Just One Feeling

Just One Feeling

Dua Hati Saling Isi

Pagi-pagi buta. Rintik-rintik hujan mengalunkan melodinya. Mentari pun enggan menunjukkan wajahnya. Tetap memilih beradu dalam semayamnya. Sama halnya dengan jiwa-jiwa yang bernyawa. Kesyahduan rintik hujan yang menyapa di pagi buta, semakin menghangatkan lelapnya.

Seseorang yang tengah tidur di ambang kesadaran, membalikkan tubuhnya. Meraba-raba ranjang empuknya, dengan masih menutup mata. Mencari-cari istrinya. Tidak ada. Istrinya tidak ada di sampingnya.

Ia mulai membuka matanya. Melilitkan kembali sarungnya yang terlepas. Atau memang sengaja dilepas.

Ia mulai menurunkan kakinya dari ranjang. Bergerak ke arah jendela. Mengintip ke luar rumahnya membuka tirai. Tanah dan dahan yang sepenuhnya basah. Menandakan rintik-rintik hujan telah turun lumayan lama. Ia menutup kembali tirai jendela.

Kembali bergerak melangkahkan kakinya ke bawah. Mengikuti asal suara yang baru didengar. Suara wajan yang saling beradu dengan spatula. Dapur. Ya, tidak ada tempat lain selain dapur.

Ia mulai mendekati dapur, berjalan dengan berhati-hati adalah pilihannya. Melipat tangannya di depan dada, menggelengkan kepalanya. Lalu mendekati perlahan istrinya yang tengah masak. Ia memeluknya dari belakang.

"Apa yang kau lakukan di pagi buta, seperti ini?" (ucapnya)

Istrinya sedikit tersentak karena kedatangannya. Dan ya, pelukannya. Ia menolehkan wajahnya. Memastikan yang mengagetkannya adalah benar suaminya.

"Apa kau tidak lihat, aku sedang masak." (ucapnya ketus)

Suaminya melepaskan pelukannya.

"Kau masih Andin yang sama!"

"Kau juga masih Ziban yang sama!"

Ziban mengangkat sedikit sudut bibirnya.

"Ah, kau sudah berani memanggil namaku ya."

Andin melakukan hal yang sama. Dengan mengangkat sedikit sudut bibirnya. Sepertinya, kekalahan tidak tertulis di dalam kamus kehidupannya.

"Kenapa tidak? Ziban!" (ucapnya)

Ziban mengecup bibir Andin. Itu sebuah hukuman. Karena, Andin berani menyebut namanya secara langsung.

"Sudah kubilang, panggil suamimu ini, mas."

Ziban mulai membusungkan, sembari menepuk-nepuk pelan dadanya. Andin melipat tangannya di depan dada.

"Zi-ban. Z-i-b-a-n."

Andin sengaja mengeja nama Ziban dengan nada penuh remehan. Ziban terlihat tidak terima. Ia menghukumnya dengan memeluknya dengan sangat erat. Tak memberi kesempatan Andin untuk berhasil melepas.

"Panggil aku dengan sebutan mas. Jika tidak, aku tidak akan melepaskanmu. Dan aku akan menciummu dengan brutal!"

"Kau belum gosok gigi!" (berontak Andin)

"Kau tidak punya pilihan lain."

Andin menghembuskan nafasnya berat. Tidak ada pilihan lain. Salah satu cara cara untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman Ziban, yang akan menciumnya dengan brutal, adalah menuruti keinginannya. Ya, memanggilnya mas.

"Iya, mas."

Ziban tersenyum puas. Ia mengecup kening, hidung, pipi, lalu bibir Andin dengan lembut.

"Ah, gosong!" (pekik Andin)

Ziban dan Andin menatap masakan yang Andin masak telah gosong kehitaman. Ziban lah yang terlihat paling siaga. Ia mematikan kompornya. Lalu menatap Andin dengan wajah marahnya. Andin menundukkan wajahnya.

"Apa yang kau lakukan di dapur, pagi-pagi buta?"

Andin diam saja. Ia berfikir, suaminya tengah memarahinya.

Melihat istrinya menundukkan wajahnya seperti anak kecil, Ziban menghembuskan nafas. Ia membopong tubuh istrinya. Andin membulatkan matanya. Tetapi ia memilih untuk diam dan membiarkan dirinya dibopong oleh suaminya hingga terus berjalan menaiki anak tangga. Semakin Ziban bergerak berjalan, Andin yang berada didalam bopongannya pun seketika memahami.

Dia pasti sedang gatal padaku. Dasar, kebiasaan. Tapi, tidak apa-apa, lagipula suasananya sangat mendukung. Pagi buta dan rintik-rintik hujan. Hemm, sangat pas.

Ziban membuka pintu kamar. Menidurkan tubuh istrinya. Andin membenarkan posisi ternyamannya. Lalu mereka berdua saling menatap agak lama.

Andin melepaskan ikat rambutnya. Menguraikan rambut indahnya dengan masih tetap terlentang. Sedangkan Ziban mengambil ponselnya. Ia membuka ponselnya dan terlihat mencari sesuatu di dalam ponselnya itu. Setelah beberapa saat, ia mendekat ke istrinya.

Ziban mengernyitkan keningnya. Melihat Andin yang akan melepaskan kancing baju tidurnya. Ia menyodorkan ponselnya kepada istrinya itu.

"Perbanyak belajar terlebih dahulu." (ucap Ziban)

Andin memonyongkan bibirnya. Melihat Ziban yang memintanya untuk mempelajari ilmu masak-memasak dari video-video tutorial.

"Aku sudah mempelajari segalanya, memangnya kau tidak tahu?!" (ucap Andin)

Ziban tersenyum mengejek istrinya itu. Ia baru memahaminya, setelah Andin mengatakan hal tersebut kepadanya.

"Oh, jadi kau tadi sengaja bangun lebih awal, karena ingin praktik memasak? Tidak ingin suamimu ini tahu, kan. Karena kau tahu sendiri, masakanmu selalu gagal."

Seketika Andin menimpuk wajah Ziban mengunakan bantal dengan segala kekuatannya.

"Suami macam apa kau ini!"

Sedangkan Ziban tertawa terpingkal-pingkal. Melihat istrinya semarah itu padanya, di pagi buta.

"Ah istriku, kau sangat mengenal suamimu ini, kan?"

Ziban mengusap-usap lembut rambut Andin. Mengecup keningnya lagi.

"Kau disini saja, biar aku yang memasak." (ucap Ziban)

Ia pun bergerak meninggalkan Andin. Tetapi panggilan Andin membuat langkahnya terhenti.

"Mas."

"Iya?"

"Biarkan aku saja yang memasak."

"Masakanmu tidak enak, sayang."

Mendengar ucapan Ziban, Andin membuang mukanya. Sebal. Satu kata yang tepat, untuk menggambarkan perasaan Andin saat ini. Pasangan suami istri tersebut, memang berbeda dengan pasangan lain pada umumnya. Ketika perasaan mereka dahulu yang mengalami beberapa ujian. Pada akhirnya, dipersatukan dalam sebuah ikatan suci pernikahan.

Ziban mendekati Andin kembali.

Cup!

Ia mengecup bibir Andin. Andin mengusap bibirnya saat itu juga.

"Aku hanya bercanda, sayang,"

"Kau sudah berusaha memasak tadi. Pasti lelah kan? Sudahlah, aku tidak mau kau terlalu kelelahan,"

"Aku yang akan memasak."

Ziban kembali mengecup bibir Andin tiga kali berturut-turut.

Cup!

Cup!

Cup!

Dan itu tentu membuat Andin merasa geli. Ziban beranjak hendak ke dapur. Andin menarik garis senyum di bibirnya tanpa sepenglihatan Ziban.

Tiba-tiba Ziban menolehkan wajahnya.

"Huh, dasar. Kau biasa mengejekku bahwa suamimu ini, sangatlah gatal. Tapi kau jauh lebih gatal. Kau akan membuka kancing bajumu, untuk apa tadi?"

Ziban tertawa terpingkal-pingkal. Merasa selalu menang melawan Andin. Lagi-lagi, ucapan Ziban membuat Andin tidak terima. Ia melemparkan semua bantal yang tersisa ke arah Ziban. Berharap, serangannya tepat pada sasaran. Tetapi tidak, Ziban sudah terlebih dahulu keluar dari kamar dan menutup pintu. Ia berhasil menghindar. Andin berdecak kesal.

Aku kan hanya berusaha menjadi istri yang baik, dengan lebih pengertian. Dasar. Awas saja.

Melihat dirinya diperlakukan, ide yang sama pun, terlintas di benaknya. Dimana, memperlakukan Ziban suatu saat nanti sama sepertinya yang memperlakukan Andin, adalah pilihan yang paling tepat dalam sebuah pembalasan.

Andin menembuskan nafasnya. Menyayangkan, keputusan Ziban, yang memutuskan untuk memulangkan semua pelayan yang bekerja di rumahnya. Pelayan hanya di izinkan membersihkan semua bagian rumahnya saja. Tidak dengan urusan dapur. Setelah pekerjaannya selesai, mereka harus segera pergi dari rumah tersebut. Tanpa alasan apapun. Hal itu Ziban lakukan dengan alasan, berduaan di rumah dengan istri tanpa adanya gangguan sedikitpun.

Begitulah alasan yang Andin dengarkan dari suaminya. Hal itu tentu membuatnya kerepotan. Terutama dalam masak-memasak. Ia harus, belajar lebih baik lagi.

Pasalnya, mamah dan papahnya, tengah pergi ke luar negeri untuk sebuah urusan pekerjaan. Berharap kembalinya Kumala dan Arga, tentu selalu diharapkan oleh Andin. Karena, kembalinya kedua orangtuanya, akan mengembalikan semua pelayannya. Dan membuat, dirinya tidak lagi kerepotan.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar pintu kamarnya. Andin memasang telinganya dengan baik.

"Sayang, kau tetap di kamar saja. Aku hanya akan membuat telur dadar. Hanya sebentar. Tetap di kamar, ya? Aku akan segera kembali. Jangan buka kancing bajumu dulu, karena aku yang akan membukanya."

BERSAMBUNG...

DUKUNG DENGAN LIKE, KOMENTAR, DAN VOTE, YAA?

PERCAYALAH, SEMUA KEBAIKAN AKAN KEMBALI KE KALIAN SUATU SAAT NANTI.

LUVV💛

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!