Beruntung ada handuk kimono bekas mandi Mas Bagas di jemuran kecil dekat pintu. Degup jantung ini terus berpacu saat keluar dari kamar mandi. Aku melangkah pelan mendekat. Ia menoleh dan tertegun menatapku.
"Cantik. Sini, ngapain berdiri di situ?" Ia menunjuk tepi ranjang.
Tentu saja karena Mas Bagas bisa melihat surai panjangku yang selalu dirawat setiap minggu ke salon. Alat pemompa darah ini kembali bekerja dengan cepat. Aku pun memenuhi permintaan duduk di sebelahnya. Ia mendekat dan memegang suraiku sembari menghirup helaian demi helaian.
"Wangi."
Udara terasa panas, padahal ada AC terpasang di dinding kamar. Ia meraup wajah dan mengusap pipi dengan kedua ibu jari. Netranya menatapku lembut.
"Dinda ... kalau kamu belum siap, Mas gak akan maksa. Lagian di antara kita gak ada perasaan apa-apa."
Ucapannya menyadarkan diri bahwa pernikahan ini bukan karena cinta. Tak terasa bulir bening bergumul di pelupuk mata dan perlahan jatuh membasahi pipiku. Aku melengos agar ia tidak menyadari situasi yang dialami. Kenapa terasa menyakitkan?
"Dinda ... kamu kenapa?"
Air mata yang ada di pipi dengan cepat kuhapus menggunakan punggung tangan. "Gak apa-apa, Mas."
Senyum ini merekah agar ia tak curiga dengan perubahan sikapku. Ponsel Mas Bagas berdering. Aku beranjak dan mengambil benda pipih yang ada di nakas. Sebuah nama muncul di layar bertuliskan Nisya Beb.
Siapa perempuan itu? Apa mungkin kekasih Mas Bagas yang diceritakan sebelum akad pernikahan? Aku rasa memang benar prasangka ini.
Aku memberikan ponsel itu ke tangan Mas Bagas lalu duduk di sampingnya. Ia terlihat sedikit kaget saat menatap layar. Lelaki itu melirik padaku lalu menekan tombol hijau, kemudian menempelkan di telinga.
"Assalamualaikum." Ia beranjak dan ke luar kamar.
Siapa Nisya Beb? Kenapa malam-malam menelepon Mas Bagas? Oh, apakah ia kekasihnya? Beb, apakah singkatan dari baby?
Tak lama kemudian, Mas Bagas masuk ke kamar. Ia mendekat dan duduk di sampingku. Helaan napas pelan terdengar sebelum lelaki itu menyampaikan sesuatu.
"Dinda ... Mas mau ke luar sebentar."
"Ke luar? Sekarang? Mas mau ke mana?" tanyaku mengerutkan alis.
"Mas ada urusan sebentar." Ia tersenyum tipis.
"Ini udah malam, Mas. Apa besok gak bisa? Dinda takut sendirian di rumah sebesar ini, Mas."
"Mas cuma sebentar, kamu tidur aja dulu." Mas Bagas menggenggam tanganku. Mungkin menghilangkan rasa takutku. "Dinda, kita udah bikin kesepakatan, 'kan? Apa kamu masih ingat?"
"Iya, tenang aja. Dinda ingat, kok."
"Kamu tidur aja duluan. Mas ada kunci serep. Ntar kalau kamu ketiduran, Mas bisa buka sendiri."
"Iya, Mas." Aku manut tak menampik keinginannya.
Mas Bagas beranjak dan pergi meninggalkanku di rumah mewah ini. Baguslah, aku tak perlu menghindar saat ia ada di sini. Aku menghela napas panjang.
Aku mencoba tidur di ranjang. Namun, pikiran berkelana pada lelaki itu. Alhasil aku tak bisa memejamkan netra ini.
Ke mana Mas Bagas? Apa yang sedang dilakukannya? Tega sekali meninggalkanku malam-malam begini.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas, tetapi Mas Bagas belum pulang juga. Aku melangkah ke ruang tengah dan duduk di sofa. Satu jam menunggu, ia belum juga kembali. Apa ini yang dibilangnya sebentar?
Netra ini mulai terasa berat. Sudah berkali-kali menguap karena menahan kantuk. Kurebahkan tubuh di sofa hingga terpejam dan masuk ke alam mimpi.
***
Hangat dan lembut sentuhan terasa di pipi ini. Ada suara seseorang memanggil namaku. Namun, aku masih saja mengantuk.
"Dinda ... bangun, udah Subuh."
Perlahan aku membuka mata dengan mengerjap. Tampak Mas Bagas mengukir senyum di hadapan. Ia memakai baju koko, kain sarung dan peci. Mungkin baru pulang dari masjid. Aku memindai posisi saat ini, rupanya lelaki ini telah membawaku ke kamar.
"Mas, semalam pulang jam berapa?"
"Maafin Mas, tadi malam telat pulang."
Terserah mau pergi sama siapapun. Cuma aku kesal kalau ditinggal sendiri di rumah sebesar ini. Kembali diri teringat dengan kesepakatan itu. Aku beranjak dari ranjang dan melangkah gontai menuju kamar mandi lalu menutup pintu sembari mengembuskan napas kasar. Dada terasa sesak menahan semua ini.
***
Setelah selesai Salat Subuh, aku merapikan dan menggantung kain salat di jemuran kecil berbahan full stainless dekat pintu kamar. Mas Bagas berada di ranjang. Ia sibuk dengan benda pipih yang memiliki pen itu. Aku mengayunkan langkah ke sana.
"Dinda ...."
Aku mengabaikan Mas Bagas. Tangan ini meraih selimut berukuran queen yang ada di ranjang lalu menyamakan setiap ujung-ujung benda yang lembut seperti kulit bayi itu agar menjadi persegi panjang berukuran kecil. Setelah selesai, aku meletakkan di kasur bagian kaki.
Mas Bagas bergeser sedikit ke tengah ranjang saat tanganku merapikan alas kasur di sampingnya. Dari sudut netra ini bisa mengetahui bila ia menatapku. Aku tetap mengabaikan lelaki yang memiliki tatapan elang itu.
"Dinda, kamu masih marah sama Mas?"
Apakah aku pantas marah? Kesepakatan yang dibuat membuat aku kesal sendiri karena tak bisa menumpahkan padanya. Jadi gondok sendiri gara-gara menyetujui keinginan Mas Bagas.
"Lagian marah pun percuma."
Aku berjalan ke dapur menyibukkan diri dengan bahan-bahan masakan. Bisa dibilang menghindari Mas Bagas yang berada di kamar. Tak ingin mencium bau parfum maskulinnya yang menusuk hidung dan membangkitkan emosi yang menumpuk. Namun, aroma itu menjadi favoritku saat ini.
"Dinda ...."
Tiba-tiba Mas Bagas telah berada di belakang, aku terkesiap. Pantas saja perasaan ada hawa panas menjalar di tubuh ini yang meningkatkan kembali tekanan darah. Aku menghela napas panjang.
"Ngapain Mas ke sini? Pergilah ... Dinda lagi bikin sarapan. Mas, tunggu aja di meja makan." Aku mendorongnya supaya menjauh, tetapi ia tidak beranjak dari hadapan.
Pagi ini aku membuat sarapan minasgor alias nasi goreng dengan topping mi, telur mata sapi, timun dan kentang. Tak lupa tomat member warna yang cerah. Semua bahan telah tersedia di refrigerator. Ternyata Mas Bagas memahami bahan makanan yang harus disediakan di sana.
"Maafin, Mas, ya?"
"Untuk apa? Mas gak salah, kok. Pergi sana, dong. Dinda lagi masak. Nanti kalau masakannya gosong, gimana? Gak mungkin Dinda harus masak lagi."
Wajah Mas Bagas tampak kecewa dengan sikap yang kutunjukkan. Ia keluar dari dapur sesuai ucapan yang terlontar dari bibir ini. Aku benar-benar kesal padanya.
Aku membereskan dapur bernuansa putih dengan aksen batu marmer yang telah digunakan untuk memasak. Sekilas senyum terbit di bibir melihat ruang minimalis telah bersih dan rapi. Netra ini terasa nyaman memandangnya.
Bergegas aku melangkah ke meja makan dan menghidangkan dua piring nasi goreng yang telah kubuat. Oh, ia tidak terlihat di sini. Pergi ke mana Mas Bagas?
"Dinda ... tadi ada telepon masuk. Maaf, Mas mengangkatnya."
Aku terperanjat mendengar suara Mas Bagas yang sudah ada di belakang. Ia memberikan ponsel ke tanganku. Terpancar rasa tak senang di wajahnya. Dari tatapan yang dingin mengatakan demikian.
______
Hai ... yeorobun🥰
Jangan lupa support Author dengan subs, like, and coment biar semakin menambah mood booster, ya ... thank's a lot.
gomawoyo🙏
saranghaeyo💖💖💖
Hilma Sakhiy
FB. Saranghaeyo Eonni
IG. Hilma Sakhiy
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments