Suami Jutekku
"Usai pesta pernikahan ini, di antara kita gak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Kecuali ada hubungannya dengan orang tua kita," titah Mas Bagas dengan suara baritonnya.
"Ok. Anggap aja kita baru kenalan yang kebetulan tinggal di satu atap," balasku tak mau kalah.
"Deal."
Di pelaminan gedung ini aku menyetujui ucapan Mas Bagas---orang asing---yang telah sah menjadi suamiku walau tak mengetahui bagaimana sifat dan karakter lelaki itu sebenarnya. Mama bilang, ia lelaki yang baik, sopan, dan cocok jadi imam dalam keluarga. Bisa membimbing seorang istri menuju jannahNya.
Kami bertemu pertama kali di saat acara lamaran. Ia begitu tampan dan tak banyak bicara, tetapi tatapan mata dan senyum tipis seolah mengintimidasi. Ya, kelihatan `jutek`.
Pernikahan ini terjadi karena pihak orang tua. Kata Mama, kedua keluarga telah merancang ini sejak aku dan Mas Bagas masih remaja. Tak ingin silaturahmi di antara mereka terputus lalu mengambil jalan dengan cara menjodohkan kami dalam ikatan pernikahan.
Padahal saat ini kami punya pasangan masing-masing yang akan diajak ke pelaminan. Hanya, aku dan Mas Bagas tak bisa menolak keinginan mereka. Takut dicap sebagai anak durhaka. Akhirnya menerima saja perjodohan tersebut.
Orang tuaku bisa mengenal besannya karena sebagai mitra kerja dan tinggal di komplek yang sama di sini. Entah apa alasannya balik lagi ke tempat kelahiran, Kota Metropolitan. Setelah Mas Bagas remaja, keluarga mereka pindah dan menetap di kotaku.
Perasaan telah lega karena pesta pernikahan usai juga akhirnya. Sungguh melelahkan hari ini, seharian berdiri memakai pakaian anak daro dengan suntiang di kepala yang begitu berat sembari menyalami para undangan. Istirahat hanya sebentar, para tamu terus berdatangan menghadiri pesta. Kuhempaskan tubuh di kursi pelaminan.
"Kenapa Dinda? Kamu lelah?"
Ia pun ikut duduk memosisikan diri di samping setelah sama-sama berdiri. Mas Bagas mengusap pipiku yang berkeringat menggunakan saputangannya. Aku tertegun dengan sikap lelaki itu.
Walaupun bersikap `jutek`, tetapi ternyata ia cukup perhatian. Mas Bagas menatapku dan aku pun larut dalam pesonanya. Lelaki itu mempunyai bentuk mata monolid seperti oppa-oppa korea dengan tatapan yang tajam dengan manik hitam, hidung bangir, dan bibir bawah penuh sempurna sedangkan di atas tipis membentuk huruf 'M' seakan menghipnotis diri ini.
"Uhuk ... uhuk ...."
"Ehem ... ehem ...."
Aku dan Mas Bagas terkesiap mendengar suara gaduh. Rupanya papaku dan papinya berada dihadapan dan menggoda kami. Mereka tersenyum semringah menyaksikan menantu masing-masing saling beradu pandang di pelaminan.
Kedua pipi ini terasa menghangat. Untung saja make up menutupi rona wajahku. Jadi, mereka tidak mengetahui perasaanku saat ini.
Para orang tua telah berkumpul di hadapan kami. Aku dan Mas Bagas berdiri untuk menghormati mereka. Raut kebahagiaan terpancar jelas dari wajah semuanya.
"Ternyata kita gak salah menjodohkan mereka. Seperti yang kita lihat, mereka sudah saling cinta," seloroh Mami Hana, ibu mertuaku.
Mami Hana salah mengartikan sesuatu yang dilihatnya. Bahkan, mereka semua pun salah menduga. Apa yang aku lakukan karena terbawa suasana saja. Tak mungkin langsung jatuh cinta dengan orang yang baru dalam hitungan jam bersama.
"Sayang, akhirnya kamu menjadi menantu kami," ucap Mami Hana semringah. Ia memelukku dengan erat. "Kamu pasti bisa menjadi istri yang terbaik buat Bagas.
"Terima kasih, Mi," jawabku yang merasa malu dengan ucapan Mami Hana.
Pantaskah diri ini mendampingi Mas Bagas sebagai istri? Mami Hana mengurai pelukan. Ia menggandeng tanganku. Mungkin beliau menyayangiku seperti anak sendiri.
"Bagas, kamu harus jadi suami yang bertanggung jawab dan bisa membimbing istrimu ke arah yang lebih baik. Nasehati ia, bila membuat kesalahan," timpal Papi Bram, ayah mertuaku menasehati.
"Iya, Pi," jawab Mas Bagas setelah melirikku.
"Dinda, patuhi suamimu ya, Nak. Jangan pernah membantah jika itu yang terbaik buat rumah tangga kalian," pinta mamaku, Mama Sofia.
Aku mengangguk dengan permintaan dan harapan Mama. Tanpa terasa embun merebak di pelupuk mata lalu meleleh membasahi pipi. Aku masuk ke pelukan wanita yang melahirkan diri ini, dua puluh empat tahun silam.
"Bagas, Papa berharap kamu mencintai dan menyayangi Dinda seperti Papa mencintai dan menyayanginya. Bahkan kalau bisa ... melebihi Papa," ungkap papaku, Papa Taufik.
"Iya, Pa. Insya Allah, Bagas akan melakukan nasehat dan petuah para orang tua," tutup Mas Bagas yang tampak yakin dengan ucapannya.
Apa aku harus mengaminkan semua itu? Mungkinkah bisa bertahan dengan suami yang begitu 'jutek' ini? Pastinya semua permintaan yang disampaikan sangat baik untuk aku dan Mas Bagas. Semoga saja Allah mengabulkan doa orang tua kami.
***
Mimpiku bisa menjadi istri Aldo, orang yang selama ini mengisi hari-hari dan perjalanan cintaku. Ia seorang General Manager (GM)—di hotel bintang empat—tempatku bekerja. Namun, pernikahan ini menghalangi hal tersebut. Bagaimana mengatakan padanya? Apa ia mau menerima semua yang telah terjadi?
"Kenapa melamun?"
Mas Bagas membuatku kaget. Aku menoleh padanya. Ia hanya melirik dan kembali fokus menyetir.
"Hah? Gak, kok. Dinda cuma ... capek aja."
"Kamu bisa istirahat di rumah kita nanti." Mas Bagas tersenyum tipis.
"Oh ... iya, Mas." Aku mengangguk.
Mobil MPV hitam berhenti di salah satu rumah di perumahan Belanti. Ia membuka pagar dengan remote lalu memasukkan kendaraan roda empat yang kami tumpangi ke garasi. Setelah mematikan mesin dan membuka seat belt yang terpasang di tubuhnya, lelaki itu turun dan melangkah membukakan pintu untukku.
Satu lagi perhatian Mas Bagas.
Aku turun dan melangkah perlahan memindai bangunan yang begitu mewah di hadapan. Ternyata Mas Bagas punya rumah sendiri untuk kami huni. Sepi? Apakah tak ada orang?
"Hanya kita berdua tinggal di sini."
Seolah ia bisa membaca pikiranku. Apa mungkin karena melihat aku melongo? Ia membuka kunci rumah dan mempersilakanku masuk.
"Selamat datang di rumah kita. Rumah ini, Mas beli untuk hadiah pernikahan," bisiknya.
Oh, jangan GR dulu, Dinda! Mungkin dibeli untuk seseorang yang spesial di hati Mas Bagas. Ia hanya terpaksa memberikan rumah ini karena sekarang secara kebetulan menjadi istrinya.
"Ngapain ngelamun lagi? Ayo, masuk!"
Aku masuk dan menunggu Mas Bagas menyeret koper sembari mengunci pintu. Mama telah mempersiapkan semua pakaian di benda berwarna merah tersebut. Namun, aku tak tahu baju apa saja yang dipacking.
"Mas, rumah sebesar ini beneran gak ada orang lain?"
"Ada, Bibi Ningsih dan Pak Jaya. Mereka sepasang suami-istri. Mas membebaskan tugas mereka selama satu minggu."
"Oh." Aku mengangguk.
Aku mengekori langkah Mas Bagas. View dari belakang saja suamiku ini kelihatan gagah. Oh, apa yang ada dipikiran? Sadar Dinda!
"Ini kamar kita."
Ia telah membuka kunci kamar dan aku masuk mengekorinya lagi.
Kamar yang begitu luas untuk kami tempati. Aku berdiri sembari memejamkan mata. Menghirup aroma cytrus yang ada dalam ruangan. Sungguh wangi bagai aroma terapi. Mungkin bisa betah bila seharian berada di sini.
"Apa yang ada dalam pikiranmu saat ini, Dinda?"
Aku terkesiap seraya membuka mata. Ternyata Mas bagas telah berdiri di hadapan. Membuat diri bergidik dengan bisikannya.
"Eh ... gak ada, Mas."
"Ini kamar mandi kita," lanjut Mas Bagas melangkah ke kamar mandi.
Wow, kamar mandi yang lengkap. Aku bisa lama berada di sana. Aku akan berendam dan menikmati wanginya bath foam yang melimpah.
Mas Bagas keluar setelah mengenalkan ruangan kamar mandi. Aku mengekorinya sembari mengerling seperti tamu yang baru datang dan belum mengenali tempat yang dikunjungi. Sungguh luar biasa tempat ini.
"Mas, setelah lihat kamar mandi, Dinda pengen mandi. Rasanya badan Dinda udah lengket." Aku tersenyum simpul.
Tubuh terasa gatal-gatal hendak diguyur air. Terbayang akan kesegaran benda cair itu menyentuh kulit ini. Seakan sudah seminggu belum mandi.
"Kamu bilang gitu karena ingin ngajak Mas, 'kan?" tanyanya mengedipkan mata.
Hah? Ternyata pikiran lelaki ini mesum juga. Ia mendekat, tetapi aku mundur. Sial! Posisi dirii sudah mentok ke dinding. Mas Bagas mengunci pergerakanku.
Lagi-lagi ia menghipnotis diri dengan tatapan itu. Napasku tertahan lalu menelan saliva. Jantungku berdegup tak terkendali. Kali ini ia bebas melakukan apapun karena hanya ada kami berdua.
"Gak usah Mas. Dinda bisa sendiri, kok."
Ia mendekat menyisakan jarak beberapa mili. Embusan napas aroma mint, menyapu kulit wajahku. Aku melengos saat Mas Bagas akan mengambil first kiss. Namun, akhirnya, lelaki dengan surai potongan mullet itu berhasil … mencium tembok.
Aku segera kabur ke kamar mandi dan mengunci pintu. Hal itu tak boleh terjadi. Aku belum bisa mengeluarkan nama Bang Aldo dalam hati ini.
"Hei ... Dinda!"
Mas Bagas sangat kesal dengan aksiku. Aku terkikik geli karena berhasil terlepas dari lelaki jutek tak berpendirian, tetapi perhatian. Salah sendiri, siapa suruh menggunakan kesempatan dalam kesempitan? Dinda dilawan!
_____
Hai ... yeorobun🥰
Jangan lupa support Author dengan subs, like, and coment biar semakin menambah mood booster, ya ... thank's a lot.
gomawoyo🙏
saranghaeyo💖💖💖
Hilma Sakhiy
FB. Saranghaeyo Eonni
IG. Hilma Sakhiy
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Jenar Moksa
Waaaaoww, genjot Thoorrr 🔥
2022-04-11
0
Allunk Epengade
aku baca di fb thor cus ksni
semangat💝💝
2021-11-10
1