Nenek Jeje

Malam hari. Jam menunjukkan pukul 19.30 WIB. Andin, Ziban, Rossie, Raditya, Meta, dan juga Sekretaris Chan, sudah duduk nyaman di depan televisi. Mereka tengah menanti acara siaran langsung pertandingan sepak bola tayang.

Tiba-tiba pintu rumah yang memang tidak dikunci, terbuka. Semua pasang mata memandang ke arah pintu yang terbuka tersebut.

"Lihat, siapa yang datang." (ucap Ziban)

"Nenek!" (pekik Andin)

Andin berlari ke neneknya tersebut yang baru datang. Sudah lama ia tidak datang ke rumah neneknya. Ia memeluk neneknya yang sudah renta. Neneknya tinggal bersama keluarga paman dan bibi Andin. Nenek satu-satunya yang masih tersisa. Ibu dari Arga tersebut, memang lebih memilih tinggal dengan adik perempuan Arga, yaitu bibi Andin. Arga tentu tak mau memaksakan kehendak ibunya tersebut.

Di usianya yang semakin renta, Arga membebaskan semua keinginan ibunya. Ia tentu tidak melepaskan tanggungjawab terhadap ibunya begitu saja. Ia memberikan semua kecukupan di dunia untuk ibunya tersebut. Dengan tetap masih berharap ibunya akan tinggal di rumahnya. Dan pintu rumah Keluarga Raharga, selalu terbuka lebar untuknya.

"Paman, mari masuk." (ucap Andin)

"Tidak Nak Andin. Paman akan langsung pulang. Paman ada kepentingan lain,"

"Jaga nenekmu, ya. Tiba-tiba nenekmu ini, ingin datang menemuimu." (ucapnya lagi)

Andin tersenyum pada pamannya tersebut. Seperti mengatakan "Iya, tenang saja paman. Nenek akan ku jaga dengan baik. Dia nenekku satu-satunya." Pamannya tersebut membalas senyuman Andin. Ia meninggalkan rumah tersebut tanpa duduk terlebih dahulu, walau hanya sebentar.

Andin mulai menuntun neneknya yang berjalan tertatih-tatih, untuk duduk bersama yang lainnya di sofa utama.

Semua yang tengah duduk di sofa, bangkit dari duduknya. Mereka bergantian menyalami neneknya Andin.

"Ini nenekku. Nenek Jeje namanya." (ucap Andin)

Andin membantu Nenek Jeje untuk duduk di sofa. Ia terus saja, mengelus-elus punggung tangan neneknya itu. Andin memang sangat menyayangi neneknya.

Andin memperkenalkan Nenek Jeje pada semua, khususnya Meta, Sekretaris Chan, dan Raditya. Ziban dan Rossie tentu saja sudah mengetahuinya. Mereka pernah bertemu dengan neneknya Andin beberapa kali.

Meta, Sekretaris Chan, dan Raditya menyapa Nenek Jeje.

"Selamat malam, Nenek Jeje." (ucap mereka bertiga bergantian)

Nenek Jeje tidak merespon apapun sapaan dari mereka bertiga. Hal itu membuat mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing. Andin lah yang menyadari kegelisahan diantara mereka. Ia segera menghilangkan kegelisahan mereka dengan mengangkat suara.

"Nenek pasti belum makan malam, kan? Mari Andin antar ke meja makan. Andin akan menemani nenek makan malam."

Andin mengajak Nenek Jeje untuk makan malam. Nenek Jeje menatap cucunya tersebut.

"Masak apa?" (tanya Nenek Jeje)

"Tidak masak, nek. Kami memesan beberapa makanan dari jasa pengiriman makanan."

Nenek Jeje menjewer telinga Andin yang memang tertutup rapat oleh jilbab. Seketika, semua terkejut. Kecuali Andin. Ia sudah memahami neneknya. Diantara yang lainnya, tentu Ziban lah yang lebih merasa terkejut. Ah ya, lebih tepatnya, tidak terima.

"Nek, tolong lepaskan tangan nenek." (ucap Ziban)

Ziban mencoba untuk melepaskan tangan Nenek Jeje. Tetapi, berhasil ditangkis oleh Nenek Jeje. Semua semakin dibuat terkejut.

"Kau itu, ya. Seharusnya masak sendiri saja. Dasar anak bandel." (ucap Nenek Jeje)

Andin sedikit meringis kesakitan. Neneknya semakin memperkuat jewerannya. Ziban menggenggam tangan Andin.

"Kau tidak apa-apa, sayang?"

Andin hanya mengangguk pasrah. Ia tahu, neneknya memang seperti itu. Jika neneknya merasa Andin melakukan kesalahan atau hal ceroboh sekalipun, Nenek Jeje akan menjewer telinganya. Tetapi ia tahu, dibalik semuanya itu, Nenek Jeje lebih menyayangi cucunya tersebut. Tidak ada bandingannya. Ah, beberapa orang memang memiliki caranya tersendiri dalam hal menyayangi.

"Iya nek, Andin minta maaf."

Maaf. Ya, satu kata yang sangat sederhana tapi bermakna, bagi Nenek Jeje. Andin memang tahu, ia hanya perlu mengeluarkan kata maaf, maka neneknya akan berhenti menjewer telinganya.

Semua terdiam. Hanyut dalam pikirannya masing-masing. Ziban yang terus saja menyempatkan melihat jam yang menempel di dinding. Sebentar lagi, siaran langsung pertandingan sepak bola akan dimulai.

"Andin."

"Iya, nek? Nenek butuh sesuatu?"

Nenek Jeje mengangguk. Ia memegangi tenggorokannya. Menandakan bahwa saat ini, ia tengah kehausan. Andin menepuk jidatnya. Ia menyesali tindakannya yang tidak langsung memberi neneknya air minum.

Andin pun mengucapkan pada Nenek Jeje, bahwa ia akan mengambil air untuknya. Tetapi Nenek Jeje menolak. Ia tidak ingin Andin yang mengambilkan air minum untuknya. Ia ingin, orang lain yang mengambilkannya.

Deg!

Semua pasang mata, menatap Raditya. Nenek Jeje menginginkan Raditya lah yang mengambilkan air minum untuknya.

"Aku nek?" (tanya Raditya tidak percaya)

Raditya menggerakkan bola matanya sedikit cepat. Masih terkejut, mengapa dari yang lainnya, dirinya lah yang dipilih Nenek Jeje.

Ziban melihat ketidaksukaan Raditya. Ia melototkan matanya pada Raditya. Menyuruhnya untuk menurut saja, melalui gerakan matanya.

"Huah!"

Raditya mengembuskan nafasnya. Ia bergerak menuju dapur untuk mengambilkan air minum untuk Nenek Jeje.

"Yeah!" (pekik Ziban)

Ia melihat ke arah jam dinding lalu ke televisi. Live streaming pertandingan sepakbola dimulai.

Tiba-tiba Nenek Jeje memegang tangan cucunya. Andin menanyakan padanya apa yang neneknya inginkan. Tetapi Nenek Jeje terlihat tidak ingin mengatakannya. Andin memahami gerak-gerik neneknya tersebut. Ia lalu menatap Ziban yang mulai fokus dengan layar televisi.

"Mas."

"Hem."

"Mas!"

Ziban mengalihkan perhatiannya dari televisi ke istrinya.

"Apa sayang?"

"Matikan televisinya."

"Apa?!" (pekik Ziban)

Andin mengisyaratkan pada Ziban bahwa hal tersebut adalah keinginan Nenek Jeje. Ziban melengoskan wajahnya sekejap. Lalu pada akhirnya ia mengalah. Ia mematikan televisinya. Dan meninggalkan siaran langsung pertandingan sepakbola yang sudah lama ia tunggu-tunggu.

"Andin." (ucap Nenek Jeje lagi)

"Ya, nek?"

"Nenek lupa bawa daun sirih."

"Daun sirih, nek? Lalu apa yang harus Andin lakukan, nek?"

"Beli."

Ziban menangkap segalanya terlebih dahulu. Ia lalu menyuruh Sekretaris Chan untuk membelikan daun sirih yang Nenek Jeje inginkan. Sekretaris Chan segera mengiyakan. Jam masih belum terlalu larut malam. Masih ada beberapa toko atau supermarket yang menjual daun sirih. Begitu pikir Sekretaris Chan.

Sekretaris Chan mulai bergerak meninggalkan mereka semua. Tetapi tiba-tiba Meta memanggilnya.

"Mas Chan."

Sekretaris Chan menoleh ke belakang. Mempertanyakan kepada Meta mengapa ia memanggilnya, melalui tatapan matanya.

"Aku ikut."

Ziban yang paling terlihat risih dengan keadaannya saat ini, akhirnya menyuruh Meta untuk ikut dengan Sekretaris Chan. Dengan berpesan pada Sekretaris Chan, untuk tetap bersikap profesional. Sekretaris Chan mengiyakan.

"Daun sirihnya yang masih ada tangkainya, ya? Yang baru dipetik." (pinta Nenek Jeje)

Seketika semua menelan salivanya masing-masing. Terutama Sekretaris Chan dan Meta. Mereka tentu kebingungan dimana mereka akan mencari.

Untuk mempercepat waktu, Ziban menyuruh mereka berdua untuk segera pergi dan mendapatkan daun sirih tersebut apapun yang terjadi. Itu ia lakukan, karena ia tidak ingin lebih membuang-buang waktu lagi. "Drama dengan Nenek Jeje harus cepat selesai! Dan aku akan menyalakan televisi lagi!" Begitu hatinya berbicara.

Beberapa saat berlalu, setelah kepergian Sekretaris Chan dan Meta, Raditya muncul di hadapan mereka. Dengan membawa nampan berisi tiga cangkir minuman.

"Lihat nek, aku membawa secangkir air putih, secangkir teh hangat, dan secangkir kopi. Nenek Jeje tinggal memilih."

Nenek Jeje menggelengkan kepalanya. Ia menolak tiga cangkir minuman yang ditawarkan oleh Raditya. Ia membuka totebagnya. Mengambil botol berisi minuman. Lalu meminumnya.

Seketika, semua melongo tak percaya. Terutama Raditya tentunya.

"Sudah malam, mari tidur. Andin, nenek tidur dengan kalian berdua ya?" (ucap Nenek Jeje)

Nenek Jeje menatap Andin dan Ziban bergantian. Berusaha meminta persetujuan dari mereka. Ah ya, lebih tepatnya memaksa.

"Tapi nek, sekretarisku sedang mencari daun sirih yang nenek inginkan." (ucap Ziban)

"Sirih? Sirih apa? Mari tidur. Ini sudah malam. Nenek akan tidur di tengah-tengah kalian."

Nenek Jeje menggamit lengan Andin dan Ziban bersamaan. Rossie menatap keheranan, Andin diam saja dan Ziban mengusap kepalanya frustasi. Sedangkan Raditya menahan perutnya yang terasa sangat geli.

Semoga saja, kau tidak salah masuk, Man!

BERSAMBUNG...

Terpopuler

Comments

gina Ristanti

gina Ristanti

nenek'e konyol..

2021-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!