Mengaku Sepupu

"Hei, Nda!"

Bang Aldo melambaikan tangan ke wajahku. Seketika diri ini tersadar dari lamunan. Aku bergerak-gerak tak tenang.

"Kenapa, Nda? Kamu ragu sama Abang?" Ia mengernyitkan dahinya.

"Eh, kenapa Nda musti ragu sama Bang Aldo? Cuma Nda merasa gak pantas aja. Seorang sekretaris berpasangan dengan general manager perusahaan."

Ia kembali menggenggam kedua tanganku. "Nda, Abang gak peduli pekerjaanmu. Abang mencintaimu. Apa pun Abang lakuin untuk bisa bersamamu."

Aku sangat bahagia saat Bang Aldo mengutarakan isi hatinya. Rasa bangga sangat dicintai oleh seorang general manajer. Namun, itu hanya bertahan sebentar saat teringat hubungan ini memiliki halangan dan rintangan yang memberi jarak di antara kami. Ia Menatap mataku seolah mencari sesuatu di sana.

“Nda ….”

"Nda belum siap, Bang." Aku menunduk.

"Ok, i'm waiting for you. Sampai kamu siap."

Jika nanti Bang Aldo mengetahui aku sudah menikah, apakah ia masih menunggu? Ini terasa sulit sekali. Semua ini karena pernikahanku dengan Mas Bagas. Hadeh!

"Nda, besok masuk 'kan?"

"Iya."

"Abang jemput, ya?"

"Hah? Gak usah, Bang, besok Nda pergi sendiri aja." Aku panik dengan pertanyaan Bang Aldo.

"Beneran?" Bang Aldo menyipitkan mata.

"Iya."

Bang Aldo tampak kecewa dengan jawabanku. "Nda, Bunda mengundang dinner di rumah malam ini."

Kejutan apalagi ini? Haruskah berbohong lagi? Kenapa sebuah kebohongan harus ditutupi lagi dengan yang lainnya. Astagfirullah!

"Lain kali ya, Bang. Sampein maaf Nda sama Bunda, ya?"

Senyum di bibir Bang Aldo menghilang. Ia tampak kecewa dengan jawabanku. Helaan napas berat terdengar.

"Nda ... biasanya kamu, gak pernah nolak apapun permintaan Abang. Ada apa, Nda?"

Bagaimana aku harus memberitahunya? Aku tidak siap bila harus kehilangannya. Apa aku orang yang egois?

"Ok, kalau Nda gak bisa hari ini. Lain kali Nda gak boleh nolak."

"Maafin Nda, Bang."

"Gak apa-apa."

Aku menilik suasana di restauran. Sehari meninggalkan hotel, terasa seminggu saja tak dikunjungi. Perhatian ini terhenti pada satu fokus. Siapakah yang duduk di sana? Oh, Mas Bagas 'kah? Kenapa ia ada di sini? Ah, tak mungkin.

"Nda, kamu lihat apa?"

"Eh, gak ada. Dinda ke toilet sebentar, ya, Bang."

Bergegas diri melangkah ke toilet sembari menutup wajah dengan tas agar Mas Bagas tak melihat. Sesampainya di sana, aku mematut diri di cermin. Orang-orang yang ada di toilet, memperhatikan tingkahku.

Kucoba menenangkan diri dengan menarik napas lalu mengembus perlahan. Setelah beberapa menit, aku kembali menemui Bang Aldo. Oh, god! Benarkah lelaki itu Mas Bagas? Apa ia mengikutiku?

Balik kanan adalah cara yang paling ampuh menghindari Mas Bagas. Namun, Bang Aldo telah melihat keberadaanku. Ia memanggil dengan melambaikan tangannya.

"Nda!"

Aku mengembus napas berat dan menyeret langkah menuju mereka berdua. Andai saat ini bisa kabur dari dua lelaki di hadapanku, betapa bahagianya hidup ini.

"Sini, Nda. Ada sepupumu di sini, Sayang."

What? Sepupu? Kenapa juga Bang Aldo harus memanggilku 'sayang' di hadapan Mas Bagas?

Mas Bagas mencondongkan tubuh dan menatap wajah ini. Ia memperlihatkan senyuman smirk-nya. Aku bergeming karena tak tahu rencana yang dibuat lelaki yang telah berstatus sebagai suamiku.

"Hello, my cousin."

Ia mengangkat dan melambaikan tangan padaku. Mas Bagas tampak bahagia dengan peranan yang dilakoni saat ini. Mungkin merasa aktingnya begitu bagus.

"Mas Bagas  kok, ada di sini?"

"Eh, kebetulan Mas ada janji di sini. Cuma orangnya ngebatalin," jawabnya seraya memegang tengkuk, "Ngapain kamu berdiri di situ? Duduk sini!"

Mas Bagas menatap tajam. Aku terpaksa manut dengan perkataan lelaki itu. Bisa saja ia memberitahu Bang Aldo akan hubungan kami yang sebenarnya.

Aku menarik kursi dan duduk di sebelah Mas Bagas. "Mas, kenal sama Bang Aldo?"

Bukan menjawab, Mas Bagas malah memperlihatkan senyum tiga jari. Ingin rasanya menggelitik pinggangnya agar ia tertawa terus. Namun, itu tak mungkin terjadi. Bang Aldo pasti berpikir lain tentang hubungan kami.

"Tadi Bagas lihat Nda di sini. Saat Nda ke toilet, Bagas nunggu di sini dan kami berkenalan," terang Bang Aldo tampak senang.

Padahal berharap Mas Bagas sudah pergi dari sini. Hadeh! Aku mengambil minuman di meja dan mereguknya hingga menyisakan setengah gelas.

"Iya Dinda, apa yang dikatakan Aldo itu emang bener," timpal Mas Bagas.

Wah! Hebat sekali, mereka sudah kelihatan akrab. Keringat dingin terasa di kedua telapak tangan. Aku meremas jari-jemari untuk menghilangkan rasa ini.

"Nda, Abang mau ngajak kamu shopping. Kamu mau 'kan, Sayang?"

Bang Aldo menatapku sembari menampakkan senyum menawan. Kalau seperti ini, semua perempuan akan luluh dan pasti mau pergi bersamanya, apa lagi diajak shopping sama someone special. Siapa yang akan menolak?

"Mmm, boleh. Asal Abang gak sibuk aja hari ini," ujarku seraya membalas senyumannya.

"Gak bisa!" seru Mas Bagas cepat. "Oh, maksudnya tadi itu Mami menelepon menyuruh kita sekarang ke rumahnya, eh ... ke rumah Mas. Mami akan marah kalau sekarang kita, gak pulang."

Mas Bagas memelotot pertanda harus menyetujui ucapannya. Aku mengangguk agar Bang Aldo tak merasa curiga. Aku menghela napas pelan.

"Iya, Bang. Maaf, Nda gak bisa hari ini. Lain kali, ya?"

"Al, sepertinya aku dan Dinda harus pergi dulu. Makasih udah nemenin ngobrol."

Kami berdiri menyudahi pembicaraan. Gurat kekecewaan bersemayam di wajah Bang Aldo. Mas Bagas mengulurkan tangan dan bersalaman dengannya.

"Bang, Nda pergi dulu."

"Makasih, ya, Sayang, udah nemenin Abang hari ini," Bang Aldo menggenggam tanganku.

"Iya, sama-sama Bang."

"Nanti malam Abang telepon."

"Iya."

Aku dan Mas Bagas berjalan meninggalkan hotel menuju parkiran. Ia melangkah dengan cepat, hingga meninggalkanku beberapa langkah di belakang.

"Mas ... Mas Bagas, tungguin, dong!" Mas Bagas mengabaikan panggilanku.

Ia naik ke mobil tanpa membukakan pintunya untukku. Melirik saja tidak, apa lagi menatap. Aku merasa kesal dengan perlakuannya.

"Mas Bagas, kenapa, sih? Kaki Dinda sakit, nih!" Aku mengeluarkan kekesalanku setelah duduk di samping kursinya.

Mas Bagas bergeming duduk di kemudi. Ia memandang lurus dengan mengatupkan rahang. Baru kali ini aku melihat ia marah seperti itu. Mesin mobil dihidupkan dan melaju meninggalkan hotel. Kutarik seat belt dan melingkarkan ke tubuh.

Ia menambah kecepatan mobil yang membuatku merasa takut. Perut ini terasa mual dan degup jantung berdetak semakin kencang. Kupegang handle pintu untuk menahan tubuh sendiri.

"Mas Bagas, jangan ngebut! Dinda takut!"

Ia bukan mengurangi, malahan semakin menambah kecepatan mobil. Embun panas menyeruak di sudut mata dan beberapa saat luruh di pipi. Aku mengusap dengan punggung tangan.

"Mas, hentikan mobilnya! Dinda mau turun. Kalau tau seperti ini, lebih baik Dinda pergi sama Bang Aldo!"

Roda beradu dengan aspal menimbulkan suara decit keras. Mas Bagas menghentikan mobil di pinggir jalan. Mataku terpejam sembari berteriak. Ia sungguh keterlaluan karena tak memikirkan keselamatan diri ini.

Isak tangisku pecah memenuhi ruang mobil. Aku sungguh merasa takut jika terjadi kecelakaan. Terasa sentuhan tangan di pipi menghapus air mata ini. Sejenak ada rasa tenang muncul di hatiku.

"Dinda ...."

Mas Bagas berbisik di telingaku. Aku membuka mata perlahan. Ia menatap dalam hingga ke manik mataku.

"Mas Bagas ... kenapa seperti ini?" Suara tangisanku agak reda.

"Dinda ... Mas, gak suka lihat kamu deket dengan Aldo. Seenaknya memanggil sayang dan menggenggam tanganmu. Mas, gak ingin ia menyentuhmu. Kamu itu istri, Mas. Kalian bukan mahram. Sekali lagi lelaki itu menyebut sayang dan menyentuhmu, Mas akan tonjok mulutnya," geram Mas Bagas.

Aku menelan saliva mendengar semua perkataan Mas Bagas. Semakin hari aku tak mengenal karakternya yang mudah berubah-ubah. Berbuat semaunya tanpa memikirkan perasaan orang lain.

"Mas, bukankah kita udah membuat kesepakatan di hari pernikahan di waktu itu. Apa Mas udah lupa? Are you jealous?"

Sesaat ia terdiam dengan ucapanku. Aku ingin mengetahui lebih jauh alasannya. Mas Bagas mendekat ke wajah ini dan nyaris tanpa jarak di antara kami.

"Tentu, tapi bisa aja Mas lupa. I'm not jealous. Buat apa?"

Sudut bibirku tertarik membentuk bulan sabit melihat tingkah lucunya saat ini. Mungkin ia tak mau mengakui. Sudah jelas Mas Bagas cemburu.

"Kok, senyum-senyum? Emang ada yang lucu?"

"Gak ada. Dinda pengen senyum aja. Haha ..."

"Malah ketawa lagi. Oh, mungkin kalau begini kamu, gak akan ketawa."

Mas Bagas membingkai wajahku dan menyentuh pipi dengan jari-jemari. Tubuhku membeku, degup jantung berdetak cepat. Ia mendekat sembari tersenyum. Kemudian, sebuah sentuhan lembut mendarat di bibir ini.

Embusan napas Mas Bagas mulai memburu. Hati ingin menolak, tetapi gerak mataku yang terpejam ternyata tak dapat membohongi jika tubuh ini menginginkan hal itu. Aku pun terlena dengan gelora. Membuat diri ini ingin mengimbangi permainannya.

Terpopuler

Comments

Allunk Epengade

Allunk Epengade

makin seneng halunya thor visualnya han so jun ganteng

2021-11-10

1

W I B U 🍑

W I B U 🍑

lanjut thor

2021-10-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!