Bab 4.
Dia pun menghilang.
Hari-hari selanjutnya terasa begitu kosong. Entah ke mana wanita pengisi hatiku itu. Amirah menghilang paska kejadian itu. Padahal aku berpikir dia juga menikmati dan mencintaiku. Bahkan suaminya pun tak tahu. Amirah dan Akmal pergi tanpa berpamitan pada siapapun. Mama pun merasa heran. Dia kuwalahan mengerjakan tugas rumah dan berusaha mencari pengganti Amirah. Tapi belum juga menemukan. Aku tidak mungkin menceritakan apa yang terjadi antara kami waktu itu pada mama. Aku tahu mama sangat menyayangi Amirah, dan tidak akan bisa menerima jika tahu apa yang telah ku lakukan pada Amirah.
Aku berusaha mencarinya. Bukan hanya karena merasa bersalah, tapi karena aku sangat merindukannya. Wanita itu benar-benar telah membuat aku jatuh cinta. Zaki suaminya juga kebingungan harus mencari ke mana lagi. Tetapi kebingungannya hanya sebentar karena dia kemudian di temani oleh selingkuhannya. Uang yang ku berikan padanya untuk tubuh Amirah, dia gunakan sebagai modal menikahi wanitanya yang ternyata sedang hamil. Ah, keparat juga Zaki. Tapi aku juga sama. Aku tega melakukan semua pada Amirah. Wanita baik, polos dan seperti permata. Sungguh, aku menyesal. Ingin ku tebus kesalahanku itu, tapi entah bagaimana caranya. Bahkan aku tidak tahu dia di mana sekarang.
Ku sibukkan diri dengan mulai membantu mengelola bisnis mama. Kali ini mama tidak menolakku. Dia pasti tahu, aku merasa bosan jika hanya berdiam di rumah. Sore hari setelah bekerja aku jalan-jalan untuk mencari Amirah. Selalu seperti itu, setiap hari. Dari satu tempat ke tempat lain mencari Amirah, yang entah di mana. Kadang aku merasa putus asa. Tapi secepat ini, untuk seorang wanita istimewa? Harapan dan kepercayaanku selalu penuh akan pertemuanku dengannya.
Suara itu membuat aku singgah pada tempat peribadatan umat Islam. Amirah pernah menjelaskan bahwa itu namanya adzan. Panggilan untuk melaksanakan kewajiban. Aku duduk di luar. Mengamati mereka yang begitu semangat memasuki rumah tuhan mereka. Seseorang menepuk pundakku. Memberi isyarat agar aku pun ikut memasukinya. Aku menurut, mengedarkan pandang pada setiap sudut. Berharap bisa menemukan sosok Amirah. Tapi sia-sia. Aku memilih duduk di teras bangunan besar itu. Suasananya terasa nyaman. Entah mengapa, suara itu membuat hati merasa damai. Aku mendengarkannya hingga selesai.
Beberapa orang menatapku, mungkin heran karena aku hanya duduk di sini dan tidak ikut bergabung dengan mereka di dalam. Tak mungkin aku jelaskan pada mereka satu persatu, bahwa keyakinanku berbeda. Aku duduk di sini hanya karena berharap bisa bertemu dengan perempuanku.
"kenapa, mas, tidak ikut salat?" seseorang tiba-tiba duduk di sampingku. Wajahnya bersih dan ramah.
"aku bukan orang muslim, pak," jawabku singkat. Dia sedikit terkejut. Tapi berusaha tenang.
"ooh, begitu. Siapa nama, mas? "
" Joseph. "
" lalu apa keperluan mas ke sini? "
" aku sedang mencari seseorang. Ku pikir mungkin dia sedang berada di sini. "
" oh, bisa jadi, kau memang akan menemukan dia lewat tempat ini, kau terlihat lelah, duduklah di sini dulu, tak apa. Aku pulang lebih dulu. " aku mengagguk sambil tersenyum. Lelaki ini tersenyum dan menepuk-nepuk pundakku. Ku buang nafas panjang. Mungkin hari ini, akupun belum bisa menemukannya. Ah, biarlah. Menemukan perempuan istimewa itu mungkin tak mudah, tapi aku tetap menyukai perjuangan ini.
Ku lihat lelaki itu sudah menghilang di tikungan aku beranjak pergi meninggalkan bagunan megah itu. Tiba-tiba hatiku terusik dengan kalimat orang tadi, bisa jadi aku menemukan yang ku cari lewat tempat ini. Amirah seorang muslim yang taat. Bisa jadi memang dia menyukai tempat - tempat seperti ini. Ku lihat sekali lagi bangunan ini. Ada sesuatu yang membuatky nyaman berada di dalamnnya. Tapi aku tak tahu apa dan mengapa.
***
Pencarianku sudah cukup lama, sudah 2 bulan aku di landa kebingungan dan kegelisahan. Bahkan kini aku sudah terbiasa untuk tidak lagi mencarinya. Tapi aku justru sering datang ke bangunan besar bernama Masjid itu. Juga sudah mulai akrab dengan lelaki yang pernah ku temui pertama kali. Namanya abah Hisyam. Aku ikut memanggilnya abah, karena semua orang memanggilnya seperti itu. Aku merasa tertarik padanya. Bahkan sering datang ke rumahnya yang tak jauh dari masjid. Sebuah rumah sederhana. Di belajang rumahnya sebuah yayasan tempat orang islam mencari ilmu. Abah Hisyam meminjami aku buku-bukunya. Entah karena apa, aku pun tertarik untuk mempelajarinya. Padahal itu adalah buku-buku Islam. Dan menurutku penjelasannya di dalamnya masuk akal. Aku menyukainya.
Mama tidak keberatan jika aku mulai mempelajari Islam. Mama tipe orang yang bebas. Dia juga membebaskan putranya melakukan apa yang disukai. Itulah mama. Dia simple tapi tegas dan bijaksana. Sosoknya selalu membuat aku menghormatinya, walau kadang aku pun merasa rindu, ingin mendapat perlakuan manja seperti mendiang nenek dan kakek dahulu. Mereka selalu memperlakukan ku penuh dengan kasih sayang dan perhatian. Aku tahu mama juga menyayangiku. Hanya caranya yang berbeda.
Setiap selesai mempelajari buku dari abah Hisyam, aku merasa lebih tenang dan mengerti. Mengapa dulu Amirah menolakku. Sedangkan aku semakin merasa bersalah karena justru memperlakukan dia dengan cara seperti itu. Betapa menyesalnya aku. Ingin sekali aku menebus kesalahanku dulu.
Aku dikejutkan dengan kehadiran Zaki yang tiba-tiba. Dia terlihat marah. Aku urung berangkat kerja. Memilih untuk melayani kemarahan Zaki.
"di mana Amirah?" pertanyaan Zaki justru membuat aku bingung. Jika saja aku tahu di mana wanita itu, pasti aku tidak akan kehilangan semangatku seperti sekarang ini.
"kau suaminya, kenapa tanya aku," jawabku ketus. Zaki membuang muka. Dia mengeluarkan sebuah amplop cokelat.
"dia mengirimkan surat perceraian padaku. Tanpa bantuan orang pintar, dia tidak akan seberani ini. Kau membantunya dalam proses penggugatan ini, kan?" aku sedikit terkejut. Tapi aku juga merasa bahagia. Setidaknya, Amirah sudah memilih jalan yang benar dengan menggugat cerai suaminya.
"itu urusan kalian. Aku tak mau ikut campur. " zaki diam mendengar kalimatku.
" satu saranku, lepaskan saja Amirah. Toh, kau sudah memiliki istri baru yang sedang hamil, kan. Kenapa kau harus mempersulit diri. Nikmati saja hidupmu bersama istri barumu itu, " saranku pada Zaki. Zaki terdiam. Memandang amplop cokelat di depannya.
" tapi, Amirah adalah sebuah permata. Dia wanita yang sempurna. " aku tertawa mendengar kalimat Zaki.
" jadi orang bodoh sepertimu juga bisa membedakan permata dan bukan? Jadi kau baru menyadari istrimu itu istimewa? " Zaki gusar. Aku diam. Tawaku mereda.
" mungkin aku memang bodoh, telah menyianyiakan Amirah. " Zaki menunduk. Penyesalan memang baru datang setelah terlambat.
" jika mau kuberi saran. Lepaskan Amirah, biarkan dia hidup tenang dengan kehidupannya. Dan kau, jadilah suami yang baik untuk istrimu kali ini. " aku menepuk pundaknya. Zaki menunduk.
" aku juga sedang mencari Amirah. Ingin minta maaf padanya.tapi sampai sekarang aku belum menemukannya," kataku sembari menepuk-nepuk pundaknya. Zaki hanya terdiam. Entah apa yang bergejolak di hatinya. Tapi aku merasa senang, dia menyesali perbuatannya selama ini pada Amirah.
Zaki menghabiskan minuman yang ku suguhkan. Kemudian dia pamit untuk pergi. Membawa amplop cokelat berisi gugatan cerai Amirah. Wanita itu, di mana dia? Sekali lagi, hatiku teriris mengingat kejadian terakhirku bersamanya. Amirah, di mana kamu? Pertanyaan itu selalu ku bawa ke mana-mana. Memberi semangat agar aku tidak putus asa mencarinya.
***
Sepulang kerja, aku kembali menyusuri jalan. Masih berharap bisa menemukan Amirah. Aku menyempatkan diri untuk bertemu dengan abah Hisyam. Beliau selalu menyambutku ramah. Lelaki parobaya, usianya sama dengan papa jika saja papa masih hidup sekarang. Sosoknya bersahaja dan begitu lembut padaku. Dia juga mengelolah sebuah pesantren, tempat anak-anak muslim mencari ilmu. Tetapi pesantren abah ini menampung para kaum dhuafa dan yatim. Suasana selalu damai kala aku berada di rumahnya.
"aku tertarik pada Islam, Bah. " ku tanyakan beberapa hal yang mengganggu hati dan pikiranku beberapa hari ini pada abah. Penjelasannya sangat rasional, juga menenangkan. Nasehat dan wejangannya meneduhkan hati.
Umi Aminah masuk ke dalam ruang tamu membawa nampan berisi minum. Umi adalah istri abah. Dia juga sangat rendah hati dan bersahaja. Mereka sosok teladan. Aku menyukai mereka, bahkan kini mulai begitu akrab.
"abah, sepertinya aku berniat untuk masuk Islam. " tiba-tiba hatiku mendorong mulutku untuk berkata seperti itu. Abah dan umi terkejut. Mereka berpandangan lalu tersenyum.
" apa kau benar-benar yakin, nak? " abah menyakinkan. Aku mengangguk mantab. Abah menjelaskan bahwa keyakinan ini bukan sekedar permainan. Bukan sekedar trend saja. Abah juga menjelaskan bahwa aku harus benar-benar memantabkan hati terlebih dulu. Tapi aku merasa bahwa aku benar-benar yakin dan mantab mengambik keputusan ini. Akupun meyakinkan abah bahwa ketertarikan ku pada Islam sebenarnya sudah ada sejak aku mengenal Amirah.
Abah Hisyam menjelaskab agar nanti sekitar jam 08.00, aku datang ke Masjid At-taqwa, tempat pertama kali aku bertemu dengannya waktu itu. Di sana abah akan mengislamkan aku, disaksikan oleh para jamaahnya malam nanti. Aku mengangguk paham. Abah Hisyam memelukku hangat. Umi Aminah berkaca-kaca. Terharu dan bahagia mendengar keputusanku.
Malam harinya aku benar-benar hadir di masjid itu. Abah Hisyam memberiku banyak nasihat. Hatiku semakin yakin menerima hidayah ini. Abah menuntunku mengucapkan kalimat syahadat. Hati dan tubuhku bergetar. Semua menyaksikanku. Tapi aku merasa, hatiku begitu damai. Meyakini dengan setulus hati bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan yang wajib disembah. Tiada tuhan selain Dia. Muhammad adalah utusannya. Aku menangis menerima hidayah ini. Sekilas aku teringat mama, semoga dia bisa menerima keputusanku ini. Toh selama ini, dia juga memberiku kebebasan tentang apa yang aku putuskan untuk hidupku sendiri.
***
Acara itu selesai. Lancar penuh hidmat. Kini aku seorang muslim. Aku bahagia dengan diriku sekarang ini. Abah menjelaskan tentang apa saja kewajiban seorang muslim. Aku membawa beberapa buku abah Hisyam. Betapa semangatnya aku kali ini. Abah juga memberi aku Alquran, kitab suci umat muslim. Aku tidak bisa membacanya, tapi aku bisa mempelajari dan membaca terjemahnya. Ini adalah sebuah mukjizat bagiku. Entah mengapa aku lebih tenang dan tidak kebingungan akan Amirah. Hatiku memasrahkan segalanya pada Allah. Aku juga pernah menceritakan tentang Amirah pada Abah dan Umi, mereka hanya memberiku nasihat bahwa, jika berjodoh, kami pasti akan dipertemukan kembali. Jika tidak berjodoh, maka Allah lebih tahu yang terbaik untuk hambanya.
Aku memasuki rumah. Mama sudah pulang dan sedang membaca dokumen di kamarnya. Kuhampiri dia, lalu aku bersimpuh dihadapannya. Mama tampak kebingungan dengan sikapku. Aku meletakkan kepalaku di pangkuannya. Mama mengelus rambutku seperti pada anak kecil. Aku mulai menceritakan segalanya pada mama, tentang abah Hisyam dan juga umi Aminah, dan kukumpulkan keberanian mengatakan tentang keislamanku. Mama terdiam beberapa menit. Lalu dia mencium keningku.
"mama mengahargai semua keputusanmu," ucap mama sambil tersenyum. Aku senang sekali. Hatiku bahagia mendengar kalimat dari mama. Tidak semua muallaf bernasib baik seperti aku. Banyak yang menerima perlakuan buruk bahkan diusir dari keluarganya karena memilih islam. Tapi, aku justru mendapat pengertian. Semua adalah berkat bantuan Allah, yang membolak-balikkan hati.
Di tengah kebahagiananku menerima hidayah islam. Terlintas wajah Amirah. Aku juga telah berdosa padanya. Lirih aku meminta dan berharap bisa bertemu dengan Amirah. Walau hanya untuk meminta maaf.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
cakmuktisakti cakmukti
Terimakasih, kak.
2021-11-10
0
Bunda Ira
Lanjut
2021-11-01
1