NovelToon NovelToon

PELITA

Awal Cerita

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

"Ini semua gara-gara kalian berdua, setelah kalian membunuh orangtua kalian yang tidak lain adalah adikku sendiri, sekarang kalian juga membunuh anakku. Kenapa tidak kalian bunuh saja aku sekalian hah?" Teriak seorang wanita, ia duduk bersimbah dilantai seraya meraung-raung, memaki serta melontarkan kata-kata pedasnya pada kedua keponakan yang ada di depannya.

"Ya Tuhaaaannn, apa salah dan dosaku?" Isak wanita itu.

Terlihat gadis belia itu memeluk adiknya erat, adiknya yang masih tidak mengerti apapun itu hanya bisa menangis dalam pelukan kakaknya, sedangkan sang kakak terlihat begitu tegar, ia mencoba menenangkan sang adik yang sedang menangis meskipun dirinya sendiri pun sekarang merasakan sakit yang teramat di lubuk hatinya, matanya sudah mulai memerah dan berkaca-kaca, tapi ia berusaha dengan sekuat tenaganya untuk tidak terlihat lemah, terutama dihadapan adiknya sendiri.

"Pergi kalian! Aku tidak sudi melihat wajah kalian lagi!" Ujar wanita itu yang sekali lagi berteriak di tengah-tengah isak tangisnya.

"Bu, sudahlah. Ini semua hanyalah kecelakaan. Dan mereka juga masih kecil, mau tinggal dimana mereka kalau kamu mengusirnya. Terlebih lagi mereka adalah keponakan mu sendiri." Kata suami wanita itu yang mencoba menenangkan istrinya.

"Keponakan? Heh, aku tidak sudi memiliki keponakan pembunuh serta pembawa sial seperti mereka." Ucap sinis wanita itu dengan segala kebencian yang sudah tertanam di hatinya.

"Ku bilang pergi!" Teriaknya lagi. Ia bahkan tak menghiraukan orang-orang yang sudah berkumpul dan berbisik membicarakan mereka.

"Tapi Bu.."

"Paman, sudahlah. Apa yang dikatakan bibi itu benar, sudah seharusnya Lita dan Reka pergi dari sini. Memang benar bahwa kami lah yang menyebabkan kedua orangtua kami meninggal, dan juga.." Ucap gadis kecil itu menggantung, rasanya ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia tertunduk lesu seraya menggenggam tangan adiknya erat, ia masih berusaha untuk terlihat tegar.

"Tidak, ini bukan salah siapapun. Kematian kedua orangtua kalian serta anak paman itu murni hanyalah sebuah kecelakaan." Kata sang paman mencoba menenangkannya.

Tapi gadis itu sudah bertekad, ia benar-benar merasa bersalah atas kepergian kedua orangtuanya 6 bulan yang lalu, dan juga kepergian kakak sepupunya 1 minggu yang lalu. Ia menyalahkan dirinya sendiri, sebab itu lah ia memutuskan untuk pergi bersama dengan adiknya.

"Kalau kau sudah sadar. Maka segeralah pergi dari hadapanku. Aku benar-benar muak melihat wajah kalian!" Ucap wanita itu yang tak henti-hentinya melontarkan kata-kata yang begitu menyakitkan.

Tanpa membantah, gadis kecil itu mencoba kuat menerima takdir yang sudah digariskan Tuhan untuknya dan juga adiknya, di raihnya 1 tas berukuran besar yang sebelumnya dilempar oleh bibinya.

Dengan bibir yang bergetar ia mencoba berbicara, mungkin untuk yang terakhir kalinya.

"Bibi, paman, terimakasih atas segala kebaikan dan kemurahan hati kalian selama ini, yang sudah merawat dan menjaga kami setelah kepergian kedua orangtua kami." Ucap sang gadis, ia benar-benar dengan tulus mengucapkan rasa syukurnya.

"Paman! Paman tidak perlu mengkhawatirkan Lita dan juga Reka. Kami bisa menjaga diri kami sendiri. Dan Lita juga sudah cukup besar, Lita bisa menjaga Reka dengan baik." Ucapnya lagi meyakinkan pamannya seraya tersenyum ketir.

"Tapi Lita.."

"Bibi, Paman. Jagalah diri kalian!" Kata gadis itu seraya menggenggam erat tangan sang adik, lalu membawanya pergi dari rumah paman dan bibinya.

Sang bibi hanya memberikan tatapan sinis padanya dan juga adiknya.

"Lita, Reka, tunggu..." Teriak sang paman. Tapi gadis dan adiknya itu sama sekali tidak berbalik mendengar teriakan sang paman.

"Kalau kau ingin menyusul mereka, silahkan! Jangan pernah muncul dihadapan ku lagi!" Ancam wanita itu, sebelum berbalik masuk kedalam rumahnya.

Sesaat laki-laki itu terdiam memikirkan kata-kata sang istri. Ia begitu takut kalau harus pergi meninggalkan istrinya, karena semenjak kecelakaan yang ia alami pada saat bekerja 1 tahun yang lalu, menyebabkan salah satu kakinya lumpuh, sehingga kini hidupnya hanyalah bergantung pada sang istri.

"Maaf kan paman Lita, Reka!" Ucap sang paman dengan menatap nanar punggung kedua keponakannya yang kini sudah berjalan sangat jauh di depannya.

____________________

Tut.. Tut.. Tut..

Jreg.. Jreg.. Jreg..

Suara kereta api yang baru saja tiba di stasiun.

Terlihat kerumunan orang yang berlalu lalang meramaikan stasiun. Dan ada juga yang sedang mengantri untuk naik kereta yang baru saja tiba. Kini Lita dan Reka sedang duduk di sebuah bangku yang ada di stasiun sambil menunggu kereta tujuan mereka tiba. Lita ingin membawa adiknya pergi ke kota J dengan berbekal uang tabungan yang pernah di berikan oleh pamannya.

"Kak Ita, Eka lapel!" Ucap sang adik yang baru berusia 4 tahun itu, Lita dan Reka terpaut usia 5 tahun.

"Reka laper? Yaudah, tunggu disini sebentar ya. Kakak belikan makanan dulu, tunggu disini! Jangan kemana-mana!" Kata Lita sambil menyunggingkan senyum pada adiknya.

"Iya!" Jawab sang adik riang seraya memeluk boneka beruang kecil kesayangannya.

Pelita sungguh menyayangi adiknya, meskipun ia dikenal sebagai gadis yang pendiam, tapi sikapnya sangat cerewet pada adiknya, karena itulah caranya untuk menunjukan rasa sayang dan juga perhatiannya pada sang adik.

Lita bangkit dari duduknya, lalu segera berlari ke arah warung yang tak jauh dari stasiun. Karena banyaknya pembeli, Lita tidak ada pilihan lain selain ikut mengantri. Beberapa kali ia berbalik menengok ke arah adiknya, untuk memastikan bahwa adiknya masih duduk menunggunya.

Kurang lebih ia mengantri 30 menit, akhirnya kini Lita bisa membeli beberapa keperluannya termasuk makanan untuk sang adik. Ia membeli 2 nasi bungkus, beberapa roti dan juga air mineral untuknya dan juga adiknya. Ia menyodorkan 1 lembar uang berwarna biru untuk membayar belanjaannya pada sang pemilik warung, seraya menunggu kembalian uangnya, Lita kembali berbalik menengok adiknya. Namun betapa terkejutnya ia, ketika matanya tak menangkap sosok adiknya yang duduk di atas bangku tempat mereka duduk tadi.

Lita sangat cemas, saat ia hendak berlari. Suara sang pemilik warung menghentikannya.

"Ini belanjaan dan juga kembalianya dek!"

Grep

Dengan cepat Lita mengambil belanjaan dan juga uang kembalian dari tangan sang pemilik warung. Lalu dengan bergegas ia berbalik dan langsung berlari sekencang-kencangnya sampai tiba dibangku tempat ia dan adiknya duduk tadi.

"Adek! Kamu dimana?" Teriak Lita yang kini sudah diliputi rasa kekhawatiran yang teramat sangat.

Ia memutar tubuhnya beberapa kali untuk mencari sang adik, tapi tetap saja adiknya tidak terlihat sama sekali.

Kemudian ia berlari ke sembarang tempat untuk menemukan adiknya, tapi lagi-lagi ia tak menemukannya.

"Reka?" Teriaknya dengan segala rasa keputus asaannya. Ia benar-benar takut sekarang,

"Kamu dimana? Hiks.."

"Reka?"

"Reka?"

Klentang....

Terdengar dentuman suara benda terjatuh begitu kerasnya.

"Heh, heh, heh.." Ia langsung terbangun dan terengah-engah, bahkan terlihat keringat dingin membanjiri seluruh wajahnya. Kemudian ia memijat pelan pelipisnya yang terasa sakit.

Hanya mimpi!

Mimpi yang selalu menghantuinya hampir setiap hari sejak 20 tahun lalu. Mimpi yang membuatnya menjadi seperti ini. Hidup yang sangat tidak mudah baginya.

Lita berjalan kearah kursi yang sudah terlihat sangat tua, diambilnya jaket hitam yang biasa di pakainya.

Hari sudah menunjukkan jam 4 p7agi, yang artinya ia harus bergegas pergi bekerja untuk mendapatkan uang.

Lita pergi ke tempat kerjanya hanya dengan berjalan kaki, karena jaraknya yang memang tidak terlalu jauh menurutnya, hanya memakan waktu kurang lebih 30 menit dengan berjalan.

Lita sama sekali tidak takut berjalan di tengah-tengah kegelapan tanpa penerangan, karena ia sudah terbiasa dengan itu semua, bahkan tempat tinggalnya pun hanya memiliki 1 lampu yang redup, karena menurutnya itu sudah cukup membantunya agar tidak menabrak barang-barang yang ada di depannya.

Lita tinggal di tempat yang bisa dikatakan kumuh dan kurang layak untuk ditinggali. Ia sengaja memilih tempat tinggal seperti itu, di tempat yang tidak bisa dijamah oleh orang banyak, karena ia sangat benci dengan yang namanya keramaian.

Orang-orang di sekitarnya sering menyebutnya dengan wanita kelelawar, karena ia hampir tidak pernah keluar pada siang hari. Lita hanya bekerja dari malam hingga fajar tiba.

Lita terus berjalan hingga tiba di tempat kerjanya. Terlihat ada beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sudah memulai kerjanya. Lita yang melihatnya pun langsung membantu mereka. Mengangkat beberapa barang ke dalam toko. Iya, Lita hanyalah seorang pekerja lepas. Lebih tepatnya tukang angkat barang.

Ia tidak pernah malu akan status pekerjaannya, bahkan ia tidak pernah iri dengan wanita lainnya yang bekerja di kantoran, berdandan dan berpakaian rapi, karena ia tidak pernah mendapatkan predikat lulus dari sekolah manapun, bahkan untuk sekolah dasar.

Tanpa berbicara ia terus melakukan pekerjaannya dengan sangat mahir, bagaimana tidak, karena Lita telah melakoni pekerjaan ini lebih dari 10 tahun lamanya.

Karena merasa kelelahan para bapak-bapak dan beberapa pemuda menghentikan aktivitas mereka sebentar, menyeruput kopi panas dan kue yang sudah di siapkan oleh pemilik toko.

"Oi, minum kopi dulu!" Seru salah satu bapak-bapak.

"Iya, santai saja. Tidak perlu terburu-buru!" Timpal yang lainnya.

Namun Lita terlihat tak tertarik sama sekali. Ia bahkan tidak menoleh sedikitpun mendengar panggilan itu. Yang ia lakukan hanyalah bekerja dan terus bekerja.

"Itu anak bisu atau kenapa sih? Tiap dipanggil tidak pernah menyahut." Kesal bapak-bapak gendut berambut cepak seraya melemparkan tatapan tak sukanya ke arah Lita.

"Iya, sudah sebulan sejak dia bekerja dengan kita. Tapi aku tidak pernah mendengarnya bicara." Kata bapak-bapak berambut kriting yang menyetujui ucapan temannya itu.

"Sudahlah, abaikan saja dia. Dengan begitu jatah kue kita tidak berkurang. Hahaha.."

"Iya benar juga, biarkan saja dia!"

Lita mendengar ucapan dan ejekan mereka padanya, tapi ia masih diam tak bergeming. Karena ia sudah sering mendengar kata-kata seperti itu, bahkan yang lebih daripada itu.

Waktu terus berlalu, matahari pun mulai menampakkan jati dirinya.

Karena banyaknya barang yang harus di angkat hari ini, menyebabkan pekerjaan mereka selesai lebih lama dari biasanya. Bahkan Lita harus pulang lebih siang hari ini.

____________________

Di sisi yang berbeda, namun masih di belahan dunia yang sama. Terlihat laki-laki yang baru saja turun dari pesawat, menggunakan pakaian mencoloknya di tengah-tengah kerumunan orang yang di ikuti oleh sekretaris setianya.

"What's my schedule for today? (Apa jadwalku hari ini?)" Ucap laki-laki itu yang dengan sangat fasih mengucapkannya.

"Maaf bos, sekarang kita sudah tiba di Indonesia. Saya rasa Anda tidak perlu menggunakan kata-kata seperti itu lagi." Balas sang sekretaris, dengan ekspresi datarnya.

"Oh iya, sorry!" Ujarnya dengan gaya ikoniknya yang khas.

"A I U E O, A A.. " Ucapnya seraya menggerakkan bibirnya dengan sangat jelas. Bisa dibilang ini adalah ciri khasnya sebelum mengubah gaya bicaranya.

"Ok, jadi apa jadwal gue selanjutnya?" Kata laki-laki itu yang bertanya sekali lagi pada sekretarisnya.

"Nenek Anda sudah menunggu di rumah bos!"

"Apa?" Pekik laki-laki itu, yang membuat orang sekitar terkejut, dan menatap bingung ke arahnya. Kecuali Brian, sekretaris pribadi sekaligus sahabatnya sejak kecil. Ia tidak terlihat terkejut sama sekali dengan pekikan bosnya yang tiba-tiba itu.

"Kenapa nenek lampir itu masih saja tidak menyerah. Arghhhhh..." Ucap sang bos dengan segala kegusarannya.

"Maaf bos.."

"Ok stop Bray, gue tau apa yang mau Lo omongin. Lagi pula dia nggak ada disini sekarang. Jadi dia nggak akan mungkin bisa marah kalo gue nyebut dia nenek lampir. Kecuali Lo yang laporin." Kata laki-laki itu yang seakan mengerti jalan pikiran sekretaris pribadinya.

"By the way, kenapa Lo ngomongnya formal banget gitu si?"

"Karena saat ini saya sedang bekerja bos!" Sahut sang sekretaris, yang masih terus berjalan lurus dengan wibawanya.

"Tapi kita sekarang kan lagi nggak di kantor."

"Tapi sekarang masih jam kerja saya bos." Jawab sang sekretaris yang masih kekeuh dengan pendiriannya.

"Capek ya lama-lama ngomong sama Lo. Yaudahlah Bray, TERSERAH!" Ujar sang bos yang sudah mulai lelah dengan sikap sekretarisnya itu, karena kesal ia berjalan lebih cepat meninggalkan sekretarisnya yang sangat kaku bak tembok itu.

"Maaf bos, tolong panggil saya Brian." Ucap sang sekretaris yang tak terima di panggil dengan sebutan Bray oleh atasannya itu.

"Terserah gue, BRAY!" Sahut sang atasan, tepat di depan wajahnya. Bahkan dengan jarak yang sedekat itupun Brian tidak terlihat terkejut sama sekali.

"Ckckck, Lo itu sadar nggak si Bray, kalo Lo itu orang yang super duper aneh. Kaku kayak tembok!"

"Maaf bo..."

"Bray.. Bray.. Bray..." Ucapnya berulang-ulang untuk mengejek sekretaris temboknya itu.

Sedangkan yang di ejek tampak tidak terpengaruh sama sekali

William Riandra, ia adalah seorang direktur perusahaan terbesar di asia, GS (Go Success) Group. Cucu dari Arthalia Attasya, pemilik sejatinya GS Group. Ia terlihat memiliki segalanya, mulai dari fisik yang sempurna, kecerdasan, hingga kekayaan yang berlimpah, namun itu semua hanyalah tampak luarnya saja, tapi sangat kosong di dalamnya, terutama hatinya.

Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, akhirnya kini mereka tiba tepat di depan mansion mewah milik seorang William Riandra. Dengan perlahan supir pribadi William melajukan mobil milik majikannya masuk ke pekarangan.

Di depan pintu mansion mewah milik William terlihat seorang wanita cukup tua, namun gayanya yang modis membuatnya terlihat lebih muda dari usia aslinya. Dengan berkacak pinggang seraya menatap tajam ke arah mobil yang di naiki oleh William.

William yang melihat itupun dengan serta merta menyunggingkan senyumnya ke arah wanita yang berdiri di depan pintu mansion mewahnya, yang tak lain dan tak bukan adalah neneknya sendiri.

Saat mobil berhenti, William segera turun. Merentangkan kedua tangannya seraya berteriak manja.

"Neneeeekkkkkk!"

"Cih, tadi aja bilangnya nenek lampir, coba lihat kelakuannya sekarang? Dasar anak nenek!" Batin Brian, seraya menggeleng melihat tingkah bosnya itu.

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

Visual William dan Brian ketika di bandara 😁

Carikan Aku Wanita Dalam 1 Minggu

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

"Dasar anak nakal, bisa-bisanya kau pergi tanpa memberitahu ku." Kesal nenek Artha dengan bersidekap dan membelakangi cucunya itu seperti anak kecil yang sedang merajuk.

"Hehhe, nenek ayolah.. Aku kan pergi karena ada pekerjaan yang mendadak." William bergelayut manja di lengan neneknya seraya mengeluarkan ekspresi tanpa dosanya.

"Setidaknya telpon nenekmu ini, kalau kau mau pergi. Atau jangan-jangan kau sengaja menghindariku?" Selidik nenek Artha, karena tak biasanya cucu manjanya itu pergi tanpa memberitahunya.

"E.. Tidak! Mana mungkin? Mana berani cucu kesayangan mu ini menghindari nenek." Ujarnya dengan nada yang manja, berakting semeyakinkan mungkin agar neneknya itu percaya dengan kata-katanya, padahal kenyataannya dia memang sengaja menghindari neneknya itu.

"Benarkah?" Ucap nenek Artha yang masih meragukan perkataan cucunya itu.

"Benar neeekkk! Mana berani cucumu ini membohongimu?"

"Tidak benar nyonya!" Brian yang sejak tadi hanya diam, tiba-tiba mengeluarkan kata-katanya.

Dengan spontan nenek Artha dan William menatap kaget ke arah sumber suara, sebelum pukulan sempurna mendarat tepat di bagian kepala William.

"Kau berani membohongiku?"

Bug..

"Ah!" Pekik William merasakan sakit karena pukulan neneknya yang cukup kuat.

"Tidak nek!" Ucap William yang masih tidak mengakui kebohongannya.

"Bray, Lo ngomong apaan sih? Lo sengaja ya, biar nenek mukul gue?" Kesal William.

"Tentu tidak bos, saya hanya mengatakan yang sebenarnya!" Ucap Brian dengan wajah tanpa dosanya.

"Nek, itu tidak benar. Bray memfitnahku!" Tunjuk William, ia masih berusaha membela dirinya.

Brian hanya menggeleng tanpa ekspresi melihat tingkah bosnya yang seperti anak-anak itu.

Wanita memang banyak yang menggilainya, iya! Karena mereka hanya melihat dari luarnya saja. Coba saja mereka melihat sisinya yang seperti ini, apa mereka masih bisa tergila-gila? Batin Brian.

"Terserahlah! Yang jelas, keputusan nenek sudah bulat. Kau harus menikah minggu depan! Jadi jangan pernah berpikir bisa menghindarinya lagi." Tegas nenek Artha seraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam mansion mewah milik William.

"Apa? Minggu depan? Yang benar saja nek, bukankah nenek bilang akan memberiku waktu 1 bulan?"

"Iya, tapi itu sebelum kau berulah dan membohongiku!" Seru nenek Artha yang kemudian duduk di sofa besar yang ada di ruang tengah.

"Nek, aku benar-benar tidak ingin menikah. Bukankah nenek sudah tau bahwa aku..."

"Mau tidak mau kau harus menikah!" Potong nenek Artha, ia terlihat sangat serius dengan ucapannya.

"Nek!"

"Apa kau mau perusahaan kita bangkrut? Mereka (pemegang saham) setiap hari mengeluh pada nenekmu ini soal skandalmu itu, dan kau tau berapa persen saham perusahaan kita yang turun gara-gara berita sampah itu?" Tegas nenek Artha.

"Nenek tau kan pada dasarnya semua berita itu tidak benar, apa nenek tidak percaya sama sekali dengan cucumu ini? Jangankan tidur dengan beberapa wanita, dekat dengan seorang wanita saja aku tidak sudi." Ucap William, bahkan memikirkan ia harus dekat dengan seorang wanita saja membuatnya jijik.

Tidak ada asap jika tidak ada api, tentu saja tidak akan ada akibat jika tidak ada sebab. Dan itulah yang menjadi titik trauma dalam kehidupan seorang William Riandra. Ia sangat membenci wanita kecuali neneknya yang merawatnya dengan tulus dari kecil hingga sekarang.

Sekitar 23 tahun yang lalu ketika William masih berusia 10 tahun tepat di hari ulang tahunnya, ia harus melihat adegan yang sangat tidak pantas yang membuat hatinya sakit sampai sekarang dan karena kejadian itu juga ia harus kehilangan orang yang sangat ia hormati dan cintai, dan ia rasa mungkin selamanya rasa itu tidak akan pernah hilang, setiap detail kejadian hari itu masih tercetak dengan jelas di ingatannya. Rasa kecewa, marah, benci, muak dan jijik, rasa yang tidak akan pernah bisa ia lupakan.

Terlihat tulang pipi William yang mengeras, serta guratan amarah yang sangat terlihat jelas di wajahnya, ia mencengkram jari jemarinya sendiri dengan kuat, sudah bisa dipastikan, kenangan buruk itu kembali membuatnya marah.

Nenek Artha yang melihat perubahan ekspresi cucunya itupun, dengan serta merta menggenggam erat tangannya. Ia tau betul dengan rasa sakit yang pernah di alami cucunya itu. Tapi di lain sisi, ia juga tidak ingin melihat cucunya sengsara dengan kesendiriannya seumur hidup, ia ingin melihat cucunya itu bahagia.

"Will, kau tau kan? Kau adalah satu-satunya harta nenek yang paling berharga di dunia ini?" Ucap nenek Artha pelan, seraya mengusap-usap pelan punggung tangan cucunya itu.

"Nenek ingin melihat kau bahagia! Nenek yakin, rasa sakit itu akan sirna saat kau menemukan seseorang yang dengan tulus mencintaimu, menerimamu apa adanya, selalu ada di saat kau susah maupun senang."

"Apa menurut nenek akan ada seseorang seperti itu?" Tanya William dengan tatapan nanarnya, menelisik jauh kedalam netra pekat milik neneknya, seolah mencari jawaban atas keraguan hatinya di dalam sana.

"Tentu! Lihatlah nenek?"

"Heh, jangan bandingkan siapapun dengan nenek, di dunia ini tidak akan pernah ada wanita sebaik dan setulus nenek." Ucap William seraya menenggelamkan kepalanya yang besar pada pundak neneknya yang terlihat kecil dibanding dirinya.

Brian yang tak jauh duduk dari nenek serta cucu yang saling mengasihi itupun hanya bisa tersenyum lega melihat keduanya.

Sesekali terlihat ia menyeka hidungnya yang berair, karena terharu melihat adegan yang sangat menyentuh di depannya saat ini.

____________________

Siang ini William dan Brian sudah berada di kantor. Mereka berdua memang sangat mirip, benar-benar penggila kerja, bahkan ketika baru saja pulang dari penerbangan yang cukup jauh tak membuat mereka bermalas-malasan dirumah. Hanya saja sifat mereka yang berbeda, William yang terkenal dengan kenarsisan serta ke aktifannya, sedangkan Brian terkenal pendiam dan juga cool. Perpaduan yang sangat sempurna bukan? 😂

William terlihat masih sibuk dengan segudang dokumennya, begitu pun dengan Brian.

Di tengah-tengah kesibukannya, William menekan tombol otomatis pada telepon yang ada di atas meja kerjanya untuk memanggil Brian.

"Keruangan saya sekarang!" Perintah William.

Ketika di luar dan di dalam kantor, William benar-benar terlihat berbeda. Meskipun ia sama-sama menggunakan pakaian yang mencolok, bisa di bilang nyentrik di luar maupun di dalam kantor, tapi sikapnya benar-benar berbeda, ia akan terlihat aktif dan santai di luar kantor, tapi kalau sudah memasuki arena kantor atau perusahaan sikapnya akan berubah 360°, terlihat tegas dan dingin, seperti seseorang yang tidak akan pernah bisa di gapai. Ya, begitulah pemikiran orang-orang yang ada di kantor nya, bahkan saat rapat jika karyawan melakukan kesalahan, ia tak akan segan-segan membentaknya di hadapan semua orang, sekecil apapun kesalahan mereka. Karena itulah kebanyakan orang menyebutnya dengan orang yang berkepribadian ganda.

Tok.. tok.. tok..

Brian mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam ruangan bosnya.

"Carikan aku wanita dalam 1 minggu!" Ucap William tanpa basa-basi.

"Bos yakin?" Tanya Brian ragu.

"Bukankah itu yang di inginkan nenek ku, dan itu juga satu-satunya cara untuk membantah rumor miring tentang ku beberapa minggu ini." Tegasnya.

"Bos! Menurut bos, apakah semua ini ada sangkut pautnya dengan bibi dan juga paman bos?" Tanya Brian ragu-ragu.

"Menurutmu? Siapa lagi yang bisa mendesak ku, dan yang sangat menginginkan ku turun dari posisi ku sekarang?" Tanya balik William, dengan membalik tubuhnya menatap lurus keluar pada luar jendela kantornya.

Brian tau betul apa yang dipikirkan bosnya saat ini, ia tau ada begitu banyak beban yang harus di pikulnya.

"Bagaimana dengan nona Laras bos? Sepertinya dia terlihat sangat menginginkan bos." Tanya Brian lagi. Larasati Putri, anak angkat dari kakak ibunya.

"Menginginkan ku atau hartaku?" Gumam William seraya tersenyum sinis.

Setelah mereka kehabisan akal untuk menurunkanku dari posisiku, sekarang mereka menggunakan putri mereka sendiri untuk menjebak ku. Menjijikkan! Batin William.

"Baiklah bos, saya akan mencarinya dalam kurun waktu yang dekat." Ucap Brian yang memecah keheningan di antara mereka.

"Carilah seseorang yang menurutmu sangat mustahil untuk ku sukai. Ya meskipun itu tidak akan pernah terjadi. Karena aku tidak akan pernah bisa menyukai orang lain melebihi diriku yang sempurna ini." Ucap William dengan percaya dirinya.

Brian yang mendengar penuturan bosnya itu, hanya bisa mengernyitkan dahinya bingung.

Kalau begitu nikahi monyet saja, sangat cocok untukmu! Batin Brian kesal.

"Oiya, kalau bisa cari yang jelek." Tambahnya.

Sekali lagi Brian mengernyitkan dahinya bingung.

"Tapi bos, kalau seperti itu. Apa nyonya besar akan menerimanya?" Tanya Brian ragu. Bagaimana dia bisa mencarikan calon istri yang seperti itu untuk bosnya sendiri.

"Nenek kan sudah memberikan wewenang penuh untukku, jadi itu semua terserah padaku. Toh, pernikahan ini tidak akan lama. Dan perlu di garis bawahi, pernikahan ini hanya untuk mengahalau berita yang tidak benar tentang ku." Sahut William, yang kembali sibuk dengan dokumen-dokumennya.

"Pokoknya cari lah wanita yang menurutmu sangat mustahil untuk kau sukai." Tambah William.

"Saya?" Tanya Brian bingung sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, kalau kau saja bisa mustahil menyukainya apalagi aku!" Ucap enteng William.

"Jadi sebenarnya aku ini teman atau kambing percobaannya?" Gumam Brian.

"Apa katamu?" Tanya William seakan mendengar gumaman sahabat sekaligus sekretarisnya itu.

"Tidak ada bos! Kalau begitu, saya permisi!" Ucap Brian, yang bergegas menundukkan kepalanya lalu keluar dari hadapan bos yang menurutnya menyebalkan itu.

"Kalau saja dia tidak memberiku gaji yang tinggi, aku sudah pasti akan mengundurkan diri sekarang juga!" Gerutu pelan Brian ketika sudah keluar dari ruangan William.

____________________

Hari ini matahari nampak gemar mengeluarkan sinarnya hingga sore hari. Lita tak punya pilihan lain, selain keluar sore ini, karena makanan yang sudah habis tak tersisa di kulkasnya. Biasanya ia menunggu hingga malam untuk membeli beberapa keperluan di minimarket, tapi karena perutnya yang sudah sangat keroncongan, Lita tak bisa menunggu lebih lama lagi.

Dengan memakai jaket hitam yang biasa di pakainya serta topi sebagai tempat bernaung kepalanya, sudah cukup membuat lita tidak merasakan panasnya sengatan matahari sore ini. Lita berjalan melewati beberapa gang yang lumayan sempit, saat ia berjalan tak sedikit orang yang menatap padanya. Ia terlihat berjalan tanpa ekspresi, seperti memikul beban yang sangat berat di pundaknya. Bahkan ada orang sebagian yang mempertanyakan gendernya. Wajahnya memang terlihat seperti perempuan, tapi rambut pendek membuatnya terlihat seperti laki-laki. Bahkan siapa saja yang melihatnya berjalan tanpa ekspresi seperti itu ditambah lagi ia tidak mengeluarkan suara, benar-benar nampak seperti seorang laki-laki.

Kurang lebih ia berjalan 15 menit, akhirnya Lita sampai di mini market yang biasa ia datangi hampir setiap malam.

Ia terlihat mengambil beberapa mie instan dan juga telur, dan tak lupa membeli beberapa soda. Saat sudah mengambil semua keperluannya, Lita berjalan kearah kasir untuk membayar tagihan belanjaannya.

"Ada kartu membernya mbak?" Tanya kasir minimarket itu ramah.

"Tidak!" Sahut Lita singkat padat dan jelas.

Setiap kali Lita membayar tagihan belanjaannya di kasir, ia sering kali membuat para kasir yang melayaninya agak takut melihatnya, karena aura dingin dan tanpa ekspresinya.

Segera setelah selesai membayar Lita bergegas berjalan keluar. Saat baru beberapa langkah keluar dari minimarket, ia merasakan ada seseorang yang sedang menguntitnya sekarang.

Lita yang menyadari itu pun dengar serta merta langsung melemparkan barang belanjaannya ke arah 2 pria bertubuh besar yang sedang mengejarnya sekarang.

Lalu tanpa membuang waktu lagi, Lita berlari sekencang-kencangnya menghindari tangkapan mereka.

Lita terus berlari tanpa memperdulikan banyaknya kerumunan orang yang menghadang di depannya, dengan cepat Lita menerobos di tengah-tengah mereka untuk menghindari kejaran 2 laki-laki berbadan besar yang saat ini tengah memburunya.

Hingga tiba di sebuah gang, Lita berhenti sebentar untuk menghirup udara yang sudah mulai habis di paru-parunya. Dan 2 laki-laki yang mengejarnya tadi masih belum tampak di belakangnya.

Lalu tak jauh dari tempat Lita berdiri, ia melihat seseorang yang sepertinya sedang di rampok di ujung gang yang buntu. Terlihat 7 orang laki-laki yang melawan 1 orang laki-laki, dan 1 orang itu terlihat tersungkur karena dia di keroyok.

Lita terlihat kebingungan, ia bingung antara harus menolong pria yang sedang di keroyok itu atau pergi berlari untuk menyelamatkan dirinya dari 2 orang yang mengejarnya tadi, bahkan mungkin tidak akan lama lagi 2 orang itu akan muncul dan menangkap Lita.

Lita meyakinkan dirinya sendiri untuk egois. Untuk apa menolongnya? Karena keselamatan ku lah yang paling utama sekarang. Pikir Lita, ia kembali melanjutkan pelariannya.

Namun tindakannya tidak pernah mendengarkan apa kata hatinya. Baru beberapa langkah Lita berlari, kemudian kakinya itu dengan cepat berbalik dan berlari ke arah laki-laki yang sedang di keroyok di ujung gang buntu itu.

"Aish, merepotkan saja!" Gumam Lita.

-

"Saya mohon, lepaskan saya! Kalian kan sudah mendapatkan semua barang-barang saya. Jadi tolong lepaskan saya sekarang!" Ucap laki-laki itu berlutut serta memohon pada 7 laki-laki dihadapannya.

"Apa katanya? Bro dia minta di lepaskan?" Seru laki-laki yang terlihat menyeramkan itu dengan tato yang memenuhi tubuhnya.

"Hahahahahha..." Kelakar teman-temannya yang seakan mengejek laki-laki yang sedang berlutut di hadapan mereka sekarang ini.

"Jangan ha..."

Bug..

Seketika laki-laki yang menyeramkan itu terpental akibat tendangan-tendangan yang begitu kuat menghantam pada pipi kirinya.

Kawan-kawannya yang melihat adegan itu pun terkejut dan menjadi sedikit takut.

"Ah, si*l*n!" Pekik laki-laki yang tersungkur itu seraya menyapu darah segar yang mengucur pada ujung bibirnya.

"Kenapa kalian diam saja?" Pekik laki-laki itu lagi yang melihat ke enam temannya terdiam mematung.

Mereka berenam ingin menghajarnya, terlihat dari kaki mereka yang sudah memasang kuda-kuda, tapi mereka juga merasa takut melihat tatapan tajam Lita yang menyeramkan, alhasil membuat mereka kembali ragu untuk melayangkan tinjunya.

"B*d*h, habisi dia!" Pekik laki-laki itu yang sudah sangat marah sekarang.

Hiyaaaaa....

Ciaaaattttt...

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

Apa Kabar Sayang?

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

Bug..

Bug..

Bug..

Lita terlihat mahir melayangkan tinju dan juga tendangannya. Tidak, dia sangat ahli dalam hal itu.

Laki-laki yang di tolongnya saja sampai ternganga melihat adegan demi adegan di depannya. Lita tidak terlihat goyah ataupun kelelahan sedikitpun melayani 7 laki-laki itu.

Lita berputar, kemudian melayangkan tendangan dan juga pukulannya dengan begitu leluasa. Hingga 7 laki-laki itu tumbang seketika.

"Tunggu pembalasanku!" Ancam laki-laki dengan penuh tato itu. Menatap tajam pada bola mata Lita, terlihat amarah dan juga kebencian dari sorot matanya.

Lita tidak terlihat takut sama sekali mendengar ancamannya. Dia sama sekali tidak terpengaruh oleh ancaman laki-laki itu.

Mereka bertujuh lari dengan terbirit-birit seraya memegangi bagian tubuh mereka yang terasa sakit akibat dari tendangan dan juga pukulan yang begitu keras dari Lita.

Laki-laki yang sedari tadi terduduk dengan luka memar di wajahnya hingga saat ini masih menatap takjub dengan kemampuan seseorang yang menolongnya saat ini.

Setelah melihat ketujuh laki-laki itu lari ketakutan, Lita berniat pergi sebelum 2 pria yang mengejarnya tadi menemukannya.

Kemudian laki-laki itu mencoba berdiri seraya menahan sakit di sekujur tubuhnya.

"Te...." Ucapnya menggantung, karena Lita yang sudah berbalik dan pergi sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

".. rima kasih.." Sambungnya, menatap Lita yang sudah berlari jauh di depannya.

"Bagaimana caranya agar aku bisa berterima kasih? Aduh, hshhh.." Gumam laki-laki itu, seraya meringis menahan sakit.

Saat dia berjalan, tiba-tiba dia melihat barang yang sepertinya sebuah dompet yang terjatuh. Tanpa berpikir lagi, dia meraih dompet itu.

"Apa ini dompet mas yang tadi?" Gumamnya. Dia berpikir bahwa seseorang yang menolongnya tadi adalah seorang pria.

"Ah, mungkin dengan ini aku bisa menemuinya dan berterima kasih secara langsung." Ucapnya lagi.

Lalu ia pun membuka dompet itu, untuk melihat alamat sang pemilik.

"Seorang wanita?" Ujarnya membelalak kaget, ia benar-benar tidak menyangka bahwa yang menolongnya tadi adalah seorang wanita.

Di tengah-tengah keterkejutannya, sekali lagi ia di buat terkejut oleh deringan telepon genggamnya yang tiba-tiba berbunyi. Setelah melihat siapa si pemanggil, ia langsung menggeser tanda hijau yang ada di layar teleponnnya itu.

"Halo!"

"Halo Bray, Lo dimana sih? Lama banget." Keluh si pemanggil, yang tak lain adalah William.

"Sebentar lagi saya akan kesana!" Sahut laki-laki itu yang ternyata adalah Brian, sekretaris pribadi William. Setelah mengatakan itu, lalu sambungan telepon pun terputus.

Brian segera beranjak dari posisinya untuk menemui bosnya yang ternyata sudah menunggunya begitu lama.

-

William terlihat gusar di dalam mobil menunggu sekretarisnya, terhitung sudah 1 jam sekretarisnya itu pergi.

Namun tak berapa lama kemudian Brian muncul. Dari kejauhan jalannya tidak terlihat seperti orang normal, kakinya terlihat pincang. William yang menyadari itupun, langsung bergegas turun dari mobil dan menghampiri sekretarisnya itu.

"Kaki Lo kenapa Bray? Dan ini lagi?" Tanya William khawatir, seraya menyentuh wajah Brian yang terlihat memar.

"Aw, hashh..." Ringisnya, ketika tangan William menyentuh memarnya.

"Saya habis di rampok dan di keroyok bos."

"Hah? Kenapa bisa? Lo kan jago berantem, kok bisa bonyok gini sih?" Ucap William sambil memperhatikan wajah Brian yang memar karena tonjokan seseorang.

"Mereka bermain curang bos, di saat saya belum siap mereka memukul saya."

"Lo kira berantem di ring harus pakai persiapan dulu, yaudah-yaudah masuk ke mobil dulu." Kata William seraya menuntun Brian masuk kedalam mobil.

"Kalo gitu kita kerumah sakit dulu." Sambung William, lalu iapun beralih posisi, duduk di kursi kemudi. Karena saat ini mereka hanya pergi berdua tanpa sopir pribadi William.

"Tidak perlu bos, ini ha..."

"Bray, bisa nggak si Lo diam dulu. Udah bonyok gitu masih aja protes." Omel William.

"Yasudah, kalau begitu biar sa.." Ucap Brian seraya mencoba bangun, tapi lagi-lagi ucapannya di potong oleh William.

"Lo duduk manis aja disitu, biar gue yang nyetir." Potongnya, lalu William menyalakan mesin mobilnya.

"Tapi bos?" Ucap Brian terlihat ragu.

"Kenapa?"

"Apa bos yakin ingin menyetir?" Tanya Brian, terlihat gurat kecemasan di wajahnya.

"Kenapa? Lo nggak yakin?" Tanya balik William.

"Iya!" Sahut Brian tanpa ragu. "Saya tidak ingin masuk ke rumah duka alih-alih rumah sakit." Sambungnya.

"Bray, kenapa Lo ragu sama kemampuan sahabat Lo sendiri sih? Gue udah dapat SIM dari 12 tahun yang lalu. Itu berarti gue udah dapat izin mengemudi dari 12 tahun yang lalu."

Iya, tapi setelah mendapatkan SIM itu Lo udah nggak pernah nyetir lagi sampai sekarang. Bahkan untuk dapatin SIM itu aja, Lo perlu tes ulang lebih dari 30 kali, sampai polisinya aja bosen ngawasin Lo di lapangan, sampai akhirnya mereka bikinin Lo SIM, karena udah terlalu males karena Lo hampir tiap hari bolak balik ke kantor polisi cuma buat bikin SIM. Batin Brian.

"Tidak bos, saya tidak ragu. Hanya saja sa..."

"Udah, pokoknya Lo duduk anteng aja di situ. Biar gue yang nyetir, gue pastiin Lo sampai di rumah sakit dengan aman." Potong William lagi.

Dengan bermodal keyakinan sangat tipis, Brian akhirnya mengiyakan kata bosnya itu. Di pasangnya seatbelt se erat mungkin, dan tak lupa Brian menggenggam hand grip yang berada tepat di atas kepalanya dengan sangat kuat. Ia benar-benar khawatir dan cemas dengan nyawanya sekarang. Terlihat Brian yang menelan salivanya beberapa kali, setelah melihat William yang bersiap-siap akan melajukan mobilnya.

1 jam kemudian

Di tengah-tengah kendaraan yang berlalu lalang, terlihat sebuah mobil sedan mewah yang berjalan dengan sangat lambat, bahkan mobil itu membuat kesal beberapa pengendara yang ada di belakangnya. Tidak sekali atau 2 kali, mungkin puluhan kali mobil itu mendapatkan protes dan klakson dari orang-orang di jalanan yang luas itu.

"Woi, kalau nyetir yang bener?" Teriak salah satu pengendara dengan membuka kaca mobilnya, ia terlihat sangat kesal.

"Gue nyetirnya juga udah bener." Teriak William, sedangkan orang yang di teriakinya sudah menjauh.

"Udah Will, minggir. Biar gue yang nyetir." Ucap Brian yang sudah tidak sabar, terlihat dari ia yang tiba-tiba mengubah gaya bicaranya pada bosnya itu.

"Udah Lo duduk aja. Dikit lagi kita sampai." Sahut William, sambil berusaha sefokus mungkin dalam menyetir.

Dikit lagi apanya? Dalam waktu 1 jam kita baru setengah jalan. Kalo gini caranya, 1 jam lagi baru bisa sampai di rumah sakit. Keburu rasa sakit gue ilang. Batin Brian. 😒

_______________

1½ jam yang lalu

Terlihat Lita yang masih berlari menghindari kejaran 2 pria bertubuh besar yang kini semakin dekat di belakangnya. Tubuh Lita kini terlihat sangat letih karena dia terus berlari, dan tenaganya juga cukup terkuras karena perkelahian tadi di tambah perutnya yang lapar membuatnya sangat kelelahan. Ia tak punya pilihan, selain berhenti berlari, namun sialnya Lita malah berhenti di tempat yang sepi, bahkan tak terlihat 1 orangpun di sana.

"Kenapa? Kau kelelahan?" Seru salah satu pria bertubuh besar itu dengan menyeringai.

"Heh.. heh.. heh.." Lita terangah seraya memegangi kedua lututnya.

2 pria bertubuh besar itu berjalan mendekat pada Lita, karena jalanan yang sepi dan buntu, mereka dengan mudah bisa menangkap Lita sekarang.

Terlihat Lita melirik ke beberapa arah, mencoba mencari jalan keluar, tapi sialnya beberapa pria bertubuh besar lainnya muncul tiba-tiba. Harapan Lita runtuh seketika melihat mereka yang mengerubunginya, jika saja fisiknya kuat sekarang, mungkin ia bisa menangani mereka semua, tapi karena tumbuhnya yang kelelahan itu hanya akan menggali kuburannya sendiri.

Hanya ada satu cara untuk meloloskan diri, mengakui kekalahan dan ikuti kemauan mereka. Pikir Lita.

"Ok! Kalian boleh membawaku!" Ucap Lita seraya mengangkat tangannya.

"Heh, pergi kemana keberanian mu itu?" Sindir salah satu pria berbadan besar itu.

"Bawa dia!" Sambungnya yang memberi perintah pada temannya.

Lita terlihat pasrah, tanpa menolak ia mengikuti perintah mereka.

-

Di sinilah Lita sekarang. Di sebuah bangunan yang terlihat sudah tua, yang tampak tak berpenghuni.

Lita duduk di sebuah kursi, dengan tangan yang terikat ke belakang.

Tak jauh di depan Lita, muncul seorang laki-laki yang tampak sudah tua, berjalan keluar dari balik tiang besar menjulang tinggi di bangunan tua itu. Berpakaian rapi, lengkap dengan kacamata hitamnya, ia terlihat semakin mencolok dengan tato naga yang melingkar di lehernya. Berjalan perlahan mendekati Lita.

"Apa kabar sayang?" Ucap laki-laki itu seraya mengeluarkan senyuman penuh artinya.

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

Jgn lupa like, komen, vote dan favoritnya juga ya 😉🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!