PELITA

PELITA

Awal Cerita

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

"Ini semua gara-gara kalian berdua, setelah kalian membunuh orangtua kalian yang tidak lain adalah adikku sendiri, sekarang kalian juga membunuh anakku. Kenapa tidak kalian bunuh saja aku sekalian hah?" Teriak seorang wanita, ia duduk bersimbah dilantai seraya meraung-raung, memaki serta melontarkan kata-kata pedasnya pada kedua keponakan yang ada di depannya.

"Ya Tuhaaaannn, apa salah dan dosaku?" Isak wanita itu.

Terlihat gadis belia itu memeluk adiknya erat, adiknya yang masih tidak mengerti apapun itu hanya bisa menangis dalam pelukan kakaknya, sedangkan sang kakak terlihat begitu tegar, ia mencoba menenangkan sang adik yang sedang menangis meskipun dirinya sendiri pun sekarang merasakan sakit yang teramat di lubuk hatinya, matanya sudah mulai memerah dan berkaca-kaca, tapi ia berusaha dengan sekuat tenaganya untuk tidak terlihat lemah, terutama dihadapan adiknya sendiri.

"Pergi kalian! Aku tidak sudi melihat wajah kalian lagi!" Ujar wanita itu yang sekali lagi berteriak di tengah-tengah isak tangisnya.

"Bu, sudahlah. Ini semua hanyalah kecelakaan. Dan mereka juga masih kecil, mau tinggal dimana mereka kalau kamu mengusirnya. Terlebih lagi mereka adalah keponakan mu sendiri." Kata suami wanita itu yang mencoba menenangkan istrinya.

"Keponakan? Heh, aku tidak sudi memiliki keponakan pembunuh serta pembawa sial seperti mereka." Ucap sinis wanita itu dengan segala kebencian yang sudah tertanam di hatinya.

"Ku bilang pergi!" Teriaknya lagi. Ia bahkan tak menghiraukan orang-orang yang sudah berkumpul dan berbisik membicarakan mereka.

"Tapi Bu.."

"Paman, sudahlah. Apa yang dikatakan bibi itu benar, sudah seharusnya Lita dan Reka pergi dari sini. Memang benar bahwa kami lah yang menyebabkan kedua orangtua kami meninggal, dan juga.." Ucap gadis kecil itu menggantung, rasanya ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia tertunduk lesu seraya menggenggam tangan adiknya erat, ia masih berusaha untuk terlihat tegar.

"Tidak, ini bukan salah siapapun. Kematian kedua orangtua kalian serta anak paman itu murni hanyalah sebuah kecelakaan." Kata sang paman mencoba menenangkannya.

Tapi gadis itu sudah bertekad, ia benar-benar merasa bersalah atas kepergian kedua orangtuanya 6 bulan yang lalu, dan juga kepergian kakak sepupunya 1 minggu yang lalu. Ia menyalahkan dirinya sendiri, sebab itu lah ia memutuskan untuk pergi bersama dengan adiknya.

"Kalau kau sudah sadar. Maka segeralah pergi dari hadapanku. Aku benar-benar muak melihat wajah kalian!" Ucap wanita itu yang tak henti-hentinya melontarkan kata-kata yang begitu menyakitkan.

Tanpa membantah, gadis kecil itu mencoba kuat menerima takdir yang sudah digariskan Tuhan untuknya dan juga adiknya, di raihnya 1 tas berukuran besar yang sebelumnya dilempar oleh bibinya.

Dengan bibir yang bergetar ia mencoba berbicara, mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"Bibi, paman, terimakasih atas segala kebaikan dan kemurahan hati kalian selama ini, yang sudah merawat dan menjaga kami setelah kepergian kedua orangtua kami." Ucap sang gadis, ia benar-benar dengan tulus mengucapkan rasa syukurnya.

"Paman! Paman tidak perlu mengkhawatirkan Lita dan juga Reka. Kami bisa menjaga diri kami sendiri. Dan Lita juga sudah cukup besar, Lita bisa menjaga Reka dengan baik." Ucapnya lagi meyakinkan pamannya seraya tersenyum ketir.

"Tapi Lita.."

"Bibi, Paman. Jagalah diri kalian!" Kata gadis itu seraya menggenggam erat tangan sang adik, lalu membawanya pergi dari rumah paman dan bibinya.

Sang bibi hanya memberikan tatapan sinis padanya dan juga adiknya.

"Lita, Reka, tunggu..." Teriak sang paman. Tapi gadis dan adiknya itu sama sekali tidak berbalik mendengar teriakan sang paman.

"Kalau kau ingin menyusul mereka, silahkan! Jangan pernah muncul dihadapan ku lagi!" Ancam wanita itu, sebelum berbalik masuk kedalam rumahnya.

Sesaat laki-laki itu terdiam memikirkan kata-kata sang istri. Ia begitu takut kalau harus pergi meninggalkan istrinya, karena semenjak kecelakaan yang ia alami pada saat bekerja 1 tahun yang lalu, menyebabkan salah satu kakinya lumpuh, sehingga kini hidupnya hanyalah bergantung pada sang istri.

"Maaf kan paman Lita, Reka!" Ucap sang paman dengan menatap nanar punggung kedua keponakannya yang kini sudah berjalan sangat jauh di depannya.

____________________

Tut.. Tut.. Tut..

Jreg.. Jreg.. Jreg..

Suara kereta api yang baru saja tiba di stasiun.

Terlihat kerumunan orang yang berlalu lalang meramaikan stasiun. Dan ada juga yang sedang mengantri untuk naik kereta yang baru saja tiba. Kini Lita dan Reka sedang duduk di sebuah bangku yang ada di stasiun sambil menunggu kereta tujuan mereka tiba. Lita ingin membawa adiknya pergi ke kota J dengan berbekal uang tabungan yang pernah di berikan oleh pamannya.

"Kak Ita, Eka lapel!" Ucap sang adik yang baru berusia 4 tahun itu, Lita dan Reka terpaut usia 5 tahun.

"Reka laper? Yaudah, tunggu disini sebentar ya. Kakak belikan makanan dulu, tunggu disini! Jangan kemana-mana!" Kata Lita sambil menyunggingkan senyum pada adiknya.

"Iya!" Jawab sang adik riang seraya memeluk boneka beruang kecil kesayangannya.

Pelita sungguh menyayangi adiknya, meskipun ia dikenal sebagai gadis yang pendiam, tapi sikapnya sangat cerewet pada adiknya, karena itulah caranya untuk menunjukan rasa sayang dan juga perhatiannya pada sang adik.

Lita bangkit dari duduknya, lalu segera berlari ke arah warung yang tak jauh dari stasiun. Karena banyaknya pembeli, Lita tidak ada pilihan lain selain ikut mengantri. Beberapa kali ia berbalik menengok ke arah adiknya, untuk memastikan bahwa adiknya masih duduk menunggunya.

Kurang lebih ia mengantri 30 menit, akhirnya kini Lita bisa membeli beberapa keperluannya termasuk makanan untuk sang adik. Ia membeli 2 nasi bungkus, beberapa roti dan juga air mineral untuknya dan juga adiknya. Ia menyodorkan 1 lembar uang berwarna biru untuk membayar belanjaannya pada sang pemilik warung, seraya menunggu kembalian uangnya, Lita kembali berbalik menengok adiknya. Namun betapa terkejutnya ia, ketika matanya tak menangkap sosok adiknya yang duduk di atas bangku tempat mereka duduk tadi.

Lita sangat cemas, saat ia hendak berlari. Suara sang pemilik warung menghentikannya.

"Ini belanjaan dan juga kembalianya dek!"

Grep

Dengan cepat Lita mengambil belanjaan dan juga uang kembalian dari tangan sang pemilik warung. Lalu dengan bergegas ia berbalik dan langsung berlari sekencang-kencangnya sampai tiba dibangku tempat ia dan adiknya duduk tadi.

"Adek! Kamu dimana?" Teriak Lita yang kini sudah diliputi rasa kekhawatiran yang teramat sangat.

Ia memutar tubuhnya beberapa kali untuk mencari sang adik, tapi tetap saja adiknya tidak terlihat sama sekali.

Kemudian ia berlari ke sembarang tempat untuk menemukan adiknya, tapi lagi-lagi ia tak menemukannya.

"Reka?" Teriaknya dengan segala rasa keputus asaannya. Ia benar-benar takut sekarang,

"Kamu dimana? Hiks.."

"Reka?"

"Reka?"

Klentang....

Terdengar dentuman suara benda terjatuh begitu kerasnya.

"Heh, heh, heh.." Ia langsung terbangun dan terengah-engah, bahkan terlihat keringat dingin membanjiri seluruh wajahnya. Kemudian ia memijat pelan pelipisnya yang terasa sakit.

Hanya mimpi!

Mimpi yang selalu menghantuinya hampir setiap hari sejak 20 tahun lalu. Mimpi yang membuatnya menjadi seperti ini. Hidup yang sangat tidak mudah baginya.

Lita berjalan kearah kursi yang sudah terlihat sangat tua, diambilnya jaket hitam yang biasa di pakainya.

Hari sudah menunjukkan jam 4 p7agi, yang artinya ia harus bergegas pergi bekerja untuk mendapatkan uang.

Lita pergi ke tempat kerjanya hanya dengan berjalan kaki, karena jaraknya yang memang tidak terlalu jauh menurutnya, hanya memakan waktu kurang lebih 30 menit dengan berjalan.

Lita sama sekali tidak takut berjalan di tengah-tengah kegelapan tanpa penerangan, karena ia sudah terbiasa dengan itu semua, bahkan tempat tinggalnya pun hanya memiliki 1 lampu yang redup, karena menurutnya itu sudah cukup membantunya agar tidak menabrak barang-barang yang ada di depannya.

Lita tinggal di tempat yang bisa dikatakan kumuh dan kurang layak untuk ditinggali. Ia sengaja memilih tempat tinggal seperti itu, di tempat yang tidak bisa dijamah oleh orang banyak, karena ia sangat benci dengan yang namanya keramaian.

Orang-orang di sekitarnya sering menyebutnya dengan wanita kelelawar, karena ia hampir tidak pernah keluar pada siang hari. Lita hanya bekerja dari malam hingga fajar tiba.

Lita terus berjalan hingga tiba di tempat kerjanya. Terlihat ada beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sudah memulai kerjanya. Lita yang melihatnya pun langsung membantu mereka. Mengangkat beberapa barang ke dalam toko. Iya, Lita hanyalah seorang pekerja lepas. Lebih tepatnya tukang angkat barang.

Ia tidak pernah malu akan status pekerjaannya, bahkan ia tidak pernah iri dengan wanita lainnya yang bekerja di kantoran, berdandan dan berpakaian rapi, karena ia tidak pernah mendapatkan predikat lulus dari sekolah manapun, bahkan untuk sekolah dasar.

Tanpa berbicara ia terus melakukan pekerjaannya dengan sangat mahir, bagaimana tidak, karena Lita telah melakoni pekerjaan ini lebih dari 10 tahun lamanya.

Karena merasa kelelahan para bapak-bapak dan beberapa pemuda menghentikan aktivitas mereka sebentar, menyeruput kopi panas dan kue yang sudah di siapkan oleh pemilik toko.

"Oi, minum kopi dulu!" Seru salah satu bapak-bapak.

"Iya, santai saja. Tidak perlu terburu-buru!" Timpal yang lainnya.

Namun Lita terlihat tak tertarik sama sekali. Ia bahkan tidak menoleh sedikitpun mendengar panggilan itu. Yang ia lakukan hanyalah bekerja dan terus bekerja.

"Itu anak bisu atau kenapa sih? Tiap dipanggil tidak pernah menyahut." Kesal bapak-bapak gendut berambut cepak seraya melemparkan tatapan tak sukanya ke arah Lita.

"Iya, sudah sebulan sejak dia bekerja dengan kita. Tapi aku tidak pernah mendengarnya bicara." Kata bapak-bapak berambut kriting yang menyetujui ucapan temannya itu.

"Sudahlah, abaikan saja dia. Dengan begitu jatah kue kita tidak berkurang. Hahaha.."

"Iya benar juga, biarkan saja dia!"

Lita mendengar ucapan dan ejekan mereka padanya, tapi ia masih diam tak bergeming. Karena ia sudah sering mendengar kata-kata seperti itu, bahkan yang lebih daripada itu.

Waktu terus berlalu, matahari pun mulai menampakkan jati dirinya.

Karena banyaknya barang yang harus di angkat hari ini, menyebabkan pekerjaan mereka selesai lebih lama dari biasanya. Bahkan Lita harus pulang lebih siang hari ini.

____________________

Di sisi yang berbeda, namun masih di belahan dunia yang sama. Terlihat laki-laki yang baru saja turun dari pesawat, menggunakan pakaian mencoloknya di tengah-tengah kerumunan orang yang di ikuti oleh sekretaris setianya.

"What's my schedule for today? (Apa jadwalku hari ini?)" Ucap laki-laki itu yang dengan sangat fasih mengucapkannya.

"Maaf bos, sekarang kita sudah tiba di Indonesia. Saya rasa Anda tidak perlu menggunakan kata-kata seperti itu lagi." Balas sang sekretaris, dengan ekspresi datarnya.

"Oh iya, sorry!" Ujarnya dengan gaya ikoniknya yang khas.

"A I U E O, A A.. " Ucapnya seraya menggerakkan bibirnya dengan sangat jelas. Bisa dibilang ini adalah ciri khasnya sebelum mengubah gaya bicaranya.

"Ok, jadi apa jadwal gue selanjutnya?" Kata laki-laki itu yang bertanya sekali lagi pada sekretarisnya.

"Nenek Anda sudah menunggu di rumah bos!"

"Apa?" Pekik laki-laki itu, yang membuat orang sekitar terkejut, dan menatap bingung ke arahnya. Kecuali Brian, sekretaris pribadi sekaligus sahabatnya sejak kecil. Ia tidak terlihat terkejut sama sekali dengan pekikan bosnya yang tiba-tiba itu.

"Kenapa nenek lampir itu masih saja tidak menyerah. Arghhhhh..." Ucap sang bos dengan segala kegusarannya.

"Maaf bos.."

"Ok stop Bray, gue tau apa yang mau Lo omongin. Lagi pula dia nggak ada disini sekarang. Jadi dia nggak akan mungkin bisa marah kalo gue nyebut dia nenek lampir. Kecuali Lo yang laporin." Kata laki-laki itu yang seakan mengerti jalan pikiran sekretaris pribadinya.

"By the way, kenapa Lo ngomongnya formal banget gitu si?"

"Karena saat ini saya sedang bekerja bos!" Sahut sang sekretaris, yang masih terus berjalan lurus dengan wibawanya.

"Tapi kita sekarang kan lagi nggak di kantor."

"Tapi sekarang masih jam kerja saya bos." Jawab sang sekretaris yang masih kekeuh dengan pendiriannya.

"Capek ya lama-lama ngomong sama Lo. Yaudahlah Bray, TERSERAH!" Ujar sang bos yang sudah mulai lelah dengan sikap sekretarisnya itu, karena kesal ia berjalan lebih cepat meninggalkan sekretarisnya yang sangat kaku bak tembok itu.

"Maaf bos, tolong panggil saya Brian." Ucap sang sekretaris yang tak terima di panggil dengan sebutan Bray oleh atasannya itu.

"Terserah gue, BRAY!" Sahut sang atasan, tepat di depan wajahnya. Bahkan dengan jarak yang sedekat itupun Brian tidak terlihat terkejut sama sekali.

"Ckckck, Lo itu sadar nggak si Bray, kalo Lo itu orang yang super duper aneh. Kaku kayak tembok!"

"Maaf bo..."

"Bray.. Bray.. Bray..." Ucapnya berulang-ulang untuk mengejek sekretaris temboknya itu.

Sedangkan yang di ejek tampak tidak terpengaruh sama sekali

William Riandra, ia adalah seorang direktur perusahaan terbesar di asia, GS (Go Success) Group. Cucu dari Arthalia Attasya, pemilik sejatinya GS Group. Ia terlihat memiliki segalanya, mulai dari fisik yang sempurna, kecerdasan, hingga kekayaan yang berlimpah, namun itu semua hanyalah tampak luarnya saja, tapi sangat kosong di dalamnya, terutama hatinya.

Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, akhirnya kini mereka tiba tepat di depan mansion mewah milik seorang William Riandra. Dengan perlahan supir pribadi William melajukan mobil milik majikannya masuk ke pekarangan.

Di depan pintu mansion mewah milik William terlihat seorang wanita cukup tua, namun gayanya yang modis membuatnya terlihat lebih muda dari usia aslinya. Dengan berkacak pinggang seraya menatap tajam ke arah mobil yang di naiki oleh William.

William yang melihat itupun dengan serta merta menyunggingkan senyumnya ke arah wanita yang berdiri di depan pintu mansion mewahnya, yang tak lain dan tak bukan adalah neneknya sendiri.

Saat mobil berhenti, William segera turun. Merentangkan kedua tangannya seraya berteriak manja.

"Neneeeekkkkkk!"

"Cih, tadi aja bilangnya nenek lampir, coba lihat kelakuannya sekarang? Dasar anak nenek!" Batin Brian, seraya menggeleng melihat tingkah bosnya itu.

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

Visual William dan Brian ketika di bandara 😁

Terpopuler

Comments

Zakiya Rahmania

Zakiya Rahmania

awal yg menarik,,,tp ngomong2 adek nya lita mana yah?

2022-02-15

1

riski iki

riski iki

Q mampir thor

2021-10-05

0

Nimah

Nimah

aku mampir lewat pintu blakang

2021-09-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!