Unperfect Marriage
...WARNING!...
...Ini kelanjutan dari buku, bukan novel SSD. Jadi, beli bukunya aja dulu dari pada bingung🤭...
Hari ini adalah hari ketiga dari awal Minggu di bulan ketiga, terlihat seorang perempuan berkaos biru muda sedang mengerjakan beberapa pekerjaan di teras rumah. Bergelut dengan alat-alat pertukangan, bukanlah hal baru untuk seorang ibu muda tersebut. Ia mengerjakan berbagai macam kerajinan tangan, menggunakan bahan kimia dan tak jarang membiarkan tangannya terluka. Semua dilakukan demi untuk menghidupi ketiga anaknya, tanpa ingin untuk berkeluh kesah.
Luna, perempuan cantik yang sering dianggap sebagai wanita berhati keras, perempuan yang masih bisa tersenyum walau kesulitan hidup seolah tak berujung. Terik matahari menemani dirinya hari ini, mengerjakan pesanan orang yang harus dikirimkan esok hari. Selain bekerja di bidang kerajinan tangan, Luna pun masih harus menulis di malam hari. Mengumpulkan sedikit demi sedikit uang, demi memberikan kehidupan layak untuk ketiga anaknya. Luna masih memiliki keluarga, tapi ia tak ingin bergantung pada mereka.
Jangankan menggantungkan kehidupannya juga ketiga anak tercinta, tinggal bersama pun Luna sudah cukup malu. Jika bukan keinginan dari papanya, Luna pasti sudah memilih untuk tinggal di rumah lain dan membesarkan ketiganya. Luna tahu, kedua orang tua serta kakaknya telah begitu banyak memikirkan tentang kehidupannya, walau canda tawa sering dilakukan bersama. Ya, siapa yang akan tahu tentang hati dan pikiran seorang manusia, selain manusia itu sendiri dan juga Sang Pencipta.
Malam hari Luna bekerja, siang pun bekerja. Seolah tiada hari tanpa menyibukkan diri untuk mengais rupiah. Kala ia sedang merelakan tubuh tersengat panasnya matahari, ada mobil terhenti di halaman rumah yang sama. Turun seorang laki-laki berbalut kaos oblong putih, celana hitam panjang serta tas ransel hitam. Kepala tertutup dengan topi warna hitam, berjalan menghampiri perempuan yang menoleh ke arahnya sembari menyuguhkan senyuman.
“Kakak udah pulang? Katanya nanti sore?” tegurnya, menghentikan sejenak pekerjaan.
“Kamu gak tau ini panas banget?! Kamu gak takut jadi hitam?! Udah makan?! Anak-anak mana?!” cecar lelaki tinggi putih itu.
“Banyak banget kalau nanya, satu aja dong. Anak-anak lagi tidur, baru lima belas menit lalu, aku emang sengaja nyari panas, biar ini cepat kering. Soalnya besok mau diambil sama orangnya,” jawab Luna.
“Makan … kenapa gak dijawab?” tanya kembali lelaki tampak memercingkan kedua mata karena terik matahari.
“Hehehe, udah dong tadi pagi. Kan tadi sarapan bareng,” cengengesan Luna.
Lelaki akrab disapa Aldo itu, menghela napas panjang. Dia menarik kerah belakang kaos Luna dan menyeretnya masuk ke dalam. Tak peduli akan protes yang diberikan oleh perempuan yang menahan kerah bagian depan agar tak tercekik itu, Aldo membawanya ke ruang makan, menarik kursi dan mendudukkan Luna disana.
“Tunggu sini! Berani kabur, aku pecat kamu!” ancamnya tegas.
Luna memajukan bibir, dia menggerutu lirih. Sedangkan Aldo pergi ke dapur, setelah lebih dulu meletakkan tas ransel di kursi samping Luna duduk. Mencuci tangan lalu melihat apakah ada makanan di dapur, Aldo menyiapkan satu piring makanan untuk Luna. Kebetulan, asisten rumah tangga sudah memasak untuk makan siang dan hanya dinikmati oleh si kembar juga neneknya.
Piring putih berisi makanan itu dibawanya ke ruang makan, meletakkan tepat di hadapan Luna bersama segelas air putih. “Makan!” ucapnya, lalu menarik kursi di hadapan Luna dan duduk. “Mau kemana lagi?!” tanya Aldo, melihat Luna berdiri.
“Cuci tangan, kan kotor habis kerja.” Luna menunjukkan kedua telapak tangannya.
Aldo diam, mengambil ponsel di saku celana lalu menyalakan. Dia tak akan pergi sebelum memastikan sendiri jika makanan yang ia ambilkan habis dimakan, ia tahu seperti apa akal-akalan dari Luna untuk bisa melanjutkan pekerjaan. Walau harus mengancam tentang pemecatan, dia rela melakukan. Jelas kalau Luna tak akan pernah membiarkan diri dipecat, atau pemasukan akan berkurang dan mengharuskannya cari pekerjaan baru. Entah sampai kapan hidupnya seperti ini, Aldo pun tak sanggup memahami.
Terkadang ia merasa kasihan, tapi semua tak ditunjukkan. Tahu jika Luna bukan membutuhkan belas kasihan, tapi dukungan untuk bisa melanjutkan kehidupan. Entah seperti apa caranya menahan kedua air matanya untuk tak tumpah, seberapa baik ia menata hati untuk tetap tersenyum. Ingin sekali untuknya bisa mengetahui semua itu, agar bisa memahami seperti apa jalan pikirannya juga.
Apa yang diinginkan olehnya, apa yang membuatnya bahagia, semua tak bisa untuk dipahami dengan sangat mudah. Ekspresi yang ditunjukkan selalu sama, tawa riang pun kerap terdengar. Mungkin seperti itu caranya untuk menguatkan diri sendiri, caranya untuk bertahan hidup dengan membangun kebahagiaannya sendiri. Seperti itu pula caranya untuk terlihat baik-baik saja, walau mata tak pernah ikut berbohong bersama bibirnya. Tak jarang ia tertawa, membuat lelucon, tapi kedua matanya menyiratkan kesedihan juga rasa lelah.
Aldo tahu jika Luna tak pernah ingin dibantu, itulah sebabnya ia memberikan pekerjaan untuk Luna dan memberikan bonus sendiri. Setiap tulisan yan dikirim sesuai jadwal, akan diberikan bonus oleh Aldo. Itulah cara lelaki itu membantu meringankan beban dari perempuan yang telah berhasil mengusik hatinya. Tapi Aldo, terlalu takut untuk memiliki hubungan lain terhadap Luna. Ia takut akan terjadinya perpisahan di kemudian hari, ia takut adanya sebuah pertengkaran yang menghancurkan kapanpun itu.
Luna sudah mulai menikmati makan, sesuap demi sesuap ia masukkan ke dalam mulut. Tentu, dengan kelakuan seperti biasa yang menyingkirkan sayuran layaknya anak kecil. Aldo melotot kearahnya seraya berdeham, Luna mengerucutkan bibir dan menyendok sayuran yang ia pinggirkan. Tak semua jenis sayur ia tak suka, hanya brokoli saja. Terkadang, ia memberikan pada Aulia diam-diam saat makan bersama. Tapi kalau ketahuan, juga akan diambilkan lebih banyak oleh siapapun yang melihat.
Sikapnya yang seperti itu, justru membuat Aldo tertarik pada ibu tiga anak tersebut. Terkadang ia senyum-senyum sendiri ketika tahu kekonyolan Luna dan ketika perempuan itu harus ketahuan telah menyingkirkan sayuran atau ngotot bekerja. Ia lebih mirip anak kecil ketika bersama keluarga, tapi juga menjadi dewasa dengan menasehati putrinya atau menghadapi suatu masalah. Seperti dua kepribadian yang berbeda, tapi itulah Luna yang selalu memberi warna tersendiri dalam rumah.
“Waktunya makan itu makan, waktunya istirahat itu istirahat. Bukan semua waktu kamu pakai buat kerja, ngerti?” kata Aldo setelah makanan di piring itu habis.
“Apa gunanya sih Lun, punya banyak uang tapi sakit-sakitan? Pernah gak kamu mikirin soal anak-anak yang bakal sedih lihat mami mereka sakit? Mau sampai kapan kayak gini?” tambahnya sembari menyodorkan segelas air putih.
“Iya, tau. Tapi kan aku harus kerja buat mereka, aku harus bisa ngasih hidup yang lebih layak buat mereka. Aku tau kok batas kemampuanku,” sahut Luna, mengambil segelas air minum lalu ia teguk hingga tak bersisa.
“Ambil itu di tas depan, ada vitamin buat kamu. Minum setiap hari,” ucap Aldo menunjuk tas ranselnya. Luna tak berani membuka, ia mengambilkan tas ransel di sebelahnya dan memberikan pada Aldo. Lelaki itu menghela napas, melirik Luna yang tersenyum kearahnya dan mengambilkan vitamin yang sengaja dibelikan ketika pulang dari kampus.
“Makasih, Kak. Baik banget, gak usah diganti kan?” goda Luna, mengambil tiga botol vitamin C di atas meja.
“Aulia aku yang jemput,” ucap Aldo lalu pergi meninggalkan ruang makan.
Aldo pergi meninggalkan Luna seorang diri di ruang makan, menapaki setiap anak tangga menuju kamarnya. Luna tersenyum melihat kepergiannya, lelaki yang tak pernah ingin terlihat perhatian dan tetap menunjukkan sikap dingin setiap waktu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Oh Dewi
Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu
2023-07-02
0
Supartini
nyimak
2022-05-28
0
Armun Mumun
lanjut
2022-04-21
0