Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak serangan misterius pada satu kota di alam manusia. Ya, hanya satu kota saja yang terkena efek akibat kekacauan yang terjadi di alam bayangan, dan yang pasti, sejak saat itu Luna tak pernah lagi mendengar kabar mengenai kota tempat tinggalnya itu.
Ia ingat saat di mana serangan dimulai. Gedung yang tiba-tiba roboh seolah ditimpa oleh sesuatu yang besar, tanah yang tak pernah berhenti berguncang lebih dari tiga menit, dan yang paling parah adalah tubuh manusia yang secara misterius terbelah di pinggir jalan atau hantaman tiba-tiba jatuh hingga meremukkan tulang manusia. Semuanya terjadi sangat mendadak dan tak terlihat oleh mata.
“Itu adalah pertarungan di alam bayangan,” komentar Zeriel seraya tetap fokus mengemudi mobil SUV berwarna hitamnya melintasi ruas jalan hutan yang sangat tak mulus.
“Pertempuran besar, lebih ke arah perang tepatnya dan secara tak beruntung berimbas pada alam manusia. Well, tepatnya pada satu kota di alam manusia saja, dan itulah kota tempat tinggalmu.” Ia menambahkan, sementara iris biru lautnya telah melirik sekilas pada Luna, gadis manusia yang duduk di kursi penumpang di samping kirinya.
Pantulan cahaya matahari siang itu membuat rambut coklat cherry Luna sedikit berkilau. Perban tampak melingkar menutupi di dahi hingga mata kirinya, menutupi bekas sayatan di bagian itu. Luka itu kini tak meninggalkan rasa sakit apa pun pada gadis itu. Mata kirinya telah mati rasa.
“Apa yang terjadi?” Luna bertanya, penasaran dengan pertempuran besar yang disebut Zeriel tadi. Tak banyak yang ia ketahui meski dirinya cukup lama tinggal di alam bayangan ini. Ferenc, sosok yang menculiknya itu tak banyak membahas tentang pertempuran yang disebut perang ini.
“Terlalu rumit untuk diceritakan. Tapi sekarang, semuanya sudah berakhir. Hanya tersisa beberapa masalah yang cukup memusingkan. Seperti satu kota ini yang menyatu dengan alam bayangan.”
Di saat yang bersamaan, mobil SUV mereka telah memasuki sebuah kota yang setengah lebih hancur berantakan seperti habis diterjang badai hebat. Jalanan tak lagi mulus layaknya keadaan normal, seolah baru saja kejatuhan benda-benda kecil namun teramat berat, menghancurkan aspal serta meninggalkan lubang-lubang yang dalam di sepanjang badan jalan.
Zeriel terpaksa menurunkan kecepatan mobil, berusaha mencari jalan sebagus mungkin untuk dilewati. Ia tak ingin Luna merasa tak nyaman dengan kondisi yang ada, walau sebenarnya Luna sendiri sepertinya tidak keberatan.
Sedangkan iris violet Luna kini kembali menatap keluar jendela. Tak terkejut ketika melihat kota tempat tinggalnya telah berubah sehancur ini. Sangat berbeda sekali dibanding terakhir kali ia melihatnya. Bangunan yang dulunya berdiri megah, kini hanya tersisa seperempat. Banyak yang bahkan hancur total. Sementara taman kota yang setiap pagi ia lalui kini tampak seperti gundukan tanah hitam dengan asap tipis tampak mengepul ke atas, seperti habis terbakar.
“Bagaimana dengan manusia yang lain? Apakah mereka juga diculik sepertiku?”
“Beberapa. Tapi kebanyakan sedang berada dalam perlindungan kami dan sisanya mungkin telah mati atau masih diculik atau entah apa pun itu.” Zeriel menjawab sembari menurunkan kecepatan mobilnya menjadi sangat pelan. Kali ini terlihat retakan besar di belokan jalan lainnya. Retakan itu membentuk garis zig-zag yang tak beraturan.
“Kalian akan terus mencari sisanya?”
“Mungkin tidak. Karena sejujurnya bukan hak kami untuk mengusik Kaum Bayangan di luar sana. Kami hanya mencari seseorang.”
“Dan kalian telah menemukannya?” Luna bertanya dengan hati-hati. Curiga dengan seseorang yang Zeriel maksud. Tanpa maksud menganggap dirinya terlalu penting, hebat atau sejenisnya, tapi Luna merasa dirinyalah yang mereka cari karena ia memiliki sesuatu yang unik, sebut saja api hijaunya itu.
Zeriel mengangkat bahunya. “Masih perlu klarifikasi lebih lanjut,” jawabnya seraya memberi seulas senyum tipis yang sebelumnya tak pernah menghiasi wajah datarnya. Dengan senyum itu, ia terlihat sedikit lebih bersahabat, setidaknya itulah yang ada dalam pikiran Luna.
Setelah berbicara banyak hal dengan pemuda yang awalnya ia sangka sangat dingin dan kaku itu, Luna mendapati bahwa Zeriel ternyata menyimpan sisi penuh perhatian tatapannya yang dingin. Well, mungkin ini yang disebut jangan menilai seseorang dari penampilannya.
Mobil SUV merapat ke tepi jalan dan berhenti sepenuhnya. Zeriel melirik pada Rei yang sedari tadi diam di belakang mobil. Pemuda itu tampak memeluk pedang hitam legamnya sembari menerawang jauh ke arah langit seolah dirinya adalah entitas yang seharusnya berada di angkasa sana.
“Aku ada urusan di sini, kau antar dia ke Pusat.” Zeriel mengatakan sambil membuka pintu mobil. Dengan enggan Rei melepaskan pelukan pedangnya. Sepintas iris coklatnya kepergok tengah melirik Luna, karena gadis itu juga sedang menatap dirinya. Terang-terangan.
Rei keluar dari kursi penumpang belakang dan berpindah ke depan, menggantikan Zeriel.
Mobil kembali melaju kencang meninggalkan jalan tersebut. Beberapa menit berlalu dan kesunyian sukses menyelimuti seluruh atmosfir di dalam mobil ini. Luna mencuri pandang ke arah Rei. Pemuda itu mendadak berubah menjadi bisu padahal sewaktu di hutan ia terkesan cukup cerewet. Rei memasang ekspresi yang sulit diartikan Luna. Santai dan tanpa emosi. Pikiran Luna membawanya kembali ke ucapan Zeriel beberapa waktu lalu. Mungkin Rei memang tidak seramah yang ia kira. Luna mendesah pelan, sepertinya ia harus membiasakan diri dengan kesunyian janggal ini.
“Aku terus bertanya-tanya, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan, Rei tiba-tiba membuka mulutnya yang sedari tadi tertutup rapat, seolah itu adalah pertanyaan basa-basi yang sangat wajar.
Luna menggeleng cepat. Terlalu cepat sampai Rei hanya bisa mengernyit heran seolah bertanya-tanya apakah gadis itu benar-benar mendengar pertanyaannya atau tidak.
“Apa kau tahu alasan kenapa Ferenc begitu menginginkanmu?” Pertanyaan kedua kembali dilontarkan Rei dengan cepat, secepat gelengan kepala Luna tadi. Seakan inilah pertanyaan utama yang ingin ia lontarkan sedari tadi.
Gadis berambut coklat cherry itu berpikir sejenak, menimbang apakah harus menjawab pertanyaan itu dengan jujur, atau pura-pura tidak tahu saja. Ada banyak hal yang membuatnya tampak ragu untuk berkata jujur. Well, ia hanya takut Rei dan Zeriel memiliki motif yang sama dengan Ferenc, yaitu sama-sama menginginkan kekuatan apinya.
“Kalau kau takut aku mengincarmu juga, maka kau boleh tenang. Aku sendiri sama sekali tak tertarik padamu.” Rei berkata dengan nada santai tanpa maksud apa pun.
Luna memilih untuk tetap bungkam. Namun di sisi lain, ada desakan tak wajar dalam hati Luna, desakan yang memaksanya untuk berkata jujur saja. Ini aneh, karena jika dalam situasi normal hatinya akan sependapat dengan pikirannya. Apakah ini berarti dirinya secara tak sadar ingin mempercayai pemuda ini?
Sementara Luna masih bergelut dengan dirinya, Rei masih menunggu dengan sabar. Ia bahkan tak berusaha mendesak atau pun memaksa Luna, seolah jawaban Luna tidaklah dianggap terlalu penting.
“Kekuatanku… Ferenc menginginkan kekuatanku. Kekuatan unik yang diwariskan dari… dari ibuku.” Luna memutuskan untuk jujur. Terdengar sedikit nada ragu terutama ketika ia mengatakan kata ‘ibu’, seakan ada kenangan yang sangat mendalam atau mungkin menyakitkan dibalik satu kata itu.
Mobil SUV mereka telah memasuki area parkir milik sebuah gedung pencakar langit. Gedung yang kira-kira memiliki lebih dari seratus lantai ini dilapisi oleh kaca hitam di setiap sisinya, dari bawah hingga puncak. Membuatnya tampak seperti balok tinggi berwarna hitam berkilau. Luna tak ingat keberadaan gedung semacam ini di kota tempat tinggalnya. Apakah ini pusat yang dikatakan Zeriel tadi?
Mobil telah terparkir sempurna ketika rem tangan yang ditarik hingga menimbulkan bunyi krek panjang. “Kekuatan seperti apa?” tanya Rei kembali melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti beberapa menit seraya melepaskan sabuk pengaman.
Untuk pertama kalinya ia menunjukkan ketertarikan akan percakapan ini, dan itu membuat Luna kembali ragu. Kali ini ia memilih untuk mengatup rapat-rapat rahangnya.
Tapi sepertinya Rei memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan jawabannya. Percikan listrik merah kehitaman tampak keluar dari tubuhnya, sangat lemah dan sama sekali tak mengancam. Listrik itu lalu merambat mendekati Luna, dan sekejap bunga api hijau menyala, menghalau rambatan listrik tersebut.
“A—api kematian…?” Rei terbelalak hingga nyaris kehilangan kata-katanya. Ia menghela napas panjang seraya membentur pelan belakang kepala ke sandaran jok kursi, beberapa kali. Sedangkan matanya terpejam rapat, seolah api hijau itu mampu membangkitkan ingatan akan mimpi buruknya.
Bunga api hijau kembali padam. Luna buru-buru menghilangkannya, sementara wajahnya menunjukkan ketakutan bercampur rasa was-was.
“Harusnya aku sudah tahu ini…” Rei tiba-tiba bergumam pelan seraya membuka kembali matanya. Dibanding pada Luna, kata-katanya lebih ditujukan pada dirinya sendiri.
Mesin mobil akhirnya dimatikan dan Rei beranjak keluar. “Ayo turun kita sudah sampai,” ujarnya singkat yang kemudian mengambil pedang hitamnya dari kursi penumpang belakang.
Setelah kurang lebih dua jam duduk diam di dalam mobil, Luna akhirnya bisa merasakan kembali pijakan kakinya pada permukaan tanah. Udara kering dan berpasir langsung menyambutnya di luar sana. Sinar matahari tampak meredup, namun panasnya malah melebihi batas wajar, layaknya sedang berada dalam sebuah microwave. Luna merasa kulitnya seakan terbakar… tunggu dulu, memang itulah yang terjadi, kulitnya memang terbakar. Baru beberapa detik saja ia berdiri di luar dan kulit tangannya langsung memerah—tak sampai melepuh.
“Jam segini adalah titik terpanas. Aku tak mau menemanimu terpanggang di sini.” Suara Rei menyentakkan Luna. Pemuda itu telah berjalan cukup jauh ketika sadar Luna masih berdiri diam di dekat mobil.
Luna langsung berlari kecil mengejar Rei. Tak ingin membuat pemuda itu harus menunggu lebih lama. Jujur saja, ia sama sekali tak sadar kapan pemuda itu berjalan. Well, mungkin dirinya yang terlalu sibuk mengkhawatirkan kulit terbakarnya. Itu benar-benar perih.
Rei melanjutkan langkahnya, sementara iris coklatnya melirik ke belakang sesekali, memastikan Luna dapat mengikuti kecepatan jalannya. Pedang hitamnya terlihat tidak terlalu berat, namun Rei selalu menopangnya di bahu, seolah pedang itu memiliki massa teramat berat yang tak sebanding dengan penampilannya yang ramping.
Dari belakang sini, Luna bisa mencermati bentuk pedang Rei. Pedang ini hanya tajam di satu sisi saja, model mirip pedang jepang—Chokuto—namun sedikit lebih panjang. Sedangkan warna hitam legam seperti obsidian membalut dari gagang hingga ujung mata pedang, membuatnya tampak asri layaknya sebuah bayangan pedang.
Iris violet Luna kini beralih ke dinding kaca hitam yang membentang kokoh sangat dekat dengannya. Ekspresi kagum bercampur terpesona tak lagi bisa ia sembunyikan ketika mendapati dirinya berada persis di kaki bangunan yang bahkan tak terlihat puncaknya itu. Seluruh bangunan ini tersusun atas kaca hitam yang tidak terlalu tebal namun sanggup menopang berat bangunan yang memiliki tinggi lebih dari seratus tingkat ini.
Pintu kaca terbuka otomatis ketika Rei mendekat. Ia tak langsung masuk, melainkan menunggu dengan sabar gadis manusia yang masih tak henti-hentinya mengagumi struktur bangunan ini. Iris violet gadis itu menyapu pelan sisi terluar bangunan yang sebenarnya hanya berupa kaca hitam polos saja, tapi entah kenapa membuatnya begitu betah menatapnya lama-lama, seolah tak ingin melewatkan detail sekecil apa pun.
Rei menggeleng-geleng melihat gelagat Luna. Well, sikap gadis itu sekarang tak jauh berbeda dari manusia-manusia yang datang ke tempat ini. Mereka juga memasang wajah penuh kekaguman yang sama seperti Luna, dan sampai detik ini Rei tak mengerti kenapa.
Meski dari luar tak terlihat aktivitas apa pun—malah terkesan sangat sepi, namun bagian dalam sungguh seperti lautan manusia yang diterangi cahaya putih bersih yang terpancar dari langit-langit bangunan. Mulut Luna terbuka sedikit, menyaksikan keramaian ini. Orang-orang tampak sangat sibuk ke sana ke mari, bahkan terlalu sibuk untuk tidak menyadari kehadiran mereka berdua.
Kepala Luna mendongak ke atas, menatap ke sumber cahaya yang letak ratusan meter jauh di atas tempatnya berdiri. Sedangkan kaca-kaca pembatas yang tingginya lebih dari setengah tinggi badan orang dewasa ini tampak di setiap tingkat di atas lantai dasar, melingkari bagian tengah yang sengaja dibiarkan kosong sehingga orang-orang bisa melihat aktivitas di bawah sini.
Tabung pipih besar yang terbuat dari beton tampak di tengah-tengah ruangan. Tabung ini merupakan tempat lima counter berada di mana antrian orang terlihat memanjang seperti ular di setiap counter-nya. Sementara itu, data-data dalam tabel ditampilkan melalui sebuah TV layar besar yang tergantung di sisi kiri dan kanan ruangan. Sedangkan tiga buah lift tampak berjejer di ujung yang berlawanan dengan pintu masuk. Benda seperti tabung setengah lingkaran itu terlihat naik-turun, mengimbangi kesibukan orang-orang.
Inilah Pusat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments