NovelToon NovelToon

Kanvas Aksara

Prolog

Prolog.

Hening... dan gelap.

Panji membuka mata dan mendapati dirinya berada di ruang gelap yang pengap. Tubuhnya terasa mengambang, ia tidak bisa merasakan pijakan. Tangan Panji meraba dalam kelam berharap mendapat pegangan. Namun, yang ia temui hanyalah kekosongan.

Keheningan yang pekat dalam gulita mendominasi pandang mata. Panji dapat mendengar deru nafasnya yang mulai tersengal beserta detak jantung yang tak beraturan. Panji menoleh kesegala arah tapi tetap tidak ada setitik warna selain kelam dalam pandangannya.

Hingga, setitik cahaya muncul entah dari mana. Membuat Panji terpaku, ia kemudian berusaha menggapainya. Selangkah lagi ia bisa menggenggam setitik cahaya itu, tiba-tiba saja cahayanya padam membuat Panji mematung di tempat. Namun, kemudian potongan-potongan puzzle kelabu muncul satu persatu dan memutar setiap bagian kenangan dalam hidupnya.

Panji terpana pada berbagai rupa puzzle yang mempertontonkan peristiwa-peristiwa yang ia alami dimasa lampau dengan begitu terperinci. Kadang ia tersenyum hangat, kadang merasa sedih, kadang juga terkekeh geli akan berbagai hal dalam hidupnya yang diputar bagai sebuah film kenangan.

Hingga ia tak mampu berekspresi lagi ketika pemutaran kenangan-kenangan itu semakin cepat dan tak terkendali. Semua layaknya ribuan informasi yang memaksa masuk ke ruang ingat Panji hingga melebihi daya tampungnya membuat ia kewalahan. Panji merasa kepalanya seperti mau pecah akibat banyaknya informasi yang berdatangan. Suara-suara bergaungan, gambar-gambar bermunculan. Setiapnya saling tumpang tindih dan berputar cepat sehingga Panji sulit mencerna tiap bagiannya.

Sampai diantara pusaran ingatan yang berputar cepat, muncul sosok anak kecil yang sangat mirip dengan Panji sewaktu kecil. Dan ketika mereka saling berhadapan, saat pandang mata bertemu dalam satu garis lurus, bagai sihir semua terasa buram untuk Panji. Ledakan ingatan yang berbanjiran berhenti berganti kekosongan. Tinggal sunyi, sepi, dan sesak yang mendadak menggerayangi dada Panji. Menatap sosok anak kecil di depannya membuat Panji merasakan luka yang kentara.

Anak kecil itu tersenyum hingga matanya menyipit seperti bulan sabit. Dada Panji bergemuruh, hangat menjalari tiap selnya disamping rindu yang semu menghentak kuat tanpa tau tempat tuju menghadirkan sesak yang menyiksa. Tanpa tau alasannya, Panji jatuh berlutut dengan wajah dibanjiri air mata. Ia terisak, menangis keras sampai ingin bernapas pun ia kebingungan bagaiman caranya. Perasaan Panji bergejolak hebat, rasa rindu yang menyiksa serta luka tanpa nama membuat hatinya berdenyut pilu. Siapa? Kenapa? Pertanyaan-pertanyaan itu berdatangan dan tak satupun mendapat jawaban.

Anak kecil itu menangkup wajah Panji yang kentara sekali kebingungan dan kesakitan. Kedua tangan mungilnya yang hangat dan halus menyapu air mata Panji. Seperti angin segar, perasaan familiar menjalar-jalar menggerayangi Panji. Abu-abu bentuk luka dengan sadis menyiksa hatinya.

Seakan belum cukup sampai disana, Panji dibuat kebingungan lagi saat cairan kental merah darah mengalir dari segala sisi dan berjatuhan bagai hujan yang membawa serta aroma anyir mengerikan. Panji kuyup. Ia terpaku diam hingga tanpa sadar anak kecil tadi telah hilang entah kemana. Hening menyelimuti Panji yang terpaku cukup lama. Sampai tiba-tiba ia dikejutkan oleh raungan tinggi seakan monster kelaparan tengah mengamuk ingin menghancurkan semesta. Belum habis rasa terkejutnya, orang-orang berseragam militer dan senjata lengkap berdatangan entah dari mana. Mereka membabi buta menyerang dan menembak ke segala arah.

Desing peluru, ledakan senjata api, rintih ketakutan, jerit kepanikan dan tawa kepuasan membaur menjadi satu. Merecoki kepala Panji dengan ingatan-ingatan kelam yang menyeramkan. Ia kalut, nafasnya memburu seiring jantungnya bertalu kuat. Mayat-mayat berdarah berjatuhan bagai hujan dari langit, orang-orang bersenjata semakin membabi buta. Panji merasa seakan mau gila dengan pemandangan didepan matanya. Hingga sebuah peluru melesat cepat kearah Panji tanpa sempat ia mengerti apapun  disini.

Spontanitas Panji membuat ia menutup mata menahan sakit akan timah yang sebentar lagi akan menembus kulit mengoyak daging dan memecah pembuluhnya. Namun, Panji tidak merasakan apa-apa setelah detik-detik berlalu berikutnya. Hanya cipratan cairan anyir hangat yang membuat ia membuka mata.

Sosok anak kecil yang sangat mirip dengan Panji dengan kalung berbandul bulan sabit hitam berdiri dengan tubuh penuh darah di depan Panji. Darah mengalir dari setiap bagian tubuhnya, mata, hidung, mulut, telinga, perut, dada, semuanya. Semuanya berdarah yang mana membuat Panji terbelalak. Kejadian selanjutnya bergulir cepat, ledakan besar terjadi dan anak itu tertelan dalam nyala api. Panji meraung histeris hingga api yang merah membara turut melingkupi dirinya dan menutup pandangnya.

Panji tersentak. Matanya menatap nyalang pada langit-langit kamar. Nafasnya memburu sedang keringat dingin membanjiri diseluruh tubuh. Ia menyentuh dadanya dimana jantungnya berdetak dengan kencang tak beraturan disana. Mimpi buruk yang ia alami membuat ketakutan terbawa hingga saat ia kembali ke alam sadarnya.

Sesak. Panji terbatuk dan memukul dadanya sendiri. Ia terisak dan menangis tergugu dalam gelap remang diantara dingin yang disuguhkan semesta diwaktu menjelang pagi ini.

Hal ini bukan sekali dua kali terjadi. Panji kerap terlelap dan terjebak dalam mimpi buruk serupa. Dengan rasa sakit yang sama, sesak yang sama, pilu yang sama yang terus berdatangan setiap kali ia terbangun dengan wajah berbanjiran air mata. Kilasan ingatan samar datang bagai potongan hilang yang meminta untuk Panji temukan. Namun, sekeras apapun ia mencoba mengingatnya semua justru terasa memburam dan menghilang meninggalkan Panji dengan tanya yang tak tertuntaskan.

Lelah dengan tangis yang tak ia mengerti alasannya, Panji beranjak ke kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel, sejenak memandangi pantulan dirinya di cermin. Pandangannya jatuh pada sebuah kalung di lehernya. Kalung yang tidak pernah lepas melingkari lehernya, yang ia sendiri tidak tau dari mana asalnya, yang dirasanya sangat berharga, yang hanya dengan melihatnya saja bisa membuat Panji merasa hangat dan nyaman. Kalung dengan bandul bulan sabit hitam yang kerap terlihat dalam mimpi-mimpi yang dialaminya.

Panji menghela nafas jengah. Ia membasuh muka dengan kasar ketika dirasanya matanya memanas dan cairan hangat menumpuk bersiap melesak dari sana. Dari dinginnya air yang menyentuh permukaan kulitnya, Panji merasa sesak didadanya tidak sedikit terobati. Ada gejolak rindu tak tentu yang membuatnya merasa pilu. Rasanya seperti....

When you feel really want to meet someone, but don't know who.

Pada akhirnya Panji memutuskan untuk tidak lagi terlelap di penghujung malam itu. Ia duduk di depan kanvas menggores berbagai warna dengan kuas. Yang untuk sejenak membuatnya lupa akan segala hal yang membuatnya tersiksa.

PANJI AKSARA YUDHA

[PANJI AKSARA YUDHA]

"Panji Aksara Yudha."

Ruangan bernuansa putih minimalis berukuran 4×6 meter itu diisi oleh 20 pasang meja dan kursi yang sama putihnya, dengan sebuah papan tulis di bagian depan beserta seperangkat meja guru yang tertata didekat pintu masuk. Hanya sesederhana itu isi ruangan ini yang di depan pintu masuknya tergantung papan kayu berukiran 'II BAHASA 00'. Yap! Ruangan itu adalah sebuah ruang kelas disalah satu sekolah favorit bernama Zero Hight School.

Sedikit ulasan, Zero Hight School atau biasa disingkat ZHS merupakan sekolah lanjutan tingkat atas atau setara dengan SMA. ZHS merupakan sekolah favorit pemegang ranking 2 sekolah paling unggul di kota Vyen. Yang mana ranking 1 sekolah unggulan dipegang oleh Vyen National Hight School atau singkatnya Vyen NHS. Untuk Vyen sendiri, itu merupakan nama kota pusat di Negara V, dimana Negara V itu juga adalah bagian dari Kerjaan Aurig, Kerjaan terbesar yang wilayahnya mencakup satu benua. Nama benua tempat bernaung kerjaan Aurig ini adalah Benua Xe.

"Panji Aksara Yudha!"

Kembali lagi pada ruang Kelas II BAHASA 00 di ZHS yang biasa juga disebut dengan Kelas Zero. Ruang kelas yang biasanya berisi 20 siswa itu kini hanya dihuni oleh dua orang. Salah satunya adalah seorang guru wanita dengan busana olahraga. Guru yang biasanya akrab disapa Capt Cel itu berdiri dengan tangan bersedekap. Tatapan matanya tajam juga terlihat jengah, terarah pada seorang siswa yang duduk disalah satu bangku. Siswa itu yang sedari tadi ia sebut namanya, Panji Aksara Yudha. Dan sedari tadi juga Panji Aksara Yudha itu hanya diam tidak menyahut barang sepatah kata pun.

Capt Cel menghela nafas, tampak ia menyusun strategi di otaknya mencari cara terbaik untuk berurusan dengan Panji Aksara Yudha ini. Sedetik ia sempat mengumpat pada guru konseling yang melemparkan tugas ini padanya. Menangani Si Pemegang Rekor Murid Paling Bermasalah sejagad ZHS bahkan diseluruh daratan Aurig mungkin lebih baik baginya daripada berurusan dengan Si Panji Aksara Yudha.

Panji merupakan salah seorang siswa dari kelas II BAHASA 00 atau Kelas Zero, posisinya terbilang rata-rata, tidak mencolok tidak juga terlalu tertutup. Mulai dari nilai, sikap, semua dari Panji Aksara Yudha itu merupakan kategori rata-rata. Tidak ada yang istimewa darinya sehingga patut dibanggakan, tidak ada juga yang terlalu buruk darinya sehingga pantas mendapat celaan. Dia biasa-biasa saja, disamping frekuensi kediamannya yang melebihi porsi seharusnya. Panji yang jarang atau bahkan hampir tidak pernah bicara itu yang membuat kebanyakan orang enggan berurusan dengannya. Entah bagaimana aturan hidup yang dia terapkan untuk dirinya, tapi anak itu hanya bicara saat dia benar-benar ingin bicara, ketika dia tidak berniat bersuara jangan harap mendapat respon darinya walau kiamat berkumandang sekalipun. Dengan diamnya, Panji Aksara Yudha bisa menguras habis kesabaran bahkan orang paling sabar sekalipun.

Misalnya saja saat ini, ketika Capt Cel sudah berbicara panjang lebar mengenai pelanggaran yang telah Panji lakukan minggu ini, dan juga poin disiplinnya yang sudah mencapai angka minus. Tapi, sedikit pun anak itu tidak merespon. Saat ditanyai ia tetap diam, saat diperintah ia masih bungkam, ketika ditawari bicara untuk penyelesaian masalah ia membisu. Jadi, harus diapakan dia sekarang dengan diamnya itu?

Mengenai pelanggaran yang dilakukan Panji sebenarnya bukan masalah serius. Bukankah sudah dijelaskan kalau Panji itu bukan tipikal siswa yang berandal? Namun, karena pelanggaran kecil itu terus berulang setiap kali maka semakin lama itupun menjadi hal serius. Di ZHS ini setiap siswa mempunyai poin disiplin dimana setiap perbuatan mereka akan berimbas pada poin tersebut. Sesuai namanya, poin disiplin adalah poin yang bisa didapat dari setiap tindakan siswa disekolah. Setiap prestasi akan menambah Poin disiplin. Dan setiap pelanggaran akan mengurangi poin tergantung dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. Kegunaan poin ini adalah untuk nilai, dimana naik atau tidak dan lulus atau tidaknya seorang siswa didasarkan pada poin tersebut.

Lalu untuk apa murid-murid belajar jika semua hasil ditentukan oleh poin tersebut?

Jawabnnya sederhana, belajar termasuk dalam menaati aturan, setiap ketaatan seperti itu akan menambah Poin, itu artinya belajar juga perlu untuk menentukan nasib disekolah ini. Di ZHS kemampuan siswa tidak diukur melaui seberapa jenius otaknya, seberapa banyak hafalannya, seberapa lihai perhitungannya, tidak dari semua itu. Kecemerlangan siswa disini diukur dengan angka-angka pada poin disiplin mereka. Lalu bagaimana sistem poin ini berjalan?

Setiap awal tahun ajaran, semua siswa akan mendapat semacam anting kecil yang wajib dipakai ditelinga mereka. Secara umum yang diketahui anting itu hanyalah sebagai simbol khusus yang menandakan mereka adalah salah seorang siswa ZHS. Tanpa ada yang sadar bahwa di dalam benda bundar hitam berukiran logo ZHS itu terdapat sistem kompleks yang akan mengawasi penuh kegiatan siswa selama dijam sekolah. Alat itu semacam pengawas canggih yang memantau setiap kegiatan tanpa kurang sedetik pun.

Secara sederhana, alat itu seperti CCTV yang memantau pada rentang waktu tertentu. Dalam sistem yang tertanam didalamnya telah disusun secara rinci bagaimana alat akan bekerja. Alat itu akan aktif pada jam pagi sekolah yaitu pukul 06:00 dengan komando dari server pusat dan otomatis akan dinonaktifkan saat jam sekolah sudah usai pukul 15:00. Yang artinya dalam rentang waktu antara pukul 06:00-15:00 CCTV canggih itu akan bekerja merekam setiap aktivitas yang mana setiap tindakan akan langsung mendapat perhitungan poin dan kemudian data secara bertahap akan dikirim ke server pusat setiap 15 menit sekali. Secara tidak langsung data ranking poin bisa saja berubah setiap 15 menit sekali.

Lalu bagaimana dengan hari libur? ZHS tidak mengenal kata libur. Setiap hari adalah hari sekolah. Kecuali libur semester dan kenaikan kelas yang ditetapkan selama seminggu. Tapi, tidak ada hari libur bukan berarti sekolah itu sangat menyeramkan. Malah tidak. Sebagai ganti waktu libur yang dipakai untuk jam sekolah, jam pembelajaran di ZHS lebih sedikit dari sekolah lain. Dari jam 6 sampai jam 3 sore yang berarti 9 jam, hanya 1/3 dari waktu itu yang dipakai untuk pembelajaran. Sisa 2/3 atau 6 jam lainnya dibagi untuk jam istirahat, ekskul, jam bebas, dan studi wawasan (semacam pemberian materi di luar pelajaran oleh pembicara dari luar, bebas memilih tempat karena studi dibagi atas 3 kelompok utama yaitu outdoor, indoor, dan trip di luar kawasan ZHS. Dari 3 kelompok besar itu nanti masing-masing juga terbagi menjadi beberapa kelompok kecil. Minimal setiap jam studi wawasan didatangkan 50 pembicara).

Dengan begitu selama 9 jam dalam sehari siswa ZHS akan diawasi penuh oleh anting kecil di telinga mereka. Bahkan jika siswa itu alpha, sakit, izin, bolos atau berada diluar kawasan ZHS selama jam sekolah berlangsung alat itu akan tetap diaktifkan pada rantang waktu yang sudah ditentukan. Perhitungan poin juga berjalan namun disesuaikan dengan kondisi sang siswa. Kalau sudah begini, pasti mudah mengendalikan siswa-siswi yang melanggar aturan bukan? Tapi, ZHS tidak pernah meringkus siswanya yang bolos walau laporan lokasi detailnya diketahui, ZHS tidak pernah menarik siswanya yang tawuran walau semua kegiatan itu terpampang dilayar monitor, ZHS tidak pernah mencegat siswanya yang kabur dari sekolah, tidak pernah. Karena ZHS punya prosedur tersendiri. Dimana ketika siswa melakukan pelanggaran yang menyebabkan pengurangan pada poinnya sebanyak 50 poin maka ia akan dipanggil menghadap guru konseling untuk mendapat hukuman atas pelanggaran -50 poin yang dilakukannya. Begitupun jika seorang siswa mendapat tambahan 50 poin atas prestasinya ia juga akan menghadap guru konseling untuk mendapat hadiah atas penambahan poinnya. Dimana nantinya semua poin akan di ranking pada akhir semester genap saat kenaikan kelas. Dan pada tahun ajaran berikutnya semua siswa dari setiap angkatan, mulai angkatan I, II, III, dan IV akan memulai siklus poin mereka dari 0.

Sedikit penjelasan, di ZHS masa sekolah memang 4 tahun. Dimana tingkat IV adalah tingkat paling senior dan mempunyai hak istimewa. Yang mana pada tingkat IV setiap siswa bebas memilih pelajaran yang akan diikuti dengan syarat mata pelajaran minimal yang diikuti adalah 5 mata pelajaran. Pada tingkat IV tidak ada lagi yang namanya ekskul, jam bebas dan jam studi wawasan. Jam pembelajaran mereka tetap yaitu 3 jam dari 9 jam mereka sekolah, namun 6 jam lainnya mereka habiskan untuk terjun dalam dunia kerja semacam magang di perusahaan-perusahaan yang mensponsori sekolah.

Nah, untuk selanjutnya yang terakhir tentang CCTV canggih ZHS ini, setiap alat itu memiliki sandi yang hanya bisa dibuka dengan izin akses server pusat. Sehingga dengan demikian tidak mungkin bagi siswa ZHS melepas anting kecil itu. Jikalau pun dilepas paksa, anting itu punya semacam sensor khusus yang terhubung dengan sistem saraf yang mana akan berakibat fatal bila dilepas paksa, dan bahaya ini tentu sudah disetujui oleh wali murid pada awal mereka mendaftarkan anak mereka di ZHS. Sehingga bila ada yang melanggar dengan paksa melepas antingnya maka pihak ZHS sama sekali tidak akan bertanggungjawab.

"Dalam seminggu, hanya seminggu, kamu telah kehilangan lima puluh poin. Kamu tau panji? Bahkan murid paling bandel disekolah ini pun butuh lebih dari satu bulan untuk membuat poin mereka minus lima puluh. Sekarang baru awal tahun ajaran, kamu baru sebulan di tingkat II. Kemarin-kemarin ini kamu hanya bisa mengumpulkan sembilan belas koma sembilan poin. Dan sekarang kamu kehilangan lima puluh poin?! Are you kidding me?!"

Capt Cel berseru frustasi karena beberapa hal, pertama karena catatan poin milik Panji, kedua jelas karena anak itu yang hanya diam membisu. Tidak ada raut cemas, tidak ada raut gelisah, tidak takut, marah, sedih dan sebagainya. Wajahnya hanya menampilan riak tenang tanpa ekspresi. Entah apa yang tengah ia pikirkan saat ini.

Guru muda berusia lebih kurang 25 tahun itu sudah akan bicara lagi, namun terinterupsi oleh dering singkat dari monitor kecil yang terpasang didinding dekat pintu. Capt Cel memeriksa sebentar, lalu kembali pada Panji lagi. "Karena pelanggaran-pelanggaran yang kamu lakukan bukanlah pelanggaran berat---ya walau berulang terus menerus---maka diputuskan hukuman untukmu adalah menulis seratus lembar dikumpul minggu depan. Materi tulisannya adalah perihal industri dan grafik ekonomi Vyen satu tahun terakhir. Miss Denada akan menjadi pembina kamu, nanti temui dia untuk konsultasi. Ada pertanyaan sebelum sidang kecil ini disudahi? Baiklah, tidak ada." Guru muda yang biasanya sangat energik itu terlihat begitu lesu saat meninggalkan ruangan. Berurusan dengan Panji ternyata benar-benar menguras habis seluruh energinya. Bayangkan sudah hampir dua jam ia berkutat bicara ini dan itu hingga tenggorokannya kering dan suaranya berubah serak. Sedikitpun tidak ada respon yang berarti bahkan walau sekedar kedipan mata dari anak muridnya yang satu itu.

Panji yang ditinggal seorang diri didalam kelas masih saja diam. Tidak terlihat akan beranjak. Ada sekitar 10 menit lamanya hingga dia sedikit bergerak melirik jam tangan, tepat pukul 5 sore. Sudah dua jam sejak jam bubaran sekolah, yang artinya juga sudah dua jam juga ia duduk kaku seperti patung diceramahi oleh Capt Cel.

Lalu teringat hukumannya, Panji menghela nafas pelan. Menyelesaikan tulisan seratus lembar dalam satu minggu bukan masalah baginya. Yang menjadi masalah adalah nilai minus pada poinnya. Bagaimana caranya ia menjaga agar poinnya tidak berkurang sementara ia sendiri tidak tau perbuatan yang bagaimana saja yang disebut melanggar itu.

Tidak ingin berpikir lebih jauh, Panji memilih beranjak pulang. Ia mengantuk dan ingin tidur secepatnya. Tidur, mimpi indah, bangun, dan lalu tanpa sadar ia akan melanggar lagi mungkin memperbanyak nilai minus poinnya atau bisa jadi malah nasib baik ia bisa mendapat tambahan poin menebus poin minusnya.

Entahlah, lihat besok saja.

<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

Hamparan biru langit membentang luas tanpa putih awan menghiasi kala Panji menenteng tas sekolah berjalan menyusuri jalan protokol yang lengang. Ilalang setinggi pinggang orang dewasa terhampar meliuk-liuk ditiup angin di sepanjang pinggir jalan. Daun gugur dari pohon yang tumbuh kokoh satu dua batang di antara kelompok ilalang berterbangan dan sebagaian jatuh menutupi hitamnya aspal jalanan.

Panji berhenti sejenak, mendongak menatap langit di pagi menjelang siang ini. Hari ini dia memilih pulang sebentar di jam bebas yang berlaku dari pukul 11 sampai pukul 1 nanti. Jam bebas di ZHS memang jam yang paling menyenangkan karena sesuai namanya, pada waktu itu semua siswa benar-benar dibebaskan bahkan diizinkan keluar dari kawasan ZHS dengan catatan harus kembali tepat waktu saat jam bebas berakhir.

Butuh lebih kurang 30 menit berjalan kaki dari sekolah ke rumah Panji yang berada di kawasan perumahan sederhana di pinggir kota. Kawasan itu memang cukup luas namun hanya diisi oleh beberapa rumah saja, bisa dihitung dengan jari jumlah rumah yang ada disana. Padahal lahannya bisa menampung untuk puluhan rumah. Mungkin karena letaknya yang terpencil membuat orang-orang enggan bermukim disana.

Rumah panji terletak paling dalam, jauh dari gerbang komplek dan terpisah dari rumah-rumah lainnya. Itu hanyalah rumah kayu sederhana bercat putih terang dengan model rumah panggung namun tidak terlalu tinggi. Dari depan terlihat sangat asri dengan pot-pot berjejer baik yang di lantai maupun yang digantung. Sementara disekeliling rumah di pagar oleh pohon-pohon hijau nan rimbun, kebanyakan diantaranya adalah pohon apel yang buah-buahnya tengah menghijau, beberapa pohon lainnya beragam seperti palem, kelapa, dan beberapa pohon hias lainnya. Jika ditilik keseluruhan area disekitar rumah itu, maka akan ditemui hamparan ladang sayur-mayur dihalaman belakangnya. Juga ada sepetak lahan yang dipagari secara khusus yang didalamnya terdapat anggur yang tumbuh subur.

"Oh, Panji? Tidak sekolah?" tanya salah seorang pekerja yang membawa box berisi sayuran yang baru saja dipanen. Dia seorang pria tua dengan topi lusuh dan kumis serta janggut beruban yang tumbuh lebat hampir menutupi seluruh wajahnya.

"Jam bebas." Panji menjawab pendek sambil terus melangkah menapaki tangga menuju lantai depan rumahnya. Si Pria Tua hanya mengangguk sekilas dan kembali pada aktivitasnya, sudah terbiasa dengan sikap anak dari bosnya itu.

Berbeda dengan diluar yang ramai oleh para pekerja, didalam rumah sangat lengang. Segala tatanannya juga rapi, masih seperti tadi pagi saat ia berangkat sekolah. Seperangkat kursi dan meja rotan menghiasi ruang depan, lalu dengan hanya lemari TV sebagai sekat sudah tampak ruang dapur. Di jalan menuju kedapur terdapat tangga menuju lantai dua, yang mana di lantai dua itulah semua kamar tidur berada. Tidak banyak ruangan yang ada di rumah ini, bisa didata dengan mudah. Diantaranya yaitu 3 kamar tidur dilantai 2, sebuah kamar mandi dekat dapur dan ruang tamu yang bisa dibilang menyatu langsung dengan dapur dan ruang makan.

Panji melepas sepatunya dan menyimpan dengan rapi di rak di balik pintu. Ia meletakkan tas sekolah dikursi rotan lalu melangkah menuju kamarnya di lantai 2. Kamar Panji berada di ujung paling belakang yang jendelanya menghadap ke kebun belakang rumahnya. Kamar itu punya balkon yang terdapat tangga menuju ke bawah yang memungkinkan Panji bisa langsung ke halaman belakang dari kamarnya.

Dering telepon rumah menjerit dari lantai satu membuat Panji yang baru saja merebahkan diri ke atas kasur mengerang kesal. Ia bangkit dan berjalan dengan langkah lunglai.

"Kediaman Batara disini, ada perlu dengan siapa?"

"Aksa, kenapa ponsel kamu mati? Bunda dapat kabar dari Pak Ben kalau kamu pulang siang ini. Gak biasanya? Ada apa? Kamu sakit?---'Aksa sakit? Kita pulang sekarang!'"

Belum habis suara Ibunya, menyambung dengan suara Sang Ayah lalu kemudian hanya dipenuhi cekcok kecil diantara pasangan itu. Panji duduk malas di kursi rotan dengan tangan yang tidak mau diam meyobek stiker-stiker di sandaran kursi yang entah siapa juga yang menempelkan disana.

"Aku gak apa, Bun. Cuma mau ngambil hardisk sekalian mandi lagi, gerah."

"Ah, bagus kamu baik-baik aja." Bunda terdengar lega disela suara grasak-grusuk diseberang sana. "Ayah dan Bunda akan pulang malam ini, kamu mau apa?---'Beli aja semua oleh-olehnya, nanti biar Aksa yang pilih, sisanya buat Ayah.'" Lagi-lagi belum habis Bunda bicara, Ayah sudah memotong.

Panji berdehem saja malas menanggapi lebih lanjut. Ia kembali lagi ke kamarnya setelah selesai dengan telepon. Sesuai dengan apa yang ia katakan pada Bunda, Panji benar-benar mandi lagi siang ini. Panas yang terik membuat ia kegerahan terlebih lagi ia merasa lengket diseluruh tubuh akibat berkeringat banyak karena pulang dengan berjalan kaki.

Seusai mandi Panji memilih membawa laptopnya ke sekolah karena ia lupa sudah menyalin dokumen tugas hukumannya atau belum. Ia terlalu malas untuk mengutak-atik benda itu sekarang, mungkin nanti saja di sekolah.

Panas matahari semakin menjadi-jadi ketika Panji keluar melalui tangga balkon kamarnya menuju halaman belakang. Para pekerja sudah beristirahat di bawah pohon palem yang tumbuh rapat di pinggir kebun sayur, mereka tampak seperti sedang piknik dengan kain tipis sebagai alas dan berbagai makanan tersaji di atasnya. Para pekerja yang terdiri atas pria dan wanita yang rata-rata berusia 40 ke atas itu tampak sangat akrab dan bercengkrama dengan riangnya. Salah satu dari mereka melambai pada Panji mengajaknya bergabung yang diangguki oleh anak itu.

Panji memetik beberapa anggur segar kemudian duduk bergabung bersama pekerja lainnya. Walau hanya diam, tapi ia sangat menikmati suasana hidup yang diciptakan oleh orang-orang itu. Candaan ringan, cerita-cerita klasik dan orkestra sederhana dari klarinet dan beberapa alat musik tua lainnya.

Setelahnya Panji kembali ke sekolah menumpang salah satu truk sayur yang akan berangkat menuju pusat kota. Ia melewati gerbang ZHS 15 menit sebelum jam bebas berakhir. Karena masih ada waktu, Panji memutuskan menemui Miss Denada yang biasanya ada di gazebo membuka kelas dongeng asal-asalan bersama beberapa muridnya.

Miss Denada sudah mengakhiri dongeng Peri Baik---sebuah kisah klasik yang digunakan memikat hati anak-anak yang anehnya malah sangat dinikmati oleh siswa-siswinya yang notabene adalah para remaja. Murid-muridnya juga sudah mulai berbubaran hanya tinggal satu dua yang masih menetap membahas ulang lagi dongeng yang baru saja mereka dengar, sebagian murid yang terlampau jenius membuat resume dan mengambil logika sains ke dalam dongeng sehingga ia menggabungkan hal fiksi dengan ilmu pasti.

Panji duduk disebelah Miss Denada, menunggu sebentar guru muda berwajah pucat namun penuh riak bahagia itu hingga selesai bicara dengan beberapa murid yang bertanya.

Semilir angin tanpa sengaja menerbangkan beberapa butir pasir. Panji yang sedang memandang gerombolan kecil awan putih dilangit dibuat mengernyit dan memicingkan mata mencegah matanya kemasukan pasir. Ia menoleh saat merasa sebuah tepukan halus di bahunya, dan suara tawa Miss Denada terdengar begitu lapang saat dirinya mengubah fokus pada guru itu.

"Panji Aksara Yudha, bagaimana kamu menguras lima puluh poin dalam seminggu? Rekor sekali!"

Ah, ternyata itu yang dia tertawakan. Mungkin Capt Cel sudah menjelaskan perihal masalah Panji. Karena itu Panji tidak perlu berbasa-basi lagi. Ia langsung mengeluarkan laptop dari dalam tas dan menyodorkan layar yang menampilkan ribuan huruf itu pada guru muda di sampingnya---kebanyakan tenaga pengajar di ZHS memang masih muda dan energik, serta yang paling penting adalah unik.

"Sudah selesai?" Miss Denada bertanya tanpa peduli pada laptop yang Panji sodorkan.

Panji diam sebentar, lalu mengangguk sedikit bergumam. Selanjutnya ia hanya mendapati tepukan tegas di pundak dan cengiran lebar guru itu.

"Kalau begitu hukuman kamu sudah beres!" Ujar Miss Denada lalu tertawa, "Mau dengar sebuah dongeng kecil sebelum studi wawasan?" tawarnya mengerling dengan senyum misterius yang kontan dibalas gelengan oleh Panji.

<<<<<<<<<<<<<<<<<

KETUA DEWAN SISWA,WAKILNYA,SERTA ACRHOMA

[KETUA DEWAN SISWA,WAKILNYA,SERTA ACRHOMA]

Koridor yang Panji lalui sepanjang perjalanan menuju lokernya penuh oleh bisik-bisik gosip. Sepertinya kabar paling trending hari ini adalah mengenai kedekatan Ketua Dewan Siswa dengan Sang Wakil, keduanya berada di tingkat II dan merupakan siswa dengan predikat paling cemerlang di seluruh angkatan. Kabarnya sewaktu di tingkat I mereka dulu juga pernah dekat, sangat intim malahan. Namun entah karena alasan apa lalu tiba-tiba muncul jarak yang sangat drastis diantara keduanya. Dua orang itu terlibat persaingan untuk memperebutkan posisi Ketua Dewan Siswa, sempat tampak sangat bermusuhan namun entah ada angin apa sehingga sekarang rujuk lagi.

Panji yang bukan penggosip saja sampai hafal dengan kisah paling fenomenal seantero sekolah itu. Bagaimana tidak hafal jika disetiap inchi sekolah membicarakan itu, kemanapun Panji pergi pasti akan terdengar gosip tersebut. Ia hanya mengedikkan bahu acuh atas gosip-gosip yang beredar, tidak peduli.

Di ZHS loker siswa disediakan di tempat yang terpisah dan dikelompokkan per-tingkat. Jadi Panji lebih memilih menyimpan tasnya di loker ketimbang harus meletakan ke kelasnya yang butuh waktu 10 menit untuk kesana, jauh. Lagipula ia sudah membaca papan pengumuman tadi, diantara 73 pembicara yang diundang hari ini ia tertarik untuk menghadiri studi seorang penulis yang paling melegenda. Penulis ini kabarnya sangat misterius dan sulit dijangkau, sangat luar biasa bila ZHS bisa mendatangkannya untuk menjadi pembicara.

"Alena, kamu ikut studi yang mana hari ini?"

Bisik-bisik penuh gosip kembali mendengung diantara siswa-siswi tingkat II yang sedang ramai di bagian loker. Tampak seorang siswi yang dipanggil Alena tadi baru saja menutup lokernya sehabis menyimpan almamater khas anggota Dewan Siswa. Diseragam berupa kemeja putih Alena terdapat pin khusus yang melambangkan posisinya di Organisasi Dewan Siswa, Wakil Ketua. Jelas dia orang yang menjadi trending topik diseantero sekolah. Serta sudah dipastikan bahwa lawan bicaranya itu adalah Regan, Sang Ketua Dewan Siswa.

"Studi Acrhoma, penulis legendaris yang dikenal diseluruh daratan Aurig. It seems interesting." Alena menjawab acuh tak acuh sambil melangkah keluar dari ruang loker, diikuti oleh Regan yang masih menyambung obrolan mereka hingga perlahan hilang tidak terlihat lagi. Dan bisikan disekitar seketika jadi lebih keras, bukan lagi berbisik mereka bicara terang-terangan setelah objeknya pergi.

Panji mengernyit samar ketika pemilik loker disampingnya berseru lantang, masih tentang gosip itu. Membuat telinga Panji berdenging hingga ia pun memutuskan pergi meninggalkan kawasan penuh gosip tersebut.

Seperti kalimat Alena tadi, penulis legendaris yang didatangkan ke sekolah mereka itu memakai nama pena Acrhoma. Panji sendiri tidak terlalu peduli pada nama itu, dia hanya sedikit tertarik karena cerita hebat dari Acrhoma yang menjadi buah bibir banyak orang. Acrhoma dikenal sebagai petualang, dia penulis yang menuangkan setiap objek yang ditangkap indranya kedalam bentuk tulisan. Karya-karyanya terasa sangat nyata, tegas penuh makna. Rangkaian katanya seindah lukisan mestero, sangat kokoh bagai bangunan yang menjulang, penuh ketegasan yang katanya bahkan mampu membangkitkan jiwa orang yang telah mati. Namun, sayangnya karya-karya Acrhoma yang dicetak tidak disebarluaskan, hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Dan mungkin orang-orang tertentu itu juga termasuk Ayah dan Bunda Panji, karena dirumah Panji terdapat satu lemari besar yang menyimpan karya-karya Acrhoma tersebut. Karena hal itu jugalah ia tertarik untuk menghadiri studi Acrhoma.

Acrhoma memilih tempat studi di atap gedung Astronomi. Tempat yang terbuka dan paling tinggi diantara gedung-gedung lain di ZHS. Dari sana kita bisa melihat hamparan langit luas tanpa hambatan, tapi juga harus tahan kepanasan karena sama sekali tidak ada tempat untuk berteduh. Walau begitu, sama sekali tidak menjadi hambatan oleh para murid begitupun guru-guru yang penasaran akan sosok Acrhoma. Sekejab mata atap gedung Astronomi itu telah dipadati hampir separuh penghuni sekolah. Bahkan siswa tingkat IV yang tidak ada jadwal studi wawasan juga datang. Bisa ditebak kalau area lebih memadai, seluruh warga sekolah sudah pasti berduyun-duyun untuk menghadiri studi Acrhoma. Sekarang saja sebagian besar orang yang sudah sampai di pintu masuk harus berbalik dengan kecewa karena tempat sudah penuh dengan orang-orang yang saling berdesakan dibawah teriknya panas matahari, sebagian lagi masih memaksa masuk menambah sesak kerumunan.

Panji sepertinya terlambat datang. Ia menjadi salah satu orang yang berbalik pergi setelah melihat kerumunan yang saling berdesakan itu. Bedanya ia tidak kecewa sama sekali, lebih ke tidak peduli toh masih ada 72 studi lain untuk dihadiri. Pada akhirnya ia bergabung dengan seorang arkeolog yang membuka studi di museum kecil dalam sekolah. Sebenarnya bisa saja pergi ke museum yang jauh lebih besar di luar ZHS, namun berhubung hanya Panji seorang anggota studinya jadi ia milih tempat di dalam sekolah saja. Sepertinya kehadiran Acrhoma membuat sepi studi-studi lainnya, bahkan ada pembicara yang memilih ikut studi Acrhoma dikarenakan tidak ada anggota yang mengikuti studinya.

"Panji, kenapa kamu tidak ikut studi Acrhoma seperti siswa lain yang berbondong-bondong kesana?" Tanya Sang Arkeolog yang tak lain adalah Pak Ben, pria tua berjanggut lebat yang menyapa Panji saat sampai rumah siang tadi.

Ya, Pria tua itu adalah salah satu pekerja di kebun orang tua Panji. Ia sudah tau dari lama dan tidak kaget lagi kalau Pria tua itu bisa sampai berdiri disini dengan jas rapinya. Pak Ben tinggal di kawasan perumahan yang sama dengan Panji. Ia sudah lama pensiun dari profesinya dan hidup sederhana dengan keseharian bekerja dikebun orang tua Panji, namun sesekali masih ada panggilan untuk ia mengisi acara dibeberapa tempat terkait profesinya dulu.

"Penuh." Panji menjawab pendek seperti biasa yang direspon dengan kekehan ringan pria tua itu.

Selanjutnya ruang bernuansa abu-abu dengan isi barang-barang terkait dunia arkeologi itu hanya didominasi oleh suara Pak Ben yang mulai dengan cerita-cerita klasik seputar masa jaya menjadi Arkeolog ternama di jaman dahulu berikut dengan temuan-temuan luar biasanya yang mendunia.

Studi dengan Pak Ben selesai lebih cepat, dimana jika biasanya studi wawasan memakan waktu 2 jam maka kali ini hanya setengah jam lebih. Tepatnya Pria tua itu kehilangan topik dengan Panji, karena anak itu hanya diam dan juga karena semua cerita di kepala Pak Ben semua sudah didengar Panji semenjak anak itu masih usia 5 tahun.

Panji juga tak banyak berkomentar, tepatnya tidak ada sama sekali. Ia hanya diam entah menyimak atau tidak. Tapi setidaknya ia sudah hafal segala apa saja kata yang dilontarkan Pak Ben sehingga tidak akan ada kendala baginya untuk membuat resume kegiatan hari ini.

Usai pertemuan itu Pak Ben mengajak Panji untuk melihat studi Acrhoma yang pastinya masih berlangsung saat ini. Tapi Panji sudah terlanjur tidak tertarik lagi dengan studi itu.

"Kamu benar-benar tidak ada rasa penasaran sedikitpun." Pak Ben tertawa lebar ketika Panji menggeleng dengan wajah malas atas ajakannya. Ia merangkul bahu anak muda itu dan menuntun paksa menuju gedung Astronomi, tempat Acrhoma tengah berkoar membakar semangat muda. "Dia akan kecewa kalau kamu tidak datang, jadi mari kesana!"

Kalimat terakhir Pak Ben sempat membuat Panji bingung hingga akhirnya ia memilih tidak peduli. Mereka benar-benar menuju gedung astronomi. Tempat itu bahkan lebih ramai dari sebelumnya. Orang-orang yang tidak mendapat tempat di atap tempat acara berlangsung mencuri dengar kalimat-kalimat Acrhoma yang meraung sampai ke se penjuru gedung dengan bantuan alat pengeras suara.

Pak Ben berbicara dengan beberapa tenaga kerja dan murid-murid yang mungkin pernah mengikuti studinya di waktu-waktu sebelumnya. Kemudian ia kembali menarik Panji untuk mengikutinya ke atap, menuju tempat Acrhoma tentunya.

Suara Acrhoma yang mengalun melalui pengeras suara terdengar lembut, seperti suara seorang wanita. Suaranya jernih dan halus namun juga tegas disaat bersamaan. Panji jadi teringat dengan Bundanya karena mendengar suara Acrhoma. Ah, jangan sampai....

"Aku tidak pernah berhenti, menulis, berkarya, berpetualang, semua masih jadi rutinitas. Bedanya kali ini aku tidak lagi sendiri, bersama dengan suamiku. Inginnya,sih,dengan anak-anak ku juga. Tapi,yeah,jiwa-jiwa muda mereka telah memilih jalan hidup tersendiri bahkan jauh sebelum mereka dewasa. Sedih sekali...."

Kata-katanya memang bermakna sedih tapi Panji seolah bisa melihat orang yang bicara itu tersenyum lebar disetiap kalimatnya. Dan setelah itu ia benar-benar mendapati pemilik suara itu tersenyum lebar sekali menampilkan cekungan dikedua pipinya. Puluhan meter di depan sana, Acrhoma duduk dipanggung kecil bersama suaminya dibawah naungan langit yang mulai meredup.

Acrhoma Si Penulis legendaris tidak disangka-sangka adalah seorang wanita cantik yang begitu anggun. Rambutnya hitam pekat bergelombang dengan potongan gantung sebahu. Matanya kelabu kelam namun berbinar begitu indahnya. Mengikut pahatan wajah dan lekuk tubuh yang proporsional. Sedang suaminya tidak kalah sempurna, rambut auburn yang dipangkas rapi serta iris sejernih lautan yang berkilau bagai berlian. Rahangnya tegas, wajahnya sempurna berikut seluruh tubuhnya. Mereka bagai pasangan dewa-dewi yang tengah bertamasya ke bumi.

Dari jarak sejauh ini Panji bisa mengetahui detail ciri mereka. Tentu saja selain karena pengihatan nya yang tajam itu juga karena dua orang itu adalah orang yang sangat ia kenal sepanjang 16 tahun hidupnya. Lucu sekali! Orang tuanya bilang mereka akan pulang malam nanti, lalu sedang apa mereka berdua duduk disana?

Yah, Acrhoma adalah Bunda Panji serta tentu saja suami Acrhoma adalah Ayahnya, Bunda hanya punya satu suami itu. Terkejut? Tenang saja kalian tidak sendiri, Panji juga sama terkejutnya. Ia masih sibuk mencerna segala situasi kala Bunda berdiri di depan sana melambai ke arahnya. Tunggu dulu! Ke arahnya?!

Panji terkesiap dan berpasang-pasang mata telah tertuju padanya. Ia melangkah mundur tidak jadi melangkah lebih lanjut. Dalam sekejab dia sudah pupus dari area itu.

Sementara orang-orang yang penasaran dengan sosok yang bisa membuat Acrhoma berkali lipat penuh antusiasme, hanya menemui sosok Arkeolog tua berjanggut putih lebat, Pak Ben. Mereka kenal, tentu saja. Pria tua itu sering menjadi pembicara di acara studi wawasan mereka, Pak Ben juga terkenal dulu di jamannya sehingga mudah saja mengetahui dirinya dari catatan sejarah.

Sisa acara itu kemudian diisi dengan kombinasi suara tiga orang, Acrhoma, suaminya serta Sang Arkeolog tua.

<<<<<<<<<<<<<<<

"Oh, hai! Siang juga."

Regan tersenyum ramah, membalas sapaan murid lain yang berpapasan dengannya. Sesekali ia berhenti untuk menanggapi obrolan singkat serta candaan ringan. Sebagai seorang yang menjabat sebagai Ketua Dewan Siswa, Regan itu lebih dari kata sempurna. Semua orang tau dia, semua orang menyenanginya. Regan, Si Ketua yang ramah, baik, pintar, the best of the best itulah dia.

"Regan!"

Saat akan menaiki tangga menuju ke atap gedung astronomi Regan ditarik oleh seseorang membuatnya urung melangkah dan beranjak menepi agar tidak menghambat jalan. Lantai dasar gedung astronomi yang padat ditambah gemma dari pengeras suara membuat apa yang dikatakan oleh orang yang menariknya tidak terdengar jelas oleh Regan. Ia baru akan bicara, meminta lawan bicaranya mengulang perkataan yang semula dilontarkan. Namun, seseorang lain yang menuruni tangga tergesa menerobos kerumunan mengambil alih fokus Regan.

Orang itu... kalau tidak salah dia murid kelas Zero. Namanya Panji. Regan pernah melihat sekilas datanya di arsip siswa, kalau tidak begitu Regan tentu juga tak akan tau tentangnya.

Orang bernama Panji yang baru saja menuruni tangga itu, Regan beberapa kali pernah berpapasan dengannya. Dari sana ia tau Panji adalah orang yang berpembawaan tenang, sosok Panji yang tanpa ekspresi namun tidak terlihat suram. Regan dulu punya seorang teman yang seperti itu, yang tenang bagai air mengalir, bergemericik tapi tidak berisik. Dia tidak menyangka kalau masih ada manusia lain yang satu spesies dengan temannya itu. Dia kira setelah kepulangan Sang Teman kepangkuan Yang Kuasa, manusia dengan pembawaan transparan akan musnah dari dunia ini. Tapi termyata masih ada yang tersisa.

"Helloo Regan?!"

Regan tersentak segera beralih pada lawan bicaranya. Ia menyuguhkan senyum dan bicara seperlunya lalu kembali pada tujuan awal yaitu ke atap gedung, tempat studi Acrhoma. Saat itu suara Acrhoma mengalun lembut tertawa lewat pengeras suara.

"Ini akan penuh cerita kenangan ke depannya~~~"

<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!