manusia dan bahkan sampai menyatukan dua dimensi paralel yang seharusnya terpisah ini.”
“Eldian sendiri juga tidak menyangka sampai ia merasakan sendiri keberadaan api kematian di Pusat,” balas Rei. Eldian yang dimaksud adalah Petinggi Kaum Bayangan. Rei sempat menemuinya saat Luna sedang mengobati lukanya bersama Flo.
“Lalu, apa kalian sudah mendapat petunjuk siapa yang membocorkan informasi keberadaan api kematian?” Sang naga bertanya lagi.
“Ada beberapa spekulasi. Tapi semua dugaan masih kurang kuat, bukti terlalu sedikit. Eldian hanya menyarankan untuk lebih berhati-hati,” jawab Rei.
Sang naga tak berkomentar lebih lanjut. Ia sendiri tidak berharap akan mendapatkan jawaban yang memuaskan. “Setelah kejadian ini, apakah kau berencana mengambil kembali api itu? Aku dan Kakek Tetua akan lebih tenang jika api itu ada di tanganmu, Nathanael,” ucapnya, dan Rei hanya mengatup rapat mulutnya. Sepertinya pemuda itu tak berpikir demikian.
Sang naga menangkap sinyal yang tak sesuai harapannya. Ia mendengus tak senang dan mengakibatkan terpaan angin dingin lembab pada kulit wajah Rei. Sang naga tak suka jika Rei tetap membiarkan api kematian terus berada dalam kendali seorang gadis manusia.
Rei tak mempedulikan sorot membara yang terpancar di balik mata sang naga. Iris coklatnya malah asik memandang jauh ke arah hutan. Ia larut dalam pikirannya sendiri. Pikiran yang campur aduk dan penuh dengan ribuan pertimbangan, keraguan, ketakutan serta keyakinan aneh yang mendadak ikut mengambil bagian.
“Aku selalu menghormati keputusanmu, Nathanael. Jika kau tak berniat mengambil kembali api itu, berarti kau punya keyakinan atas kemampuan gadis itu.” Sang naga kembali berbicara. Kepercayaannya pada Rei sepertinya berhasil menekan gejolak emosi yang hampir meluap.
“Besok pagi… bawa dia ke sini. Aku ingin memastikan apakah keyakinanmu benar atau kau hanya ingin sekadar lari, Nathanael,” sahut sang naga tegas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments