NovelToon NovelToon

Dear Irsyam

Pertemuaan pertama

...Happy reading...

Ponselku berbunyi. Dengan malas tanganku terulur ke meja yang ada di samping ranjang. Mataku masih terasa berat untuk terbuka, namun tetap kupaksa. Beberapa kali aku mengerjap sampai akhirnya kata “Ibu” tertangkap oleh indra penglihatanku. Yah, panggilan telepon itu dari ibu. Melalui percakapan singkat dia mengatakan akan lembur sehingga agak sedikit terlambat pulang hari ini. Aku yang masih berbaring di ranjang bergegas bangun.

Mataku tertuju pada jam dinding. Pukul empat sore. Aku menghela napas sejenak. Mengingat hariku yang cukup senggang kuputuskan mengisinya dengan mencari udara sore hari di area dekat danau rumah. Danau itu masih sama. Indah dan airnya yang menenangkan. Tak bosan-bosannya aku memandanginya dan memang harus kuakui aku terbawa suasana.

Aku duduk di salah satu bangku yang langsung menghadap ke danau. Kemudian berujar, “aku rasa di dunia ini tidak ada yang peduli padaku.”

Hening

“Sebenarnya ada yang peduli padamu. Hanya saja mereka tidak mengatakannya. Mereka melakukan tindakan untuk menunjukkan sisi kepedulian,” kata seseorang yang entah dari mana asalnya namun saat ini sudah duduk di sebelahku.

Aku menoleh ke sumber suara. Mengamati pemuda asing itu. Pandangan kami beradu dan bisa kurasakan sorot matanya yang tajam. Di balik ketajaman itu ada segudang pertanyaan yang tak bisa kuutarakan.

“Mungkin,” balasku.

Bisa kurasakan atmosfir keheningan mendera kami berdua. Aku kembali memandang danau. Sesekali sepoi angin menerpa rambut dan membelai kulit. Nampaknya di antara aku dan pemuda asing ini sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Terkadang aku bisa nyaman dengan keheningan, namun ada kalanya juga aku bisa merasa tidak nyaman dengannya. Contohnya seperti saat ini. Aku pun mengeluarkan suara sebagai pemecah hening.

“Siapa namamu?” tanyaku.

“Kau bisa memanggilku Irsyam,” katanya tanpa menoleh. Pandangannya seolah terpaku pada danau.

Aku mencoba menganalisa pemuda bernama Irsyam ini. Dibandingkan denganku yang sedang bergumul dengan segudang masalah, kurasa Irsyam jauh lebih banyak mengalaminya. Sorot matanya, raut wajahnya, bahkan caranya bersikap, seolah ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya.

Apa ini hanya perasaanku saja?

“Umm... mungkin jika kau ingin berbagi cerita, aku bisa mendengarkannya dengan senang hati,” tawarku padanya.

Dia menatapku lekat lalu membuka suara, “ternyata dunia sekejam ini, ya? Sampai-sampai tidak mengizinkanku untuk tersenyum.”

“Mengapa begitu?” responku refleks.

“Kenyataannya adalah masalah selalu datang menimpaku. Masalah tidak membiarkanku istirahat dengan tenang. Aku tahu, setiap orang pasti punya masalah tapi rasanya.... sial! Seharusnya Aku tidak menceritakan ini padamu.”

“Tak apa. Aku paham. Dunia memang kejam. Aku pernah dengar pernyataan yang berbunyi, ‘tak selamanya yang bahagia akan terus bahagia dan yang sedih tak akan terus sedih. Roda kehidupan itu selalu berputar.’ Aku yakin kau pasti sudah melakukan yang terbaik. Selebihnya terserah takdir, bukan?”

“Ya, aku tahu. Tapi kapan?”

Aku tersenyum sejenak menatap Irsyam. “Suatu hari nanti semuanya akan terbayarkan. Apa yang kau doakan dan yang kau usahakan, kau akan meraihnya. Aku hanya bisa berujar... sabar.”

Irsyam bungkam. Entah apa yang ada di benaknya setelah mendengar penuturanku. Ada rasa takut jika kata-kataku menyinggung batinnya. Sedetik kemudian kudengar celetuk Irsyam.

“Terima kasih atas nasehatnya. Baru kali ini aku bisa bercerita tentang hidupku pada orang lain. Anehnya orang lain itu baru beberapa jam kutemui.” Irsyam diam sejenak, lantas membuka suara lagi, “luar biasa”.

Aku terkekeh kecil mendengar ucapannya.

“Sampai lupa! Ngomong-ngomong siapa namamu?”

“Kamu bisa panggil Aku Dewi”

“Nama yang indah.”

Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 05.00 sore. Aku bangkit dari duduk.

“Well... aku balik ya, senang bertemu denganmu. Kuharap kita bisa bertemu lagi esok hari.”

“Ah, iya. Aku juga senang bertemu denganmu. Aku juga ingin balik. Mau Aku antar?” tawarnya

“Nggak usah, rumahku area sini kok.”

“Yaudah, kalo gitu sampai ketemu lagi.”

“Dahh.” Ucapku tersenyum lalu melangkahkan pergi

Irsyam pun mengulas senyum.

Sesampainya di rumah aku pergi ke kamar mengambil handuk dan bergegas membersihkan tubuh. Lima belas menit kemudian aku telah menyelesaikan ritual mandiku.

Aku merebahkan tubuhku ke kasur dan entah mengapa hari ini rasanya aku ingin sekali menuliskan sesuatu di buku diary.

Aku bangun dari posisi telentang lalu mengambil buku diary dan pena yang ada di meja belajar. Sejenak aku berpikir. Kemudian tangan ini perlahan menuliskan bait demi bait kalimat.

Dear diary,

Saat aku sendirian di danau tadi aku bertemu dengan seseorang yang... ya lumayan bisa kusebut tampan. Dia memiliki tatapan mata yang teduh. Namanya Irsyam. Beberapa patah kata yang sempat kami lontarkan, bisa kurasakan kalau Irsyam sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Terlepas dari spekulasiku yang tak berdasar, perasaanku mengatakan kalau Irsyam adalah pemuda yang baik. Tentu saja Irsyam memiliki daya tarik tersendiri. Aku berharap pertemuan yang tidak terduga tadi bisa kembali terulang di lain waktu. Bedanya pertemuan-pertemuan selanjutnya merupakan pertemuan yang, direncanakan.

Aku nyaris tak percaya menuliskan Irsyam dalam diaryku. Kini jam dinding menunjukkan pukul 06.00 sore. Ibu masih lama di kantor dan seperti biasa keheningan menjadi teman terbaikku. Aku mendekati rak buku. Di sana sudah berjajar rapi berbagai jenis buku kebanyakan novel dengan berbagai genre. Aku meraih salah satu novel horor. Melanjutkan membacanya sembari menunggu kepulangan ibu dan ayah dari kantor.

Tidak tahu pasti pukul berapa ibu datang. Yang jelas tepat aku menamatkan novel horror yang kubaca, terdengar bunyi bel rumah terdengar. Aku pun beranjak.

“Dewi... maafkan Ibu ya, Nak. Ibu pulang terlambat.”

“Tidak perlu minta maaf, Bu. Hampir setiap hari Ibu selalu pulang terlambat kan? Sudah kuanggap sebagai rutinitas,” ucapku dengan nada sedikit ketus.

Ibu menangkupkan telapak tangannya di pipiku, “Jangan begitu, Nak. Oh ya, kamu pasti akan menyukai sesuatu yang Ibu bawa.”

“Memangnya Ibu membawa apa?”

“Martabak manis kesukaanmu, nih!”

Aku membelalakan mata. Seulas senyum tercetak di bibirku. “Benarkah?!”

Ibu mengangguk mantap. “Tentu saja.”

“Wah, kalau gitu ayo kita makan bareng. Dewi udah laper banget, nih!”

“Ayo, Ibu bersih-bersih sebentar, ya!” kata ibu sambil berjalan menuju kamar.

"Kalau kamu mau makan, makan duluan aja nggak papa sayang. Ajak Tino sekalian.”

“Tino... waktunya makan malam!!!” teriakku berharap si Tino mendengarnya. Sekadar informasi, aku mempunyai satu adik laki-laki bernama Tino. Namun, aku dan dia sangat jauh berbeda dari banyak aspek. Mulai dari rentang umur yang lumayan jauh, karakter, hobi, dan banyak hal pokoknya.

“Kakak bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak?!” dumel Tino sampai pipinya yang chubby bergoyang-goyang.

“Hehehe... ayo, bantuin Kakak nyiapin makan malam.”

“Hmmm...” Tino hanya berdeham malas.

Sembari menunggu ibu bersih-bersih, aku menyiapkan peralatan makan bersama Tino. Beberapa menit kemudian suara bel terdengar menampakan ayah yang telah pulang dari kantornya.

“Malam semua, maaf Ayah pulang telat hari ini,” ucapnya sambil tersenyum berusaha menutupi rasa lelahnya.

Aku hanya tersenyum menanggapinya.

“Nggak papa Yah, yuk makan dulu!” ucap ibu.

Aku, ibu, ayah dan Tino sibuk dengan porsi makan masing-masing. Sebagai penutup acara makan malam, kami menikmati martabak manis yang dibeli ibu.

#Ini pertama kalinya aku nulis cerita. Semoga kalian suka dan ikutin terus jejak Dear Irsyam sampai ending nanti. Tetep stayy terus ya.

...Jangan lupa vote dan juga follow author....

...tetap stay disini ya, dan tungguin Dear Irsyamm update nantinyaa....

...see you next part guyss...

Tetangga baru

...Happy reading...

Keesokan paginya aku bangun agak sedikit terlambat pukul 06.00. Selepas menjalankan ritual pagi seperti biasanya, aku keluar dari kamar menuju lantai bawah dan kudapati ibu yang sedang memasak.

“Aku bantu ya, Bu.”

”Eh, Dewi udah bangun.”

Aku tersenyum sembari mengamati bahan-bahan masakan ibu lalu membuka suara, “tumben Ibu masak sebanyak ini?”

“Iya, Ibu sengaja masak banyak untuk tetangga baru kita.”

“Oh.” Ucapku lalu mengangguk-anggukan kepala

Kami melanjutkan aktivitas menyiapkan sarapan. Terkadang memecah suasana dengan bertukar cerita hingga tak terasa makanan pun sudah siap untuk disajikan.

“Selamat pagi dua perempuan hebatku,” sapa ayahku.

Aku dan ibu menjawab serempak, “Pagi Ayah ganteng.” Sedetik kemudian gelak tawa pun membahana memenuhi area dapur.

“Ayo, kita sarapan! Oh ya, panggil adekmu sana, Kak.”

Aku pun mengangguk dan pergi menuju kamar Tino.

Tokkk tokkk tokkk....

Kubuka pintu kamar Tino yang ternyata tidak dikunci.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, pemandangan kamar adik satuku ini benar-benar menguji kesabaran. Bagaimana tidak, kamar yang seharusnya identik dengan suasana nyaman dan menenangkan namun hal ini tidak berlaku bagi kamar Tino. Mirip kapal pecah alias semua berantakan. Mainan berserakan, sisa camilan di atas meja belajar, dan bahkan baju kotor tergeletak di lantai.

Aku paham usia Tino masih 5 tahun. Ditambah lagi kedua orangtua kami nyaris tidak selalu di rumah. Secara kuantitas Tino memang kurang mendapat perhatian dari orangtua. Mungkin karena itu, dia sering kali merasa bodo amat dan seenak jidatnya. Yah, aku harus bisa memakluminya.

Aku mengamati wajah adikku yang masih terlelap. Ada perasaan tidak tega jika harus memarahinya.

“Dek... bangun, yuk! Kita sarapan bareng. Ibu udah masak loh.”

“Enghh...” lenguh Tino merasa terusik.

“Ayo, sarapan! Keburu ayah berangkat kerja.”

“Hmmm...” Tino mulai membuka mata sambil menggeliat. “Tunggu kalau gitu. Aku gosok gigi sama cuci muka dulu. Ayah jangan berangkat dulu!”

Aku mengangguk. Ide jahil pun terlintas di pikiranku.

“Ibu... Ayah... kata Tino kalian duluan aja.”

“Kakakkk!!!” teriak Tino dari dalam kamar mandi.

Aku pun tak kuasa menaha tawa. Dengan gerakan tergesa-gesa Tino keluar kamar mandi dan ups dia melihatku tertawa.

“Dasar nyebelin!!!”

Tawaku semakin menjadi-jadi dan kulihat wajah Tino memerah.

“Udah yuk kita ke bawah, nanti keburu ayah berangkat kerja.”

Tino berjalan cepat menuruni anak tangga. Setengah berlari menuju dapur.

“Selamat pagi semuaaaaaa...!!!” teriak Tino.

“Selamat pagi gantengnya Ibu. Lain kali nggak boleh teriak-teriak, ya.”

“Hehehe maaf, Bu.” Tino beralih pandang kepada ayah lalu berujar, “Ayah, Tino mau mainan robot baru.”

“Bukannya minggu lalu Ayah udah beliin mainan, ya?” tanya ayah.

“Tino mau yang baru, Yah! Soalnya...,”

“Sayang... selagi mainannya masih bagus dan bisa digunakan, dipakai dulu, ya!” tutur ibu dengan nada tegas namun tetap lembut.

Tino hanya memanyunkan bibir.

“Udah-udah makan dulu yuk! Keburu dingin nanti,” Aku mencoba mencairkan suasana.

Kami pun akhirnya makan dan tak ada suara selain dentingan sendok.

“Ayah berangkat kerja dulu ya, semua.”

“Iya Yah, hati-hati di jalan. Nanti kalau udah sampai kabarin,” ucap ibu sambil mencium tangan ayahku. Kemudian disusul aku dan Tino.

“Jagoan Ayah ngambek nih ceritanya,” ledek ayah pada Tino.

Tino hanya bergeming.

“Yaudah... nanti Ayah beliin mainan robot baru buat Tino.”

“Ayah, nggak perlu beli mainan baru. Mainan Tino masih banyak yang bagus,” interupsi ibu.

“Gimana kalau nanti kita beli ice cream aja”

“Tino mau beli es cim lima!”

“Lima?” mataku melotot “Umm... yaudah ga papa. Kita beli lima ice cream.”

“Horeee!!!!” teriak Tino kegirangan.

“Kalau gitu Ayah berangkat ke kantor dulu, ya. Dewi, uang jajan kamu udah ayah transfer. Gunain sebaiknya, jangan boros ya!”

“Siap Ayah. Makasih.”

“Ayah berangkat dulu, daa semua.”

“Dahh,” jawab kami serempak.

Tino langsung nyeluyur ke depan.

Mengamati ayah yang akan pergi ke kantor.

“Kakak, tolong kamu antar makanan ini buat tetangga baru kita, ya. Bilang aja untuk silahturahmi. Ibu harus siap-siap ke kantor. Satu lagi, jaga adik ya.”

Aku mengangguk. “Oke Bu. Hati-hati di jalan. Nanti kabarin Dewi kalau Ibu udah sampai kantor.”

“Pasti sayang.”

Aku pun menyalami tangan ibu dan pamit untuk mengantar makanan.

...⌂⌂⌂...

“Kayaknya bener ini deh rumahnya. Soalnya banyak orang yang lagi sibuk nata barang,” gumamku sambil berjalan masuk ke halaman rumahnya.

“Permisi.”

“Ada apa ya, Nak?” jawab seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan ibu.

“Ini Tante, ada titipan dari ibu saya untuk menjalin silahturahmi,” ucapku sambil memberikan rantang berisi makanan.

“Wah, terima kasih ya! Lain kali gausah repot-repot. Tante jadi nggak enak.”

“Gapapa Tante. Sama sekali nggak repot.”

“Oh iya, maaf ya, Tante lupa nggak mempersilahkan kamu duduk. Di sini lagi sibuk.”

“Gapapa Tante, saya paham. Kalau gitu saya pamit ya, Tante. Adik saya kebetulan di rumah sendirian.”

“Ah, yasudah kalau begitu. Sekali lagi terima kasih ya, Nak. Sampaikan juga pada ibumu.”

“Iya, sama-sama Tante.”

...⌂⌂⌂...

...Jangan lupa vote dan juga follow author....

...tetap stay disini ya, dan tungguin Dear Irsyamm update nantinyaa....

...see you next part guyss...

Bertemu kembali

...Happy reading...

Irsyam’s POV

“Dari siapa, Mah?” tanyaku ketika melihat mamah membawa rantang makanan.

“Oh, ini tadi ada tetangga komplek kita ke sini. Ngasih makanan nih.”

“Namanya siapa?”

“Umm... siapa ya namanya tadi? Mamah lupa tadi nggak nanya namanya.”

“Ck, kebiasaan.”

“Iya, nih. Mamah sering lupa nanyain soal nama!” ucap mamah sambil menepuk jidat dan terkekeh kecil.

...⌂⌂⌂...

Dewi’s POV

“Kakak pulang” ucapku ketika masuk ke dalam rumah. Tak mendapat jawaban apa pun aku memutuskan untuk ke kamar Tino.

“Dek?”

“Apa?”

“Gapapa, cuma manggil.”

“Kak, bosen. Ke danau yuk! Sekalian beli lima es cim.”

“Es cim... es cim... ice cream sayang. Hahaha,” ucapku terkekeh.

“Huh! Ayo, cepet Kak!”

“Males, ah....” tolakku sambil merebahkan tubuh ke kasur.

“Ayoooo, Kakkkk!!!” ajaknya sambil setengah berteriak di telingaku. “Kak!!! Kakakk!!! Ayo, ihh!!!” teriak Tino semakin menjadi-jadi.

“Isshh... iya-iya.” Mendengar jawaban ‘iya’ dariku, Tino pun mengembangkan senyumnya. Aku yang gemas pun mencupit pipinya.

“Kakak.... sakit ihh!!!”

Aku pun tertawa dibuatnya.

“Iya maaf, yaudah yuk kita ke danau.”

“lesss go, am koming.”

“Hu salah.”

“Biar, wlekkk!!!”

“Bentar Dek, Kakak ambil hp dulu.”

“Cepetan tapi Kak!!!”

Aku pun bergegas ke kamar mengambil ponsel. Aku dan Tino bertemu kembali di ruang tengah. Kemudian langsung menuju danau. Tempat ternyaman untuk berkeluh-kesah. Setidaknya menurutku.

“Ayo!!!” aku menggandeng tangan adekku dan tak lupa kukunci pintu rumah.

Dua puluh menit kemudian kami –aku dan tino- sampai di danau.

“Wah... bagus banget danaunya. Kak, jangan lupa beliin es cim ya!.”

“Iya, sebentar.” Aku membuka ponsel. Kulihat ada dua pesan masuk dari ibu dan ayah. Mereka memberi kabar kalau keduanya sudah sampai di kantor dengan selamat. Aku lantas membalas pesan keduanya lalu memasukkan ponselku kembali ke dalam saku celana.

“Tino?” Aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan adikku. Kemana si Tino pergi? “Dek? Kemana sih? Jangan ngumpet! Ayo, keluar!”

Merasa tak ada jawaban aku pun mulai panik. Aku mencari Tino kesana kemari sambil memanggil namanya. Aku sudah mencarinya hampir dua puluh menit tapi masih belum menemukannya.

“Ya Tuhan Tino kemana,” gumamku sambil sedikit berkaca kaca.

Saat aku ingin melangkahkan kaki ada suara yang menghentikan langkahku.

“Kakakkk!!!” panggil seorang anak kecil, aku pun langsung menoleh ke sumber suara dan menghampirinya. Itu Tino.

Aku merendahkan tubuh mensejajari Tino kemudian bertanya, “Dek, kamu kemana aja sih? Kakak dari tadi nyariin kamu, loh. Ini juga kok bawa ice cream? Siapa yang beliin?” tanyaku pada Tino.

“Tadi aku jalan-jalan buat nyari es cim. Aku lupa kalo aku pergi sendiri terus aku tadi nangis nyariin Kakak ga ketemu. Eh, Tino akhirnya ketemu kakak baik,” jawabnya sambil memakan ice cream.

“Kakak baik? Jadi, kakak baik yang beliin Tino ice cream?” tanyaku sambil mengernyitkan alis.

“Iya. Itu orangnya!” tunjuk Tino pada seseorang yang berada di sampingnya. Karena begitu panik aku sampai tidak menyadari jika ada seseorang di samping Tino. Aku pun mendongakkan kepalaku ke atas.

“Loh? Irsyam kan?” aku pun terkejut dibuatnya.

“He’em.” Ucapnya santai

“Ummm... makasih ya, Sam. Kamu udah mau nganterin adik aku beli ice cream. Ngomong-ngomong tadi habis berapa? Biar aku ganti.”

“Sama-sama. Gausah diganti. Santai aja.”

“Tapi..”

“Ga ada tapi-tapian!” tolaknya cepat

“Ummm... yaudah deh. Makasih banyak, ya. Tino, kamu udah bilang makasih belum sama kakaknya?” tanyaku pada Tino.

“Makasih kakak baik!” seru Tino.

“Sama-sama ganteng!”

Ingin rasanya aku mencubit pipi adikku ini. Bisa-bisanya dia santai memakan ice cream sedangkan kakaknya hampir menangis. Huft menyebalkan.

“Dewi,” pangil Irsyam.

“Iya?”

“Boleh minta nomer WA?”

“Buat?”

“Biar lebih akrab aja, sih.” Irsyam menyodorkan ponselnya padaku.

“Eee... iya.” Aku pun mengetik dua belas digit nomor WhatsApp. “Nih!” kataku sembari menyodorkan ponsel miliknya.

“Makasih.”

“Sama-sama.”

“Cie-cie... pacaran...” suara Tino langsung memecah keheningan dan sedetik kemudian aku dibuat salting karenanya.

“Heh, anak kecil tahu apa soal pacaran. Kakak sama Kak Irsyam itu berteman.”

“Aku pernah lihat kakak pegang hp sambil senyum-senyum. Aku tanya sama ibu. Terus ibu bilang itu pacaran. Berarti kakak sama kakak baik ini pacaran kan?” ungkapnya dengan nada penuh kepolosan.

“Hahaha... iya, kita pacaran.” Celetuk Irsyam tak kalah nyeleneh

“Heh, enggak!” sanggahku cepat.

“Enggak salah,” balas Irsyam dibarengi dengan ulasan senyum yang memamerkan deretan giginya yang rapi. Aku yang mendapat jawaban seperti itu entah mengapa jantungku berdegub sangat kencang.

“Tuh kan kalian pacaran. Cie... cie... suwiwit banget sih.”

“Suwiwit?” Aku dan irsyam pun mengernyitkan alis tak mengerti

“Iya, kalo orang pacaran kan suwiwit,”

Tiba tiba Irsyam tertawa.

“Oalah... so sweet.” mendengar jawaban Irsyam pun aku membulatkan mata. Bisa-bisanya anak kecil ini tahu istilah pacaran dan so sweet.

Tino pun hanya nyengir kuda.

“Duduk sana aja, yuk! Biar enak ngobrolnya.” Irsyam mengajakku dan Tino duduk di bangku yang cukup lebar di bawah pohon rindang.

Percakapan kemudian berlanjut meski suasana seolah menjadi canggung. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membuka suara.

“Udah siang nih, pulang yuk!” ajakku.

“Eh iya... ga kerasa udah siang,” balas Irsyam.

“Yuk, Dek!” ajakku pada Toni. Merasa tak ada jawaban aku melihat ke arahnya. “Lah ternyata tidur dari tadi. Bangungin, nggak ya?”

“Jangan! Biarin tidur aja. Kasihan. Biar aku aja yang gendong,” ucap Irsyam.

“Eh, tapii...”

“Gapapa Dewi.” Irsyam pun lantas menggendong Tino dengan hati-hati.

Akhirnya kami pun memutuskan pulang dengan Tino yang digendong Irsyam. Sepanjang perjalanan pun kami dilihat banyak orang hingga aku merasa risih.

“Romantisnya... pasangan suami istri ini,” tegur ibu-ibu komplek yang kebetulan adalah tetanggaku.

“Eh... bukan Bu.”

“Anak muda sekarang ya, masih malu-malu.”

“Maaf Bu ini teman saya,” balasku sopan padahal aslinya aku sudah sebal sekali.

“Ehh, Nak Dewi yang tinggal di komplek sebelah to? Ya ampun Ibu ngga ngeh! Dan itu... oh si Tino kecil!” katanya sambil tertawa dan menepuk jidat.

“Yaudah kami permisi dulu, Bu.” Irsyam buka suara.

Lima belas menit kemudian kami sampai di rumah. Aku pun mengernyitkan dahiku ketika pintu sudah terbuka.

“Ehm... kamar Tino ada di atas Sam.”

Aku dan Irsyam pun menaiki anak tangga menuju kamar Tino. Setelah Tino sudah berbaring di kasurnya, aku dan Irsyam kembali ke lantai bawah.

“Orangtua kamu kemana?”

“Masih kerja.”

“Tinggal berempat aja jadinya?”

Aku mengangguk.

“Nggak ada niat buat merekrut asisten rumah tangga?”

“Nggak. Kata ibu, selama urusan rumah bisa di-handle¬ nggak perlu asisten rumah tangga.”

“Ohhh...”

“Oh ya, mau minum apa Sam?” tanyaku pada Irsyam.

“Nggak usah Dewi. Aku langsung balik aja.”

“Oke kalau gitu. Makasih ya, sekali lagi.”

“Sama-sama.”

Irsyam pun berlalu. Aku hanya bisa mengamatinya sampai lenyap di belokkan.

...⌂⌂⌂...

...Jangan lupa vote dan juga follow author....

...tetap stay disini ya, dan tungguin Dear Irsyamm update nantinyaa....

...see you next part guyss...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!