Bidadari Tanpa Surga
Perempuan unik
Joseph
Genap satu bulan sudah, aku berada di Indonesia, tempat kelahiranku, yang entah mengapa begitu asing bagiku. Yah, mungkin karena aku lebih lama tinggal di Amerika bersama kakekku. Ah, andai saja, kakek tidak meninggalkan aku secepat ini, mungkin aku masih akan tinggal di negeri paman Sam itu, dan tidak perlu menuruti ide konyol mama untuk tinggal di sini.
Lihatlah bagaimana diriku di tempat baru ini, bahkan dengan mamaku sendiri aku lerasa asing. Dia begitu sibuk dengan bisnisnya. Bahkan, untuk makan satu meja di pagi haripun kami tak sempat. Mama berangkat kerja sebelum aku bangun dan kembali pulang nanti saat aku sudah larut dalam mimpi di malam hari.
Kali ini pun masih sama, aku duduk di kursi ruang makan. Menatap piringku sendiri, meski makanan kesukaanku sudah tersaji di atas meja, rasanya aku malas sekali menyantapnya.
"ada apa, mister? Kurang suka dengan menunya? "
Perempuan ini, dia selalu memanggilku mister, padahal sudah kujelaskan, aku lebih suka dipanggil Joseph. Itu namaku. Tapi dasar perempuan berbaju lebar yang selalu aneh. Kemanamana selalu mengenakan penutup kepala, mama menyebutnya kerudung, ah, entah apa istilah populernya, bukan urusanku.
"masakanmu terlalu sayang kalau di makan sendirian. Sini, temani aku makan! " perempuan itu nampak terkejut mendengar perintahku.
" maaf, mister, tidak bisa. " Sebenarnya aku sudah menduga dia akan menolak.
" kenapa tidak bisa? Aku tidak keberatan kau makan bersamaku meskipun kau hanya seorang pembantu. Aku tahu kau belum makan. "
Aku mulai mengisi piring dengan nasi, lalu menambahkan sayur sop dan ayam goreng di atasnya. Masakan sederhana ini, berhasil memikatku setiap kali aku di Indonesia.
" hm, maaf, mister. Tapi mister bukan mahromku, jadi aku tidak bisa makan satu meja dengan Mister. Sudah, Mister makan saja, aku akan menyelesaikan pekerjaan di dapur. "
Perempuan aneh! Aku tidak tahu apa itu mahrom, dan alasannya mengapa tak mau ku ajak makan bersama. Apa dia pikir aku akan tertarik dengan dia yang hanya seorang pembantu unik berbaju lebar dan berkerudung panjang. Jika tak mau makan bersamaku, biar kunikmati sendiri saja makanan ini. Tapi sikapnya yang aneh itu cukup membuatku tersinggung. Selama ini, para wanita yang berusaha keras untuk sekedar minum di bar bersamaku. Tapi perempuan ini, selalu tampak menghindariku, putra tunggal majikannya.
"lagi ngapain kamu,?" suaraku mengagetkan perempuan itu. Cepat - cepat dia menghapus sesuatu di pipinya. Oh, apa mungkin dia nangis lagi? Perempuan yang selalu menundukkan kepala saat berbicara dengan ku ini memang sering menangis. Meskipun dia berusaha menyembunyikan, tapi aku bisa memperhatikan gerak geriknya selama ini. Kadang dia menangis saat mencuci piring atau menjemur pakaian. Tangisnya terdengar jelas saat dia melakukan ritual keagamaannya yang biasa disebut salat. Pernah aku melihat dia menangis sambil berceloteh lirih, mungkin dia sedang mengadu pada tuhannya. Terkadang, aku merasa iba. Entah beban apa yang sebenarnya ia tanggung.
"oh, ada apa, mister? Sedang membutuhkan sesuatu? " Dia sedikit gugup. Mengambil lap dan membersihkan meja dapur yang sebenarnya sudah bersih.
" Aku bosan ada di rumah terus. Tapi aku kurang tahu daerah ini. Kau mau, kan, menemaniku keluar. " Dia nampak kebingungan dengan ajakanku
" tapi, mister, pekerjaan rumahku masih banyak, sore ini saya harus pulang lebih cepat karena anak saya sedang kurang sehat. "
" oh, jadi anakmu sakit? Sakit apa? "
" hanya demam, mister. Insyaallah besok sudah sembuh. Aamiin. "
" yasudah lah, kalau hari ini tidak bisa, kapan-kapan temani aku keluar, ya. Kau tahu, kan, aku belum mengenal banyak orang sini, baru kamu, paman Budi si tukang kebun dan om zaki supir mama. "
" hmm, Insyaallah, mister. "
Amirah berlalu meninggalkan aku. Perempuan ini jual mahal sekali. Dia selalu menjaga jarak denganku. Bahkan tidak pernah melihat wajahku saat berbicara. Kadang aku merasa tersinggung. Tapi mama menjelaskan, bahwa memang itu adalah aturan dalam agamanya, kalau tidak diperkenankan untuk terlalu dekat dengan laki-laki selain suami, ayah dan saudara - saudaranya.
***
Sore ini Amirah ternyata memang benar-benar pulang lebih cepat. Biasanya dia akan selalu menunggu mama menelepon untuk memastikan pekerjaan rumah sudah beres atau belum., atau sekedar untuk menitipkan atau menambah pekerjaan kecil pada Amirah. Aku sempat mendengar Amirah menelepon mama saat mengambil minum di dapur tadi, dia pamit untuk pulang lebih awal. Padahal ada aku di rumah ini, mengapa harus repot menelepon mama hanya untuk sekedar pamit pulang. Perempuan unik ini terkadang membuat aku bingung. Tapi sikapnya justru membuat aku lebih menghormati dia. Hal yang tak pernah ku lakukan pada perempuan manapun selama ini.
Aku berjalan gontai menaiki tangga. Mataku tiba-tiba menangkap sebuah dompet lusuh di meja dapur. Aku pernah melihat Amirah menggamit dompet itu. Berarti mungkin dompet itu milik Amirah yang tertinggal karena terburu-buru pulang tadi. Aku urung menaiki tangga, memilih untuk memutar balik berjalan ke dapur. Ku ambil dompet itu. Pelan - pelan ku buka. Hanya ada ktp, foto anak kecil yang ku tahu adalah anaknya, dan uang 200 ribu.
'mama pernah bilang rumah Amirah tidak dekat dari sini. Walaupun tidak jauh, tapi dia yang biasanya hanya jalan kaki butuh waktu 25 menit untuk sampai ke sini. Kalau dia harus kembali ke sini lagi hanya untuk mengambil dompet ini, pasti dia akan kelelahan. Kalau tidak dia ambil.. Dia pasti nantinya butuh uang ini. Aku antar saja dompet ini ke rumahnya '
Entah mengapa hatiku bergumam seperti itu. Aku tak pernah seperduli ini pada seseorang. Apalagi wanita. Bagiku selama ini, wanita hanya teman tidur dan pemuas gairah. Dua wanita yang sangat aku sayangi hanya mendiang nenek dan mama.
***
"paman Budi, paman tahu rumahnya Amirah, kan?" aku mendekati paman Budi yang baru saja selesai menyiram tanaman depan rumah.
"iyya, mas Joseph. Ada apa, mas? "
" dompet Amirah tertinggal di dapur, aku akan mengantarkan ini. Paman antar aku ke rumahnya, ya. "
" oh, biar saya yang antar, mas. Mas joseph tidak perlu merepotkan diri. "
" tidak apa-apa, paman. Sekalian aku mau jenguk anaknya yang katanya sakit. "
" oh, begitu. Iyya, mas. Lalu kita ke sana naik apa, mas? Motor saya, atau mobil mas joseph? " paman Budi terkekeh menawarkan jasa motornya. Aku tahu dia mungkin mengira aku malu mengendarai motornya.
" boncengan pake motor paman juga asyik, tuh. Ayo, paman! "
Paman Budi terheran karena aku justru memilih motornya. Segera dia mengambil motor dan memboncengku. Mungkin paman Budi sedikit gugup, aku berusaha mencairkan kegugupannya. Bersiul-siul dan menyanyikan lagu kesukaanku.
" paman pernah ke rumah Amirah? " tanyaku pada Paman yang fokus pada jalan.
" pernah, saat disuruh mama Meri mengantarkan makanan untuk nak Amirah yang sedang sakit waktu itu. " aku mengangguk-angguk. Aku tahu, mama memang sangat perduli dan sayang pada Amirah. Mungkin karena mama masih merasa kehilangan dengan adik perempuanku yang meninggal di usia 15 tahun. Mungkin jika adikku masih hidup, dia akan seusia Amirah saat ini.
" apa masih jauh, paman? "
" itu tinggal masuk gang saja, mas."
Ternyata benar, jarak rumah Amirah tidak jauh tapi juga tidak dekat. Setiap hari ke rumah mama jalan kaki pasti cukup melelahkan. Tapi aku bisa melihat, Amirah memang seorang perempuan yang tangguh.
Paman Budi menghentikan motornya tepat di depan sebuah rumah sederhana dengan cat warna hijau yang sudah luntur.
"nah, sudah sampai, mas. Itu rumah Amira. " paman Budi menunjuk pada rumah di hadapan kami dengan dagunya. Aku berjalan mendekati pintu lalu mengetuknya pelan. Tak lama seorang lelaki berjenggot tipis membuka pintu.
" siapa? Ada keperluan? " Laki-laki itu tampak sedikit kebingungan Melihat ku. Tentu saja karena kami belum pernah kenal dan bertemu sebelumnya.
" aku Joseph. Anak dari majikannya Amirah. Tadi Amirah meninggalkan dompetnya. Aku ke sini untuk mengantarkan ini. " ku sodorkan dompet Amirah pada laki-laki yang ku tebak sebagai suaminya.
" oh, iyya. " Laki-laki itu mengambil dompet dari tanganku.
" terimakasih. Mari silakan masuk. Akan kupanggilkan Amirah. " Laki-laki itu masuk ke dalama rumah. Aku masuk dan duduk di atas sofa lusuh yang sudah pudar warnanya dan sobek kainnya.
" Amirah.. Amirah ada tamu. " Laki-laki itu berteriak memanggil Amirah yang entah sedang apa.
Tak lama Amirah muncul. Kali ini dia matanya melihatku. Dan tanpa sengaja mata kami bertemu. Entah mengapa tiba-tiba ada desiran halus dalam hatiku.
" Mister joseph? Ya Allah, tak perlu repot seperti ini, diantar siapa, mister? " Amirah kembali menundukkan pandangannya kala berbicara
" sama paman Budi. Tak masalah, lagi pula aku ingin tahu rumahmu. " Entah mengapa aku malah menjawab seperti itu, 'ingin tahu rumahnya, rumah seorang pembantu?,' aku merasa aneh. Tapi aku memang tidak terbiasa menganggap seseorang sebagai bawahanku. Karena selama ini, walaupun aku hidup di Amerika, tapi kakek selalu mengajarkan aku untuk hidup mandiri. Bahkan kami tidak memiliki asisten rumah tangga. Dulu nenek yang mengerjakan semua pekerjaan rumah, kakek berkerja dan sesekali merawat pertaniannya. Yah, walau Amerika, kami tinggal di sebuah desa, namun sangat nyaman dan canggih. Setelah nenek meninggal, kakek menggantikan peran nenek. Berkerja sambil mengurus rumah, tentu saja aku selalu membantunya.
"Oh, lalu mana paman Budi? Mengapa dia tak diajak masuk?" Amirah duduk di pojok sofa. Sepertinya dia kurang nyaman dengan kehadiranku.
"hmm, paman menolak kuajak masuk tadi. Bagaimana keadaan anakmu, apakah dia sudah lebih baik? " tanyaku padanya
" sudah kuberi obat, semoga dia segera pulih. "
Suami Amirah muncul dari dalam. Dia duduk di samping Amirah.
" ohy, mister, ini suamiku. " Amirah tersenyum pada suaminya. Kenapa pada suaminya? Bukan padaku? Bukankah dia memperkenalkannya padaku. Tapi aku jarang melihat senyumnya. Manis sekali. Suaminya hanya diam dan dingin.
" ok. Baik, aku permisi pulang saja, semoga anakmu segera sehat. "
" iya. Terimakasih. "
Aku berdiri dan berlalu meninggalkan mereka berdua. Amirah tidak menyuguhiku senyum sedikitpun. Walau dia bersikap ramah dan baik. Tapi aku merasa iri dengan senyum yang dia berikan pada suaminya.
Aku naik di boncengan paman Budi. Dia kemudian membawaku pergi dari tempat ini.
\*\*\*
\[12/7 00.14\] Masruroh: Tiba di rumah mama yang ukurannya 2 kali lebih besar dari rumah kakek di Amerika. Juga 3 kali lebih besar dari rumah Amirah. Aku menaiki anak tangga menuju kamarku. Kulihat sekilas mama sudah pulang dan sedang di dapur. Mungkin karena Amirah pulang cepat tak sempat membuat menu makan malam nanti, jadi mama menyiapkannya. Baguslah, setidaknya karena Amirah pulang lebih cepat, mama jadi ikut pulang lebih cepat. Paman Budi sekarang mungkin juga sudah sampai di rumahnya karena tidak terlalu jauh dari sini. Tidak lebih jauh dari rumah Amirah.
"Ma, aku datang, tapi langsung ke kamar, ya, mau mandi, " ucapku pada mama yang sepertinya belum menyadari kedatanganku.
" Hei, dari mana, sayang, "
" Dari rumah Amirah. "jawabku singkat sambil terus menaiki tangga.
" ha? Ngapain ke sana? "sudah ku duga, mama pasti kebingungan.
" nanti saja, aku mandi dulu, " jawabku tanpa menoleh ke bawah dan masuk ke dalam kamar.
Ku rebahkan tubuh di atas kasur. Mencoba memejamkan mata. Bayangan Amirah muncul di sana. Aku kembali membuka mata. 'kenapa dia tiba-tiba muncul di mataku? Dan senyum pada suaminya, kenapa terlihat anggun dan indah, padahal itu bukan senyumku' batinku bergumam. Ini memang aneh.
Aku menarik tubuhku untuk berdiri dan pergi mandi. Mungkin guyuran air segar bisa merilekskan otakku agar tidak kepikiran perempuan itu.
Rupanya mama pandai memasak juga. Menu lezat sudah rersaji di atas meja meski bukan Amirah yang menyiapkan semuanya. Mama mengajakku makan malam. Kebetulan perutku juga sudah bergoyang. Kali ini aku lebih semangat makan karena dibarengi mama. Wanita yang melahirkan aku 33 tahun yang lalu ini juga tampak senang bisa menikmati makan malam bersamaku. Aku tahu mama sangat menyayangiku walau tak pernah dia ungkapkan atau kadang sikapnya cuek. Kadang aku menghargai itu, bagaimanapun, mamaku sudah berjuang keras untuk ku. Setelah papa meninggal 5 tahun yang lalu, mama melanjutkan bisnis papa, dan aku tahu itu tidak mudah, karena mama tidak berpengalaman sebelumnya. Bisnis papa justru semakin maju setelah dikelolah mama. Mama bisa mengirimi aku uang untuk hidup dan sekolah di Amerika, hingga mama tidak pernah merepotkan kakek untuk masalah biaya hidupku. Begitulah mamaku, perempuan tangguh yang selalu bisa menyembunyikan dukanya dan selalu energik meski diusia yang tak lagi muda.
"Ngapain tadi kamu ke rumah Amirah? " Mama membuka obrolan di sela makan.
" Tadi dompetnya ketinggalan, jadi aku mengatarkan dompet itu ke rumahnya. Dia pasti memerlukan isinya, kan. "
" Peduli juga ya kau sama Amirah. " Mama tersemyum aneh.
" Yaa aku menganggapnya teman. Bukan pembantu, jadi ya tak masalah, kan, "jawabku sekenanya.
" iyya, lalu, gimana? Apa tadi kau juga melihat keadaan anaknya yang dia bilang sedang sakit? "
" Tak sempat, karena aku cuma sebentar di sana. Aku cuma bertemu suaminya yang dingin itu. "
" suami Amirah memang seperti itu. Dingin. Juga kasar pada Amirah. Mama heran bagaimana Amirah bisa bertahan dengan lelaki seperti itu. Padahal tidak sekali dua kali Amirah dipukul dan dicaci karena kesalahan yang sepeleh atau kadang karena kesalah pahaman. " Mama bercerita. Aku mendengar dengan antusias.
" what? Memukul? Wah, kasihan sekali Amirah. Pantas dia sering diam-diam nangis di sela pekerjaannya, " aku urung menyantap makanan. Kini aku tahu apa alasan Amirah menangis selama ini. Suaminya.
" iya, mama sering menasehati juga mengusulkan untuk bercerai saja. Tapi Amirah bilang, itu adalah hal yang dibenci tuhannya dan beban nya itu adalah ladang ibadahnya. Kalau dia sabar akan masuk surga, seperti itulah kurang lebih prinsipnya, " mama kembali menjelaskan. Aku berusaha memahami, terdiam beberapa detik.
" Sudah! Nikmati makananmu, son, " mama membuyarkan bayangan wajah Amirah yang menyembunyikan dukanya.
Segera kusantap makananku hingga habis. Namun pikiranku terus tertuju pada Amirah. Wanita yang terluka tapi menutupi lukanya. Dia selalu tampak tegar selama ini walau aku tahu, air matanya tak bisa disembunyikan didepan tuhannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
nath_e
haaai....maaaf baru sempat datang... semangat yaaaa...🥰🥰
2021-11-13
0
Ulfa
aku mulai menyimak kak
ceritanya bagus, islami saya suka
mampir juga ya kak di karya ku, gadis penakluk mafia karatan
2021-11-11
0
Diah Fiana
aku datang membawa like kak,
jika berkenan mari saling mendukung 🥰
semangat kkak
2021-11-10
0