Chapter 2

“Kau adalah milikku, Luna…” lirih Ferenc pelan, lalu mendaratkan sebuah ciuman pada bibir Luna.

Kelopak mata Luna sontak terbuka sangat lebar. Ia langsung mendorong kasar bahu Ferenc, dan pemuda itu malah semakin memperkuat rangkulannya, tak menyisakan ruang sedikit pun diantara mereka. Detik yang sama juga tangan Ferenc yang satu lagi telah melepaskan pergelangan Luna, dan beralih menangkup wajah gadis itu. Ia melahap rakus bibir gadis dalam dekapannya itu dengan hasrat ingin segera menguasai gadis itu seutuhnya.

Napas Ferenc terasa menggebu cepat, menyatu dengan napas Luna sendiri. Sedangkan kedua tangan Luna masih terus mendorong bahu Ferenc, dan sesekali memukul kuat pemuda itu. Sementara Ferenc belum memberi tanda-tanda untuk menyudahi ciuman paksa ini. Ia masih saja asik ******* dengan kasarnya seperti binatang buas.

Luna akhirnya menyerah. Tangannya terkulai lemas, merosot pasrah di dada Ferenc. Sementara mata terpejam rapat, membiarkan Ferenc berbuat semuanya. Luna tak lagi melawan, dirinya sudah benar-benar pasrah dan tak peduli lagi. Ia hanya bisa berharap mimpi buruk ini akan segera berlalu. Berharap semua ini akan berakhir!

Ferenc melepaskan ciumannya, sementara Luna langsung menyentakkan kepalanya ke arah kanan. Buru-buru tangannya bergerak secepat kilat menghapus jejak tak terlihat—bekas ciuman—di bibirnya sendiri. Ia bahkan menolak untuk melihat kepuasan menjijikkan yang terpancar dengan amat kentara di wajah Ferenc. Mau tidak mau Luna harus mengakui bahwa dirinya benar-benar telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah.

“Aku suka kau yang penurut seperti ini, Lu—”

Satu dentuman halilintar yang memekakkan telinga memotong ucapan Ferenc. Lalu diikuti kilat cahaya petir singkat di balik cerahnya langit pagi. Ferenc melepaskan rangkulannya pada Luna. Ia menoleh ke kiri dan kanan, sementara biji matanya bergerak gusar mengitari segala arah. Tak menemukan siapa pun. Meski begitu, raut wajahnya tetap saja menunjukkan kepanikan dan kengerian yang teramat sangat.

“A…Ayo,” ajaknya terbata-bata sembari menarik kasar tangan Luna.

Luna mengikutinya dalam diam dan nyaris tersandung jatuh ketika dirinya terpaksa mengimbangi langkah super cepat Ferenc yang begitu tiba-tiba ini, seolah mereka sedang lari dari kejaran sesuatu.

Dibanding Ferenc, Luna terlihat jauh lebih tenang. Mungkin karena ia sendiri tak tahu apa yang sebenarnya terjadi atau apa yang sedang mengincar mereka. Well, baginya sambaran petir itu hanyalah suatu bentuk perubahan cuaca. Tak ada yang harus ditakutkan, bukan?

“Jangan bergerak, tetaplah berdiri seperti itu.” Sekilas sebuah suara melintas begitu saja di telinga Luna. Gadis manusia itu mengangkat kepalanya, pandangannya beralih dari permukaan tanah ke sisi kiri dan kanan, mencari sumber suara. Tak ada siapa pun selain Ferenc.

Sementara kakinya terus melangkah mengikuti tarikan Ferenc yang kini lebih seperti seretan atas dirinya, Luna mulai bertanya-tanya bingung dengan suara yang terdengar nyata namun tak seperti nyata juga.

“Mungkin hanya bayanganku saja,” tepisnya cepat dalam hati.

Suara itu kembali terdengar. “Sudah kubilang jangan bergerak, tetaplah diam di sana, jangan mencari, kau takkan melihat apa pun kare—” Ucapan sang suara terpotong dengan jeritan petir yang tiba-tiba menyambar dengan hebatnya.

Petir bertegangan tinggi yang berwarna merah kehitaman, menyambar ganas secara tegak lurus dari langit hingga ke tanah, membelah jarak sempit diantara Luna dan Ferenc. Refleks kaki Luna membawa dirinya mundur dua langkah sebelum otot-ototnya kehilangan seluruh tenaga. Luna jatuh terduduk, terperangah menyaksikan petir merah kehitaman yang masih menyala-nyala dengan liarnya.

Iris violetnya tak berhenti menatap amukan sang petir beserta percikan listrik kecil yang menari-nari riang di depannya. Kagum. Setidaknya itulah yang tergambar jelas di wajah polos seorang manusia yang baru pertama kali menyaksikan sambaran petir dari jarak sedekat ini, jarak yang kurang dari semeter ini.

Sesosok pemuda tampak berlutut di balik kilat cahaya petir yang mulai meredup. Tangannya memegang sebuah pedang hitam legam di mana mata pedangnya menempel sepenuhnya di atas tanah, seolah baru saja memotong sesuatu. Rambut hitam pendeknya terlihat sangat berantakan, persis seperti penampilannya yang menurut Luna… cukup kacau. Ia mengenakan kaos abu-abu gelap dengan sebuah jaket hoodie berwarna merah marun yang diikat di pinggangnya. Sedangkan setelan bawahnya adalah celana cargo panjang berwarna hijau lumut gelap.

Sosok itu bangkit berdiri seraya menatap Luna melalui iris berwarna coklatnya. Tatapan mereka bertemu, membuat Luna merasakan hawa aneh menyeruak masuk melalui pori-pori kulitnya. Benaknya yang kosong seakan terisi kembali ole hawa yang menenangkan sekaligus mendebarkan. Tak ada rasa takut sama sekali, malah kini jantung Luna berdebar sangat cepat dan tak terkendali. Perasaan apa ini?

Sosok pemuda itu mengangkat pedangnya lalu ditopang pada bahu kanannya dengan santai. “Sepertinya aku memotong tangan yang benar,” ujarnya ketika melihat potongan tangan Ferenc yang masih menggenggam—menggelantung—pada pergelangan Luna.

Luna tersentak sadar dari lamunan singkatnya. Buru-buru ia menyingkirkan ‘tangan’ itu. Jijik, karena hanyalah sebuah potongan tangan.

“Kau baik-baik saja? Luka itu bukan karena petir tadi, kan? Well, karena kau tidak menjawab, kuanggap kau tidak terluka karena seranganku tadi,” ujar sang pemuda cepat, bahkan tak menunggu jawaban Luna. Ia menarik sendiri kesimpulan bahwa Luna tak terluka karena petirnya tadi. Sepertinya ia takut jika Luna benar-benar terluka karena serangan mendadaknya itu, meski Luna sendiri tak tahu apa yang membuatnya harus begitu takut.

“Sudah kubilang tunggu sampai gadis manusia ini setuju untuk tidak bergerak. Bagaimana jika dia terkena sambaran petirmu?” Suara tadi kembali terdengar lagi. Namun kali ini lebih jelas dan berasal dari balik punggung Luna. Spontan Luna memutar setengah tubuhnya, melihat ke belakang.

Sang pemilik suara berdiri tak jauh di belakangnya. Tak seperti pemuda pertama, ia memiliki sorot dingin yang terpancar terlalu nyata melalui sepasang iris biru laut yang sedang membalas pandangan Luna. Ekspresi wajahnya datar dan lebih mengarah ke menakutkan. Mungkin karena didukung oleh rambut hitam yang panjangnya nyaris mencapai leher, serta dagu yang terbenam di balik syal putih yang dibalut melingkari lehernya.

“Tapi dia tidak terluka.” Pemuda pertama menjawab dengan polos, tetap pada kesimpulannya sendiri. Sementara pandangan pemuda kedua kini beralih pada luka-luka Luna. “Oh, luka-lukanya bukan aku yang buat, jika itu yang kau khawatirkan,” tambahnya cepat tak ingin disalahkan.

Pemuda berwajah datar itu berlutut di samping Luna seraya menatapnya dengan sangat lama tanpa berkata sepatah kata pun. Luna membalas tatapannya. Ludah terasa sangat sulit melewati tenggorokan yang mendadak menjadi sangat kering. Seumur hidupnya, ia tak pernah ditatap intens seperti ini apalagi oleh seseorang dengan ekspresi sedatar aspal jalan ini.

Siapa pun itu, tolong gantikan si ekspresi datar dengan si pedang saja, ia jauh lebih ramah dibanding temannya ini, teriak batin Luna yang tentu saja tak ditunjukkan secara nyata melalui raut wajahnya.

Si ekspresi datar berdeham. “Hanya informasi saja, dia, tak seramah yang kau duga. Kau baru saja tertipu oleh kesan pertama,” bisiknya seakan tahu apa yang ada di pikiran Luna.

“Aku Zeriel, bagian penyelamatan manusia, atau sejenisnya. Sebenarnya tak ada bagian itu di alam ini. Tapi banyak hal yang telah terjadi. Jadi anggap saja seperti itu.” Penjelasannya terkesan setengah-setengah, seolah enggan mengeluarkan kosa kata yang lebih banyak.

“Dan dia…” Iris biru laut Zeriel berpindah ke rekannya, hendak memintanya memperkenalkan diri. Namun detik berikutnya mulut Zeriel terkatup rapat. Pandangannya tak lepas dari rekannya yang berjalan mendekati Ferenc seraya menyeret pedang hitam legam. Garis tipis terukir di atas tanah akibat gesekan ujung mata pedang yang diseret.

Sementara Ferenc terlihat tak jauh di depan Luna. Ia menyeret tubuhnya mundur dengan gemetar. Darah masih bercucuran keluar dari tangannya yang terpotong, membentuk sungai darah kecil. Sedangkan matanya tak berhenti menatap sang pemuda yang semakin dekat dengan raut penuh teror. Wajah putih pucatnya kini melebihi putih dibanding selembar kertas, seolah dirinya tengah berhadapan dengan monster paling menakutkan yang pernah ada. Tak disangkal, karena detik berikutnya semua berubah menjadi merah darah.

Pedang hitam legam seperti warna obsidian itu melesat cepat membentuk garis horizontal, memotong habis leher Ferenc. Detik berikutnya, kepala Ferenc jatuh menggelinding menjauhi. Lalu tubuhnya menyusul ambruk tak lama kemudian. Setelah itu darah merah segar barulah mengalir keluar.

Sang pemilik pedang kembali menegak tubuhnya. Pedang hitam legamnya kembali ditopang pada bahunya. Tak tampak setetes pun noda darah pada mata pedang hitam itu, semua dilakukan dengan sangat cepat dan terkesan rapi. Pemuda itu baru saja memberi sebuah kematian instan tanpa rasa sakit.

Seolah baru tersadar dari jeda yang teramat panjang ini, ia memutar tubuhnya seraya berkata “Menungguku memperkenalkan diri? Well… panggil saja Rei, bagian potong memotong seperti ini.” Ia mengangkat pedang hitamnya sedikit sebelum menghunjam dada Ferenc, mempercepat terciptanya genangan darah yang lebih banyak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!