...WARNING!...
...Ini kelanjutan dari buku, bukan novel SSD. Jadi, beli bukunya aja dulu dari pada bingung🤭...
Hari ini adalah hari ketiga dari awal Minggu di bulan ketiga, terlihat seorang perempuan berkaos biru muda sedang mengerjakan beberapa pekerjaan di teras rumah. Bergelut dengan alat-alat pertukangan, bukanlah hal baru untuk seorang ibu muda tersebut. Ia mengerjakan berbagai macam kerajinan tangan, menggunakan bahan kimia dan tak jarang membiarkan tangannya terluka. Semua dilakukan demi untuk menghidupi ketiga anaknya, tanpa ingin untuk berkeluh kesah.
Luna, perempuan cantik yang sering dianggap sebagai wanita berhati keras, perempuan yang masih bisa tersenyum walau kesulitan hidup seolah tak berujung. Terik matahari menemani dirinya hari ini, mengerjakan pesanan orang yang harus dikirimkan esok hari. Selain bekerja di bidang kerajinan tangan, Luna pun masih harus menulis di malam hari. Mengumpulkan sedikit demi sedikit uang, demi memberikan kehidupan layak untuk ketiga anaknya. Luna masih memiliki keluarga, tapi ia tak ingin bergantung pada mereka.
Jangankan menggantungkan kehidupannya juga ketiga anak tercinta, tinggal bersama pun Luna sudah cukup malu. Jika bukan keinginan dari papanya, Luna pasti sudah memilih untuk tinggal di rumah lain dan membesarkan ketiganya. Luna tahu, kedua orang tua serta kakaknya telah begitu banyak memikirkan tentang kehidupannya, walau canda tawa sering dilakukan bersama. Ya, siapa yang akan tahu tentang hati dan pikiran seorang manusia, selain manusia itu sendiri dan juga Sang Pencipta.
Malam hari Luna bekerja, siang pun bekerja. Seolah tiada hari tanpa menyibukkan diri untuk mengais rupiah. Kala ia sedang merelakan tubuh tersengat panasnya matahari, ada mobil terhenti di halaman rumah yang sama. Turun seorang laki-laki berbalut kaos oblong putih, celana hitam panjang serta tas ransel hitam. Kepala tertutup dengan topi warna hitam, berjalan menghampiri perempuan yang menoleh ke arahnya sembari menyuguhkan senyuman.
“Kakak udah pulang? Katanya nanti sore?” tegurnya, menghentikan sejenak pekerjaan.
“Kamu gak tau ini panas banget?! Kamu gak takut jadi hitam?! Udah makan?! Anak-anak mana?!” cecar lelaki tinggi putih itu.
“Banyak banget kalau nanya, satu aja dong. Anak-anak lagi tidur, baru lima belas menit lalu, aku emang sengaja nyari panas, biar ini cepat kering. Soalnya besok mau diambil sama orangnya,” jawab Luna.
“Makan … kenapa gak dijawab?” tanya kembali lelaki tampak memercingkan kedua mata karena terik matahari.
“Hehehe, udah dong tadi pagi. Kan tadi sarapan bareng,” cengengesan Luna.
Lelaki akrab disapa Aldo itu, menghela napas panjang. Dia menarik kerah belakang kaos Luna dan menyeretnya masuk ke dalam. Tak peduli akan protes yang diberikan oleh perempuan yang menahan kerah bagian depan agar tak tercekik itu, Aldo membawanya ke ruang makan, menarik kursi dan mendudukkan Luna disana.
“Tunggu sini! Berani kabur, aku pecat kamu!” ancamnya tegas.
Luna memajukan bibir, dia menggerutu lirih. Sedangkan Aldo pergi ke dapur, setelah lebih dulu meletakkan tas ransel di kursi samping Luna duduk. Mencuci tangan lalu melihat apakah ada makanan di dapur, Aldo menyiapkan satu piring makanan untuk Luna. Kebetulan, asisten rumah tangga sudah memasak untuk makan siang dan hanya dinikmati oleh si kembar juga neneknya.
Piring putih berisi makanan itu dibawanya ke ruang makan, meletakkan tepat di hadapan Luna bersama segelas air putih. “Makan!” ucapnya, lalu menarik kursi di hadapan Luna dan duduk. “Mau kemana lagi?!” tanya Aldo, melihat Luna berdiri.
“Cuci tangan, kan kotor habis kerja.” Luna menunjukkan kedua telapak tangannya.
Aldo diam, mengambil ponsel di saku celana lalu menyalakan. Dia tak akan pergi sebelum memastikan sendiri jika makanan yang ia ambilkan habis dimakan, ia tahu seperti apa akal-akalan dari Luna untuk bisa melanjutkan pekerjaan. Walau harus mengancam tentang pemecatan, dia rela melakukan. Jelas kalau Luna tak akan pernah membiarkan diri dipecat, atau pemasukan akan berkurang dan mengharuskannya cari pekerjaan baru. Entah sampai kapan hidupnya seperti ini, Aldo pun tak sanggup memahami.
Terkadang ia merasa kasihan, tapi semua tak ditunjukkan. Tahu jika Luna bukan membutuhkan belas kasihan, tapi dukungan untuk bisa melanjutkan kehidupan. Entah seperti apa caranya menahan kedua air matanya untuk tak tumpah, seberapa baik ia menata hati untuk tetap tersenyum. Ingin sekali untuknya bisa mengetahui semua itu, agar bisa memahami seperti apa jalan pikirannya juga.
Apa yang diinginkan olehnya, apa yang membuatnya bahagia, semua tak bisa untuk dipahami dengan sangat mudah. Ekspresi yang ditunjukkan selalu sama, tawa riang pun kerap terdengar. Mungkin seperti itu caranya untuk menguatkan diri sendiri, caranya untuk bertahan hidup dengan membangun kebahagiaannya sendiri. Seperti itu pula caranya untuk terlihat baik-baik saja, walau mata tak pernah ikut berbohong bersama bibirnya. Tak jarang ia tertawa, membuat lelucon, tapi kedua matanya menyiratkan kesedihan juga rasa lelah.
Aldo tahu jika Luna tak pernah ingin dibantu, itulah sebabnya ia memberikan pekerjaan untuk Luna dan memberikan bonus sendiri. Setiap tulisan yan dikirim sesuai jadwal, akan diberikan bonus oleh Aldo. Itulah cara lelaki itu membantu meringankan beban dari perempuan yang telah berhasil mengusik hatinya. Tapi Aldo, terlalu takut untuk memiliki hubungan lain terhadap Luna. Ia takut akan terjadinya perpisahan di kemudian hari, ia takut adanya sebuah pertengkaran yang menghancurkan kapanpun itu.
Luna sudah mulai menikmati makan, sesuap demi sesuap ia masukkan ke dalam mulut. Tentu, dengan kelakuan seperti biasa yang menyingkirkan sayuran layaknya anak kecil. Aldo melotot kearahnya seraya berdeham, Luna mengerucutkan bibir dan menyendok sayuran yang ia pinggirkan. Tak semua jenis sayur ia tak suka, hanya brokoli saja. Terkadang, ia memberikan pada Aulia diam-diam saat makan bersama. Tapi kalau ketahuan, juga akan diambilkan lebih banyak oleh siapapun yang melihat.
Sikapnya yang seperti itu, justru membuat Aldo tertarik pada ibu tiga anak tersebut. Terkadang ia senyum-senyum sendiri ketika tahu kekonyolan Luna dan ketika perempuan itu harus ketahuan telah menyingkirkan sayuran atau ngotot bekerja. Ia lebih mirip anak kecil ketika bersama keluarga, tapi juga menjadi dewasa dengan menasehati putrinya atau menghadapi suatu masalah. Seperti dua kepribadian yang berbeda, tapi itulah Luna yang selalu memberi warna tersendiri dalam rumah.
“Waktunya makan itu makan, waktunya istirahat itu istirahat. Bukan semua waktu kamu pakai buat kerja, ngerti?” kata Aldo setelah makanan di piring itu habis.
“Apa gunanya sih Lun, punya banyak uang tapi sakit-sakitan? Pernah gak kamu mikirin soal anak-anak yang bakal sedih lihat mami mereka sakit? Mau sampai kapan kayak gini?” tambahnya sembari menyodorkan segelas air putih.
“Iya, tau. Tapi kan aku harus kerja buat mereka, aku harus bisa ngasih hidup yang lebih layak buat mereka. Aku tau kok batas kemampuanku,” sahut Luna, mengambil segelas air minum lalu ia teguk hingga tak bersisa.
“Ambil itu di tas depan, ada vitamin buat kamu. Minum setiap hari,” ucap Aldo menunjuk tas ranselnya. Luna tak berani membuka, ia mengambilkan tas ransel di sebelahnya dan memberikan pada Aldo. Lelaki itu menghela napas, melirik Luna yang tersenyum kearahnya dan mengambilkan vitamin yang sengaja dibelikan ketika pulang dari kampus.
“Makasih, Kak. Baik banget, gak usah diganti kan?” goda Luna, mengambil tiga botol vitamin C di atas meja.
“Aulia aku yang jemput,” ucap Aldo lalu pergi meninggalkan ruang makan.
Aldo pergi meninggalkan Luna seorang diri di ruang makan, menapaki setiap anak tangga menuju kamarnya. Luna tersenyum melihat kepergiannya, lelaki yang tak pernah ingin terlihat perhatian dan tetap menunjukkan sikap dingin setiap waktu.
Luna masih duduk di ruang makan, memainkan botol-botol vitamin di atas meja. Tatapannya luru ke depan, lalu menarik dalam-dalam napasnya. Seakan dengan cara itulah, ia berusaha menyemangati dirinya. Luna berdiri membawa piring serta gelas kosong ke dapur untuk ia cuci. Walaupun ada pembantu, dia telah terbiasa untuk mencuci sendiri peralatan makan yang ia gunakan.
Dia harus menjadi lebih kuat dari hari ini, berkata untuk dirinya sendiri, bahwa ia sanggup menjalani. Ya, tak dipungkiri jika ia juga seorang perempuan biasa yang terkadang merindukan kasih sayang juga bersikap manja pada suaminya.
Apalagi, ketika kondisinya hamil dulu. Masa dimana harusnya ia bisa bermanja-manja kepada suami tercinta, tak bisa untuk dilakukan. Luna memang pergi dari rumah, dalam keadaan hamil. Namun sayangnya, Dimas tak mengetahui hal itu. Dia baru tahu ketika semua telah terjadi, melalui sebuah foto hasil pemeriksaan yang dikirimkan oleh Luna agar tak terjadi kesalahpahaman.
Hatinya rapuh, air mata kerap menetes di kala malam ia sendiri menatap layar laptop. Bayang-bayang kebersamaan dengan suaminya, kerap hadir menghantui bersama suara-suara yang terngiang begitu jelasnya di telinga.
Panggilan sayang, kata manja bersama tingkah yang kerap menggoda, kepala yang selalu bersandar di pangkuan, hadir begitu nyata menambah kerinduan terhadap kekasih hati yang tak pernah lagi diketahui bagaimana kabarnya.
Apakah dia bahagia disana, apakah dia juga merindukannya, apakah dia juga memikirkan tentangnya, seperti Luna yang masih sering memikirkan tentangnya. Tentang Dimas yang makan tepat waktu atau tidak, tentang Dimas yang masih sering merenung di ruang kerja ketika ada masaah atau tidak, Luna ingin mengetahui semua itu.
Namun, ia tak mungkin untuk mengaktifkan ponsel dan menghubungi Dimas lagi. Kata-kata dari istri suaminya, mencegah Luna lebih cepat bersama rasa ingin tahunya. Ya, istri dari suaminya pernah mendatangi dirinya, meminta untuk merelakan Dimas karena hubungan rumah tangga pun dianggapnya tak lagi harmonis.
Kala itu, perempuan akrab disapa Rena itu mengetuk pintu kamar dimana Luna sedang menyendiri dalam pemikiran. Rena meminta untuk Luna pergi, untuk Luna membiarkan Dimas berbahagia bersama Brian-anak Rena dari suaminya terdahulu.
Kata-kata lembut terdengar seperti permohonan dari perempuan yang tak berdaya dan ingin melihat putranya bahagia, terus menghiasi telinga Luna setiap harinya. Sampai ia mencari tahu sendiri dan melihat bagaimana cara suaminya tertawa dan bermain dengan Brian.
Mungkin itulah cara Tuhan untuk memberikan kebahagiaan pada Dimas juga Brian. Lelaki yang telah kehilangan kedua calon anaknya dulu, dan mengharapkan kembali untuk hadirnya buah hati, sampai Brian datang dalam hidupnya.
Seorang bocah yang merindukan kasih sayang seorang ayah dalam tumbuh kembangnya. Memikirkan tentang Brian serta kebahagiaannya, juga kebahagiaan suami tercinta. Luna rela pergi dan merelakan keluarga kecil itu bahagia. Toh, Dimas juga telah membebaskan dirinya dari ikatan pernikahan.
Luna sejenak pergi ke kamar untuk melihat kedua anaknya sebelum ke depan dan melanjutkan pekerjaan. Dia masuk dan duduk di tepi ranjang, mengarahkan rambut kedua anaknya ke atas sembari tersenyum. Merekalah sumber kekuatan dari Luna, senyum mereka serta panggilan mami yang menyejukkan hati, tanpa melupakan sosok Aulia yang juga terus berusaha menguatkan dengan caranya.
Gadis remaja yang pasti juga merindukan papinya, walau Dimas hanyalah ayah angkat utnuknya. Luna tak pernah melarang untuk putrinya itu menghubungi papinya, tapi Aulia tak pernah lagi menghubungi. DIa memang masih remaja, tapi ucapannya terkadang membuat Luna malu untuk sekedar mengeluh.
Gadis cantik yang juga sering menangis diam-diam karena tak tega harus melihat maminya terus bekerja, gadis yang juga memiliki watak hampir sama dengan Luna, kerap menyembunyikan kesedihan dalam tawa canda.
"Kenapa?" tegur seorang wanita yang tidur menemani kedua cucunya.
"Hehehe, cuma mau lihat mereka bangun apa enggak kok, Ma. Mama kaget ya? maaf," jawab Luna lirih.
"Udah sini tidur sama mama," kata Olivia, menggeser tubuhnya sedikit ke tengah.
"Gak biasa tidur siang, Ma. Lagian barang-barang di depan masih berantakan, nanti kena anak-anak kalau mereka bangun. Luna lanjutin lagi ya?" jawab Luna.
"Bandel banget!" gerutu Olivia, hanya diberi tawa kecil oleh putri keduanya.
Membiarkan Luna untuk keluar kamar dan melanjutkan pekerjaan, Olivia masih menemani kedua cucunya agar tak terjatuh. Maklum saja, si kembar selalu tidur menyerupai jam dinding. Mereka berputar sesuka hati dan tak cukup hanya diberi batas bantal atau guling saja. Membuka pintu perlahan dan menutupnya kembali, Luna mengikat rambut pendeknya di tengkuk lalu keluar mengerjakan kembali pekerjaannya. Karena ketika si kembar bangun, semua tak mungkin untuk dikerjakan dan membahayakan kedua anaknya sendiri.
Di tempat lain, ada Aldo yang berdiri di balkon mengintip ke bawah. Melihat Luna yang kembali menyalakan alat poles untuk memoles meja yang ia buat, Aldo menggelengkan kepala dan berucap sama layaknya Olivia tadi. Bandel, keras kepala, itu sering diucapkan oleh keluarganya terhadap Luna ketika tak ingin berhenti untuk bekerja. Sebenarnya bukan tak ingin, hanya saja tak menyukai jika pekerjaan tak dituntaskan sekaligus.
"Ih, apaan sih? kenapa di siram?" protes Luna melihat ke arah atas, terlihat seorang laki-laki tengah memegang notol minuman.
"Hujan buatan, biar kamu gak panas. Kan lumayan," santai Aldo tanpa dosa, masih memercikkan air ke kepala Luna.
"Nanti kena ini jadinya rusak," ucap Luna menunjuk ke meja yang ia buat.
Aldo menaikkan kedua pundak, menurunkan kedua bibirnya dan beralih menatap ke arah taman di depan rumah. Luna mengomel sendirian, kejahilan Aldo tak ada aturan sama sekali bersama sikap tenang. Apalagi jika sudah digabungkan dengan Bobby, keduanya lebih mirip saudara kembar beda rahim.
Ya, Aldo memang bukan anak kandung dari kedua orang tua Luna. Dia adalah guru Luna dalam bidang menulis, tapi karena kedekatan dan juga kebaikan serta perhatiannya, Aldo menjadi bagian dari keluarga Luna dengan menjadi seorang anak. Tak berbeda dengan Luna yang juga dianggap anak oleh kedua orang tua Aldo yang berada jauh.
Pernah mengutarakan perasaan terhadap Luna di depan keluarga, namun ia juga mengatakan jika tak akan menikah atau memaksakan perasaan untuk sama. Aldo pula yang selalu ada di masa kehamilan Luna, memberikan perhatian pada perempuan yang lebih nyaman untuk makan disuapi selama kehamilan.
Bawaan orang hamil. Luna akan mual saat makan sendiri dan lebih banyak makan saat disuapi. Kelauarga bergantian untuk menyuapinya, memastikan untuk makanan habis tanpa sisa. Aldo pula yang membantu untuk merawat si kembar, menepati janji pernah dibuatnya dulu, jika anak-anak Luna tak akan pernah kehilangan kasih sayang seorang ayah.
Sore hari, Aulia baru kembali dari sekolah. Seperti apa dikatakan oleh Aldo, dialah yang menjemput gadis remaja itu dari sekolah. Luna berada di taman bersama kedua anaknya, Aulia berlari kesana usai turun dari motor. Aldo memang menggunakan motor Luna, lebih nyaman daripada menggunakan mobil pribadinya.
"Cuci kaki sama tangan dulu dong, habis itu ganti seragamnya terus makan." Luna berucap pada putrinya yang langsung mencium tangan dan memeluk.
"Hehehe, sebentar lagi aja, Mi. Mau sama adek sebentar," sahut Aulia. Melepaskan tas ransel berwarna pink dan meletakkannya di meja taman, Aulia langsung memeluk kedua adiknya yang asyik bermain air di taman. "Bau asem," ucap Aulia menciumi tubuh kedua adiknya bergantian.
"Kenapa gak sekalian dibawain sabun sama shampo?" tanya Aldo, melihat kedua bocah itu sudah basah kuyup.
"Dy!" seru anak pertama yang bernama Dinda, merentangkan kedua tangan ingin digendong. Aldo berlari menjauh, sengaja menggoda dan bergidik tak ingin.
Bibir Dinda langsung melengkung ke bawah, siap untuk meledakkan tangisnya. Tubuh tadi berdiri, seketika dijatuhkan tepat di atas rumput, Aldo tertawa melihatnya. "Sini yuk," ucapnya melambai, berjalan mendekat.
"Hayo, Om. Tambah kenceng tuh," kata Aulia, tangis Dinda semakin jadi dengan sikap manjanya yang keluar.
"Ngeselin deh kalau udah gini," kata Aldo lirih.
Dia menghampiri Dinda, lebih dulu melepaskan jaket kulit hitam yang ia kenakan dan diletakkan pada kursi taman. Aldo berjongkok, mengulurkan kedua tangan pada gadis chubby yang sedang menendang-nendang di atas rerumputan. Diangkatnya tubuh Dinda, memeluk dan berusaha menenangkan. Tak lama, Rendy pun menghampiri dan langsung memukul kakaknya dari belakang.
"Eh, kok gitu?!" terkejut Luna.
"Adek, kok dipukul kakaknya?" tanya Aulia menghampiri.
Dinda berbalik badan, hendak membalas tapi ditahan tangannya oleh Aldo seraya menggelengkan kepala tanpa kata. Luna mematikan saluran air yang tadi ia gunakan untuk menyirami taman, duduk bersimpuh disamping tubuh Rendi dan memeluknya. "Masuk yuk, mandi dulu. Kakak juga harus mandi," ucap Luna menggendong putranya.
"Bawa ke dalam aja, Kak. Nanti masuk angin," tambahnya pada Aldo.
"Eh, No! pakai handuk dulu!" terdengar teriakan Olivia, berjalan mendekat dengan handuk di tangan.
"Hehehe, nenek cepet banget." Aulia tertawa kecil.
"Dari pada kita disuruh ngepel," bisik Luna, semakin cengengesan putrinya.
"Nih berdua kalau barengan pasti banyak bisik-bisiknya," gerutu Aldo.
Luna dan Aulia tertawa, saling memeluk satu sama lain. Olivia sudah mendekat, handuk diberikan pada Dinda dan juga Rendi. Membantu bocah dalam gendongan Aldo itu untuk mengeringkan tubuh serta rambut, sementara Aulia membantu Rendi dari belakang dan langsung menyelimuti.
Tahu jika akan dibawa masuk ke dalam, Dinda merengek tak ingin masuk dan ingin kembali bermain air. "Udah sore!" kata Olivia sembari menunjuk dengan mata membulat sempurna, Dinda kembali melengkungkan bibir.
"Oh, gak kok ... gak. Anak Daddy cantik," kata Aldo cepat, sebelum telinganya pecah karena tangisan Dinda.
"Masuk ya? udah mau gelap, nanti cantiknya luntur kalau di luar terus," ucapnya lagi, terheran ketiga orang di taman.
"Hubungannya apa?" tanya Luna menoleh kearah putrinya yang menggelengkan kepala.
"Udah, anggap aja matahari yang mau tenggelam. Gak dipikir keras, nanti tua!" celetuk Olivia, merangkul Aulia dan menyusul ke dalam.
Luna mengikuti di belakang, celotehan Aldo memang tak biasa untuk dipahami. Apa yang ia katakan tak pernah ada penjelasan, dan selalu benar. Peraturan dari 'A' sampai 'Z' ketua tim harus selalu benar. Aturan yang aneh, tapi tidak masalah selama gaji tetap turun di waktu yang tepat.
"Mami udah siapin pakaian di tempat tidur, kamu mandi terus makan. Jangan lama-lama," ucapnya pada Aulia. Gadis itu memukul keningnya kencang, mengkerut kedua alis Luna dan Olivia.
"Tas aku ketinggalan di depan!" ucap Aulia cepat, berbalik badan dan berlari keluar. Ibu dan anak yang memperhatikan, sama-sama menggelengkan kepala lirih.
"Wataknya bisa mirip ya?" lirik Olivia pada putrinya.
"Hehehe, namanya juga anak. Masa iya gak mirip sih, Ma?" tawa kecil Luna, ditarik hidungnya gemas oleh sang mama.
"Udah mandiin dulu anak-anak sana, biar mama yang bantu Aulia di kamar." Ucap mamanya.
"Makasih banyak, Ma. Luna ke belakang sebentar," jawab Luna menunjukkan senyum terlihat gigi.
Dinda sudah lebih dulu ke kamar mandi belakang, tak jauh dari dapur. Sebenarnya ada kamar mandi di kamar, tapi Aldo tak mungkin untuk masuk ke dalam dan memandikan di kamar Luna. Ia membawa Dinda ke kamar mandi lain, namun tak membuka pakaian Dinda karena dia anak perempuan. "Kamu mandiin deh," ucapnya pada Luna.
"Kakak ganti baju sana, masuk angin nanti. Makasih ya," kata Luna.
"Di!" panggil Dinda begitu Aldo berdiri dan hendak pergi.
"Bentar, ganti baju dulu. Habis ini mainan lagi," jawab Aldo menunjukkan baju basahnya.
Luna masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan Aldo menuju ke kamar atas. Walau tak selalu ditempati, barang-barangnya masih ada disana atas keinginan dari Olivia. Tak ingin mengingat jika Aldo sudah pindah rumah, Olivia ingin tetap menganggap jika lelaki itu tetap ada di rumah. Barang-barangnya serta penataan kamar, tak pernah diubah. Sama seperti ketika Luna pergi dari rumah untuk ikut Dimas dulu setelah menikah.
Ya, seperti itulah keluarga dari Luna. Tak pernah menganggap tentang hubungan darah, saling menyayangi dan membantu satu sama lain, sehingga Aulia dan juga kedua adiknya tak kurang kasih sayang. Bagiku juga Luna yang selalu merasa kuat ketika bersama mereka, seolah beban hidup tak pernah ada ketika sedang berkumpul bersama.
Kasih sayang keluarganya terhadap Aulia pun, tak pernah untuk dia ragukan. Walau mereka tahu jika Aulia bukanlah anak kandung Dimas, dan sekarang hubungan putrinya dengan Dimas telah kandas.
Mereka menjaga Aulia layaknya keluarga kandung, mencurahkan cinta dan kasih sayang juga perhatian. Tak peduli berapa usianya sekarang, Aulia tetaplah seorang gadis manja yang sama. Gadis manja yang memiliki sisi kedewasaan tersendiri dan dipergunakan dalam situasi yang tepat.
Luna sendiri memperlakukan Aulia tak berbeda dari adik-adiknya, ia tak ingin ada perasaan iri pada seorang gadis yang sedang mencari jati diri di usianya kini. Menyiapkan pakaian, membantu untuk mengecek pelajaran, mengerjakan PR, atau sekedar mengulas pelajaran yang telah di dapat dari sekolah.
Semua dilakukan oleh Luna, terkadang juga Bobby dan Aldo. Bahkan Olivia dan Dony, tak lepas untuk turut mengajari gadis cantik yang lebih memilih tinggal bersama keluarga maminya, ketimbang keluarga sang papi.
Mereka tetap datang untuk berkunjung, menemui Aulia dan juga si kembar. Ketika akhir pekan, Aulia juga masih menginap di rumah kakek nenek juga kakek buyutnya, tapi untuk tinggal bersama, Aulia masih sangat nyaman di kediaman Dony sedari dulu. Bahkan sebelum Luna menjadi ibu untuknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!