Karyawan Training

"Oh, gak apa-apa, Mas. Kita sarapan sekarang. Dinda udah bikinin nasi goreng spesial untuk sarapan kita."

Mas Bagas menarik kursi lalu menjatuhkan tubuh di sana. Aku pun mengiringi di sisi kanannya. Ia hanya diam dan tak menyentuh sarapan di hadapan. Gurat cemberut masih tergambar di wajah tampan suamiku itu.

"Mas Bagas, ada apa?" Aku meletakkan ponsel di sisi kiri.

"Gak ada."

Iris hitamnya beralih menatap makanan yang telah tersedia dan akan menyantap menu nasi goreng itu. Sementara aku tertuju pada wajahnya. Aku melengkung senyum karena merasa aneh saja. Harus mencuri-curi pandang agar bisa menatap wajah ala aktor Korsel tersebut.

Tanpa disadari tatapan kami bertemu. Rasa kikuk melanda diri ini. Aku melengos pada sarapan di hadapan. Aduh, ketahuan!

"Bilang aja suka," ucapnya dengan suara datar.

"Kata siapa?" Aku menoleh pada Mas Bagas.

"Emang kamu tau maksud Mas?"

"Suka menatap Mas Bagas, 'kan?"

"Hmm, gak salah lagi. Sesuai dugaan."

"Eh, itu—"

Mas Bagas tersenyum tipis. Ia berhasil menjebakku dengan pertanyaanya. Aku melengos menatap sarapan dan memosisikan sendok di tangan kanan, garpu di kiri lalu menyantap makanan itu tanpa membalas lagi ucapan lelaki itu.

Mmm, minasgor buatanku emang enak. Tak sia-sia Mama mengajari aku memasak. Kulirik Mas Bagas di samping sedang lahap menikmati sarapan. Suasana menjadi hening. Terdengar hanya suara sendok dan garpu saling beradu.

Aku telah menyelesaikan sarapan pagi. Begitu pun dengan Mas Bagas. Ia mencondongkan tubuh dan menatap netra ini, tetapi aku melengos ke ponsel dan menggenggam benda pipih ukuran tujuh inchi tersebut.

Kubuka panggilan masuk yang ada di sana. Ternyata dari Bang Aldo, seseorang yang telah berhasil menaklukkan hati ini. Aku pun membuka aplikasi chat pada namanya.

[Assalamualaikum, Nda. Abang tunggu di meja biasa. Temani Abang sarapan, Abang belum sarapan. Abang jemput Nda aja, ya?]

Bang Aldo mengajak sarapan di hotelnya, tempatku bekerja. Ia seorang general manager dan orang yang akan menikahi diri ini. Namun, hal itu tak terjadi karena secara Mama telah mengacaukan rencana itu.

[Waalaikumussalam. Gak usah, Bang. Nda pesen mobil via online aja.]

[Ok. Abang tunggu, Nda.]

Aku tak berhenti tersenyum membaca chat dari Bang Aldo. Ia memberikan emotikon love di akhir huruf. Aku pun membalas dengan hal serupa. Hati ini berbunga-bunga bertemu sang pujaan.

"Dinda ... siapa Aldo?"

Deg!

Apa harus mengatakan kalau Bang Aldo calon suami sebelum resmi menikah dengannya. Namun, ini termasuk urusan pribadi 'kan, ya. Sesuai kesepakatan Mas Bagas tak boleh ikut campur.

"Dinda, siapa Aldo?" ulangnya.

"Bang Aldo, general manager di hotel tempat Dinda kerja, Mas."

"General Manajer? Bang Aldo? Apa di sana setiap karyawan manggil Abang pada atasannya?"

"Hmm, Bang Aldo pengen Dinda manggil Abang. Mas ... Dinda mau ke luar sebentar, ya?"

Ia mengerutkan dahi dan menatapku tajam. Kalau seperti itu terus nyali ini akan menciut. Aku berdiri dan berpamitan pada Mas Bagas. Namun, lelaki itu menarik tanganku untuk tetap duduk.

"Kamu mau ke mana?"

Mas Bagas mendekat memangkas jarak di antara kami. Ia tetap menggenggam tangan ini. Aku tak bisa lagi mengelak darinya. Embusan napas terasa menerpa wajahku. Degup jantung mulai berdetak seperti genderang pertanda perang.

"Mas, kita udah sepakat,'kan? Apa Mas Bagas masih ingat?"

"Oh, Ok. Jadi masalah pribadi. Kamu boleh pergi, tapi Mas yang ngantar."

"Gak usah, Mas, Dinda pesen mobil via aplikasi aja, ya?"

"Beneran, kamu gak mau dianter sama suamimu yang tampan ini?" Mas Bagas mulai menggoda.

"Iya, Dinda bisa sendiri, kok."

"Ok, terserah kamu."

Ia melepas genggaman tangan dan kembali duduk lurus di kursi. Beberapa menit kemudian, Mas Bagas masih terpaku di sana saat aku hendak pergi. Jangan salahkan aku, ini semua keinginannya.

Sesampainya di tempat tujuan, aku menilik ke setiap ruang yang dilewati. Di restoran hotel ini— lantai sebelas— tempat pertama kali bertemu dengan Bang Aldo. Pertemuan yang begitu manis sekali saat baru masuk sebagai karyawan training. Tugas yang pertama kali aku jalani di sana sebagai waitress.

***

Aku menghela napas panjang dan mengembus perlahan. Takut jika melakukan kesalahan di hari pertama kerja. Tugas yang diberikan manager restoran hotel adalah mengantar pesanan di meja depan paling pojok. Rasa gemetar mulai menggerogoti di tubuh.

"Kak, lihat orang yang duduk di sini, gak?" tanyaku kepada salah seorang pengunjung restoran hotel.

"Gak, Kak."

“Aneh! Pesan makanan, tapi gak ada di tempat. Apa aku harus menunggu?” Aku bergumam.

“Makasih, Kak.” Aku melempar senyum.

Aku meletakkan makanan di meja. Lama menunggu, aku kembali membawa makanan tersebut ke dapur. Sial! saat hendak berbalik, kaki ini menyenggol meja di samping.

"Aaakh!"

Pesanan yang kubawa tumpah dan mengenai pakaian seseorang. Diri semakin gemetar dan tak berani melihat ke arah orang itu. Aku hanya menunduk menatap sepatunya yang mengkilap. Bagaimana kalau orang tersebut marah-marah?

"Ma--maaf, Pak."

"Oh, No! My clothes get dirty."

Ini orang pakai bahasa asing ... apa ia bule? Ok, akan aku balas percakapannya.

"I'm sorry, Sir? I'm really sorry?"  Ternyata berguna juga bahasa yang kupelajari.

"Can you look at me?"

"Oh, No, Sir." Aku takut menatap orang yang lagi marah. Lebih baik tetap menunduk.

"Bisa gak, kalau bicara melihat saya? Apa saya ini seseorang yang tak layak untuk kamu pandangi?"

Aku menghela napas berat dan mengangkat wajah perlahan. Sesaat diri tertegun menatap lelaki yang ada di hadapan. Ia memakai setelan jas hitam bergaris putih, dalaman kemeja putih serta dasi berwarna biru muda mengkilap.

Lelaki itu tersenyum dan menampakkan lekuk di pipinya yang semakin kentara. Oh, God, Engkau telah menciptakan makhluk sempurna di bumi ini dan menghadirkannya di kehidupanku.

"Nona ...." Ia melambaikan tangan di wajahku. Jiwa yang tadi melayang kembali menempati raga ini.

"Maafkan saya, Pak. Ini hari pertama saya training, tapi telah melakukan kesalahan. Saya berharap, Bapak tidak mempermasalahkannya."

Aku menundukkan kepala lalu mengangkat kembali pertanda meminta maaf. Beberapa kali kuketuk pelan kepala yang berbalut hijab berwarna hijau mint karena kebodohan diri. Berharap lelaki di hadapan mengabaikan kejadian ini.

"Gak, ini salah saya juga karena buru-buru ke sini."

"Maaf, saya akan bersihkan jas Bapak."

Aku mengambil tisu yang ada di meja. dan membersihkan jas di bagian dadanya yang terkena makanan. Ia menatapku dengan senyum menawannya sedangkan aku gemetaran setengah mati.

Manajer restoran menghampiri kami. Terpancar kemarahan di wajahnya. Mungkin ia akan memecatku. Perempuan itu terkenal orang yang jarang tersenyum di hotel.

"Dinda, apa yang kamu lakukan pada Pak Aldo? Kamu tau tidak, beliau ini general manager. Cepat bereskan sarapannya dan ganti yang baru!"

Aku terkesiap dan menjauhkan tangan dari Pak Aldo. Hari pertama kerja telah melakukan kesalahan yang besar. Bisa dipecat kalau begini kejadiannya. Hadeh!

"Sekali lagi maafin Dinda, ya, Pak. Dinda akan bersihin kekacauan ini," ucapku seraya membungkuk.

"Kamu gak usah pergi. Saya akan hukum kamu." Ia menatapku dengan wajah tenang.

"Tapi Pak, saya udah minta maaf."

"Itu gak cukup menebus kesalahanmu."

"Saya harus melakukan apa untuk menebus kesalahan saya, Pak?"

"Kamu tetap di sini, temenin saya breakfast. Anya, tolong panggil orang membersihkan semua ini!" Pak Aldo menunjuk makanan berserakan di lantai.

"Baik, Pak."

Anya menghujamku dengan tatapan dingin. Mungkin kecewa dengan hukuman yang diberikan general manager padaku.  Ia melangkah menuju dapur hotel. Lagian aneh juga, sebuah kesalahan dibayar dengan menemani makan.

"Silakan duduk, Dinda."  Ia menarik kursi dan duduk.

"Terima kasih, Pak." Aku pun ikut duduk di hadapannya.

"Mulai hari ini dan seterusnya, kamu jadi sekretaris sekaligus asisten pribadi saya."

"Maksud Bapak?"

"Kamu yang akan mengurus semua keperluan saya dan kamu gak perlu manggil saya Bapak. Panggil saya Abang kalau kita hanya berdua."

Aku bergeming setelah menyadari maksudnya. Ia tersenyum memandang wajahku yang terus melongo. Kesalahan yang mendatangkan keuntungan. Apa ini yang disebut durian runtuh?

***

"Nda!" Bang Aldo melambaikan tangan seraya tersenyum tiga jari saat melihatku menghampirinya.

Bang Aldo berada di meja, tempat pertama kali kami bertemu. Aku menarik kursi dan menjatuhkan bobot di benda empuk itu, persis di hadapannya. Ia lelaki yang tampan dan mapan. Siapa pun perempuan pasti terpikat olehnya.

"Maafin Nda, Abang harus nunggu lama."

"Gak apa-apa, Sayang. Abang seneng, kamu udah ke sini." Netra Bang Aldo tampak berbinar.

"Kok, Abang gak sarapan di rumah?"

"Abang pengen Nda nemenin Abang sarapan di sini. Sama seperti saat pertama kali kita ketemu dulu. Abang kangen awal-awal kedekatan kita." Bang Aldo mengembuskan napas pelan. "Sebenernya Abang pengen ngajak Nda jalan-jalan lagi. Nda tau 'kan Abang terlalu sibuk. Jadi, gak sempet."

"Gak apa-apa, Bang. Gak masalah, kok. Lagian kita sering ketemu. Secara kita sekantor. Hanya pintu aja yang membatasi."

"Maaf, Abang ngambil masa cutimu hari ini. Abang kangen banget sama kamu."

"Iya, Nda tau. Kapan Abang sarapan kalau ngomong terus?"

"Kamu, gak sarapan?"

"Nda, udah sarapan sebelum ke sini. Nda cuma nemenin Abang, aja."

Ia tampak kecewa, tapi sesaat sirna setelah kugenggam tangannya. Bang Aldo menikmati sarapan dalam diam. Aku tersenyum menatap wajahnya.

"Sayang, kenapa senyum-senyum?" tanyanya setelah menyelesaikan sarapan.

"Seneng aja dekat orang yang disayang."

"Cuma seneng?"

"Terus?"

Bang Aldo menggenggam kedua tangan dan menatapku. "Dinda, kapan kita nikah?"

Aku tertegun mendengar ucapan Bang Aldo yang terasa bagai petir menyambar. Ia belum mengetahui jika kekasihnya ini sudah menikah dengan orang lain karena perjodohan. Apa yang harus aku lakukan?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!