Chapter 4

Pusat adalah sebutan kota bagi penghuni Alam Bayangan. Dari luar gedung pencakar langit ini tampak seperti perkantoran namun kenyataannya gedung ini juga merangkap sebagai tempat tinggal, rumah sakit, dan segala fasilitas yang diperlukan oleh Kaum Bayangan; sebutan untuk para penghuni Alam Bayangan. Pusat dibagi menjadi lima tingkat, masing-masing tingkat memiliki jumlah lantai yang berbeda-beda, bisa bertambah atau berkurang bergantung kebutuhan, dan karena inilah Pusat sendiri memiliki jumlah lantai yang tidaklah tetap.

Untuk tingkat satu merupakan tempat mengurus segala macam administrasi, surat-surat, permintaan dan sebagainya. Tingkat dua dan tiga merupakan tempat tinggal, rekreasi, perpustakaan dan semua pemandangan layaknya perkotaan pada umumnya. Tingkat empat adalah rumah sakit, laboratorium dan tempat pelatihan. Terakhir, tingkat lima, merupakan kantor yang mengurus segala macam aktivitas Pusat, tingkat inilah yang paling tenang namun juga memberi banyak tekanan kerja. Petinggi Pusat biasanya berada di tingkat lima ini.

Di setiap tingkat memiliki minimal lima lift yang mana dua diantaranya adalah lift penghubung antar tingkat, sedangkan tiga sisanya merupakan lift antar lantai. Lift ini digerakkan oleh Batu Energi yang tertanam jauh di bawah Pusat. Energi dari batu ini tak pernah habis walau sudah ribuan abad berlalu. Konon katanya ada satu Batu Energi lain yang letaknya di puncak Pusat, tapi tidak ada yang bisa memastikan keberadaannya karena setelah tingkat lima, masih ada satu tingkat lagi di atasnya dan hanya segelintir Kaum Bayangan yang memiliki izin akses ke tingkat itu. Lift sendiri juga tidak menyediakan akses ke lantai misterius itu.

Well, jujur saja, bukan hal mudah ketika harus berdesakan-desakan diantara kerumunan orang-orang di tingkat satu lantai dasar ini. Meski sudah tahu akan ganasnya arus desakan lautan orang-orang ini, Luna tetap saja harus berusaha sekuat tenaga agar terus menerus bertahan pada jalurnya. Sementara itu iris violetnya tampak bergerak gusar mencari-cari sosok Rei. Ugh! Sulit sekali menemukan satu orang diantara kerumunan yang entah kenapa semakin banyak ini. Untungnya kilat pantulan cahaya dari pedang hitam legam milik Rei tampak timbul tenggelam diantara kepala orang-orang dan artinya Rei berada tak jauh di depan Luna. Bagus, dirinya belum kehilangan pemuda itu.

Kerumunan terasa bertambah padat. Desakan bercampur himpitan semakin menjadi-jadi. Luna jelas kesulitan untuk menerobos lewat dan saat ia berhasil lewat, pantulan cahaya dari pedang Rei sudah tak terlihat. Luna kehilangan jejak Rei.

Kaki Luna terus melangkah menerobos kerumunan, sementara matanya masih bergerak gusar ke kiri-kanan, mencari-cari sosok Rei. Tak terbayang jika dirinya harus terdampar di tempat ini, di tengah kerumunan ini dan seorang diri pula! Perasaan takut dan was-was perlahan-lahan menyeruak membutakan Luna terhadap sekitar. Di saat itu juga sebuah dorong kasar tiba-tiba diterimanya dari arah kanan. Luna sontak terseret mundur secara diagonal dan sialnya ia kehilangan keseimbangannya. Di tengah kepanikan ini, Luna merasa punggungnya menubruk seseorang sesaat sebelum sebuah tangan menahan mantap bahunya dari belakang.

“Hati-hati.” Suara Rei terdengar dari balik punggung Luna dan jelas mengejutkan gadis manusia itu. Pemuda itu terlihat tenang-tenang saja seakan tak sadar jika Luna begitu frustrasi mencari dirinya. Pegangan tangan kiri Rei pada bahu Luna langsung dilepas ketika yakin gadis itu telah mendapatkan kembali keseimbangannya.

“Ayo,” ajaknya singkat seraya berjalan melewati Luna.

Namun baru dua langkah Rei berjalan, dirinya merasakan tarikan yang cukup kuat pada jaketnya merah marun yang terikat di pinggangnya. Rei memutar setengah tubuhnya seraya menatap heran ke arah belakang. Iris coklatnya langsung tertuju pada tangan Luna yang telah menggenggam kuat ujung jaketnya. Tangannya terlihat sedikit gemetar.

Rei menatap ujung jaketnya cukup lama sebelum memutuskan untuk meraih tangan Luna. Di luar dugaan, Luna malah tersentak kaget. Secara refleks ia menarik sedikit tangannya. Trauma karena sebelumnya Ferenc sering meraih tangannya seperti ini lalu menyeret paksa dirinya.

Beruntung pegangan tangan Rei tak sampai terlepas. Luna tidak tahu harus berkata apa jika sampai pegangan pemuda itu terlepas karena reaksi spontannya tadi. Dengan tak acuh Rei kembali melanjutkan langkahnya sementara Luna hanya mengikuti dalam diam. Pegangan Rei terasa sangat lembut seolah ia sedang memegang sesuatu yang rapuh di tangannya. Sangat berbeda dengan pegangan Ferenc yang lebih seperti mencengkeram.

Langkah kaki Rei juga terkesan jauh lebih pelan. Sepertinya ia berusaha mengimbangi tempo Luna agar gadis itu tidak perlu berjalan terlalu cepat untuk mengejarnya. Mungkin ini yang seharusnya ia lakukan sejak awal. Tidak berjalan terlalu cepat!

Tak lama, mereka akhirnya tiba di depan sebuah lift, bukan tiga lift berjejer di ujung yang berlawanan dengan pintu masuk, melainkan lift lain yang terletak sedikit tersembunyi di sebelah kiri dari lift yang berjejer itu.

Saat mereka menunggu lift turun, Rei akhirnya membuka pembicaraan. “Di atas orang-orang tak sebanyak ini. Kau tak perlu takut tersesat seperti tadi.” Ia pun melepaskan pegangan tangannya dan Luna sendiri hanya bisa memberikan satu anggukan pelan. Well, ternyata Rei tahu kalau Luna sempat terpisah darinya.

“Dan tanganmu berkeringat sangat banyak. Apakah itu sebuah bentuk ketakutan? Sejenis trauma?” tanya Rei seraya memandang gadis di sampingnya dengan tatapan mengamati. Luna tak membalas tatapan Rei. Iris violetnya justru tertuju pada lantai granit putih di bawah kakinya seolah lantai itu jauh lebih menarik dibanding sosok di sebelahnya.

Dentingan Lift menyelamatkan Luna dari suasana canggung ini. Pintu logam dua sisi terbuka serentak ke kiri dan kanan. Dari dalam, hanya ada satu orang yang keluar. Rei masuk ke dalam lift lebih dulu dan diikuti Luna. “Kita ke rumah sakit dulu. Lukamu perlu diobati, terutama di bagian wajahmu,” sahut Rei sambil menekan tombol lift.

Benda berbentuk tabung setengah lingkaran itu mulai bergerak naik. Membawa mereka menuju tingkat empat. Tepat saat mereka hampir mencapai tingkat empat, tiba-tiba saja guncangan kuat terasa di dalam lift, mengaduk singkat isi di dalamnya. Spontan Luna menggenggam kuat pegangan besi setinggi pinggang yang menempel pada dinding kaca lift.

Lift berdenting sekali lagi dan pintu kembali terbuka. Kepanikan kecil tergambar jelas pada wajah-wajah Kaum Bayangan di tingkat empat ini. Rupanya guncangan itu bukan terjadi di dalam lift, melainkan di seluruh Pusat dan masih terus berlanjut.

Rei langsung melesat keluar lift dan menghampiri jendela di sisi kanannya. Iris coklatnya menyaksikan pemandangan di luar dengan sorot tajam. Otot wajahnya menegang seketika, menampilkan ekspresi kaku nan datar. Selang beberapa detik Luna menyusul Rei. Matanya sontak terbelalak lebar, terperangah ketika menyaksikan tiga buah cakar tajam mengais panjang pada permukaan kaca jendela di depannya. Sebuah bola mata berukuran besar dan berwarna merah membara layaknya magma tampak mengerjap pada celah diantara cakar itu. Mata itu bergantian menatap Rei dan juga Luna.

Semenit kemudian, cakar itu mendorong kaca hitam, bertolak menjauhi bangunan Pusat sekaligus meninggalkan guncangan terakhir yang paling kuat. Sepasang sayap besar langsung terbentang lebar, memperlihatkan membran tipis diantara celah pada empat percabangan tulang sayap yang meregang terbuka.

Otot-otot sayap yang kuat dan lentur mengepak kuat beberapa kali mengangkat tubuh raksasa bersisik merah bata dengan sangat mudah. Sebuah ekor panjang menyusul di belakang, melenting ke kiri dan kanan menyeimbangkan arah gerak tubuh raksasa itu. Sang makhluk meraung sebelum akhirnya terbang menjauh.

Melihat makhluk raksasa yang tinggal segaris bayangan hitam, Luna akhirnya tersadar dari kekagumannya. Ia pernah melihat makhluk itu di buku-buku fantasi atau buku berbau mitos sejenisnya. Makhluk berukuran raksasa yang menjadi simbol kekuatan sekaligus kekuasaan. Seumur hidupnya Luna tak pernah membayangkan makhluk fantasi seperti itu muncul persis di depan matanya. Luna masih tak percaya yang baru saja dilihatnya adalah seekor naga.

Sang naga tampak mendarat pada reruntuhan tertinggi luar Pusat. Sayapnya mengepak memelan beberapa kali sebelum akhirnya terlipat rapi. Makhluk itu hanya duduk diam di tempatnya. Meski demikian, kehadirannya seakan membawa pesan yang hanya dimengerti sebagian Kaum Bayangan.

“Untuk sementara naga itu tidak akan berbuat apa-apa. Lukamu lebih penting.” Rei kemudian beranjak pergi dengan tetap memasang ekspresi kaku dan datar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!