Cahaya Untuk Gus Mu
Kalian bisa baca ini dulu sebelum ke cerita ini, mungkin kalian tidak akan paham jika tidak membaca cerita sebelumnya. Klik profil author, lihat di bagian karya, ada di sana ya♥️
happy reading gaes
*******
Suara gemuruh dari suara kendaraan lalu lalang terdengar di setiap sudut kota, gerimis turun cukup deras. Lama-lama, hujan lebat mengguyur kota Bandung. Semua orang berlarian, mencari tempat berteduh mengindari air yang bisa membuat sekujur tubuh mereka basah kuyup. Namun, sosok pria di tepi jalan hanya diam, menatapi sekitar dengan seksama, setelah bertahun-tahun hidup di penjara, akhirnya dia bisa menghirup udara segar, air hujan turun, entah langit menangis karena kebebasannya atau sedang bersuka cita karena kembalinya dia. Dia tidak mau ambil pusing, yang jelas dia tahu bahwa hujan adalah sebuah Rahmat dan rezeki dari Allah SWT. Muhammad Wafi Muzammil Ali Majdi, putra seorang gus tersohor yang wafat di usia masih muda yakni 35 tahun. Banyak jamaah yang berduka, dan namanya masih dikenang sampai saat ini, ilmu yang dia sampaikan di setiap ceramahnya. Membuat sosoknya tak mudah redup, khususnya untuk semua orang di pesantren Al Bidayah dan lingkungan sekitarnya.
Brug! hantaman keras terdengar. Wafi mengangkat kepalanya, rambut lurus gondrong itu tersingkap, membuat wajah tampan rupawan yang tidak pernah dilihat dunia luar akhirnya nampak, berewok dan kumis begitu tebal, kedua alisnya yang menyambung, bibirnya yang mungil, dan sorot matanya yang seperti elang. Suara merdu nya bagai alunan musik menenangkan, sudah hafal 30 juz, memahami beberapa kitab, dan mendalami ilmu pengetahuan tentang agama yang luas. Hobinya adalah membaca, mengaji dan bahkan mengajari salah satu teman satu sel nya yaitu Ismail. Walaupun hidupnya di lapas, dia aktif dalam berbagai kegiatan, sering ikut mendengarkan jika ada acara kajian yang di putar di sebuah radio setiap hari Minggu dan kamis. Tidak pernah meninggalkan sholat, keimanan dan kecintaannya kepada Allah SWT hanya dia yang tahu, dan Allah yang Maha Mengetahui. Dia masih hidup, dengan kewarasan yang utuh terjaga, karena dia menggantungkan kehidupannya hanya kepada Allah SWT, yang tak akan pernah mengecewakan setiap hamba-Nya.
Wafi berlari saat melihat seorang kakek-kakek pemulung yang terjatuh, dan gerobaknya terguling. Kemeja putihnya kini sudah basah kuyup menjadi terlihat transparan, membuat dada bidang dan punggung serta bahu kekarnya nampak jelas.
”Saya bantu, biar saya aja." Wafi menahan tangan kakek yang mau mengambil botol bekas yang berserak, kakek itu diam, melindunginya kepalanya dengan payung usang, lalu memperhatikan Wafi yang sedang memunguti barang-barang nya satu-persatu, orang-orang yang sedang berteduh nampak memperhatikan pria tampan itu yang sedang sibuk membantu, tapi mereka sendiri enggan untuk ikut turun tangan.
Seorang gadis memakai memakai setelan pakaian muslimah begitu tertutup+ di cadar berjongkok, membantu Wafi memunguti semua botol plastik itu, hujan tiba-tiba berhenti, berubah menjadi gerimis dan cahaya senja menguning mulai nampak memperlihatkan keindahannya. Wafi berhenti saat botol bekas tertinggal satu lagi, gadis itupun diam, tak mau meraih nya. Saat gadis itu mengangkat kepalanya, Wafi berpaling.
”Hemmm," gadis itu mendesah sejenak dan mengambil botol bekas lalu memasukkannya ke dalam gerobak, bajunya juga basah. Dia berdiri begitu juga dengan Wafi.
”Terima kasih, Alhamdulillah ada sepasang suami istri yang mau nolongin kakek." Kakek tersenyum lebar, Wafi melotot begitu juga dengan gadis itu.
”Kami bukan suami istri kek.” Gadis itu mengibaskan tangannya menolak.
”Oh baru mau menikah?” ucap si kakek, dan keduanya kembali terbelalak.
”Saya gak kenal sama dia," ucap Wafi begitu tegas dan bibir gadis itu mengerucut, si kakek mengangguk, sebuah anggukan kebingungan.
Wafi pun melangkah pergi, berlenggang begitu saja. Gadis itu terdiam, melihat kedua bola mata berwarna hitam terang, sepertinya dia pernah melihatnya tapi entah dimana.
"Makasih nak," imbuh si kakek dan gadis itupun mengangguk.
”Sama-sama, lain kali hati-hati ya kek. Saya pamit, assalamu'alaikum.” Gadis itu pun pergi, meninggalkan si kakek. Terukir namanya berukuran kecil di bagian belakang Hoodie jaketnya, Shafiyah Ummu Habibah. Gadis berbibir tipis berwarna pink muda alami, di poles lip balm berwarna bening, bibir begitu sehat dan jika di cecapi sangat manis lah rasanya, bibir yang masih perawan, suci dan harga dirinya selalu dijaga oleh gadis tersebut dengan baik. Bulu matanya panjang lentik, alisnya menyambung, pipinya cabi, hidungnya mancung tapi sedikit bengkok karena pernah jatuh dari sepeda. Seorang gadis yang hangat disapa Fiyah di keluarganya, tapi di luar dia sering dipanggil Shafiyah. Gadis berdarah Aceh Sunda itu begitu cantik jelita, mencari incaran para pria tapi Habibah belum mau menikah, dia sibuk. Itu alasan basi yang sering dia keluarkan saat keluarganya menyinggung tentang pernikahan.
****
Wafi terus melangkah, dia memasuki sebuah bus dan duduk di dekat jendela. Air matanya tiba-tiba menetes, merasakan rindu yang luar biasa kepada keluarganya, umi dan adik-adiknya. Akankah dia kembali diterima, atau malah menjadi masalah. Entahlah, Wafi berharap semuanya baik-baik saja. Wafi meminta bus berhenti, di sebuah pemakaman umum yang tidak jauh dari pesantren Al Bidayah. Saat melewati tempat tinggalnya, identitasnya, dia bahkan tidak sanggup, kepalanya terus tertunduk dalam. Wafi turun dari bus, dia melangkahkan kedua kaki panjangnya memasuki area pemakan, tak lupa membaca salam dan doa.
”Abi, setelah sekian tahun, aku baru berziarah. Maafkan anak mu ini abi, yang penuh dosa dan membuatmu kecewa.” Gumam Wafi dengan air mata yang bercucuran. Sesampainya di samping makam ayahnya, dia terduduk lemah, dia sentuh batu nisan ayahnya dan mengusapnya lembut.
Wafi terus menangis sesenggukan, hujan yang berhenti tergantikan dengan air matanya, suara langkah kaki membuat Wafi menoleh, dia tatap seorang pria tua renta dengan langkah sempoyongan mengarah padanya. Pria tua itu adalah Fatur, Fatur bahagia mendengar Wafi bebas, Wafi yang tidak mengenal sepupu dari ibunya itu hanya diam sambil terus memandang. Fatur tersenyum, dia melangkah lebih dekat lalu berjongkok di sebelah Wafi.
”Bapak siapa?" Tanya Wafi serak.
”Saya kenal umi kamu, nenek kamu, semuanya. Saya juga mantan napi, saya sepupu umi kamu Raihanah. Akhirnya kamu bebas, saya Fatur.” Fatur tersenyum dan membelai rambut gondrong Wafi. Wafi menepisnya kasar dan dia berpaling.
Wafi pun melanjutkan niatnya, membacakannya doa untuk sang ayah, dan Fatur diam mendengarkan lalu mengaminkannya, Wafi bingung harus pulang kemana, setelah berziarah, keduanya melangkah pergi dan Fatur mengajak Wafi ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, rumah besar yang dibeli Fatur dari Raihanah, rumah yang dulu ditinggali nenek Riska, Rayyan dan istrinya Sani diam, memperhatikan kedatangan Fatur membawa seorang pria dengan kewibawaan yang tak asing bagi mereka, cara pria itu berpaling, melangkah dan mengedarkan pandangannya, begitu sangat mirip dengan almarhum Gus Fashan. Sani adalah alumni pesantren Al Bidayah, dia mengenal baik sosok Gus Fashan.
”Apa itu Gus Mu?" Tanya Sani serak, Rayyan bangkit dari duduknya dan memperhatikan Wafi dengan seksama." Itu Gus Mu, Masya Allah." Tangisan Sani pecah, dia langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman dan kudapan terbaik untuk Gus Mu. Bagaimana pun Gus Mu, terlepas dari kasus dan predikat yang dia sandang saat ini, Sani tidak perduli. Keluarga pak kyai adalah keluarga yang harus dia hormati, dia masih ingat jelas bagaimana Wafi kecil, yang selalu ikut dengan Gus Fashan saat mengajar.
”Assalamu'alaikum," ucap Fatur.
”Wa'alaikumus Salaam." Jawab Rayyan, Wafi terkejut saat Rayyan langsung memeluknya, melihat Wafi dari dekat, Rayyan semakin yakin jika itu adalah benar anak dari Raihanah." Wafi," ucap Rayyan.
”Saya..." Wafi terdiam dan tidak melanjutkan ucapannya, dia ingat rumah tersebut, tapi orang-orangnya dia lupa, Raihanah tidak pernah membahas Fatur, dia takut karena kita semua tahu Fatur masuk penjara karena apa.
"Sani, buatkan minuman nak. Bawa semua makanan kemari." Seru Fatur keras dan menantunya sudah datang dengan semuanya, Sani diam-diam melirik Wafi. Dia merasa mimpi, rumahnya kedatangan seorang gus.
Wafi meletakkan tas ranselnya yang basah di lantai, lalu dia duduk bersama Fatur.
”Kapan kamu bebas?" Tanya Rayyan.
"Hari ini." Tegas Wafi menjawab, raut wajahnya begitu bengis, tidak nampak raut wajah keramahan. Wajahnya yang memang tampan, tapi terlihat menyeramkan. Dia di penjara bertahun-tahun, tidak pernah bertemu dengan orang-orang di luar, kecuali dengan Bayyinah dan Raihanah uminya.
Rayyan dan Fatur saling melirik, merasa prihatin dengan keadaan kerabat mereka itu.
”Istirahat disini, atau kamu mau langsung ke pesantren?" Tanya Fatur dan Wafi menggeleng kepala.
"Kalau boleh, saya mau istirahat malam ini saja disini." Pinta Wafi dan Fatur menepuk bahunya hangat.
"Tentu saja nak, ayo sekarang minum dan makan apapun yang kamu mau. Jangan sungkan-sungkan, kami bahagia kamu mau datang kemari." Fatur meraih segelas teh hangat dan Wafi menerimanya.
”Ya Allah, Gus kami telah Engkau kembalikan. Pesantren butuh, butuh sosok gus Mu yang sudah ditunggu kembalinya dia sejak lama. Walaupun pastinya, ada banyak orang yang menentang.” Gumam Sani merasa sedih, dia pernah bertemu dengan Raihanah beberapa hari yang lalu, di pasar dan sedang berbelanja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Rinjani
wafi kenapa seh
2023-01-18
0
Sofie Ilyas Ilyas
Ka mella infonya dong q pingin baca cerita cool boy gus fashan
2022-02-17
0
Inaqn Sofie
baru selesai baca cool boy gus fashan lngsung kesini ..
2022-01-06
0