Lima belas menit, cukup untukku berendam di bath tub. Aku baru menyadari kalau tak membawa handuk karena ulah Mas Bagas tadi. Aku meraih pakaian yang terletak di samping. Setelah mengenakannya dengan cepat keluar dari benda berbahan marmer itu lalu mengintip dari kamar mandi.
"Mas! Handuk mana? Tolong bawain ke sini!"
"Ambil aja sendiri!"
Jawaban Mas Bagas yang terdengar memilukan di telinga membuatku berdecak sebal. Tak mungkin ke luar dengan kondisi seperti ini. Ia Tampak bahagia sekali. Bibirnya terus melengkung senyum dengan posisi duduk di tepi ranjang sembari memainkan ponsel. Mungkin lelaki yang ada di sana merasa puas mempermainkanku.
"Mas, tolong ambilin handuk. Please!"
"Salah sendiri, ngapain juga bangunin singa lagi tidur? Masih untung gak laper!"
Kenapa menyalahkan aku? Bukannya Mas Bagas yang memulai? Tampa izin main sosor saja itu bibir.
"Awas kamu, Mas. suatu saat akan Dinda balas," gumamku. Aku kembali menutup pintu dan mengunci kembali.
"Din, kapan keluar dari kamar mandi? Gak baik kali," sindirnya.
Tak terdengar lagi ada kehidupan di sana. Aku membuka kunci pintu dengan hati-hati dan mengintip ke kamar dan menyisir setiap sudut ruang. Namun, Mas Bagas tidak tampak di area tersebut.
Oh, syukurlah. Mungkin sedang di luar. Aku angkat koper ke tempat tidur dan membuka isinya. Aku melongo mengeluarkan semua pakaian yang dipacking Mama. Oh, No!
” Kok, lingerie semua? Bisa masuk angin kalau begini. Mama!"
Aku menutup mulut setelah tersadar dari teriakan yang akan membawa Mas Bagas masuk. Ternyata benar, terlambat sudah. Ia berada di hadapan dengan napas tersengal. Mungkin tadi berlari ke kamar.
"Dinda, ada apa?" Matanya menyipit.
Gegas aku memasukkan semua pakaian yang dikeluarkan tadi. Tangan ini tak sempat merapikan benda sedikit bahan tersebut seperti semula dan langsung menyembunyikannya di belakang punggung. Aku berharap Mas Bagas tak melihat isi koper itu.
"Oh, ng--gak ada, Mas."
Kulihat tawa Mas Bagas tertahan. Apanya yang lucu? Adakah yang salah? Ia memang suka membuat orang merasa kesal.
"Kenapa Mas?" tanyaku menggembungkan pipi.
"Kok, kamu belum ganti baju?"
Oh, sudah tua kali, ya? Tidak sadar perbuatan siapa? Dasar laki-laki tidak punya perasaan!
"Eh, tadi Dinda udah minta tolong ambilin handuk. Kok, Mas gak mau ambilin? Dinda terpaksa harus memasang ini lagi."
"Terus kok, belum diganti juga?"
"Eh, itu Mas ... gimana, ya?"
Mas Bagas melangkah mendekatiku. Ia menautkan kedua alis. Netra hitamnya tertuju pada sesuatu yang ada di belakang punggungku.
"Dinda, itu apaan?"
Aku menghalangi pandangan Mas Bagas. Ia tak boleh melihat isi koper yang aku sembunyikan. Namun, lelaki ini tetap menatap sesuatu di belakang punggung.
"Gak ada, Mas. Ini cuma koper," ucapku meyakinkannya.
"Kalau cuma koper, kok diumpetin gitu?"
"Dinda malu, Mas."
Pipi sudah mulai terasa menghangat. Ternyata Mas Bagas tak menyerah dengan usahanya. Lelaki itu terus berupaya mendapatkan koper dari tanganku.
"Sini, Mas mau lihat!
"Gak mau, Mas!"
Aku menjauhkan dari jangkauannya. Mas Bagas terus memaksa hingga tubuh ini kehilangan keseimbangan. Aku pun terdorong ke ranjang.
"Aaakh."
Netra ini seketika terpejam. Ada sesuatu yang lembut menempel di bibir layaknya es krim. Degup jantungku berdetak dengan cepat. Begitupun dengan Mas Bagas. Aku terbuai dan menikmati setiap pergerakannya untuk beberapa saat lamanya.
Mas Bagas? My first kiss? Bukan Bang Aldo.
"Dinda, open your eyes."
Aku tersugesti oleh kata-katanya. Mungkin ia memang ahli dalam hal ini. Mas Bagas akan selalu memanfaatkan momen seperti ini.
"Mmm ... kejadian juga." Seringai kemenangan terlihat di bibirnya.
Mami ... Papi ... anak kalian resek!
Aku mendengkus kesal dan mendorong Mas Bagas menjauh. Namun, kekuatanku tak bisa mengimbangi bobot tubuhnya. Akhirnya aku menyerah.
"Mas Bagas ... berat tau!"
Ia segera beranjak lalu aku duduk di tepi ranjang. Mas Bagas mengambil koper yang tadi diperebutkan dan tersenyum melihat isi yang ada di sana. Entah apa yang di pikirkannya. Sontak terasa rona merah menjalar mewarnai pipiku.
Aku melengos karena tak mau melihat reaksi Mas Bagas. Dada ini terasa sulit bernapas. Kuhirup udara agar asupannya tidak berkurang.
"Dinda ...."
Mas Bagas telah duduk di sampingku. Suaranya terdengar merdu di telinga. Aku tak mau menoleh ke arahnya. Sungguh perasaan malu menggerogoti diri ini.
"Please, look into my eyes!"
Selalu saja menuruti kata-katanya? Aku menoleh dan ia tersenyum manis. Setiap menatapnya, aku tak mau berpaling. Mas Bagas mendekat lalu berbisik di telinga.
"Sabar Dinda, Mas Bagas mandi dulu." Ia berlalu ke kamar mandi.
Akhirnya aku bisa bernapas dengan nyaman. Semua ini Mama penyebabnya. Aku mengambil ponsel di koper yang ada di ujung kasur lalu menekan nama wanita yang sangat kucintai itu. Tanpa menunggu lama, terdengar jawaban di seberang sana.
"Assalamualaikum, Sayang?"
"Waalaikumussalam. Ma, di koper gak ada pakaian Nda, ya?" Aku duduk di tepi ranjang.
"Udah ada di koper? Banyak malahan, suamimu pasti seneng, deh," balas Mama.
Mungkin beliau lagi senyum-senyum saat ini.
"Apaan? Pake pakaian yang begituan. Yang ada, Nda masuk angin."
"Ac-nya jangan dihidupin dong."
"Gak ada hubungannya sama AC kali, Ma."
"Nda sayang, berpenampilan minim di depan suami itu kudu, lho. Biar suamimu semakin cinta dan betah di rumah. Lagian suamimu 'kan ada. Kamu gak bakalan masuk angin, deh."
Aduh! Perkataan Mama menyerempet kemana-mana, membuatku semakin panik saja.
Beliau tertawa, tapi terdengar pilu di telinga ini. "Ok, Ma. Nda, tutup teleponnya. Assalamualaikum."
"Assalamualaikum. Semangat Dinda sayang!" pungkas Mama yang masih sempat terdengar.
Hadeh! Aku mondar-mandir di kamar biar bisa menemukan solusi. Namun, tak ada ide yang muncul di otak ini.
"Apa yang harus aku lakukan?"
Pintu kamar mandi berderit. Jantungku semakin berdetak kencang. Tampak Mas bagas keluar dari sana. Khilaf netra ini memandangnya.
"Ngapain menutup mata begitu? Seperti gak pernah lihat aja," ucapnya sarkas.
Hah? Tentu saja karena Mas Bagas keluar dengan memakai handuk sebatas pinggang. Aku merasa malu seolah netra ini ternodai.
"Ya ... emang, Dinda gak pernah lihat, kok."
"Tenang aja. Ntar lagi juga lihat, kok." Ia tersenyum tipis seraya membuka pintu lemari. "Itu baju kapan mau digantinya?"
"Nanti aja, kalau mau tidur."
Selang beberapa lama, ia menghampiriku seraya tersenyum. Lelaki itu semakin tampan memakai baju koko, kain sarung dan peci.
"Mas Bagas benar-benar seperti suami idaman," gumamku.
"Apa?" sahutnya mengernyitkan dahi.
"Eh, gak apa-apa, Mas." Untung saja Mas Bagas tak mendengar ucapanku. Bisa-bisa ia besar kepala.
"Yaudah, Dinda. Kita Salat Isya dulu," ucapan Mas Bagas terasa sejuk di telinga.
"Iya, Mas." Aku manut dan berjalan ke kamar mandi untuk berwudu.
Setelah selesai salat, aku duduk ditepi ranjang. Tubuh terasa gerah karena memakai pakaian yang super lengkap seharian. Sungguh sangat mengganggu kondisi seperti ini.
"Kapan ganti bajunya? Udah kayak cacing kepanasan aja." Ia duduk di sampingku.
"Mas Bagas ... pinjamin Dinda baju, ya," pintaku selembut mungkin.
"Buat malam ini gak bisa." Ia mendekat dan menatap hingga ke manik mataku.
"Kamu gak perlu merayu. Mas Mau malam ini ... kamu pake baju yang ada di koper."
"Hah? Mas—"
"Apa kamu gak ingat pesan Mama? Mama bilang, Dinda, patuhi suamimu ya, Nak. Jangan pernah membantah!"
Ia mengulang ucapan ala Mama lalu mengukir senyum. Mungkin merasa puas dengan situasi ini. Apa malam ini harus mengikhlaskan tubuhku untuk Mas Bagas?
Mas Bagas memilih baju yang ada di koper dan memberikan ke tanganku. Aku menerima dengan rasa ragu. Aduh! Mama ... Dinda lagi dalam masalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Allunk Epengade
wah, han so jun😍😍😍
2021-11-10
1