I'M A Night Butterfly
"Mentari," panggil sang Ibu.
"Mentari!" ulang Sinta dengan berteriak.
Sinta masuk ke dalam kamar Mentari lalu menggoyangkan badannya. "Ini sudah siang Mentari. Kamu nggak mau sekolah? Kamu bangun atau Ibu siram air ya," ancam Sinta.
"Iya, Bu, iya." Mentari mengusap-usap matanya.
"Ayo, cepat berdiri!" Sinta meninggalkan Mentari sambil berteriak. "Anak gadis sekarang kalo suruh bangun susah banget," gerutu Sinta sambil berjalan keluar kamar Mentari.
Mentari turun dari ranjangnya, ia mencari handuknya lalu keluar kamar. "Aa!" teriak Mentari.
"Aduh, perutku sakit, Kak." Revalina terbahak-bahak.
"Ada apa lagi, Tar?" tanya Sinta.
"Sakit, Bu. Pinggangku." Mentari berdiri sambil mengusap-usap pinggangnya.
" Kamu, Reva." Sinta berkacak pinggang.
"Apa si, Ibuku yang cantik?" Revalina bergelayut manja di tangan Sinta.
"Kakakmu jatuh, bukannya kamu bantu, malam santai-santai saja," tegur Sinta.
"Biarkan saja, Bu. Salah siapa masuk kamar mandi matanya merem gitu. Wle." Revalina menjulurkan lidahnya.
"Sudah-sudah Mentari cepat mandi. Reva ikut Ibu sarapan."
Saat semua berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi. Tiba-tiba sang ayah masuk ke dalam rumah dengan keadaan mabuk. Sambil mulutnya komat-kamit jalan sempoyongan, Sinta berlari mencoba membantu Leo berjalan.
"Lepaskan aku! Aku bisa sendiri. Dasar wanita pembawa sial!" teriak Leo sambil mendorong istrinya.
"Ayah!" teriak Mentari.
"Apa kamu anak tidak di untung. Cuma bisanya menyusahkan orang tua saja," ucap Leo dengan geram.
"Jangan sentuh Ibu, Ayah!" Mentari berteriak lagi sambil memeluk ibunya.
"Plak!" Terdengar suara keras dari pipi Mentari ditampar oleh Leo.
"Ayah!" teriak Sinta.
"Apa!" Tak kalah sengit Leo berteriak. "Kalian memang pembawa sial bagiku."
Leo meninggalkan mereka lalu memilih masuk kamar dan tidur. "Maafin Ibu ya, Tar. Kamu jadi terkena pukul Ayahmu." Sinta memeluk erat Mentari sambil menangis.
Revalina ikut memeluk dan ikut menangis. Mentari menghapus air mata sang ibu dan adiknya. "Kita pasti bisa, Bu. Kita harus kuat ya. Dek jangan lemah."
Akhirnya Mentari dan Revalina berangkat sekolah. Sinta membersihkan rumah dan melihat sang suami sudah tertidur pulas. Saat Sinta asik mencuci piring tiba-tiba Leo menarik kerah baju Sinta. "Ikuti aku!" titah Leo
Sinta sampai terseret-seret merasakan sakit bagian lehernya. Sinta berteriak minta tolong kepada tetangga, tetapi ia malu akan kondisi keluarganya hancur seperti ini. "Kamu tahu hari ini, aku dipecat dari kantorku. Aku sudah tidak sanggup menghidupi keluarga ini!" teriak Leo tepat di wajah Sinta.
Sinta bersimpuh di kaki Leo. "Jangan tinggalkan aku sendirian, Sayang." Suara Sinta mengiba.
"Tidak ada untungnya aku hidup bersamamu lagi. Kamu sekarang sudah miskin dan tidak cantik lagi. Aku akan mencari wanita lebih darimu," ucap Leo.
Sinta hanya bisa menangis sakit sekali rasanya mendengar suami ia cintai bisa berbicara begitu kasar kepadanya. Lalu Leo pergi meninggalkan Sinta sendirian diruang makan. Wajah Sinta penuh luka memar hasil perbuatan Leo.
****
Sampai di pintu gerbang sekolah Mentari tersenyum kepada kedua sahabatnya Rio dan Weni. "Ya Tuhan!" teriak Weni melihat wajah Mentari.
"Muka kamu kenapa, Tar? Merah gitu lagi. Kamu habis dipukuli Ayah kamu?" tanya Rio dengan geram.
"Kamu tahu 'lah nggak perlu aku cerita, Oke," jawab Mentari.
Mentari bukan sekali dipukuli sang ayah, tetapi sering kali dipukuli, karena sering membela sang ibu membuat ayahnya semakin geram. "Yuk, kita masuk kelas. Nggak usah dipikirin aku nggak kenapa-kenapa kok." Mentari menarik tangan kedua sahabatnya sambil tersenyum.
Saat belajar pun pikiran Mentari tidak di sekolah. Hanya sang ibu dibenaknya sedang apa di rumah. Pikiran Mentari sedang kacau balau, sampai Mentari ditegur oleh gurunya saja tidak mendengarkan.
"Mentari," panggil sang Guru.
"I-iya Bu," jawab Mentari dengan terbata.
"Kerjakan soal yang ada di papan tulis sekarang."
Mentari yang berjalan menuju ke depan untuk mengerjakan soal di papan tulis. Untung saja aku pintar, soal seperti ini saja gampang sekali. Mentari dengan santai mengerjakan soal.
***
Pulang sekolah Mentari melihat Revalina duduk di depan pintu sambil menangis sambil berteriak minta tolong kepada tetangga. Mentari panik langsung berlari menghampiri Revalina. "Ada apa Va?" tanya Mentari panik.
"Ibu Kak," ucap Revalina. "Ibu Kak," ulang Revalina.
"Iya kenapa!" teriak Mentari sambil memegang pundak Revalina agar dia bisa tenang.
"Ibu pingsan, Kak. Badannya penuh luka lebam. Sepertinya habis ayah pukuli."
"Lalu di mana Ayah sekarang? Biarku bunuh saja," sungut Mentari penuh emosi.
"Jangan pikirkan Ayah dulu, Kak. Kita urusi ibu dulu yang lagi pingsan." Revalina menarik tangan Mentari.
Para tetangga datang satu persatu melihat ke adaan Sinta. Membantu membawa Sinta ke atas ranjang. "Ibumu perlu dibawa ke rumah sakit, Tar," titah salah satu Tetangga.
Mentari hanya menundukkan kepala mulutnya sangat kelu untuk berbicara. Ingin rasanya berteriak jika Mentari tidak mempunyai uang. Apa para tetangga akan membantunya soal biaya rumah sakit? Tentu saja tidak. Mungkin hanya membantu tenaga saja karena lingkungannya lingkungan sederhana uang sangat berharga untuk mereka.
"I-iyaa Pak. Tunggu Ayah saya pulang dulu ya," jawab Mentari.
Akhirnya para tetangga pulang satu demi satu setelah memindahkan Sinta. Mentari menaruh tasnya di ranjang memandang ibunya sedang pingsan. Entah mengapa air mata Mentari jatuh juga mencoba kuat, tetapi tak sanggup rasanya. Menunggu beberapa menit kemudian Sinta mulai siuman.
"Ibu," panggil Mentari dan Revalina bersamaan.
"Ibu tidak apa-apa, Sayang." Sinta sambil memegangi tangan kedua anaknya.
"Ayah berbuat kasar lagi ya?" desak Mentari.
"Ayahmu sudah pulang?" tanya Sinta sambil mengelak.
"Ibu kenapa si. Perhatian banget sama Ayah! Ayah udah buat Ibu kaya gini." Air mata Mentari lolos mengaliri pipinya.
Sinta mengusap air mata Mentari lalu berucap. "Kamu harus jaga adikmu ya, Tar. Kamu harus jadi wanita yang kuat dan mandiri. Ibu tidak bisa memberimu apa-apa selain mengajarimu menjahit. Manfaatkanlah keahlianmu, Sayang."
"Ibu ini ngomong apa sih? Seolah-olah ibu mau pergi ninggalin aku sama Revalina," sungut Mentari.
Malam telah datang Mentari membantu ibunya membereskan pesanan pelanggan. Sinta hanya tukang jahit jika ada pesanan saja. Semenjak Sinta sakit-sakitan keuangan keluarga menurun drastis sampai makan pun susah.
"Tar, istirahatlah. Sudah malam besok sekolah," ucap Sinta menepuk pundak sang anak.
"Tanggung, Bu. Bentar lagi ya," rayu Mentari.
Sinta tak bisa membantah Mentari, karena ia memilih untuk tidak istirahat. "Ini harus selesai malam ini agar besok ibu dapet uang," batin Mentari.
Pukul menunjukkan 02.00 pagi Mentari baru saja menyelesaikan jahitannya. Mentari berdiri meregangkan otot-ototnya yang kaku. Memilih istirahat ke kamarnya merebahkan tubuhnya yang lelah.
"Ya Tuhan kuat aku. Dengan ujian telah kau berikan." Mentari bermonolog.
Bersambung....
Happy reading guys,
Jagan lupa memberi like,komentar,vote & hadiah.
Stay tune terus ya guys,jangan lupa tekan tanda favorit agar kalian tidak ketinggalan.
Terimakasih atas dukungan kalian.
1 like pun sangat berarti untuk ku ❤❤❤
Jangan lupa follow ig dewi_masitoh55
#salamhalu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Diah Fiana
kasian mentari, semangat untuk mentari dan kkak author 🥰
2022-03-29
1
Perempuan Terindah
Hadiiirr kak author....
2022-03-15
1
Arsy-Khalid
mampir kak
2021-11-30
2