Kanvas Aksara

Kanvas Aksara

Prolog

Prolog.

Hening... dan gelap.

Panji membuka mata dan mendapati dirinya berada di ruang gelap yang pengap. Tubuhnya terasa mengambang, ia tidak bisa merasakan pijakan. Tangan Panji meraba dalam kelam berharap mendapat pegangan. Namun, yang ia temui hanyalah kekosongan.

Keheningan yang pekat dalam gulita mendominasi pandang mata. Panji dapat mendengar deru nafasnya yang mulai tersengal beserta detak jantung yang tak beraturan. Panji menoleh kesegala arah tapi tetap tidak ada setitik warna selain kelam dalam pandangannya.

Hingga, setitik cahaya muncul entah dari mana. Membuat Panji terpaku, ia kemudian berusaha menggapainya. Selangkah lagi ia bisa menggenggam setitik cahaya itu, tiba-tiba saja cahayanya padam membuat Panji mematung di tempat. Namun, kemudian potongan-potongan puzzle kelabu muncul satu persatu dan memutar setiap bagian kenangan dalam hidupnya.

Panji terpana pada berbagai rupa puzzle yang mempertontonkan peristiwa-peristiwa yang ia alami dimasa lampau dengan begitu terperinci. Kadang ia tersenyum hangat, kadang merasa sedih, kadang juga terkekeh geli akan berbagai hal dalam hidupnya yang diputar bagai sebuah film kenangan.

Hingga ia tak mampu berekspresi lagi ketika pemutaran kenangan-kenangan itu semakin cepat dan tak terkendali. Semua layaknya ribuan informasi yang memaksa masuk ke ruang ingat Panji hingga melebihi daya tampungnya membuat ia kewalahan. Panji merasa kepalanya seperti mau pecah akibat banyaknya informasi yang berdatangan. Suara-suara bergaungan, gambar-gambar bermunculan. Setiapnya saling tumpang tindih dan berputar cepat sehingga Panji sulit mencerna tiap bagiannya.

Sampai diantara pusaran ingatan yang berputar cepat, muncul sosok anak kecil yang sangat mirip dengan Panji sewaktu kecil. Dan ketika mereka saling berhadapan, saat pandang mata bertemu dalam satu garis lurus, bagai sihir semua terasa buram untuk Panji. Ledakan ingatan yang berbanjiran berhenti berganti kekosongan. Tinggal sunyi, sepi, dan sesak yang mendadak menggerayangi dada Panji. Menatap sosok anak kecil di depannya membuat Panji merasakan luka yang kentara.

Anak kecil itu tersenyum hingga matanya menyipit seperti bulan sabit. Dada Panji bergemuruh, hangat menjalari tiap selnya disamping rindu yang semu menghentak kuat tanpa tau tempat tuju menghadirkan sesak yang menyiksa. Tanpa tau alasannya, Panji jatuh berlutut dengan wajah dibanjiri air mata. Ia terisak, menangis keras sampai ingin bernapas pun ia kebingungan bagaiman caranya. Perasaan Panji bergejolak hebat, rasa rindu yang menyiksa serta luka tanpa nama membuat hatinya berdenyut pilu. Siapa? Kenapa? Pertanyaan-pertanyaan itu berdatangan dan tak satupun mendapat jawaban.

Anak kecil itu menangkup wajah Panji yang kentara sekali kebingungan dan kesakitan. Kedua tangan mungilnya yang hangat dan halus menyapu air mata Panji. Seperti angin segar, perasaan familiar menjalar-jalar menggerayangi Panji. Abu-abu bentuk luka dengan sadis menyiksa hatinya.

Seakan belum cukup sampai disana, Panji dibuat kebingungan lagi saat cairan kental merah darah mengalir dari segala sisi dan berjatuhan bagai hujan yang membawa serta aroma anyir mengerikan. Panji kuyup. Ia terpaku diam hingga tanpa sadar anak kecil tadi telah hilang entah kemana. Hening menyelimuti Panji yang terpaku cukup lama. Sampai tiba-tiba ia dikejutkan oleh raungan tinggi seakan monster kelaparan tengah mengamuk ingin menghancurkan semesta. Belum habis rasa terkejutnya, orang-orang berseragam militer dan senjata lengkap berdatangan entah dari mana. Mereka membabi buta menyerang dan menembak ke segala arah.

Desing peluru, ledakan senjata api, rintih ketakutan, jerit kepanikan dan tawa kepuasan membaur menjadi satu. Merecoki kepala Panji dengan ingatan-ingatan kelam yang menyeramkan. Ia kalut, nafasnya memburu seiring jantungnya bertalu kuat. Mayat-mayat berdarah berjatuhan bagai hujan dari langit, orang-orang bersenjata semakin membabi buta. Panji merasa seakan mau gila dengan pemandangan didepan matanya. Hingga sebuah peluru melesat cepat kearah Panji tanpa sempat ia mengerti apapun  disini.

Spontanitas Panji membuat ia menutup mata menahan sakit akan timah yang sebentar lagi akan menembus kulit mengoyak daging dan memecah pembuluhnya. Namun, Panji tidak merasakan apa-apa setelah detik-detik berlalu berikutnya. Hanya cipratan cairan anyir hangat yang membuat ia membuka mata.

Sosok anak kecil yang sangat mirip dengan Panji dengan kalung berbandul bulan sabit hitam berdiri dengan tubuh penuh darah di depan Panji. Darah mengalir dari setiap bagian tubuhnya, mata, hidung, mulut, telinga, perut, dada, semuanya. Semuanya berdarah yang mana membuat Panji terbelalak. Kejadian selanjutnya bergulir cepat, ledakan besar terjadi dan anak itu tertelan dalam nyala api. Panji meraung histeris hingga api yang merah membara turut melingkupi dirinya dan menutup pandangnya.

Panji tersentak. Matanya menatap nyalang pada langit-langit kamar. Nafasnya memburu sedang keringat dingin membanjiri diseluruh tubuh. Ia menyentuh dadanya dimana jantungnya berdetak dengan kencang tak beraturan disana. Mimpi buruk yang ia alami membuat ketakutan terbawa hingga saat ia kembali ke alam sadarnya.

Sesak. Panji terbatuk dan memukul dadanya sendiri. Ia terisak dan menangis tergugu dalam gelap remang diantara dingin yang disuguhkan semesta diwaktu menjelang pagi ini.

Hal ini bukan sekali dua kali terjadi. Panji kerap terlelap dan terjebak dalam mimpi buruk serupa. Dengan rasa sakit yang sama, sesak yang sama, pilu yang sama yang terus berdatangan setiap kali ia terbangun dengan wajah berbanjiran air mata. Kilasan ingatan samar datang bagai potongan hilang yang meminta untuk Panji temukan. Namun, sekeras apapun ia mencoba mengingatnya semua justru terasa memburam dan menghilang meninggalkan Panji dengan tanya yang tak tertuntaskan.

Lelah dengan tangis yang tak ia mengerti alasannya, Panji beranjak ke kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel, sejenak memandangi pantulan dirinya di cermin. Pandangannya jatuh pada sebuah kalung di lehernya. Kalung yang tidak pernah lepas melingkari lehernya, yang ia sendiri tidak tau dari mana asalnya, yang dirasanya sangat berharga, yang hanya dengan melihatnya saja bisa membuat Panji merasa hangat dan nyaman. Kalung dengan bandul bulan sabit hitam yang kerap terlihat dalam mimpi-mimpi yang dialaminya.

Panji menghela nafas jengah. Ia membasuh muka dengan kasar ketika dirasanya matanya memanas dan cairan hangat menumpuk bersiap melesak dari sana. Dari dinginnya air yang menyentuh permukaan kulitnya, Panji merasa sesak didadanya tidak sedikit terobati. Ada gejolak rindu tak tentu yang membuatnya merasa pilu. Rasanya seperti....

When you feel really want to meet someone, but don't know who.

Pada akhirnya Panji memutuskan untuk tidak lagi terlelap di penghujung malam itu. Ia duduk di depan kanvas menggores berbagai warna dengan kuas. Yang untuk sejenak membuatnya lupa akan segala hal yang membuatnya tersiksa.

Terpopuler

Comments

Shiory

Shiory

Wah aku terpana membaca novel ini... baru kali ini aku membaca novel yang detail seperti ini! dan yang lebih penting mudah dibaca.

2022-12-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!