Dear Irsyam
...Happy reading...
Ponselku berbunyi. Dengan malas tanganku terulur ke meja yang ada di samping ranjang. Mataku masih terasa berat untuk terbuka, namun tetap kupaksa. Beberapa kali aku mengerjap sampai akhirnya kata “Ibu” tertangkap oleh indra penglihatanku. Yah, panggilan telepon itu dari ibu. Melalui percakapan singkat dia mengatakan akan lembur sehingga agak sedikit terlambat pulang hari ini. Aku yang masih berbaring di ranjang bergegas bangun.
Mataku tertuju pada jam dinding. Pukul empat sore. Aku menghela napas sejenak. Mengingat hariku yang cukup senggang kuputuskan mengisinya dengan mencari udara sore hari di area dekat danau rumah. Danau itu masih sama. Indah dan airnya yang menenangkan. Tak bosan-bosannya aku memandanginya dan memang harus kuakui aku terbawa suasana.
Aku duduk di salah satu bangku yang langsung menghadap ke danau. Kemudian berujar, “aku rasa di dunia ini tidak ada yang peduli padaku.”
Hening
“Sebenarnya ada yang peduli padamu. Hanya saja mereka tidak mengatakannya. Mereka melakukan tindakan untuk menunjukkan sisi kepedulian,” kata seseorang yang entah dari mana asalnya namun saat ini sudah duduk di sebelahku.
Aku menoleh ke sumber suara. Mengamati pemuda asing itu. Pandangan kami beradu dan bisa kurasakan sorot matanya yang tajam. Di balik ketajaman itu ada segudang pertanyaan yang tak bisa kuutarakan.
“Mungkin,” balasku.
Bisa kurasakan atmosfir keheningan mendera kami berdua. Aku kembali memandang danau. Sesekali sepoi angin menerpa rambut dan membelai kulit. Nampaknya di antara aku dan pemuda asing ini sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Terkadang aku bisa nyaman dengan keheningan, namun ada kalanya juga aku bisa merasa tidak nyaman dengannya. Contohnya seperti saat ini. Aku pun mengeluarkan suara sebagai pemecah hening.
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Kau bisa memanggilku Irsyam,” katanya tanpa menoleh. Pandangannya seolah terpaku pada danau.
Aku mencoba menganalisa pemuda bernama Irsyam ini. Dibandingkan denganku yang sedang bergumul dengan segudang masalah, kurasa Irsyam jauh lebih banyak mengalaminya. Sorot matanya, raut wajahnya, bahkan caranya bersikap, seolah ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya.
Apa ini hanya perasaanku saja?
“Umm... mungkin jika kau ingin berbagi cerita, aku bisa mendengarkannya dengan senang hati,” tawarku padanya.
Dia menatapku lekat lalu membuka suara, “ternyata dunia sekejam ini, ya? Sampai-sampai tidak mengizinkanku untuk tersenyum.”
“Mengapa begitu?” responku refleks.
“Kenyataannya adalah masalah selalu datang menimpaku. Masalah tidak membiarkanku istirahat dengan tenang. Aku tahu, setiap orang pasti punya masalah tapi rasanya.... sial! Seharusnya Aku tidak menceritakan ini padamu.”
“Tak apa. Aku paham. Dunia memang kejam. Aku pernah dengar pernyataan yang berbunyi, ‘tak selamanya yang bahagia akan terus bahagia dan yang sedih tak akan terus sedih. Roda kehidupan itu selalu berputar.’ Aku yakin kau pasti sudah melakukan yang terbaik. Selebihnya terserah takdir, bukan?”
“Ya, aku tahu. Tapi kapan?”
Aku tersenyum sejenak menatap Irsyam. “Suatu hari nanti semuanya akan terbayarkan. Apa yang kau doakan dan yang kau usahakan, kau akan meraihnya. Aku hanya bisa berujar... sabar.”
Irsyam bungkam. Entah apa yang ada di benaknya setelah mendengar penuturanku. Ada rasa takut jika kata-kataku menyinggung batinnya. Sedetik kemudian kudengar celetuk Irsyam.
“Terima kasih atas nasehatnya. Baru kali ini aku bisa bercerita tentang hidupku pada orang lain. Anehnya orang lain itu baru beberapa jam kutemui.” Irsyam diam sejenak, lantas membuka suara lagi, “luar biasa”.
Aku terkekeh kecil mendengar ucapannya.
“Sampai lupa! Ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Kamu bisa panggil Aku Dewi”
“Nama yang indah.”
Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 05.00 sore. Aku bangkit dari duduk.
“Well... aku balik ya, senang bertemu denganmu. Kuharap kita bisa bertemu lagi esok hari.”
“Ah, iya. Aku juga senang bertemu denganmu. Aku juga ingin balik. Mau Aku antar?” tawarnya
“Nggak usah, rumahku area sini kok.”
“Yaudah, kalo gitu sampai ketemu lagi.”
“Dahh.” Ucapku tersenyum lalu melangkahkan pergi
Irsyam pun mengulas senyum.
Sesampainya di rumah aku pergi ke kamar mengambil handuk dan bergegas membersihkan tubuh. Lima belas menit kemudian aku telah menyelesaikan ritual mandiku.
Aku merebahkan tubuhku ke kasur dan entah mengapa hari ini rasanya aku ingin sekali menuliskan sesuatu di buku diary.
Aku bangun dari posisi telentang lalu mengambil buku diary dan pena yang ada di meja belajar. Sejenak aku berpikir. Kemudian tangan ini perlahan menuliskan bait demi bait kalimat.
Dear diary,
Saat aku sendirian di danau tadi aku bertemu dengan seseorang yang... ya lumayan bisa kusebut tampan. Dia memiliki tatapan mata yang teduh. Namanya Irsyam. Beberapa patah kata yang sempat kami lontarkan, bisa kurasakan kalau Irsyam sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Terlepas dari spekulasiku yang tak berdasar, perasaanku mengatakan kalau Irsyam adalah pemuda yang baik. Tentu saja Irsyam memiliki daya tarik tersendiri. Aku berharap pertemuan yang tidak terduga tadi bisa kembali terulang di lain waktu. Bedanya pertemuan-pertemuan selanjutnya merupakan pertemuan yang, direncanakan.
Aku nyaris tak percaya menuliskan Irsyam dalam diaryku. Kini jam dinding menunjukkan pukul 06.00 sore. Ibu masih lama di kantor dan seperti biasa keheningan menjadi teman terbaikku. Aku mendekati rak buku. Di sana sudah berjajar rapi berbagai jenis buku kebanyakan novel dengan berbagai genre. Aku meraih salah satu novel horor. Melanjutkan membacanya sembari menunggu kepulangan ibu dan ayah dari kantor.
Tidak tahu pasti pukul berapa ibu datang. Yang jelas tepat aku menamatkan novel horror yang kubaca, terdengar bunyi bel rumah terdengar. Aku pun beranjak.
“Dewi... maafkan Ibu ya, Nak. Ibu pulang terlambat.”
“Tidak perlu minta maaf, Bu. Hampir setiap hari Ibu selalu pulang terlambat kan? Sudah kuanggap sebagai rutinitas,” ucapku dengan nada sedikit ketus.
Ibu menangkupkan telapak tangannya di pipiku, “Jangan begitu, Nak. Oh ya, kamu pasti akan menyukai sesuatu yang Ibu bawa.”
“Memangnya Ibu membawa apa?”
“Martabak manis kesukaanmu, nih!”
Aku membelalakan mata. Seulas senyum tercetak di bibirku. “Benarkah?!”
Ibu mengangguk mantap. “Tentu saja.”
“Wah, kalau gitu ayo kita makan bareng. Dewi udah laper banget, nih!”
“Ayo, Ibu bersih-bersih sebentar, ya!” kata ibu sambil berjalan menuju kamar.
"Kalau kamu mau makan, makan duluan aja nggak papa sayang. Ajak Tino sekalian.”
“Tino... waktunya makan malam!!!” teriakku berharap si Tino mendengarnya. Sekadar informasi, aku mempunyai satu adik laki-laki bernama Tino. Namun, aku dan dia sangat jauh berbeda dari banyak aspek. Mulai dari rentang umur yang lumayan jauh, karakter, hobi, dan banyak hal pokoknya.
“Kakak bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak?!” dumel Tino sampai pipinya yang chubby bergoyang-goyang.
“Hehehe... ayo, bantuin Kakak nyiapin makan malam.”
“Hmmm...” Tino hanya berdeham malas.
Sembari menunggu ibu bersih-bersih, aku menyiapkan peralatan makan bersama Tino. Beberapa menit kemudian suara bel terdengar menampakan ayah yang telah pulang dari kantornya.
“Malam semua, maaf Ayah pulang telat hari ini,” ucapnya sambil tersenyum berusaha menutupi rasa lelahnya.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Nggak papa Yah, yuk makan dulu!” ucap ibu.
Aku, ibu, ayah dan Tino sibuk dengan porsi makan masing-masing. Sebagai penutup acara makan malam, kami menikmati martabak manis yang dibeli ibu.
#Ini pertama kalinya aku nulis cerita. Semoga kalian suka dan ikutin terus jejak Dear Irsyam sampai ending nanti. Tetep stayy terus ya.
...Jangan lupa vote dan juga follow author....
...tetap stay disini ya, dan tungguin Dear Irsyamm update nantinyaa....
...see you next part guyss...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Erni Kusumawati
hebat kk pertama kali tp susunan tanda baca, kalimat dan kata2 yg dipergunakan sdh baik...
Semangat kk
2024-08-27
0
Elwi Chloe
hai
like dan masuk favorit ya
semangat
2022-02-11
1
Ulfa Zahra
Hay kak aku mampir di karya mu.
tatap semangat berkarya. jangan lupa mampir di karya ku.
2022-02-04
0