NovelToon NovelToon

Suami Jutekku

Kesepakatan di Resepsi Pernikahan

"Usai pesta pernikahan ini, di antara kita gak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Kecuali ada hubungannya dengan orang tua kita," titah Mas Bagas dengan suara baritonnya.

"Ok. Anggap aja kita baru kenalan yang kebetulan tinggal di satu atap," balasku tak mau kalah.

"Deal."

Di pelaminan gedung ini aku menyetujui ucapan Mas Bagas---orang asing---yang telah sah menjadi suamiku walau tak mengetahui bagaimana sifat dan karakter lelaki itu sebenarnya. Mama bilang, ia lelaki yang baik, sopan, dan cocok jadi imam dalam keluarga. Bisa membimbing seorang istri menuju jannahNya.

Kami bertemu pertama kali di saat acara lamaran. Ia begitu tampan dan tak banyak bicara, tetapi tatapan mata dan senyum tipis seolah mengintimidasi. Ya, kelihatan `jutek`.

Pernikahan ini terjadi karena pihak orang tua. Kata Mama, kedua keluarga telah merancang ini sejak aku dan Mas Bagas masih remaja. Tak ingin silaturahmi di antara mereka terputus lalu mengambil jalan dengan cara menjodohkan kami dalam ikatan pernikahan.

Padahal saat ini kami punya pasangan masing-masing yang akan diajak ke pelaminan. Hanya, aku dan Mas Bagas tak bisa menolak keinginan mereka. Takut dicap sebagai anak durhaka. Akhirnya menerima saja perjodohan tersebut.

Orang tuaku bisa mengenal besannya karena sebagai mitra kerja dan tinggal di komplek yang sama di sini. Entah apa alasannya balik lagi ke tempat kelahiran, Kota Metropolitan. Setelah Mas Bagas remaja, keluarga mereka pindah dan menetap di kotaku.

Perasaan telah lega karena pesta pernikahan usai juga akhirnya. Sungguh melelahkan hari ini, seharian berdiri memakai pakaian anak daro dengan suntiang di kepala yang begitu berat sembari menyalami para undangan. Istirahat hanya sebentar, para tamu terus berdatangan menghadiri pesta. Kuhempaskan tubuh di kursi pelaminan.

"Kenapa Dinda? Kamu lelah?"

Ia pun ikut duduk memosisikan diri di samping setelah sama-sama berdiri. Mas Bagas mengusap pipiku yang berkeringat menggunakan saputangannya. Aku tertegun dengan sikap lelaki itu.

Walaupun bersikap `jutek`, tetapi ternyata ia cukup perhatian. Mas Bagas menatapku dan aku pun larut dalam pesonanya. Lelaki itu mempunyai bentuk mata monolid seperti oppa-oppa korea dengan tatapan yang tajam dengan manik hitam, hidung bangir, dan bibir bawah penuh sempurna sedangkan di atas tipis membentuk huruf 'M' seakan menghipnotis diri ini.

"Uhuk ... uhuk ...."

"Ehem ... ehem ...."

Aku dan Mas Bagas terkesiap mendengar suara gaduh. Rupanya papaku dan papinya berada dihadapan dan menggoda kami. Mereka tersenyum semringah menyaksikan menantu masing-masing saling beradu pandang di pelaminan.

Kedua pipi ini terasa menghangat. Untung saja make up menutupi rona wajahku. Jadi, mereka tidak mengetahui perasaanku saat ini.

Para orang tua telah berkumpul di hadapan kami. Aku dan Mas Bagas berdiri untuk menghormati mereka. Raut kebahagiaan terpancar jelas dari wajah semuanya.

"Ternyata kita gak salah menjodohkan mereka. Seperti yang kita lihat, mereka sudah saling cinta," seloroh Mami Hana, ibu mertuaku.

Mami Hana salah mengartikan sesuatu yang dilihatnya. Bahkan, mereka semua pun salah menduga. Apa yang aku lakukan karena terbawa suasana saja. Tak mungkin langsung jatuh cinta dengan orang yang baru dalam hitungan jam bersama.

"Sayang, akhirnya kamu menjadi menantu kami," ucap Mami Hana semringah. Ia memelukku dengan erat. "Kamu pasti bisa menjadi istri yang terbaik buat Bagas.

"Terima kasih, Mi," jawabku yang merasa malu dengan ucapan Mami Hana.

Pantaskah diri ini mendampingi Mas Bagas sebagai istri? Mami Hana mengurai pelukan. Ia menggandeng tanganku. Mungkin beliau menyayangiku seperti anak sendiri.

"Bagas, kamu harus jadi suami yang bertanggung jawab dan bisa membimbing istrimu ke arah yang lebih baik. Nasehati ia, bila membuat kesalahan," timpal Papi Bram, ayah mertuaku menasehati.

"Iya, Pi," jawab Mas Bagas setelah melirikku.

"Dinda, patuhi suamimu ya, Nak. Jangan pernah membantah jika itu yang terbaik buat rumah tangga kalian," pinta mamaku, Mama Sofia.

Aku mengangguk dengan permintaan dan harapan Mama. Tanpa terasa embun merebak di pelupuk mata lalu meleleh membasahi pipi. Aku masuk ke pelukan wanita yang melahirkan diri ini, dua puluh empat tahun silam.

"Bagas, Papa berharap kamu mencintai dan menyayangi Dinda seperti Papa mencintai dan menyayanginya. Bahkan kalau bisa ... melebihi Papa," ungkap papaku, Papa Taufik.

"Iya, Pa. Insya Allah, Bagas akan melakukan nasehat dan petuah para orang tua," tutup Mas Bagas yang tampak yakin dengan ucapannya.

Apa aku harus mengaminkan semua itu? Mungkinkah bisa bertahan dengan suami yang begitu 'jutek' ini? Pastinya semua permintaan yang disampaikan sangat baik untuk aku dan Mas Bagas. Semoga saja Allah mengabulkan doa orang tua kami.

***

Mimpiku bisa menjadi istri Aldo, orang yang selama ini mengisi hari-hari dan perjalanan cintaku. Ia seorang General Manager (GM)—di hotel bintang empat—tempatku bekerja. Namun, pernikahan ini menghalangi hal tersebut. Bagaimana mengatakan padanya? Apa ia mau menerima semua yang telah terjadi?

"Kenapa melamun?"

Mas Bagas membuatku kaget. Aku menoleh padanya. Ia hanya melirik dan kembali fokus menyetir.

"Hah? Gak, kok. Dinda cuma ... capek aja."

"Kamu bisa istirahat di rumah kita nanti." Mas Bagas tersenyum tipis.

"Oh ... iya, Mas." Aku mengangguk.

Mobil MPV hitam berhenti di salah satu rumah di perumahan Belanti. Ia membuka pagar dengan remote lalu memasukkan kendaraan roda empat yang kami tumpangi ke garasi. Setelah mematikan mesin dan membuka seat belt yang terpasang di tubuhnya, lelaki itu turun dan melangkah membukakan pintu untukku.

Satu lagi perhatian Mas Bagas.

Aku turun dan melangkah perlahan memindai bangunan yang begitu mewah di hadapan. Ternyata Mas Bagas punya rumah sendiri untuk kami huni. Sepi? Apakah tak ada orang?

"Hanya kita berdua tinggal di sini."

Seolah ia bisa membaca pikiranku. Apa mungkin karena melihat aku melongo? Ia membuka kunci rumah dan mempersilakanku masuk.

"Selamat datang di rumah kita. Rumah ini, Mas beli untuk hadiah pernikahan," bisiknya.

Oh, jangan GR dulu, Dinda! Mungkin dibeli untuk seseorang yang spesial di hati Mas Bagas. Ia hanya terpaksa memberikan rumah ini karena sekarang secara kebetulan menjadi istrinya.

"Ngapain ngelamun lagi? Ayo, masuk!"

Aku masuk dan menunggu Mas Bagas menyeret koper sembari mengunci pintu. Mama telah mempersiapkan semua pakaian di benda berwarna merah tersebut. Namun, aku tak tahu baju apa saja yang dipacking.

"Mas, rumah sebesar ini beneran gak ada orang lain?"

"Ada, Bibi Ningsih dan Pak Jaya. Mereka sepasang suami-istri. Mas membebaskan tugas mereka selama satu minggu."

"Oh." Aku mengangguk.

Aku mengekori langkah Mas Bagas. View dari belakang saja suamiku ini kelihatan gagah. Oh, apa yang ada dipikiran? Sadar Dinda!

"Ini kamar kita."

Ia telah membuka kunci kamar dan aku masuk mengekorinya lagi.

Kamar yang begitu luas untuk kami tempati. Aku berdiri sembari memejamkan mata. Menghirup aroma cytrus yang ada dalam ruangan. Sungguh wangi bagai aroma terapi. Mungkin bisa betah bila seharian berada di sini.

"Apa yang ada dalam pikiranmu saat ini, Dinda?"

Aku terkesiap seraya membuka mata. Ternyata Mas bagas telah berdiri di hadapan. Membuat diri bergidik dengan bisikannya.

"Eh ... gak ada, Mas."

"Ini kamar mandi kita," lanjut Mas Bagas melangkah ke kamar mandi.

Wow, kamar mandi yang lengkap. Aku bisa lama berada di sana. Aku akan berendam dan menikmati wanginya bath foam yang melimpah.

Mas Bagas keluar setelah mengenalkan ruangan kamar mandi. Aku mengekorinya sembari mengerling seperti tamu yang baru datang dan belum mengenali tempat yang dikunjungi. Sungguh luar biasa tempat ini.

"Mas, setelah lihat kamar mandi, Dinda pengen mandi. Rasanya badan Dinda udah lengket." Aku tersenyum simpul.

Tubuh terasa gatal-gatal hendak diguyur air. Terbayang akan kesegaran benda cair itu menyentuh kulit ini. Seakan sudah seminggu belum mandi.

"Kamu bilang gitu karena ingin ngajak Mas, 'kan?" tanyanya mengedipkan mata.

Hah? Ternyata pikiran lelaki ini mesum juga. Ia mendekat, tetapi aku mundur. Sial! Posisi dirii sudah mentok ke dinding. Mas Bagas mengunci pergerakanku.

Lagi-lagi ia menghipnotis diri dengan tatapan itu. Napasku tertahan lalu menelan saliva. Jantungku berdegup tak terkendali. Kali ini ia bebas melakukan apapun karena hanya ada kami berdua.

"Gak usah Mas. Dinda bisa sendiri, kok."

Ia mendekat menyisakan jarak beberapa mili. Embusan napas aroma mint, menyapu kulit wajahku. Aku melengos saat Mas Bagas akan mengambil first kiss. Namun, akhirnya, lelaki dengan surai potongan mullet itu berhasil … mencium tembok.

Aku segera kabur ke kamar mandi dan mengunci pintu. Hal itu tak boleh terjadi. Aku belum bisa mengeluarkan nama Bang Aldo dalam hati ini.

"Hei ... Dinda!"

Mas Bagas sangat kesal dengan aksiku. Aku terkikik geli karena berhasil terlepas dari lelaki jutek tak berpendirian, tetapi perhatian. Salah sendiri, siapa suruh menggunakan kesempatan dalam kesempitan? Dinda dilawan!

_____

Hai ... yeorobun🥰

Jangan lupa support Author dengan subs, like, and coment biar semakin menambah mood booster, ya ... thank's a lot.

gomawoyo🙏

saranghaeyo💖💖💖

Hilma Sakhiy

FB. Saranghaeyo Eonni

IG. Hilma Sakhiy

Tatapan Menghipnotis

Lima belas menit, cukup untukku berendam di bath tub. Aku baru menyadari kalau tak membawa handuk karena ulah Mas Bagas tadi. Aku meraih pakaian yang terletak di samping. Setelah mengenakannya dengan cepat keluar dari benda berbahan marmer itu lalu mengintip dari kamar mandi.

"Mas! Handuk mana? Tolong bawain ke sini!"

"Ambil aja sendiri!"

Jawaban Mas Bagas yang terdengar memilukan di telinga membuatku berdecak sebal. Tak mungkin ke luar dengan kondisi seperti ini. Ia Tampak bahagia sekali. Bibirnya terus melengkung senyum dengan posisi duduk di tepi ranjang sembari memainkan ponsel. Mungkin lelaki yang ada di sana merasa puas mempermainkanku.

"Mas, tolong ambilin handuk. Please!"

"Salah sendiri, ngapain juga bangunin singa lagi tidur? Masih untung gak laper!"

Kenapa menyalahkan aku? Bukannya Mas Bagas yang memulai? Tampa izin main sosor saja itu bibir.

"Awas kamu, Mas. suatu saat akan Dinda balas," gumamku. Aku kembali menutup pintu dan mengunci kembali.

"Din, kapan keluar dari kamar mandi? Gak baik kali," sindirnya.

Tak terdengar lagi ada kehidupan di sana. Aku membuka kunci pintu dengan hati-hati dan mengintip ke kamar dan menyisir setiap sudut ruang. Namun, Mas Bagas tidak tampak di area tersebut.

Oh, syukurlah. Mungkin sedang di luar. Aku angkat koper ke tempat tidur dan membuka isinya. Aku melongo mengeluarkan semua pakaian yang dipacking Mama. Oh, No!

” Kok, lingerie semua? Bisa masuk angin kalau begini. Mama!"

Aku menutup mulut setelah tersadar dari teriakan yang akan membawa Mas Bagas masuk. Ternyata benar, terlambat sudah. Ia berada di hadapan dengan napas tersengal. Mungkin tadi berlari ke kamar.

"Dinda, ada apa?" Matanya menyipit.

Gegas aku memasukkan semua pakaian yang dikeluarkan tadi. Tangan ini tak sempat merapikan benda sedikit bahan tersebut seperti semula dan langsung menyembunyikannya di belakang punggung. Aku berharap Mas Bagas tak melihat isi koper itu.

"Oh, ng--gak ada, Mas."

Kulihat tawa Mas Bagas tertahan. Apanya yang lucu? Adakah yang salah? Ia memang suka membuat orang merasa kesal.

"Kenapa Mas?" tanyaku menggembungkan pipi.

"Kok, kamu belum ganti baju?"

Oh, sudah tua kali, ya? Tidak sadar perbuatan siapa? Dasar laki-laki tidak punya perasaan!

"Eh, tadi Dinda udah minta tolong ambilin handuk. Kok, Mas gak mau ambilin? Dinda terpaksa harus memasang ini lagi."

"Terus kok, belum diganti juga?"

"Eh, itu Mas ... gimana, ya?"

Mas Bagas melangkah mendekatiku. Ia menautkan kedua alis. Netra hitamnya tertuju pada sesuatu yang ada di belakang punggungku.

"Dinda, itu apaan?"

Aku menghalangi pandangan Mas Bagas. Ia tak boleh melihat isi koper yang aku sembunyikan. Namun, lelaki ini tetap menatap sesuatu di belakang punggung.

"Gak ada, Mas. Ini cuma koper," ucapku meyakinkannya.

"Kalau cuma koper, kok diumpetin gitu?"

"Dinda malu, Mas."

Pipi sudah mulai terasa menghangat. Ternyata Mas Bagas tak menyerah dengan usahanya. Lelaki itu terus berupaya mendapatkan koper dari tanganku.

"Sini, Mas mau lihat!

"Gak mau, Mas!"

Aku menjauhkan dari jangkauannya. Mas Bagas terus memaksa hingga tubuh ini kehilangan keseimbangan. Aku pun terdorong ke ranjang.

"Aaakh."

Netra ini seketika terpejam. Ada sesuatu yang lembut menempel di bibir layaknya es krim. Degup jantungku berdetak dengan cepat. Begitupun dengan Mas Bagas. Aku terbuai dan menikmati setiap pergerakannya untuk beberapa saat lamanya.

Mas Bagas? My first kiss? Bukan Bang Aldo.

"Dinda, open your eyes."

Aku tersugesti oleh kata-katanya. Mungkin ia memang ahli dalam hal ini. Mas Bagas akan selalu memanfaatkan momen seperti ini.

"Mmm ... kejadian juga." Seringai kemenangan terlihat di bibirnya.

Mami ... Papi ... anak kalian resek!

Aku mendengkus kesal dan mendorong Mas Bagas menjauh. Namun, kekuatanku tak bisa mengimbangi bobot tubuhnya. Akhirnya aku menyerah.

"Mas Bagas ... berat tau!"

Ia segera beranjak lalu aku duduk di tepi ranjang. Mas Bagas mengambil koper yang tadi diperebutkan dan tersenyum melihat isi yang ada di sana. Entah apa yang di pikirkannya. Sontak terasa rona merah menjalar mewarnai pipiku.

Aku melengos karena tak mau melihat reaksi Mas Bagas. Dada ini terasa sulit bernapas. Kuhirup udara agar asupannya tidak berkurang.

"Dinda ...."

Mas Bagas telah duduk di sampingku. Suaranya terdengar merdu di telinga. Aku tak mau menoleh ke arahnya. Sungguh perasaan malu menggerogoti diri ini.

"Please, look into my eyes!"

Selalu saja menuruti kata-katanya? Aku menoleh dan ia tersenyum manis. Setiap menatapnya, aku tak mau berpaling. Mas Bagas mendekat lalu berbisik di telinga.

"Sabar Dinda, Mas Bagas mandi dulu." Ia berlalu ke kamar mandi.

Akhirnya aku bisa bernapas dengan nyaman. Semua ini Mama penyebabnya. Aku mengambil ponsel di koper yang ada di ujung kasur lalu menekan nama wanita yang sangat kucintai itu. Tanpa menunggu lama, terdengar jawaban di seberang sana.

"Assalamualaikum, Sayang?"

"Waalaikumussalam. Ma, di koper gak ada pakaian Nda, ya?" Aku duduk di tepi ranjang.

"Udah ada di koper? Banyak malahan, suamimu pasti seneng, deh," balas Mama.

Mungkin beliau lagi senyum-senyum saat ini.

"Apaan? Pake pakaian yang begituan. Yang ada, Nda masuk angin."

"Ac-nya jangan dihidupin dong."

"Gak ada hubungannya sama AC kali, Ma."

"Nda sayang, berpenampilan minim di depan suami itu kudu, lho. Biar suamimu semakin cinta dan betah di rumah. Lagian suamimu 'kan ada. Kamu gak bakalan masuk angin, deh."

Aduh! Perkataan Mama menyerempet kemana-mana, membuatku semakin panik saja.

Beliau tertawa, tapi terdengar pilu di telinga ini. "Ok, Ma. Nda, tutup teleponnya. Assalamualaikum."

"Assalamualaikum. Semangat Dinda sayang!" pungkas Mama yang masih sempat terdengar.

Hadeh! Aku mondar-mandir di kamar biar bisa menemukan solusi. Namun, tak ada ide yang muncul di otak ini.

"Apa yang harus aku lakukan?"

Pintu kamar mandi berderit. Jantungku semakin berdetak kencang. Tampak Mas bagas keluar dari sana. Khilaf netra ini memandangnya.

"Ngapain menutup mata begitu? Seperti gak pernah lihat aja," ucapnya sarkas.

Hah? Tentu saja karena Mas Bagas keluar dengan memakai handuk sebatas pinggang. Aku merasa malu seolah netra ini ternodai.

"Ya ... emang, Dinda gak pernah lihat, kok."

"Tenang aja. Ntar lagi juga lihat, kok." Ia tersenyum tipis seraya membuka pintu lemari. "Itu baju kapan mau digantinya?"

"Nanti aja, kalau mau tidur."

Selang beberapa lama, ia menghampiriku seraya tersenyum. Lelaki itu semakin tampan memakai baju koko, kain sarung dan peci.

"Mas Bagas benar-benar seperti suami idaman," gumamku.

"Apa?" sahutnya mengernyitkan dahi.

"Eh, gak apa-apa, Mas." Untung saja Mas Bagas tak mendengar ucapanku. Bisa-bisa ia besar kepala.

"Yaudah, Dinda. Kita Salat Isya dulu," ucapan Mas Bagas terasa sejuk di telinga.

"Iya, Mas." Aku manut dan berjalan ke kamar mandi untuk berwudu.

Setelah selesai salat, aku duduk ditepi ranjang. Tubuh terasa gerah karena memakai pakaian yang super lengkap seharian. Sungguh sangat mengganggu kondisi seperti ini.

"Kapan ganti bajunya? Udah kayak cacing kepanasan aja." Ia duduk di sampingku.

"Mas Bagas ... pinjamin Dinda baju, ya," pintaku selembut mungkin.

"Buat malam ini gak bisa." Ia mendekat dan menatap hingga ke manik mataku.

"Kamu gak perlu merayu. Mas Mau malam ini ... kamu pake baju yang ada di koper."

"Hah? Mas—"

"Apa kamu gak ingat pesan Mama? Mama bilang, Dinda, patuhi suamimu ya, Nak. Jangan pernah membantah!"

Ia mengulang ucapan ala Mama lalu mengukir senyum. Mungkin merasa puas dengan situasi ini. Apa malam ini harus mengikhlaskan tubuhku untuk Mas Bagas?

Mas Bagas memilih baju yang ada di koper dan memberikan ke tanganku. Aku menerima dengan rasa ragu. Aduh! Mama ... Dinda lagi dalam masalah.

Perih

Beruntung ada handuk kimono bekas mandi Mas Bagas di jemuran kecil dekat pintu. Degup jantung ini terus berpacu saat keluar dari kamar mandi. Aku melangkah pelan mendekat. Ia menoleh dan tertegun menatapku.

"Cantik. Sini, ngapain berdiri di situ?" Ia menunjuk tepi ranjang.

Tentu saja karena Mas Bagas bisa melihat surai panjangku yang selalu dirawat setiap minggu ke salon. Alat pemompa darah ini kembali bekerja dengan cepat. Aku pun memenuhi permintaan duduk di sebelahnya. Ia mendekat dan memegang suraiku sembari menghirup helaian demi helaian.

"Wangi."

Udara terasa panas, padahal ada AC terpasang di dinding kamar. Ia meraup wajah dan mengusap pipi dengan kedua ibu jari. Netranya menatapku lembut.

"Dinda ... kalau kamu belum siap, Mas gak akan maksa. Lagian di antara kita gak ada perasaan apa-apa."

Ucapannya menyadarkan diri bahwa pernikahan ini bukan karena cinta. Tak terasa bulir bening bergumul di pelupuk mata dan perlahan jatuh membasahi pipiku. Aku melengos agar ia tidak menyadari situasi yang dialami. Kenapa terasa menyakitkan?

"Dinda ... kamu kenapa?"

Air mata yang ada di pipi dengan cepat kuhapus menggunakan punggung tangan. "Gak apa-apa, Mas."

Senyum ini merekah agar ia tak curiga dengan perubahan sikapku. Ponsel Mas Bagas berdering. Aku beranjak dan mengambil benda pipih yang ada di nakas. Sebuah nama muncul di layar bertuliskan Nisya Beb.

Siapa perempuan itu? Apa mungkin kekasih Mas Bagas yang diceritakan sebelum akad pernikahan? Aku rasa memang benar prasangka ini.

Aku memberikan ponsel itu ke tangan Mas Bagas lalu duduk di sampingnya. Ia terlihat sedikit kaget saat menatap layar. Lelaki itu melirik padaku lalu menekan tombol hijau, kemudian menempelkan di telinga.

"Assalamualaikum." Ia beranjak dan ke luar kamar.

Siapa Nisya Beb? Kenapa malam-malam menelepon Mas Bagas? Oh, apakah ia kekasihnya? Beb, apakah singkatan dari baby?

Tak lama kemudian, Mas Bagas masuk ke kamar. Ia mendekat dan duduk di sampingku. Helaan napas pelan terdengar sebelum lelaki itu menyampaikan sesuatu.

"Dinda ... Mas mau ke luar sebentar."

"Ke luar? Sekarang? Mas mau ke mana?" tanyaku mengerutkan alis.

"Mas ada urusan sebentar." Ia tersenyum tipis.

"Ini udah malam, Mas. Apa besok gak bisa? Dinda takut sendirian di rumah sebesar ini, Mas."

"Mas cuma sebentar, kamu tidur aja dulu." Mas Bagas menggenggam tanganku. Mungkin menghilangkan rasa takutku. "Dinda, kita udah bikin kesepakatan, 'kan? Apa kamu masih ingat?"

"Iya, tenang aja. Dinda ingat, kok."

"Kamu tidur aja duluan. Mas ada kunci serep. Ntar kalau kamu ketiduran, Mas bisa buka sendiri."

"Iya, Mas." Aku manut tak menampik keinginannya.

Mas Bagas beranjak dan pergi meninggalkanku di rumah mewah ini. Baguslah, aku tak perlu menghindar saat ia ada di sini. Aku menghela napas panjang.

Aku mencoba tidur di ranjang. Namun, pikiran berkelana pada lelaki itu. Alhasil aku tak bisa memejamkan netra ini.

Ke mana Mas Bagas? Apa yang sedang dilakukannya? Tega sekali meninggalkanku malam-malam begini.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas, tetapi Mas Bagas belum pulang juga. Aku melangkah ke ruang tengah dan duduk di sofa. Satu jam menunggu, ia belum juga kembali. Apa ini yang dibilangnya sebentar?

Netra ini mulai terasa berat. Sudah berkali-kali menguap karena menahan kantuk. Kurebahkan tubuh di sofa hingga terpejam dan masuk ke alam mimpi.

***

Hangat dan lembut sentuhan terasa di pipi ini. Ada suara seseorang memanggil namaku. Namun, aku masih saja mengantuk.

"Dinda ... bangun, udah Subuh."

Perlahan aku membuka mata dengan mengerjap. Tampak Mas Bagas mengukir senyum di hadapan. Ia memakai baju koko, kain sarung dan peci. Mungkin baru pulang dari masjid. Aku memindai posisi saat ini, rupanya lelaki ini telah membawaku ke kamar.

"Mas, semalam pulang jam berapa?"

"Maafin Mas, tadi malam telat pulang."

Terserah mau pergi sama siapapun. Cuma aku kesal kalau ditinggal sendiri di rumah sebesar ini. Kembali diri teringat dengan kesepakatan itu. Aku beranjak dari ranjang dan melangkah gontai menuju kamar mandi lalu menutup pintu sembari mengembuskan napas kasar. Dada terasa sesak menahan semua ini.

***

Setelah selesai Salat Subuh, aku merapikan dan menggantung kain salat di jemuran kecil berbahan full stainless dekat pintu kamar. Mas Bagas berada di ranjang. Ia sibuk dengan benda pipih yang memiliki pen itu. Aku mengayunkan langkah ke sana.

"Dinda ...."

Aku mengabaikan Mas Bagas. Tangan ini meraih selimut berukuran queen yang ada di ranjang lalu menyamakan setiap ujung-ujung benda yang lembut seperti kulit bayi itu agar menjadi persegi panjang berukuran kecil. Setelah selesai, aku meletakkan di kasur bagian kaki.

Mas Bagas bergeser sedikit ke tengah ranjang saat tanganku merapikan alas kasur di sampingnya. Dari sudut netra ini bisa mengetahui bila ia menatapku. Aku tetap mengabaikan lelaki yang memiliki tatapan elang itu.

"Dinda, kamu masih marah sama Mas?"

Apakah aku pantas marah? Kesepakatan yang dibuat membuat aku kesal sendiri karena tak bisa menumpahkan padanya. Jadi gondok sendiri gara-gara menyetujui keinginan Mas Bagas.

"Lagian marah pun percuma."

Aku berjalan ke dapur menyibukkan diri dengan bahan-bahan masakan. Bisa dibilang menghindari Mas Bagas yang berada di kamar. Tak ingin mencium bau parfum maskulinnya yang menusuk hidung dan membangkitkan emosi yang menumpuk. Namun, aroma itu menjadi favoritku saat ini.

"Dinda ...."

Tiba-tiba Mas Bagas telah berada di belakang, aku terkesiap. Pantas saja perasaan ada hawa panas menjalar di tubuh ini yang meningkatkan kembali tekanan darah. Aku menghela napas panjang.

"Ngapain Mas ke sini? Pergilah ... Dinda lagi bikin sarapan. Mas, tunggu aja di meja makan." Aku mendorongnya supaya menjauh, tetapi ia tidak beranjak dari hadapan.

Pagi ini aku membuat sarapan minasgor alias nasi goreng dengan topping mi, telur mata sapi, timun dan kentang. Tak lupa tomat member warna yang cerah. Semua bahan telah tersedia di refrigerator. Ternyata Mas Bagas memahami bahan makanan yang harus disediakan di sana.

"Maafin, Mas, ya?"

"Untuk apa? Mas gak salah, kok. Pergi sana, dong. Dinda lagi masak. Nanti kalau masakannya gosong, gimana? Gak mungkin Dinda harus masak lagi."

Wajah Mas Bagas tampak kecewa dengan sikap yang kutunjukkan. Ia keluar dari dapur sesuai ucapan yang terlontar dari bibir ini. Aku benar-benar kesal padanya.

Aku membereskan dapur bernuansa putih dengan aksen batu marmer yang telah digunakan untuk memasak. Sekilas senyum terbit di bibir melihat ruang minimalis telah bersih dan rapi. Netra ini terasa nyaman memandangnya.

Bergegas aku melangkah ke meja makan dan menghidangkan dua piring nasi goreng yang telah kubuat. Oh, ia tidak terlihat di sini. Pergi ke mana Mas Bagas?

"Dinda ... tadi ada telepon masuk. Maaf, Mas mengangkatnya."

Aku terperanjat mendengar suara Mas Bagas yang sudah ada di belakang. Ia memberikan ponsel ke tanganku. Terpancar rasa tak senang di wajahnya. Dari tatapan yang dingin mengatakan demikian.

______

Hai ... yeorobun🥰

Jangan lupa support Author dengan subs, like, and coment biar semakin menambah mood booster, ya ... thank's a lot.

gomawoyo🙏

saranghaeyo💖💖💖

Hilma Sakhiy

FB. Saranghaeyo Eonni

IG. Hilma Sakhiy

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!