Pagi-pagi buta. Rintik-rintik hujan mengalunkan melodinya. Mentari pun enggan menunjukkan wajahnya. Tetap memilih beradu dalam semayamnya. Sama halnya dengan jiwa-jiwa yang bernyawa. Kesyahduan rintik hujan yang menyapa di pagi buta, semakin menghangatkan lelapnya.
Seseorang yang tengah tidur di ambang kesadaran, membalikkan tubuhnya. Meraba-raba ranjang empuknya, dengan masih menutup mata. Mencari-cari istrinya. Tidak ada. Istrinya tidak ada di sampingnya.
Ia mulai membuka matanya. Melilitkan kembali sarungnya yang terlepas. Atau memang sengaja dilepas.
Ia mulai menurunkan kakinya dari ranjang. Bergerak ke arah jendela. Mengintip ke luar rumahnya membuka tirai. Tanah dan dahan yang sepenuhnya basah. Menandakan rintik-rintik hujan telah turun lumayan lama. Ia menutup kembali tirai jendela.
Kembali bergerak melangkahkan kakinya ke bawah. Mengikuti asal suara yang baru didengar. Suara wajan yang saling beradu dengan spatula. Dapur. Ya, tidak ada tempat lain selain dapur.
Ia mulai mendekati dapur, berjalan dengan berhati-hati adalah pilihannya. Melipat tangannya di depan dada, menggelengkan kepalanya. Lalu mendekati perlahan istrinya yang tengah masak. Ia memeluknya dari belakang.
"Apa yang kau lakukan di pagi buta, seperti ini?" (ucapnya)
Istrinya sedikit tersentak karena kedatangannya. Dan ya, pelukannya. Ia menolehkan wajahnya. Memastikan yang mengagetkannya adalah benar suaminya.
"Apa kau tidak lihat, aku sedang masak." (ucapnya ketus)
Suaminya melepaskan pelukannya.
"Kau masih Andin yang sama!"
"Kau juga masih Ziban yang sama!"
Ziban mengangkat sedikit sudut bibirnya.
"Ah, kau sudah berani memanggil namaku ya."
Andin melakukan hal yang sama. Dengan mengangkat sedikit sudut bibirnya. Sepertinya, kekalahan tidak tertulis di dalam kamus kehidupannya.
"Kenapa tidak? Ziban!" (ucapnya)
Ziban mengecup bibir Andin. Itu sebuah hukuman. Karena, Andin berani menyebut namanya secara langsung.
"Sudah kubilang, panggil suamimu ini, mas."
Ziban mulai membusungkan, sembari menepuk-nepuk pelan dadanya. Andin melipat tangannya di depan dada.
"Zi-ban. Z-i-b-a-n."
Andin sengaja mengeja nama Ziban dengan nada penuh remehan. Ziban terlihat tidak terima. Ia menghukumnya dengan memeluknya dengan sangat erat. Tak memberi kesempatan Andin untuk berhasil melepas.
"Panggil aku dengan sebutan mas. Jika tidak, aku tidak akan melepaskanmu. Dan aku akan menciummu dengan brutal!"
"Kau belum gosok gigi!" (berontak Andin)
"Kau tidak punya pilihan lain."
Andin menghembuskan nafasnya berat. Tidak ada pilihan lain. Salah satu cara cara untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman Ziban, yang akan menciumnya dengan brutal, adalah menuruti keinginannya. Ya, memanggilnya mas.
"Iya, mas."
Ziban tersenyum puas. Ia mengecup kening, hidung, pipi, lalu bibir Andin dengan lembut.
"Ah, gosong!" (pekik Andin)
Ziban dan Andin menatap masakan yang Andin masak telah gosong kehitaman. Ziban lah yang terlihat paling siaga. Ia mematikan kompornya. Lalu menatap Andin dengan wajah marahnya. Andin menundukkan wajahnya.
"Apa yang kau lakukan di dapur, pagi-pagi buta?"
Andin diam saja. Ia berfikir, suaminya tengah memarahinya.
Melihat istrinya menundukkan wajahnya seperti anak kecil, Ziban menghembuskan nafas. Ia membopong tubuh istrinya. Andin membulatkan matanya. Tetapi ia memilih untuk diam dan membiarkan dirinya dibopong oleh suaminya hingga terus berjalan menaiki anak tangga. Semakin Ziban bergerak berjalan, Andin yang berada didalam bopongannya pun seketika memahami.
Dia pasti sedang gatal padaku. Dasar, kebiasaan. Tapi, tidak apa-apa, lagipula suasananya sangat mendukung. Pagi buta dan rintik-rintik hujan. Hemm, sangat pas.
Ziban membuka pintu kamar. Menidurkan tubuh istrinya. Andin membenarkan posisi ternyamannya. Lalu mereka berdua saling menatap agak lama.
Andin melepaskan ikat rambutnya. Menguraikan rambut indahnya dengan masih tetap terlentang. Sedangkan Ziban mengambil ponselnya. Ia membuka ponselnya dan terlihat mencari sesuatu di dalam ponselnya itu. Setelah beberapa saat, ia mendekat ke istrinya.
Ziban mengernyitkan keningnya. Melihat Andin yang akan melepaskan kancing baju tidurnya. Ia menyodorkan ponselnya kepada istrinya itu.
"Perbanyak belajar terlebih dahulu." (ucap Ziban)
Andin memonyongkan bibirnya. Melihat Ziban yang memintanya untuk mempelajari ilmu masak-memasak dari video-video tutorial.
"Aku sudah mempelajari segalanya, memangnya kau tidak tahu?!" (ucap Andin)
Ziban tersenyum mengejek istrinya itu. Ia baru memahaminya, setelah Andin mengatakan hal tersebut kepadanya.
"Oh, jadi kau tadi sengaja bangun lebih awal, karena ingin praktik memasak? Tidak ingin suamimu ini tahu, kan. Karena kau tahu sendiri, masakanmu selalu gagal."
Seketika Andin menimpuk wajah Ziban mengunakan bantal dengan segala kekuatannya.
"Suami macam apa kau ini!"
Sedangkan Ziban tertawa terpingkal-pingkal. Melihat istrinya semarah itu padanya, di pagi buta.
"Ah istriku, kau sangat mengenal suamimu ini, kan?"
Ziban mengusap-usap lembut rambut Andin. Mengecup keningnya lagi.
"Kau disini saja, biar aku yang memasak." (ucap Ziban)
Ia pun bergerak meninggalkan Andin. Tetapi panggilan Andin membuat langkahnya terhenti.
"Mas."
"Iya?"
"Biarkan aku saja yang memasak."
"Masakanmu tidak enak, sayang."
Mendengar ucapan Ziban, Andin membuang mukanya. Sebal. Satu kata yang tepat, untuk menggambarkan perasaan Andin saat ini. Pasangan suami istri tersebut, memang berbeda dengan pasangan lain pada umumnya. Ketika perasaan mereka dahulu yang mengalami beberapa ujian. Pada akhirnya, dipersatukan dalam sebuah ikatan suci pernikahan.
Ziban mendekati Andin kembali.
Cup!
Ia mengecup bibir Andin. Andin mengusap bibirnya saat itu juga.
"Aku hanya bercanda, sayang,"
"Kau sudah berusaha memasak tadi. Pasti lelah kan? Sudahlah, aku tidak mau kau terlalu kelelahan,"
"Aku yang akan memasak."
Ziban kembali mengecup bibir Andin tiga kali berturut-turut.
Cup!
Cup!
Cup!
Dan itu tentu membuat Andin merasa geli. Ziban beranjak hendak ke dapur. Andin menarik garis senyum di bibirnya tanpa sepenglihatan Ziban.
Tiba-tiba Ziban menolehkan wajahnya.
"Huh, dasar. Kau biasa mengejekku bahwa suamimu ini, sangatlah gatal. Tapi kau jauh lebih gatal. Kau akan membuka kancing bajumu, untuk apa tadi?"
Ziban tertawa terpingkal-pingkal. Merasa selalu menang melawan Andin. Lagi-lagi, ucapan Ziban membuat Andin tidak terima. Ia melemparkan semua bantal yang tersisa ke arah Ziban. Berharap, serangannya tepat pada sasaran. Tetapi tidak, Ziban sudah terlebih dahulu keluar dari kamar dan menutup pintu. Ia berhasil menghindar. Andin berdecak kesal.
Aku kan hanya berusaha menjadi istri yang baik, dengan lebih pengertian. Dasar. Awas saja.
Melihat dirinya diperlakukan, ide yang sama pun, terlintas di benaknya. Dimana, memperlakukan Ziban suatu saat nanti sama sepertinya yang memperlakukan Andin, adalah pilihan yang paling tepat dalam sebuah pembalasan.
Andin menembuskan nafasnya. Menyayangkan, keputusan Ziban, yang memutuskan untuk memulangkan semua pelayan yang bekerja di rumahnya. Pelayan hanya di izinkan membersihkan semua bagian rumahnya saja. Tidak dengan urusan dapur. Setelah pekerjaannya selesai, mereka harus segera pergi dari rumah tersebut. Tanpa alasan apapun. Hal itu Ziban lakukan dengan alasan, berduaan di rumah dengan istri tanpa adanya gangguan sedikitpun.
Begitulah alasan yang Andin dengarkan dari suaminya. Hal itu tentu membuatnya kerepotan. Terutama dalam masak-memasak. Ia harus, belajar lebih baik lagi.
Pasalnya, mamah dan papahnya, tengah pergi ke luar negeri untuk sebuah urusan pekerjaan. Berharap kembalinya Kumala dan Arga, tentu selalu diharapkan oleh Andin. Karena, kembalinya kedua orangtuanya, akan mengembalikan semua pelayannya. Dan membuat, dirinya tidak lagi kerepotan.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar pintu kamarnya. Andin memasang telinganya dengan baik.
"Sayang, kau tetap di kamar saja. Aku hanya akan membuat telur dadar. Hanya sebentar. Tetap di kamar, ya? Aku akan segera kembali. Jangan buka kancing bajumu dulu, karena aku yang akan membukanya."
BERSAMBUNG...
DUKUNG DENGAN LIKE, KOMENTAR, DAN VOTE, YAA?
PERCAYALAH, SEMUA KEBAIKAN AKAN KEMBALI KE KALIAN SUATU SAAT NANTI.
LUVV💛
Matahari mulai berpindah dari ufuk timur ke ufuk barat. Langit yang sejak pagi memuramkan wajahnya, saat ini terlihat lebih menyengat.
Cuaca yang kerapkali berubah-ubah setiap sesaat.
Kadang hujan, kadang panas, dan kadang rindu yang bertambah kuat.
Hari demi hari berlalu.
Semakin menyajakkan untaian demi untaian rindu.
Melangitkan hanya kepada sang maha pengampu.
Dering ponsel panggilan terdengar memekakkan telinganya. Membuat gadis itu, meletakkan penanya. Melirik siapa yang tengah menghubunginya.
"Mas Chan!" (pekiknya)
Ia segera mengangkat panggilan dari kekasihnya itu. Setelah beberapa pertemuan dahulu, mereka saling menyadari dan memahami sesuatu. Bahwa, mereka saling menyukai. Tak membutuhkan waktu lama, untuk mereka menjalani pendekatan. Memilih untuk memulai ikatan, adalah keputusan yang cekatan.
"Dik, siap-siap, ya? Sebentar lagi, aku menjemputmu."
Meta mengernyitkan keningnya. Beberapa pertanyaan dalam benak, tentu timbul begitu saja. Tidak biasanya, kekasihnya menjemputnya. Di hari-hari sibuknya.
Seakan mengerti pertanyaan di dalam benak kekasihnya, Sekretaris Chan mengatakannya terlebih dahulu. Sebelum, Meta menanyakannya.
"Tuan Muda Ziban, menyuruh kita supaya datang ke rumahnya."
"Tapi hari ini, aku ada shift sore di restoran, mas."
"Aku tahu. Aku tahu semua jadwalmu, dik. Aku sudah menghubungi atasanmu. Dia mengizinkannya, dan menggantinya dengan pekerja lain."
Terkadang kau menjadi lebih pengertian, disaat aku benar-benar merasakan kerinduan.
"Tapi, bukannya suaminya Andin hanya ingin berduaan saja, selama ini?"
"Tuan muda memang kerapkali berubah-ubah pikiran. Cepat bersiap-siap, aku akan ke kos-kosan mu, sekarang juga, dik."
......................
Jam menunjukkan pukul 13.20 WIB. Sepasang suami istri, Andin dan Ziban, masih berada di lautan surga mereka. Ranjang empuk, saling peluk, serta selimut yang menekuk.
Tiba-tiba mereka berdua merasakan seperti jatuh dari ketinggian. Merasakan jantungnya yang berdebar-debar tak karuan. Mereka membuka mata mereka, saling menatap.
Gedoran pintu kamar, masih memekakkan gendang telinga mereka. Hingga merasakan jiwanya hilang beberapa saat. Saking terkejutnya.
Ziban menutupi tubuh Andin mencapai bagian lehernya, dengan selimut. Ia yang bergerak merangkak turun dari ranjang. Melilitkan sarungnya, dan tetap bertelanjang dada.
Setelah membuka pintu kamarnya, ia segera langsung menutupnya dari luar. Menjaga pandangan mereka, supaya tidak melihat ke dalam kamarnya.
"Sudah gila kalian! Tidak sopan!" (ucap Ziban)
"Woi, Man! Jam berapa ini? Aku tahu, kalian sedang berusaha membuat anak. Tapi cobalah untuk memahami segala ucapanmu, Man. Kau menyuruh aku dan Rossie untuk datang ke rumah ini. Tapi apa yang kau lakukan?"
Raditya mengucapkan panjang lebar kekesalannya. Rossie mengangguk menyetujui semua ucapan kekasihnya, Raditya. Sedangkan Ziban hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Berisik kau! Bilang saja, kau iri."
"Kenapa harus iri? Aku akan mencobanya. Ya, beb?"
Raditya menghadap ke arah Rossie, seakan meminta persetujuan darinya atas ucapannya itu. Sedangkan Ziban membulatkan matanya. Tidak terima.
"Awas saja, kau berani macam-macam kepada adikku. Jika sampai kau berani, hari itu juga, akan beredar di surat kabar bahwa seorang laki-laki tewas dengan ginjal yang menghilang."
Ziban berusaha mengancam sahabatnya itu. Itu ia lakukan, supaya Raditya tidak berani macam-macam dengan adik perempuannya, Rossie. Sedangkan Raditya bergidik ngeri. Ia memegang lehernya ngeri.
Rossie yang melihat Raditya bergidik ngeri karena ancaman kakaknya, ia mulai mengangkat suara.
"Makannya bang, kau tidak boleh berbicara kepadanya, bahwa dia iri."
Raditya memasukkan kedua tangannya di saku celananya. Merasa sangat di bela oleh Rossie, membuatnya percaya diri.
Ziban meraih tangan adiknya.
"Ah iya, baiklah. Pokoknya, aku pesan kepadamu. Jika, Raditya mengajakmu macam-macam, tolak saja!"
"Macam-macam apa sih, bang?"
Ziban melepas genggaman tangannya. Lalu beralih ke Raditya. Melototkan matanya. Seakan memberikan peringatan kembali, untuk tidak macam-macam kepada adiknya yang masih polos.
Drama di depan pintu kamar, berakhir. Ziban menyuruh kepada Raditya dan Rossie untuk ke bawah. Ziban kembali masuk ke kamar. Tetapi saat ia baru membuka pintu, ia dikejutkan akan sesuatu.
"Apa yang kau lakukan?"
Ia melihat Andin yang berdiri di samping pintu dengan tubuhnya yang hanya di lilit selimut.
"Menguping pembicaraan kalian."
Ziban menunjuk jidat Andin menggunakan telunjuknya.
"Dasar konyol!"
Andin mendorong tubuh Ziban.
"Biarkan saja!"
Ziban berkacak pinggang. Andin melipat kedua tangannya di dada. Mereka diam beberapa saat. Sama-sama hanyut dalam pikirannya masing-masing. Sepasang suami istri yang jarang dijumpai dimanapun. Diam-diam, merasa konyol.
"Ayo, kita lanjutkan lagi?" (ucap Ziban)
Ia menampakkan bola matanya yang berbinar-binar. Andin mendorong tubuh Ziban. Jika Ziban tidak menyeimbangkan tubuhnya sendiri, mungkin hampir terpental.
Andin mengambil baju handuknya. Lalu bergerak menuju kamar mandi. Ia harus membersihkan tubuhnya. Ziban melakukan hal yang sama. Mengambil baju handuk, lalu menyusul Andin ke kamar mandi.
"Kenapa kau kesini?" (tanya Andin)
Ia melihat suaminya yang hendak masuk ke dalam kamar mandi. Ziban sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi tersebut.
"Mandi juga lah, sama sepertimu." (jawabnya)
"Tidak bisa!"
Andin menutup pintu kamar mandi rapat-rapat. Lalu menguncinya dari dalam.
Sedangkan di ruang tamu. Raditya mulai menyalakan televisi. Menidurkan kepalanya di pangkuan Rossie untuk sanggaannya. Sesekali membuka mulutnya. Menerima suapan demi suapan cemilan dari kekasihnya.
"Dimana Tuan Muda Ziban?"
Terdengar suara Sekretaris Chan. Raditya dan Rossie melihat dari arah datangnya. Bukan hanya Sekretaris Chan. Mereka berdua, melihat Meta yang datang bersamanya.
"Mana ku tahu, dia kan tuan mudamu." (ucap Raditya acuh)
Ia mengucapkan dengan sangat gamblang. Dan masih tetap menidurkan nyaman kepalanya di pangkuan Rossie.
Sekretaris Chan mengambil ponselnya. Sudah dapat ditebak, apa yang dilakukan olehnya. Ya, menghubungi Ziban. Raditya menguap lebar-lebar dengan sangat dibuat-buat.
Panggil saja. Panggil dia. Dia tidak akan mengangkat panggilan telepon darimu.
Meta duduk di sofa. Sekretaris Chan mulai menggerakkan kakinya naik ke atas.
"Tunggu, sekretaris." (ucap Rossie)
Sekretaris Chan membalikkan tubuhnya. Sedangkan Raditya, yang seperti mengetahui apa yang hendak dikatakan oleh Rossie, mencegahnya. Ia berbisik-bisik di telinga Rossie.
"Sudah-sudah. Biarkan saja. Biarkan dia merasakan hal yang kita alami tadi."
Rossie hanya mengangguk menuruti. Sepertinya, ia menyetujui rencana kekasihnya itu. Sekretaris Chan, yang mengetahui Rossie tidak jadi berbicara kepadanya, melanjutkan langkahnya lagi.
"Eh, Met. Kau mau minum apa? Biar aku yang ambilkan." (ucap Rossie)
"Tidak usah. Biar aku ambil sendiri saja."
Meta beranjak ke dapur untuk mengambil minum untuk dirinya dan kekasihnya, Sekretaris Chan. Raditya mengarahkan remote ke arah televisi lalu mematikannya.
"Tuan Muda Ziban. Haha. Norak sekali abangmu itu, beb,"
"Dan ya, sekretarisnya itu beb, dia sepertinya sangat kaku pada Meta. Aku kasihan padanya. Meta pasti tertekan mempunyai kekasih sepertinya." (ucapnya lagi)
Rossie mengelus rambut Raditya.
"Kau benar, beb. Aku bahkan mempertanyakan hal yang sama sudah sangat lama. Sejak mereka mulai menjalin hubungan,"
"Ah, Meta, benar-benar malang."
Sedangkan di dapur, Sekretaris Chan menyusul Meta. Ia berputar arah, setelah menduga Ziban dan Andin berada di kamarnya. Ia memahami. Ia memutuskan untuk tidak mengganggunya. Ia melihat dari atas, Meta yang berjalan ke arah dapur, tentu Sekretaris Chan berputar arah lewat jalan lain untuk menyusulnya ke dapur.
"Dik, buatkan kopi ya?"
Meta sedikit terkejut dengan kedatangan kekasihnya, yang sudah berada dekat dengannya.
BERSAMBUNG...
Beberapa saat berlalu, Andin dan Ziban turun ke bawah. Mereka melihat hanya Rossie dan Raditya yang tengah duduk di sofa.
"Dimana Sekretaris Chan?" (tanya Ziban)
Yang ditanya, yaitu Rossie dan Raditya, hanya menggelengkan kepalanya kompak. Mereka memang hanya mengetahui bahwa Sekretaris Chan naik ke atas. Tetapi, mereka memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.
Andin duduk terlebih dahulu. Merebut cemilan yang digenggam oleh Rossie. Rossie menangkis tangan Andin. Berusaha mempertahankan cemilan yang tengah digenggamnya. Andin menekuk wajahnya. Mendapatkan kekalahan setelah berusaha merebut cemilan tersebut.
"Mas..."
Andin merengek pada suaminya. Ziban pun menatap adiknya dan istrinya secara bergantian. Tidak memungkinkan bahwa Rossie ingin berbagi. Begitulah kesimpulan Ziban setelah menatap mereka berdua.
"Akan ku ambilkan lagi." (ucap Ziban)
Ia bergerak melangkahkan kakinya menuju dapur. Meninggalkan Andin dan Rossie yang terlihat saling tatap tidak suka. Sedangkan Raditya kali ini, diam saja.
Betapa terkejutnya Ziban. Ketika telah sampai di dapur, ia melihat Meta dan Sekretaris Chan tengah berpelukan. Ia berdehem dengan keras. Berusaha mengakhiri mereka yang saling berpelukan dengan dehemannya.
"Ehem!"
Meta dan Sekretaris Chan saling melepas peluk mereka. Raut wajah salah tingkah tentu saja terlihat jelas di wajah mereka. Mereka tentu merasa tertangkap basah.
"Peluk-pelukan di dapur orang." (ucap Ziban)
Ia mengucapkannya dengan raut wajah yang biasa saja. Lalu membuka etalase yang berisi cemilan. Membawa secukupnya dan segera kembali ke ruang tamu. Sekertaris Chan memanggil Ziban sebelum Ziban benar-benar keluar dari dapur.
"Tuan Muda."
"Apa."
"Tolong rahasiakan yang anda lihat tadi."
"Hemm."
Ziban melangkahkan kakinya kembali. Sekretaris Chan menatap Meta sekejap. Mengelus pundaknya. Lalu segera menyusul Ziban menuju ruang tamu. Sedangkan Meta melanjutkan membuatkan kopi untuk Sekertaris Chan.
"Sekertaris Chan dan kekasihnya, sedang berpelukan di dapur. Dasar tidak tahu malu." (ucap Ziban)
Ziban mengucapkan sembari memberikan cemilan pada Andin. Sekertaris Chan yang mendengarnya dari kejauhan, seketika memundurkan langkahnya. Bersembunyi di balik tembok.
"Benarkah? Sungguh tidak disangka-sangka seorang Sekretaris Chan." (ucap Andin)
Ia mulai membuka cemilan makanan ringan yang diambilkan oleh Ziban. Rossie dan Raditya terlihat lebih terkejut. Pasalnya, mereka berdua memang telah menduga beberapa dugaan dari awal. Bahwasanya, Sekertaris Chan adalah sosok yang sangat kaku juga terhadap pasangan. Mendengar fakta yang sangat berbanding terbalik, tentu sebuah keterkejutan bagi mereka.
"Beb, dia berani melangkahi kita, beb." (ucap Raditya)
Raditya memeluk Rossie secara tiba-tiba di hadapan Andin dan Ziban.
"Heh, lepaskan!"
Ziban melerai pelukan Raditya. Sedangkan Andin dan Rossie hanya diam saja.
"Astaga, Man. Hanya mencoba sedikit. Pelit sekali."
"Coba-coba sedikit, lama kelamaan naik ke bukit."
Rossie membisikkan sesuatu di telinga Raditya.
"Bukankah kita sudah terbiasa berpelukan."
Raditya menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya sendiri. Memberi kode kepada Rossie, untuk tetap diam. Tidak mengatakan hal yang macam-macam.
Sedangkan di balik tembok, Sekretaris Chan masih berada disana. Meta yang melihat pun, menanyakannya dan mengajaknya untuk ke ruang tamu. Sekretaris Chan mengiyakan. Ia mengatakan pada Meta, bahwa ia sudah tidak ingin meminum kopi. Meta terlihat sedikit kecewa, tetapi akhirnya ia mengalah. Ia kembali ke dapur untuk meletakkan kopi yang sudah dibuatnya ke dapur.
Sekretaris Chan bergerak melangkahkan kakinya ke ruang tamu. Bergabung bersama semuanya.
"Nah itu dia bintangnya." (ucap Raditya)
Sekretaris Chan tidak menanggapi ucapan Raditya. Ia mengalihkan topik pembicaraan, dengan menghadapkan wajahnya ke arah Ziban.
"Ada apa anda menyuruh kami datang ke rumah ini, tuan muda?"
"Hei tuan muda, kau dengar, sekretarismu sedang bertanya. Cepat jawab."
Raditya ikut mengangkat suaranya, sebelum Ziban menjawab pertanyaan Sekretaris Chan.
"Nanti malam ada siaran langsung sepak bola di televisi. Kita akan menonton bersama-sama disini."
Semua orang melongo tak percaya. Termasuk Meta yang baru saja bergabung dengan mereka. Rupanya kedatangan mereka hanya untuk menonton sepak bola bersama-sama. Dan itu, jam malam nanti. "Benar-benar keterlaluan!" Begitulah umpatan mereka semua.
Tiba-tiba ponsel Sekretaris Chan berdering. Sebuah panggilan masuk berasal dari kantor. Ia menjawab panggilan tersebut. Terlihat ia yang mengangguk-angguk memahami. Lalu sambungan telepon dimatikan.
"Tuan muda, ada masalah di kantor."
"Seperti biasa, kau saja yang mengurusnya." (ucap Ziban)
"Tidak bisa tuan. Kali ini, anda harus ikut andil."
Ziban memutarkan bola matanya. Menghembuskan nafasnya kasar. Lalu mulai melangkahkan kakinya hendak ke kamarnya. Sekretaris Chan mencegah.
"Anda akan kemana, tuan muda?"
"Ganti pakaian. Memangnya apa lagi?"
"Tidak perlu. Kita harus secepatnya sampai di kantor, tuan muda."
Ziban menghembuskan nafasnya kasar, lagi. Ia tidak tahu, ada masalah apa, hingga dirinya tak diizinkan untuk hanya sekedar mengganti pakaiannya. Ingin mempercepat waktu, akhirnya Ziban menurut untuk kali ini pada sekretarisnya. Ia mengatakan pada semua untuk tetap di rumah tersebut. Menunggu hingga dirinya kembali dari kantor.
"Aku ke kantor, ya sayang."
Ziban mencium bibir Andin. Semua menatapnya dengan pikirannya masing-masing. Ziban bersikap acuh. Ia dan Sekretaris Chan bergegas cepat keluar dan masuk ke dalam mobil. Sekretaris Chan lah yang mengendarai mobil tersebut.
Sekretaris Chan memasang sabuk pengamannya dan juga memasang sabuk pengaman untuk Ziban. Mobil melaju dengan sangat cepat. Sepertinya yang dikatakan oleh Sekretaris Chan adalah benar. Bahwa, mereka memang harus tiba di kantor dengan secepatnya.
"Ada masalah apa, Sekretaris Chan?"
"Seorang perempuan tiba-tiba datang ke kantor dan membuat kekacauan."
"Hanya itu? Kau bisa mengatasinya, Sekretaris Chan!" (pekiknya)
"Tidak tuan. Dia mengacau karena mencari-cari anda. Sepertinya anda harus ikut andil. Sedangkan saya, akan menjadi tangan kanan anda, seperti biasa."
Ziban memegang kepalanya. Entah siapa, yang tiba-tiba datang dan membuatnya harus menanganinya seperti itu. Entah siapa, yang berani membuat kekacauan di kantornya. Dan entah siapa, yang berani merusak kebahagiaannya di rumah. Pertanyaan demi pertanyaan timbul dalam benaknya. Tentu saja.
Beberapa saat berlalu. Mobil masuk ke dalam gerbang perusahaan setelah satpam membukanya. Mobil dihentikan tepat di depan pintu masuk perusahaan. Mereka berdua turun dari mobil. Sekretaris Chan memberi kode kepada satpam yang menjaga pintu gerbang, untuk menempatkan mobil tersebut ke lahan parkir.
"Mari tuan."
Sekretaris Chan yang berpakaian rapi dengan jas yang selalu membalutnya di luar seperti biasa, berjalan terlebih dahulu. Di susul oleh Ziban yang memakai kaos santai berwarna abu dan celana pendek berwarna putih.
Semua karyawan berhamburan. Jam kerja sudah habis. Mereka yang tidak ada jam lembur kerja, keluar hendak berpulangan. Mereka tentu menyempatkan menatap Ziban, atasannya tersebut. Yang berpakaian santai, tidak seperti biasa yang mereka lihat ketika ia datang ke kantor. Entah apa yang mereka artikan setelah menatap atasannya tersebut.
Tiba-tiba seorang perempuan berlari ke arah Ziban. Memeluknya. Disusul oleh dua petugas keamanan, yang mengejar perempuan yang memeluk Ziban tersebut.
Sekretaris Chan lah yang bertindak sigap. Ia melepaskan pelukan perempuan tersebut.
"Maaf nona, bersikaplah sopan." (ucapnya)
Ziban memundurkan beberapa langkah kakinya. Mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Karyawan-karyawatinya yang tengah menatap ke arah dirinya. Ia menatap perempuan tersebut.
"Apa yang kau lakukan disini?!" (lirihnya)
BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!