Darah mengalir keluar dari celah akibat sayatan dalam, lalu turun membasahi kulit wajah sebelum akhirnya menetes jatuh, membentuk jejak seperti cipratan benda cair di permukaan tanah. Dengan langkah sempoyongan Luna melewati satu pohon ke pohon lain. Dadanya naik-turun dengan cepat, sedangkan tangannya bergerak mencengkeram kuat batang pohon, berusaha menopang dirinya yang mulai kehabisan napas ini. Ia terbatuk beberapa kali seraya bersandar lemas pada batang pohon itu. Lelah dan juga lapar.
Uap dingin mengepul keluar dari celah diantara bibirnya saat ia berusaha mengatur kembali napasnya. Angin beku sedari tadi bertiup menusuk-nusuk masuk ke sum-sum tulangnya, dingin seperti es.
Luna mengalihkan perhatiannya ke sekelilingnya, tak ada siapa-siapa. Kesunyian hutan ini benar-benar membuatnya larut dalam kesendirian. Hanya ada dirinya beserta pohon yang entah berjenis apalah itu. Luna tidak tahu sudah seberapa jauh jarak yang telah dirinya tempuh sejak melarikan diri dari mansion tua bergaya Eropa kuno di balik hutan ini. Yang pasti ia baru saja melewati sepanjang malam dingin dan mencekam ini dengan terus berlari. Beruntung subuh segera tiba, setidaknya ia tak perlu lagi berlari sambil meraba-raba satu pohon ke pohon lain yang seolah menyatu dengan gelapnya bayangan hutan.
Suara gesekan dari arah semak-semak memecahkan keheningan di tempat itu. Masih dengan posisi bersandar, Luna berusaha menegakkan tubuhnya. Kepanikan tergambar jelas di wajah kotor penuh darahnya. Jika yang muncul adalah Kaum Liar, ia tidak terlalu takut, ia tidak takut jika harus berhadapan dengan makhluk liar yang menghuni alam di balik bayangan manusia tersebut.
Suara gesekan kembali terdengar dan bersamaan dengan itu, tampak kilat bayangan hitam melompat keluar, menghadang jalan di depan Luna. Kemunculan sosok hitam seperti bayangan makhluk berkaki empat sontak membekukan seluruh otot dan persendian Luna. Gadis itu terpaku—mematung, sementara iris berwarna violetnya tertuju pada sosok yang disebut Kaum Liar. Makhluk itu mendesis, berusaha menakut-nakutinya, namun di sisi lain tak berani mendekat.
Suara langkah lain terdengar mendekat dari arah belakang, membuat Luna semakin panik. Dengan sedikit bersusah payah ia mengayunkan tangan kanannya, pelan namun mantap. Sekejap bunga api hijau setinggi satu meter berkobar diantara dirinya dan Kaum Liar. Makhluk seperti bayangan itu melompat mundur menghindari api itu, dan tanpa membuang waktu, Luna memaksakan kakinya untuk kembali berlari, secepat mungkin, sejauh yang kakinya bisa, atau menghilang jika ia punya pilihan itu.
Seorang pemuda berwajah putih pucat dengan pipi tirus dan rahang tegap tiba tak lama kemudian. Ia menatap tajam kobaran api hijau yang masih menyala. Kemarahan terpancar jelas melalui sepasang matanya, tangannya terkepal erat sedangkan rahangnya mulai gemeretak akibat menahan luapan emosi yang teramat sangat.
“Ke mana lagi kau akan lari, Luna? Dengan luka itu, kau seharusnya diam menuruti keinginanku saja,” umpatnya seraya melirik murka pada Kaum Liar di depannya.
Makhluk yang meminjam wujud seperti bayangan manusia itu mengerti maksud tuannya. Secepat mungkin ia melesat berlari dengan kedua tangan dan kakinya, membawa jalan. Aroma darah manusia milik Luna begitu pekat, membuatnya mampu mengejar gadis itu dalam hitungan menit saja. Kaum Liar itu langsung melompat tinggi menerkam punggung Luna. Gadis manusia itu kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjerembab jatuh. Api hijau itu kembali menyala lalu membakar habis Kaum Liar sebelum makhluk itu menancapkan sederet gigi tajamnya pada bahu Luna.
Di saat yang bersamaan, pemuda berwajah putih pucat tiba. Sudut bibirnya sedikit terangkat, membentuk seulas senyum sinis ketika melihat perjuangan Luna. Ia senang melihat gadis itu mulai tak berdaya.
“Kau sungguh tak mengenal yang namanya menyerah, Luna,” sahutnya dari jarak sekitar lima meter dari Luna.
Perlahan Luna bangkit berdiri. Rambutnya yang berwarna coklat cherry dengan panjang mencapai pinggang tampak awut-awutan tak terurus. Darah mengucur keluar dari beberapa luka sayat pad kulit lengan, perut serta lehernya, sekaligus mengubah warna pakaiannya menjadi merah gelap. Tapi luka-luka itu belum seberapa dibanding garis sayatan vertikal panjang dan dalam yang berhasil membelah mata kiri Luna, membuatnya harus kehilangan setengah penglihatannya.
Seulas senyum mengejek tersungging di wajah Luna, sementara dirinya menatap sengit pada pemuda itu. “Kau tahu aku seorang yang sangat keras kepala, Ferenc,” desisnya penuh kebencian. Ia benci pemuda di depannya itu. Ia benci bagaimana pemuda itu tiba-tiba muncul dan menculiknya ke mansion tua bergaya Eropa kuno itu, mengurungnya di sana seolah ia hanyalah seekor burung kecil saja.
Sosok yang bernama Ferenc itu maju selangkah. Tak puas hanya selangkah, ia kembali maju satu langkah lagi. “Karena itulah aku suka padamu.” Terdengar nada halus yang terkesan dipaksakan dibalik ucapannya.
“Kau seharusnya bersyukur, Luna. Tak banyak manusia yang dibawa hidup-hidup ke alam ini, dan alam ini pun tak sembarang menerima manusia. Kau tahu apa artinya?”
Ferenc diam sejenak, memberi jeda singkat sebelum kembali berkata “Kau spesial, Luna, terbukti dari kekuatan api hijaumu itu.” Nada bicara Ferenc semakin melembut. Sementara jaraknya dengan Luna mendadak mengecil hingga hanya tertinggal sejengkal tangan saja.
Luna masih menatap Ferenc dengan sorot penuh perselisihan. Sedangkan kakinya refleks mundur selangkah. Benaknya tahu persis alam apa yang dimaksud Ferenc tadi. Fakta bahwa dirinya sedang berada di alam asing yang disebut alam bayangan ini tak bisa dipungkiri, seakan ia diculik oleh bangsa alien dan dibawa pergi ke planet lain.
“Kau hanya menginginkan kekuatanku saja, Ferenc. Tapi sayang, kau mungkin takkan mendapatkannya.” Luna membalas sarkastis, dan jujur saja, ia sendiri sebenarnya tak yakin dengan kata yang baru saja terlontar dari mulutnya. Namun di sisi lain, ada semacam dorongan kuat untuk mengatakan hal itu, dan Luna tak bisa menahan dirinya. Well, mungkin ia hanya ingin memanas-manasi pemuda saja dan hasilnya… Luna merasa sangat puas.
Ferenc menarik napas dalam-dalam, sementara sudut bibirnya tetap mempertahankan seulas senyum kaku. Sebisa mungkin ia ingin menghindari perselisihan dengan Luna. Ia tak ingin membuat gadis manusia itu semakin berontak, dan itu tidak bagus. Ferenc tak mau Luna kembali lari. Setidaknya sampai ia berhasil mendapatkan kekuatan api gadis manusia itu.
“Di luar sana jauh lebih berbahaya, Luna. Banyak yang mengincar dirimu. Ayo, kembalilah ke sisiku.” Ferenc melunak, berusaha membujuk Luna.
Tapi kelihatannya gadis manusia itu jauh lebih keras kepala, karena detik berikutnya api hijau kembali berkobar, menciptakan dinding pembatas yang memisahkan dirinya dengan pemuda berwajah putih pucat itu. Ferenc sontak mundur dua langkah, senyum kakunya sirna, sementara kelopak matanya melebar, terkejut dengan kemunculan api hijau itu.
Di sisi lain, ketegangan otot wajah Luna sedikit mulai mengendur lega. Semua Kaum Liar takut pada apinya, dan hal yang sama mungkin juga berlaku untuk Ferenc. Mungkin… entahlah, Luna belum pernah benar-benar menyerang pemuda itu dengan api hijaunya. Sewaktu di mansion tua itu, ia hanya bertarung dengan para penjaganya yang merupakan Kaum Liar saja, dan dari sanalah ia mendapatkan semua luka-luka ini.
Sinar matahari mulai menyeruak diantara celah dedaunan pohon, menerangi sedikit demi sedikit hutan yang semula dikuasai oleh kegelapan. Ferenc melangkah menembus begitu saja dinding api hijau di depannya. Sementara senyum kembali terkembang di wajahnya—lebih seperti seringai seorang bocah yang akhirnya berhasil mendapatkan sebuah permen.
Luna terperangah. Ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan ketika melihat api hijaunya yang bahkan tak melukai Ferenc sedikit pun, menempel di bajunya saja pun tidak! Namun saat ia tersentak sadar, Ferenc telah berdiri persis di hadapannya. Dengan gesit pemuda itu menangkap pergelangan Luna, mencegah gadis itu lari atau pun sekedar mundur untuk menjaga jarak darinya.
“Tak ada gunanya melawan, Luna. Api ini tak cukup kuat untuk melukaiku,” desisnya disertai hembusan napas kuat persis di depan wajah Luna. Halus namun penuh ancaman.
Luna menatap Ferenc tajam, seakan ingin segera melahapnya hidup-hidup. Ia memberontak, berusaha melepaskan pegangan Ferenc, tak sudi berada sedekat ini barang sedetik pun.
Api hijaunya kembali berkobar, kali ini membara pada genggaman Ferenc. Luna masih terus meronta sementara benaknya berharap pemuda itu akan terkejut dan refleks melepaskan tangannya. Sangat disayangkan, karena yang dilakukan Ferenc adalah sebaliknya, ia malah menarik kasar tangan Luna, hingga mau tidak gadis itu tertarik maju menubruk dadanya.
Luna terlonjak kaget, api hijau padam seketika. Di saat yang bersamaan, sesuatu terasa bergerak melingkari pinggangnya dari arah belakang, terasa geli dan tidak menyenangkan. Luna mendorong kuat bahu Ferenc, berusaha menjauhkan sosok itu. Namun sesuatu itu tampak menahan dirinya atau Ferenc untuk berpisah. Bodoh! Satu umpatan itu sontak melejit keluar dari benak Luna ketika ia baru sadar bahwa tangan Ferenc-lah yang sedari tadi menyusup melingkari pinggangnya!
Luna mendongak marah, kerutan pada keningnya semakin dalam sementara sorot penuh peringatan-untuk-segera-melepaskan-pinggangnya terpancar jelas dibalik iris violet sebelah kanannya.
Menanggapi tatapan sengit Luna, Ferenc malah memperkuat rangkulannya seraya tersenyum puas. Lalu didekatkan wajahnya pada gadis manusia itu hingga jarak diantara mereka hanya tersisa hitungan mili saja.
“Nah, sekarang ayo kita pulang, Luna sayang,” bisiknya pelan diikuti kecupan lembut pada pipi kanan Luna.
Lagi, Luna langsung meronta muak. Dengan satu tangan yang masih bebas bergerak, didorongnya tubuh pemuda itu agar segera menjauh. Sialnya, Ferenc mendekap dirinya semakin erat sementara wajah pemuda itu telah beralih ke telinga kanan Luna lalu turun menelusuri lekukan pada leher gadis itu. Hembusan napasnya terasa memburu, menggelitik, sekaligus… menjijikkan!
Luna benci diperlakukan seperti ini!
Ferenc mengangkat kepalanya, melepaskan wajahnya dari kulit leher Luna, sementara matanya beralih pada iris violet Luna. Ia tersenyum senang ketika melihat sorot kebencian yang terpancar oleh gadis manusia itu, namun di satu sisi juga terlihat amat sangat putus asa dan tak berdaya.
“Kau adalah milikku, Luna…” lirih Ferenc pelan, lalu mendaratkan bibirnya pada bibir Luna. Sempurna sudah.
“Kau adalah milikku, Luna…” lirih Ferenc pelan, lalu mendaratkan sebuah ciuman pada bibir Luna.
Kelopak mata Luna sontak terbuka sangat lebar. Ia langsung mendorong kasar bahu Ferenc, dan pemuda itu malah semakin memperkuat rangkulannya, tak menyisakan ruang sedikit pun diantara mereka. Detik yang sama juga tangan Ferenc yang satu lagi telah melepaskan pergelangan Luna, dan beralih menangkup wajah gadis itu. Ia melahap rakus bibir gadis dalam dekapannya itu dengan hasrat ingin segera menguasai gadis itu seutuhnya.
Napas Ferenc terasa menggebu cepat, menyatu dengan napas Luna sendiri. Sedangkan kedua tangan Luna masih terus mendorong bahu Ferenc, dan sesekali memukul kuat pemuda itu. Sementara Ferenc belum memberi tanda-tanda untuk menyudahi ciuman paksa ini. Ia masih saja asik ******* dengan kasarnya seperti binatang buas.
Luna akhirnya menyerah. Tangannya terkulai lemas, merosot pasrah di dada Ferenc. Sementara mata terpejam rapat, membiarkan Ferenc berbuat semuanya. Luna tak lagi melawan, dirinya sudah benar-benar pasrah dan tak peduli lagi. Ia hanya bisa berharap mimpi buruk ini akan segera berlalu. Berharap semua ini akan berakhir!
Ferenc melepaskan ciumannya, sementara Luna langsung menyentakkan kepalanya ke arah kanan. Buru-buru tangannya bergerak secepat kilat menghapus jejak tak terlihat—bekas ciuman—di bibirnya sendiri. Ia bahkan menolak untuk melihat kepuasan menjijikkan yang terpancar dengan amat kentara di wajah Ferenc. Mau tidak mau Luna harus mengakui bahwa dirinya benar-benar telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah.
“Aku suka kau yang penurut seperti ini, Lu—”
Satu dentuman halilintar yang memekakkan telinga memotong ucapan Ferenc. Lalu diikuti kilat cahaya petir singkat di balik cerahnya langit pagi. Ferenc melepaskan rangkulannya pada Luna. Ia menoleh ke kiri dan kanan, sementara biji matanya bergerak gusar mengitari segala arah. Tak menemukan siapa pun. Meski begitu, raut wajahnya tetap saja menunjukkan kepanikan dan kengerian yang teramat sangat.
“A…Ayo,” ajaknya terbata-bata sembari menarik kasar tangan Luna.
Luna mengikutinya dalam diam dan nyaris tersandung jatuh ketika dirinya terpaksa mengimbangi langkah super cepat Ferenc yang begitu tiba-tiba ini, seolah mereka sedang lari dari kejaran sesuatu.
Dibanding Ferenc, Luna terlihat jauh lebih tenang. Mungkin karena ia sendiri tak tahu apa yang sebenarnya terjadi atau apa yang sedang mengincar mereka. Well, baginya sambaran petir itu hanyalah suatu bentuk perubahan cuaca. Tak ada yang harus ditakutkan, bukan?
“Jangan bergerak, tetaplah berdiri seperti itu.” Sekilas sebuah suara melintas begitu saja di telinga Luna. Gadis manusia itu mengangkat kepalanya, pandangannya beralih dari permukaan tanah ke sisi kiri dan kanan, mencari sumber suara. Tak ada siapa pun selain Ferenc.
Sementara kakinya terus melangkah mengikuti tarikan Ferenc yang kini lebih seperti seretan atas dirinya, Luna mulai bertanya-tanya bingung dengan suara yang terdengar nyata namun tak seperti nyata juga.
“Mungkin hanya bayanganku saja,” tepisnya cepat dalam hati.
Suara itu kembali terdengar. “Sudah kubilang jangan bergerak, tetaplah diam di sana, jangan mencari, kau takkan melihat apa pun kare—” Ucapan sang suara terpotong dengan jeritan petir yang tiba-tiba menyambar dengan hebatnya.
Petir bertegangan tinggi yang berwarna merah kehitaman, menyambar ganas secara tegak lurus dari langit hingga ke tanah, membelah jarak sempit diantara Luna dan Ferenc. Refleks kaki Luna membawa dirinya mundur dua langkah sebelum otot-ototnya kehilangan seluruh tenaga. Luna jatuh terduduk, terperangah menyaksikan petir merah kehitaman yang masih menyala-nyala dengan liarnya.
Iris violetnya tak berhenti menatap amukan sang petir beserta percikan listrik kecil yang menari-nari riang di depannya. Kagum. Setidaknya itulah yang tergambar jelas di wajah polos seorang manusia yang baru pertama kali menyaksikan sambaran petir dari jarak sedekat ini, jarak yang kurang dari semeter ini.
Sesosok pemuda tampak berlutut di balik kilat cahaya petir yang mulai meredup. Tangannya memegang sebuah pedang hitam legam di mana mata pedangnya menempel sepenuhnya di atas tanah, seolah baru saja memotong sesuatu. Rambut hitam pendeknya terlihat sangat berantakan, persis seperti penampilannya yang menurut Luna… cukup kacau. Ia mengenakan kaos abu-abu gelap dengan sebuah jaket hoodie berwarna merah marun yang diikat di pinggangnya. Sedangkan setelan bawahnya adalah celana cargo panjang berwarna hijau lumut gelap.
Sosok itu bangkit berdiri seraya menatap Luna melalui iris berwarna coklatnya. Tatapan mereka bertemu, membuat Luna merasakan hawa aneh menyeruak masuk melalui pori-pori kulitnya. Benaknya yang kosong seakan terisi kembali ole hawa yang menenangkan sekaligus mendebarkan. Tak ada rasa takut sama sekali, malah kini jantung Luna berdebar sangat cepat dan tak terkendali. Perasaan apa ini?
Sosok pemuda itu mengangkat pedangnya lalu ditopang pada bahu kanannya dengan santai. “Sepertinya aku memotong tangan yang benar,” ujarnya ketika melihat potongan tangan Ferenc yang masih menggenggam—menggelantung—pada pergelangan Luna.
Luna tersentak sadar dari lamunan singkatnya. Buru-buru ia menyingkirkan ‘tangan’ itu. Jijik, karena hanyalah sebuah potongan tangan.
“Kau baik-baik saja? Luka itu bukan karena petir tadi, kan? Well, karena kau tidak menjawab, kuanggap kau tidak terluka karena seranganku tadi,” ujar sang pemuda cepat, bahkan tak menunggu jawaban Luna. Ia menarik sendiri kesimpulan bahwa Luna tak terluka karena petirnya tadi. Sepertinya ia takut jika Luna benar-benar terluka karena serangan mendadaknya itu, meski Luna sendiri tak tahu apa yang membuatnya harus begitu takut.
“Sudah kubilang tunggu sampai gadis manusia ini setuju untuk tidak bergerak. Bagaimana jika dia terkena sambaran petirmu?” Suara tadi kembali terdengar lagi. Namun kali ini lebih jelas dan berasal dari balik punggung Luna. Spontan Luna memutar setengah tubuhnya, melihat ke belakang.
Sang pemilik suara berdiri tak jauh di belakangnya. Tak seperti pemuda pertama, ia memiliki sorot dingin yang terpancar terlalu nyata melalui sepasang iris biru laut yang sedang membalas pandangan Luna. Ekspresi wajahnya datar dan lebih mengarah ke menakutkan. Mungkin karena didukung oleh rambut hitam yang panjangnya nyaris mencapai leher, serta dagu yang terbenam di balik syal putih yang dibalut melingkari lehernya.
“Tapi dia tidak terluka.” Pemuda pertama menjawab dengan polos, tetap pada kesimpulannya sendiri. Sementara pandangan pemuda kedua kini beralih pada luka-luka Luna. “Oh, luka-lukanya bukan aku yang buat, jika itu yang kau khawatirkan,” tambahnya cepat tak ingin disalahkan.
Pemuda berwajah datar itu berlutut di samping Luna seraya menatapnya dengan sangat lama tanpa berkata sepatah kata pun. Luna membalas tatapannya. Ludah terasa sangat sulit melewati tenggorokan yang mendadak menjadi sangat kering. Seumur hidupnya, ia tak pernah ditatap intens seperti ini apalagi oleh seseorang dengan ekspresi sedatar aspal jalan ini.
Siapa pun itu, tolong gantikan si ekspresi datar dengan si pedang saja, ia jauh lebih ramah dibanding temannya ini, teriak batin Luna yang tentu saja tak ditunjukkan secara nyata melalui raut wajahnya.
Si ekspresi datar berdeham. “Hanya informasi saja, dia, tak seramah yang kau duga. Kau baru saja tertipu oleh kesan pertama,” bisiknya seakan tahu apa yang ada di pikiran Luna.
“Aku Zeriel, bagian penyelamatan manusia, atau sejenisnya. Sebenarnya tak ada bagian itu di alam ini. Tapi banyak hal yang telah terjadi. Jadi anggap saja seperti itu.” Penjelasannya terkesan setengah-setengah, seolah enggan mengeluarkan kosa kata yang lebih banyak.
“Dan dia…” Iris biru laut Zeriel berpindah ke rekannya, hendak memintanya memperkenalkan diri. Namun detik berikutnya mulut Zeriel terkatup rapat. Pandangannya tak lepas dari rekannya yang berjalan mendekati Ferenc seraya menyeret pedang hitam legam. Garis tipis terukir di atas tanah akibat gesekan ujung mata pedang yang diseret.
Sementara Ferenc terlihat tak jauh di depan Luna. Ia menyeret tubuhnya mundur dengan gemetar. Darah masih bercucuran keluar dari tangannya yang terpotong, membentuk sungai darah kecil. Sedangkan matanya tak berhenti menatap sang pemuda yang semakin dekat dengan raut penuh teror. Wajah putih pucatnya kini melebihi putih dibanding selembar kertas, seolah dirinya tengah berhadapan dengan monster paling menakutkan yang pernah ada. Tak disangkal, karena detik berikutnya semua berubah menjadi merah darah.
Pedang hitam legam seperti warna obsidian itu melesat cepat membentuk garis horizontal, memotong habis leher Ferenc. Detik berikutnya, kepala Ferenc jatuh menggelinding menjauhi. Lalu tubuhnya menyusul ambruk tak lama kemudian. Setelah itu darah merah segar barulah mengalir keluar.
Sang pemilik pedang kembali menegak tubuhnya. Pedang hitam legamnya kembali ditopang pada bahunya. Tak tampak setetes pun noda darah pada mata pedang hitam itu, semua dilakukan dengan sangat cepat dan terkesan rapi. Pemuda itu baru saja memberi sebuah kematian instan tanpa rasa sakit.
Seolah baru tersadar dari jeda yang teramat panjang ini, ia memutar tubuhnya seraya berkata “Menungguku memperkenalkan diri? Well… panggil saja Rei, bagian potong memotong seperti ini.” Ia mengangkat pedang hitamnya sedikit sebelum menghunjam dada Ferenc, mempercepat terciptanya genangan darah yang lebih banyak.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak serangan misterius pada satu kota di alam manusia. Ya, hanya satu kota saja yang terkena efek akibat kekacauan yang terjadi di alam bayangan, dan yang pasti, sejak saat itu Luna tak pernah lagi mendengar kabar mengenai kota tempat tinggalnya itu.
Ia ingat saat di mana serangan dimulai. Gedung yang tiba-tiba roboh seolah ditimpa oleh sesuatu yang besar, tanah yang tak pernah berhenti berguncang lebih dari tiga menit, dan yang paling parah adalah tubuh manusia yang secara misterius terbelah di pinggir jalan atau hantaman tiba-tiba jatuh hingga meremukkan tulang manusia. Semuanya terjadi sangat mendadak dan tak terlihat oleh mata.
“Itu adalah pertarungan di alam bayangan,” komentar Zeriel seraya tetap fokus mengemudi mobil SUV berwarna hitamnya melintasi ruas jalan hutan yang sangat tak mulus.
“Pertempuran besar, lebih ke arah perang tepatnya dan secara tak beruntung berimbas pada alam manusia. Well, tepatnya pada satu kota di alam manusia saja, dan itulah kota tempat tinggalmu.” Ia menambahkan, sementara iris biru lautnya telah melirik sekilas pada Luna, gadis manusia yang duduk di kursi penumpang di samping kirinya.
Pantulan cahaya matahari siang itu membuat rambut coklat cherry Luna sedikit berkilau. Perban tampak melingkar menutupi di dahi hingga mata kirinya, menutupi bekas sayatan di bagian itu. Luka itu kini tak meninggalkan rasa sakit apa pun pada gadis itu. Mata kirinya telah mati rasa.
“Apa yang terjadi?” Luna bertanya, penasaran dengan pertempuran besar yang disebut Zeriel tadi. Tak banyak yang ia ketahui meski dirinya cukup lama tinggal di alam bayangan ini. Ferenc, sosok yang menculiknya itu tak banyak membahas tentang pertempuran yang disebut perang ini.
“Terlalu rumit untuk diceritakan. Tapi sekarang, semuanya sudah berakhir. Hanya tersisa beberapa masalah yang cukup memusingkan. Seperti satu kota ini yang menyatu dengan alam bayangan.”
Di saat yang bersamaan, mobil SUV mereka telah memasuki sebuah kota yang setengah lebih hancur berantakan seperti habis diterjang badai hebat. Jalanan tak lagi mulus layaknya keadaan normal, seolah baru saja kejatuhan benda-benda kecil namun teramat berat, menghancurkan aspal serta meninggalkan lubang-lubang yang dalam di sepanjang badan jalan.
Zeriel terpaksa menurunkan kecepatan mobil, berusaha mencari jalan sebagus mungkin untuk dilewati. Ia tak ingin Luna merasa tak nyaman dengan kondisi yang ada, walau sebenarnya Luna sendiri sepertinya tidak keberatan.
Sedangkan iris violet Luna kini kembali menatap keluar jendela. Tak terkejut ketika melihat kota tempat tinggalnya telah berubah sehancur ini. Sangat berbeda sekali dibanding terakhir kali ia melihatnya. Bangunan yang dulunya berdiri megah, kini hanya tersisa seperempat. Banyak yang bahkan hancur total. Sementara taman kota yang setiap pagi ia lalui kini tampak seperti gundukan tanah hitam dengan asap tipis tampak mengepul ke atas, seperti habis terbakar.
“Bagaimana dengan manusia yang lain? Apakah mereka juga diculik sepertiku?”
“Beberapa. Tapi kebanyakan sedang berada dalam perlindungan kami dan sisanya mungkin telah mati atau masih diculik atau entah apa pun itu.” Zeriel menjawab sembari menurunkan kecepatan mobilnya menjadi sangat pelan. Kali ini terlihat retakan besar di belokan jalan lainnya. Retakan itu membentuk garis zig-zag yang tak beraturan.
“Kalian akan terus mencari sisanya?”
“Mungkin tidak. Karena sejujurnya bukan hak kami untuk mengusik Kaum Bayangan di luar sana. Kami hanya mencari seseorang.”
“Dan kalian telah menemukannya?” Luna bertanya dengan hati-hati. Curiga dengan seseorang yang Zeriel maksud. Tanpa maksud menganggap dirinya terlalu penting, hebat atau sejenisnya, tapi Luna merasa dirinyalah yang mereka cari karena ia memiliki sesuatu yang unik, sebut saja api hijaunya itu.
Zeriel mengangkat bahunya. “Masih perlu klarifikasi lebih lanjut,” jawabnya seraya memberi seulas senyum tipis yang sebelumnya tak pernah menghiasi wajah datarnya. Dengan senyum itu, ia terlihat sedikit lebih bersahabat, setidaknya itulah yang ada dalam pikiran Luna.
Setelah berbicara banyak hal dengan pemuda yang awalnya ia sangka sangat dingin dan kaku itu, Luna mendapati bahwa Zeriel ternyata menyimpan sisi penuh perhatian tatapannya yang dingin. Well, mungkin ini yang disebut jangan menilai seseorang dari penampilannya.
Mobil SUV merapat ke tepi jalan dan berhenti sepenuhnya. Zeriel melirik pada Rei yang sedari tadi diam di belakang mobil. Pemuda itu tampak memeluk pedang hitam legamnya sembari menerawang jauh ke arah langit seolah dirinya adalah entitas yang seharusnya berada di angkasa sana.
“Aku ada urusan di sini, kau antar dia ke Pusat.” Zeriel mengatakan sambil membuka pintu mobil. Dengan enggan Rei melepaskan pelukan pedangnya. Sepintas iris coklatnya kepergok tengah melirik Luna, karena gadis itu juga sedang menatap dirinya. Terang-terangan.
Rei keluar dari kursi penumpang belakang dan berpindah ke depan, menggantikan Zeriel.
Mobil kembali melaju kencang meninggalkan jalan tersebut. Beberapa menit berlalu dan kesunyian sukses menyelimuti seluruh atmosfir di dalam mobil ini. Luna mencuri pandang ke arah Rei. Pemuda itu mendadak berubah menjadi bisu padahal sewaktu di hutan ia terkesan cukup cerewet. Rei memasang ekspresi yang sulit diartikan Luna. Santai dan tanpa emosi. Pikiran Luna membawanya kembali ke ucapan Zeriel beberapa waktu lalu. Mungkin Rei memang tidak seramah yang ia kira. Luna mendesah pelan, sepertinya ia harus membiasakan diri dengan kesunyian janggal ini.
“Aku terus bertanya-tanya, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan, Rei tiba-tiba membuka mulutnya yang sedari tadi tertutup rapat, seolah itu adalah pertanyaan basa-basi yang sangat wajar.
Luna menggeleng cepat. Terlalu cepat sampai Rei hanya bisa mengernyit heran seolah bertanya-tanya apakah gadis itu benar-benar mendengar pertanyaannya atau tidak.
“Apa kau tahu alasan kenapa Ferenc begitu menginginkanmu?” Pertanyaan kedua kembali dilontarkan Rei dengan cepat, secepat gelengan kepala Luna tadi. Seakan inilah pertanyaan utama yang ingin ia lontarkan sedari tadi.
Gadis berambut coklat cherry itu berpikir sejenak, menimbang apakah harus menjawab pertanyaan itu dengan jujur, atau pura-pura tidak tahu saja. Ada banyak hal yang membuatnya tampak ragu untuk berkata jujur. Well, ia hanya takut Rei dan Zeriel memiliki motif yang sama dengan Ferenc, yaitu sama-sama menginginkan kekuatan apinya.
“Kalau kau takut aku mengincarmu juga, maka kau boleh tenang. Aku sendiri sama sekali tak tertarik padamu.” Rei berkata dengan nada santai tanpa maksud apa pun.
Luna memilih untuk tetap bungkam. Namun di sisi lain, ada desakan tak wajar dalam hati Luna, desakan yang memaksanya untuk berkata jujur saja. Ini aneh, karena jika dalam situasi normal hatinya akan sependapat dengan pikirannya. Apakah ini berarti dirinya secara tak sadar ingin mempercayai pemuda ini?
Sementara Luna masih bergelut dengan dirinya, Rei masih menunggu dengan sabar. Ia bahkan tak berusaha mendesak atau pun memaksa Luna, seolah jawaban Luna tidaklah dianggap terlalu penting.
“Kekuatanku… Ferenc menginginkan kekuatanku. Kekuatan unik yang diwariskan dari… dari ibuku.” Luna memutuskan untuk jujur. Terdengar sedikit nada ragu terutama ketika ia mengatakan kata ‘ibu’, seakan ada kenangan yang sangat mendalam atau mungkin menyakitkan dibalik satu kata itu.
Mobil SUV mereka telah memasuki area parkir milik sebuah gedung pencakar langit. Gedung yang kira-kira memiliki lebih dari seratus lantai ini dilapisi oleh kaca hitam di setiap sisinya, dari bawah hingga puncak. Membuatnya tampak seperti balok tinggi berwarna hitam berkilau. Luna tak ingat keberadaan gedung semacam ini di kota tempat tinggalnya. Apakah ini pusat yang dikatakan Zeriel tadi?
Mobil telah terparkir sempurna ketika rem tangan yang ditarik hingga menimbulkan bunyi krek panjang. “Kekuatan seperti apa?” tanya Rei kembali melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti beberapa menit seraya melepaskan sabuk pengaman.
Untuk pertama kalinya ia menunjukkan ketertarikan akan percakapan ini, dan itu membuat Luna kembali ragu. Kali ini ia memilih untuk mengatup rapat-rapat rahangnya.
Tapi sepertinya Rei memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan jawabannya. Percikan listrik merah kehitaman tampak keluar dari tubuhnya, sangat lemah dan sama sekali tak mengancam. Listrik itu lalu merambat mendekati Luna, dan sekejap bunga api hijau menyala, menghalau rambatan listrik tersebut.
“A—api kematian…?” Rei terbelalak hingga nyaris kehilangan kata-katanya. Ia menghela napas panjang seraya membentur pelan belakang kepala ke sandaran jok kursi, beberapa kali. Sedangkan matanya terpejam rapat, seolah api hijau itu mampu membangkitkan ingatan akan mimpi buruknya.
Bunga api hijau kembali padam. Luna buru-buru menghilangkannya, sementara wajahnya menunjukkan ketakutan bercampur rasa was-was.
“Harusnya aku sudah tahu ini…” Rei tiba-tiba bergumam pelan seraya membuka kembali matanya. Dibanding pada Luna, kata-katanya lebih ditujukan pada dirinya sendiri.
Mesin mobil akhirnya dimatikan dan Rei beranjak keluar. “Ayo turun kita sudah sampai,” ujarnya singkat yang kemudian mengambil pedang hitamnya dari kursi penumpang belakang.
Setelah kurang lebih dua jam duduk diam di dalam mobil, Luna akhirnya bisa merasakan kembali pijakan kakinya pada permukaan tanah. Udara kering dan berpasir langsung menyambutnya di luar sana. Sinar matahari tampak meredup, namun panasnya malah melebihi batas wajar, layaknya sedang berada dalam sebuah microwave. Luna merasa kulitnya seakan terbakar… tunggu dulu, memang itulah yang terjadi, kulitnya memang terbakar. Baru beberapa detik saja ia berdiri di luar dan kulit tangannya langsung memerah—tak sampai melepuh.
“Jam segini adalah titik terpanas. Aku tak mau menemanimu terpanggang di sini.” Suara Rei menyentakkan Luna. Pemuda itu telah berjalan cukup jauh ketika sadar Luna masih berdiri diam di dekat mobil.
Luna langsung berlari kecil mengejar Rei. Tak ingin membuat pemuda itu harus menunggu lebih lama. Jujur saja, ia sama sekali tak sadar kapan pemuda itu berjalan. Well, mungkin dirinya yang terlalu sibuk mengkhawatirkan kulit terbakarnya. Itu benar-benar perih.
Rei melanjutkan langkahnya, sementara iris coklatnya melirik ke belakang sesekali, memastikan Luna dapat mengikuti kecepatan jalannya. Pedang hitamnya terlihat tidak terlalu berat, namun Rei selalu menopangnya di bahu, seolah pedang itu memiliki massa teramat berat yang tak sebanding dengan penampilannya yang ramping.
Dari belakang sini, Luna bisa mencermati bentuk pedang Rei. Pedang ini hanya tajam di satu sisi saja, model mirip pedang jepang—Chokuto—namun sedikit lebih panjang. Sedangkan warna hitam legam seperti obsidian membalut dari gagang hingga ujung mata pedang, membuatnya tampak asri layaknya sebuah bayangan pedang.
Iris violet Luna kini beralih ke dinding kaca hitam yang membentang kokoh sangat dekat dengannya. Ekspresi kagum bercampur terpesona tak lagi bisa ia sembunyikan ketika mendapati dirinya berada persis di kaki bangunan yang bahkan tak terlihat puncaknya itu. Seluruh bangunan ini tersusun atas kaca hitam yang tidak terlalu tebal namun sanggup menopang berat bangunan yang memiliki tinggi lebih dari seratus tingkat ini.
Pintu kaca terbuka otomatis ketika Rei mendekat. Ia tak langsung masuk, melainkan menunggu dengan sabar gadis manusia yang masih tak henti-hentinya mengagumi struktur bangunan ini. Iris violet gadis itu menyapu pelan sisi terluar bangunan yang sebenarnya hanya berupa kaca hitam polos saja, tapi entah kenapa membuatnya begitu betah menatapnya lama-lama, seolah tak ingin melewatkan detail sekecil apa pun.
Rei menggeleng-geleng melihat gelagat Luna. Well, sikap gadis itu sekarang tak jauh berbeda dari manusia-manusia yang datang ke tempat ini. Mereka juga memasang wajah penuh kekaguman yang sama seperti Luna, dan sampai detik ini Rei tak mengerti kenapa.
Meski dari luar tak terlihat aktivitas apa pun—malah terkesan sangat sepi, namun bagian dalam sungguh seperti lautan manusia yang diterangi cahaya putih bersih yang terpancar dari langit-langit bangunan. Mulut Luna terbuka sedikit, menyaksikan keramaian ini. Orang-orang tampak sangat sibuk ke sana ke mari, bahkan terlalu sibuk untuk tidak menyadari kehadiran mereka berdua.
Kepala Luna mendongak ke atas, menatap ke sumber cahaya yang letak ratusan meter jauh di atas tempatnya berdiri. Sedangkan kaca-kaca pembatas yang tingginya lebih dari setengah tinggi badan orang dewasa ini tampak di setiap tingkat di atas lantai dasar, melingkari bagian tengah yang sengaja dibiarkan kosong sehingga orang-orang bisa melihat aktivitas di bawah sini.
Tabung pipih besar yang terbuat dari beton tampak di tengah-tengah ruangan. Tabung ini merupakan tempat lima counter berada di mana antrian orang terlihat memanjang seperti ular di setiap counter-nya. Sementara itu, data-data dalam tabel ditampilkan melalui sebuah TV layar besar yang tergantung di sisi kiri dan kanan ruangan. Sedangkan tiga buah lift tampak berjejer di ujung yang berlawanan dengan pintu masuk. Benda seperti tabung setengah lingkaran itu terlihat naik-turun, mengimbangi kesibukan orang-orang.
Inilah Pusat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!