Bab 5.
Wanita penanggung derita.
Waktu berlalu dengan begitu lambat. Aku belum bisa lupa pada wanita yang berhasil mengambil hatiku. Wanita yang kucintai, tapi juga kusakiti. Seandainya sekali saja bisa ku temukan Amirah. Walau aku sudah menyibukkan diri dengan banyak hal, termasuk pekerjaan dan memeperdalam agama, bayangan tentang Amirah masih memenuhi hatiku. Dia satu-satunya perempuan istimewa yang pesonanya tak bisa ku lupakan. Dia satu-satunya wanita yang ku sentuh dengan cinta.
Hari ini abah Hisyam mengajakku ke rumah saudaranya. Juga mengelolah sebuah pesantren gratis untuk dhuafa. Tetapi bukan untuk anak kecil. Pesantren ini mengayomi dhuafa dan para gelandangan yang sudah besar. Abah mengajakku karena aku ingin menjadi donatur tetap di sana, selain juga sebagai donatur tetap di lembaga abah Hisyam. Abah sering menceritakan tetang saudaranya yang juga dermawan dan mengabdi pada umat. Namanya abah Arif.
Tak lama, mobilku yang membawa abah dan umi sampai di depan sebuah bangunan besar tapi sederhan. Ada plakat yayasan dhuafa Al-karomah. Kami memasuki tempat itu. Dingin, sejuk dan damai. Di dalam terlihat beberapa orang yang sibuk dengan kegiatan mereka. Ada yangvmembersihkan halaman, menyiram tanaman, juga beberapa lalu lalang entah sedang mengerjakan apa.
Seorang pria paro baya, usianya lebih tua dari abah Hisyam keluar menyambut kami. Abah Hisyam dan abah Arif berpelukan hangat, saling terkekeh dan menanyakan kabar masing-masing. Abah Arif menyalami aku, rupanya dia sudah mengenalku dari abah Hisyam. Umi Aminah memasuki rumah, mungkin menemui istri Abah Arif. Aku mengedarkan pandang. Suasananya nyaman dan damai.
"nak Yusuf mau minum apa? " abah Arif menanyaiku. Aku tersenyum, namaku memang bukan lagi joseph, abah Hisyam mengganti joseph dengan Yusuf, juga menceritakan tentang siapa dan seperti apa nabi Yusuf.
" terserah saja, bah. " jawabku singkat.
" nak yusuf cocok dengan namanya. Ganteng dan gagah, " aku tertawa mendengar ucapan abah Arif. Abah Hisyam mengikuti tawaku.
Tak lama dua anak kecil berlari-lari di ruang tamu. Memecah keheningan di antara kami. Aku terkejut melihat satu diantara anak itu. Akmal. Dia anak Amirah.
"Akmal.., " panggilku pada anak kecil itu. Akmal menoleh padaku lalu tampak berpikir dan mengingat siapa aku. Abah Hisyam dan abah Arif menatap Akmal. Lalu berganti menatapku.
" nak Yusuf, kenal? " tanya abah Arif keheranan. Aku mengangguk, lalu menghampiri Akmal, memeluk anak kecil itu. Dia tersenyum, tampak senang bertemu denganku.
Aku kembali duduk di kursi. Akmal melanjutkan bermain dengan temannya.
" yang kau peluk tadi namanya memang Akmal. Yang satu tadi cucuku. Namanya Fatih. Aku menemukan Akmal dan ibunya terluntang-lantung di jalan waktu itu. Kemudian aku membawanya ke yayasan. Alhamdulillah sekarang keadaan mereka jauh lebih baik, bahkan ibunya juga ikut membantu mengajar ngaji para santri yang lain. "
" Amirah.., " sebutku
" yah, betul. Namanya nak Amirah. Kalian kenal di mana? " abah Arif kembali bertanya.
" dulu dia bekerja sebagai asisten rumah tangga mamaku, " hanya itu yang bisa ku katakan. Abah Hisyam dan abah Arif mengangguk-angguk. Hatiku merasa lega mengetahui keadaan Amirah dan anaknya. Setidaknya aku tahu, mereka di sini dan dalam keadaan baik.
" jika boleh, nanti aku mau bertemu Amirah, Bah," kuberanikan diri meminta izin menemui Amirah. Semoga abah Arif mengizinkan.
"hhmm, boleh saja. Tapi nanti biar umi tanya pada Amirah, mau atau tudak, ya. Karena sepertinya dia masih trauma bertemu beberapa orang, apalagi laki-laki. Mentalnya baru saja sembuh. " aku memejamkan mata. Hatiku hancur. Aku tahu Amirah pasti sangat menderita, dan aku termasuk penyebabnya.
" iya, bah. " aku menyembunyikan kegusaran. Betapapun, aku tidak berhak memaksa untuk bisa bertemu. Mendengar kabar bahwa Amirah dalam keadaan baik saja, aku sudah bersyukur.
Beberapa menit kemudian, umi Aminah dan umi Hafsah memasuki ruang tamu. Aku tersenyum pada umi Hafsah istri abah Arif. Perempuan bersahaja itu membalas senyumku. Abah Arif menjelaskan pada istrinya bahwa aku mengenal Amirah dan anaknya, juga ingin bertemu dengan Amirah. Umi Hafsah mengangguk-angguk paham.
"sebenarnya Amirah masih trauma untuk bertemu orang. Apalagi yang tahu dengan masa lalunya, " umi Hafsah menjelaskan.
" oh, seterluka itukah dia, " ucapku lirih.
" mungkin juga karena saat ini sedang hamil, karena itu.. "
" hamil? A.. Amirah hamil, Mi? " aku menyela kalimatnya. Umi Hafsah mengangguk.
" awal kami menemukan dia, belum hamil. Dia baru tahu kalau hamil satu bulan terakhir ini. Dan dia begitu terluka dengan kehamilannya. "
" oh ya Allah.., apa suaminya tahu? Terakhir aku bertemu dengan suaminya dia cerita kalau Amirah mengirimkan gugatan cerai pada suaminya itu. " abah dan umi berpandangan.
" betul, nak. Kami yang mengurus surat itu. Atas permintaan Amirah. Dua minggu setelah mengirim surat itu, kami baru tahu kalau Amirah hamil. " umi Hafsah kembali menjelaskan. Aku menyesal sekali mendengar semua ini. Amirah pasti sangat terluka. Tapi, bayi siapa yang di kandungnya itu? Bukankah dia pergi setelah kejadian itu? Dan, umur kehamilan Amirah baru 3 bulan. Apakah mungkin itu adalah anakku?
"umi,jika diizinkan, aku benar-benar ingin bertemu dengannya. Ada hal besar yang ingin kutanyakan padanya, Mi. " kali ini aku sedikit memohon, aku ingin tahu bayi siapa itu. Abah dan umi saling berpandangan. Umi masuk ke dalam rumah, semoga aku bisa bertemu dengan Amirah.
***
Abah Hisyam dan Abah Arif ngobrol di teras depan. Aku duduk sendiri di ruang tamu. Menunggu Amirah di sana. Hatiku bercampur aduk antara bahagia dan takut. Tak lama, umi Hafsah keluar dari dalam bersama sosok yang sangat ku kenal. Amirah. Wajahnya nampak lelah dan muram. Dia terkejut melihatku. Mata kami bertemu, aku berdiri, tiba-tiba merasa bingung harus bagaimana. Perlahan Amirah duduk di sofa. Wajahnya menunduk. Air matanya menganak sungai. Aku kembali duduk di tempatku.
"kau tidak apa-apa, nak? Mau kutemani di sini atau ku tinggal ke dalam? "umi memberi tawaran pada Amirah. Mungkin dia bisa membaca kecanggungan antara kami sekarang.
" tak apa, umi. Umi istirahat saja, Amirah Insyaallah tidak apa-apa. " Amirah memberi isyarat agar umi masuk. Umi Hafsah pun menuruti keinginan Amirah.
" Amirah... Apa kau baik? " aku membuka pembicaran. Amirah mengangguk tanpa melihat padaku.
" ku dengar kau... "
" hamil. " dia menyahutku. Kerongkonganku seketika tercekat.
" aku hamil. Padahal suamiku sudah tidak pernah menyentuhku selama berbulan-bulan. Dan lelaki terakhir yang menyentuhku adalah kamu. " matanya berkaca-kaca. Oh, apakah aku sedang bermimpi? Jadi ini adalah anakku. Aku terdiam. Mulutku terkatup rapat.
" maafkan aku Amirah.. " pintaku begitu tulus. Amirah meneteskan air mata. Ingin sekali ku hapus air mata itu, ingin sekali aku membuat dia bahagia, menebus kesalahanku padanya.
" aku tak tahu, apakah aku harus memafkanmu atau tidak. "
" Amirah, aku... Aku akan bertanggung jawab.. Aku akan menebus kesalahanku. " Amirah masih menangis.
" caranya? Kau akan menikahiku? "
" aku sekarang muslim Amirah.. "
" kau pikir aku mau? " Amirah bangkit. Hatiku terluka sekali. Dia pantas membenciku. Aku begitu Menjijikkan, sama seperti Zaki, mantan suaminya. Tapi, cintaku padanya tulus. Aku sangat menyayanginya.
" Amirah.. Aku mencintaimu, tapi aku tidak memaksamu untuk mau menerimaku. Cukup bagiku melihat kau baik-baik saja. Jagalah diri baik-baik Amirah. " Amirah menghapus air matanya. Dia berdiri lalu masuk ke dalam. Aku menunduk, setidaknya perjuangan ku mencarinya telah usai. Aku menemukan Amirah. Bahkan dengan calon anakku di dalam rahimnya. Banyak wanita yang sudah kutiduri, tapi tuhan memilih rahim Amirah sebagai tempat anakku. Aku bersyukur karena anakku berada dalam perut perempuan soliha dan sangat baik.
Aku pun berpamit untuk pulang. Abah dan umi masih harus menginap di sini. Membahas lebih banyak tentang pesantren mereka. Ku titipkan sedikit donasi untuk santri di sini. Untuk calon anakku, aku masih belum bisa berkata jujur pada mereka. Walaupun suatu hari nanti, aku tetap harus menjelaskan apa yang terjadi antara aku dan Amirah.
Dua lelaki bersahaja penuh kharisma itu memelukku hangat. Lalu aku pergi melajukan mobil meninggalkan tempat itu. Membawa kebahagiaan karena menemukan Amirah, juga kebimbangan karena mungkin tak mudah mendapatkan Amirah, bahkan meskipun aku ingin bertanggung jawab atas kesalahanku padanya. Aku harus menceritakan semua yang terjadi pada mama. Mama harus tahu apa yang telah terjadi. Dia juga harus tahu akan memiliki cucu dariku melalui rahim Amirah..
***
"jadi seperti itu? Kau.. Begitu tega pada wanita itu. " mama terkejut mendengar pengakuanku. Aku hanya diam membisu.
" aku sebagai wanita merasa terhina. Dan.. Wanita yang kau sakiti ini, adalah wanita baik, sangat baik,... " mama kecewa. Aku memaklumi itu.
" aku tidak tahu kau harus bagaimana. Tapi kau harus menghargai apapun keputusan Amirah. Jika dia tak bisa memafkanmu, maka kau harus berjuang mendapatkan maaf itu. " mama menatapku. Aku tertunduk. Merasa malu padanya. Aku tahu, ini sangat memalukan. Mama tahu aku sering tidur dengan beberapa wanita. Bahkan mama juga tahu, para wanita yang mengejarku rela ku gauli walau tanpa kunikahi dan ku bayar. Tapi, meniduri wanita sebaik Amirah, itu adalah hal yang sangat mengecewakan, karena mamapun tahu kemurnian perempuan itu.
Aku kembali ke kamar. Kubaringkan tubuh lelahku di kasur. Bayangan Amirah kembali hadir, mengusik hatiku. Lagi-lagi aku teringat kejadian waktu itu, yang ternyata justru memberi luka baru dalam hidup Amirah. Seharusnya aku tidak terburu-buru, padahal aku pun tidak berniat melakukan itu. Tapi setiap sentuhanku padanya, ku lakukan atas nama cinta. Aku menikmati tubuhnya dengan cinta. Bahkan aku ingin mengulang kembali pun karena cinta. Aku tahu, ini salah. Amirah menjadi korbanku. Esok aku harus kembali padanya, mengontrol keadaannya. Aku ingin dia dan bayinya sehat.
Baru saja aku ingin memejamkan mata. Terdengar Suara pintu kamar diketuk. Aku tahu itu mama, ku persilahkan saja dia masuj karena pintu tak dikunci. Mama perlahan masuk, dia berjalan ke arahku lalu duduk di sampingku.
"besok, antarkan aku menemui Amirah. Aku ingin memastikan dia dan calon cucuku dalam keadaan baik, " kata mama. Aku duduk dari pembaringan. Benar sekali, mama bisa membujuk Amirah, setidaknya jika dia mau kesini, apalagi menikah denganku, aku bisa lebih menjaganya.
" iya, besok sore setelah pulang, kita temui Amirah. Ku mohon bicaralah padanya, agar dia mau menikah denganku, mau memaafkanku. Aku ingin bertanggung jawab dan menebus dosaku padanya. " jawabku mantap. Mama mengangguk lalu mengelus kepalaku. Aku bahagia, setidaknya, mama mau membantuku meluluhkan hati Amirah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
cakmuktisakti cakmukti
Terimakasih, kak
2021-11-10
0
Diah Fiana
semangat kkak
2021-11-10
0