Malam semakin larut, Wafi diam di depan jendela yang terbuka, hujan deras turun kembali, dia tatap setiap air yang begitu deras jatuh di hadapannya, kedua matanya merah penuh kedukaan, uminya Raihanah tidak tahu dia bebas hari ini, dan sekarang ia bingung bagaimana caranya masuk ke pesantren. Rasa rindu yang tak tertahan, kepada umi dan adik-adiknya. Bayyinah sudah sembuh, satu tahun di Kanada keluarganya berada, untuk menghindari celaan orang-orang dan untuk kesembuhan Bayyinah. Tahun kedua Wafi di penjara, Raihanah dan anak-anaknya kembali. Sering menjenguk Wafi di penjara, memberikan semangat dan mengirimkan makanan.
”Aku gak bisa." Wafi melangkah dengan tegasnya, dia tidak sanggup menahan lebih lama. Wafi akhirnya pergi, meninggalkan rumah Fatur dan menuju ke pesantren Al Bidayah dengan berjalan kaki, setelah cukup jauh berjalan kaki, sebuah mobil bak terbuka mengikutinya, pengemudinya terus memperhatikan Wafi dan Wafi sesekali melirik ke belakang sebatas ekor matanya.
"Apa itu dia?" Raihan bertanya-tanya, terus melajukan mobilnya perlahan-lahan, Wafi yang kesal karena terus diikuti akhirnya berhenti melangkah, dia berbalik dan menatap tajam ke arah mobil tersebut yang kini juga berhenti." Gus Mu, Fashan." Raihan langsung turun, karena dia tidak hati-hati, dia sampai terjatuh lalu bangkit dan berlari memburu ajak sahabatnya itu.
Wafi diam saat tubuh Raihan menabraknya, memeluknya dan mengelus rambut nya." Fashan ya Allah hiks." Tangis Raihan pecah, Wafi diam saat mulai sadar pria tersebut adalah sepupu ayahnya.
”Wafi, ini om. Kamu inget kan? Ngapain kamu malam-malam disini, kapan kamu bebas?” Raihan melepas pelukannya, dia pandangi Wafi dengan seksama, bagaimana bisa dia lupa dengan anak itu.
”Iya," hanya itu yang terucap. Begitu singkat dan wajahnya datar tanpa ekspresi. Raihan langsung mengajaknya pergi, dan bertanya kemana tujuan Wafi. Wafi mengatakan dia mau ke pesantren, bertemu keluarganya. Raihan pun dengan cepat memotong jalan agar sampai lebih cepat, Wafi yang melihat rokok dan korek api menyambarnya, Raihan tercengang melihat apa yang terjadi. Gus Fashan sama sekali tidak pernah menyentuh barang seperti itu, tapi sekarang putranya sepertinya pecandu. Wafi merokok untuk menghilangkan rasa stress nya sejenak, dia hanya menghisap rokok setengahnya, lalu setengahnya lagi dia simpan.
”Abi kamu gak merokok Wafi.”
”Dulu dan sekarang beda om." Jawab Wafi lalu mengusap rambutnya yang basah. Raihan menggeleng kepala dan khawatir melihat tingkah laku dan kondisi Wafi Muzammil.
”Fashan, kamu akan hancur jika tahu kehidupan anak kamu sesulit ini, aku janji. Aku gak akan biarin Wafi sendiri, aku akan menjaganya seperti kamu menjaga Wafi kalau kamu masih hidup. Anak kamu sudah dewasa, hidup di penjara memang gak mudah. Seburuk apapun kehidupan di penjara, aku yakin putramu gak akan salah jalan Fashan. Dia putramu, sama seperti kamu, wajah dan karismanya sama seperti kamu." Gumam Raihan dan terus melirik Wafi, Wafi diam dan menutup matanya, sadar perjalanan lumayan jauh dia memilih tidur sejenak.
Sesampainya di pesantren Al Bidayah, Raihan membangunkannya, Wafi bangun dan keluar. Terlihat beberapa santri yang sedang berjaga menoleh, Raihan merangkul bahu Wafi dan mengajak nya masuk.
”Assalamu'alaikum kang." Tegur seorang santri.
"Wa'alaikumus Salaam, Bu nyai ada?" Tanya Raihan.
Santri itupun melirik ke rumah Bu nyai, Wafi juga melirik, dia menyapu sekeliling, tempat tinggalnya, tempatnya tumbuh dan sering bermain-main di sekitar pesantren, dan rumah itu, rumah yang menyimpan banyak kenangan suka dan duka. Wafi tersenyum tipis, dia melangkah lebih dulu dan Raihan tersentak.
”Itu siapa ya kang? Tolong jangan bawa laki-laki sembarangan. Kami takut Bu nyai kenapa-kenapa." Seru santri dan melangkah untuk menahan Wafi tapi langsung di dorong Raihan.
"Jangan sembarangan kamu, kamu gak tahu dia siapa. Dia Gus Mu!" Raihan setengah berteriak dan pemuda itupun tersentak, suara Raihan menggema.
Pralakkkkkk dwarrrrr! Suara guntur dan petir menyambar begitu kencang, semuanya menengadah melihat angin ribut terdengar. Hujan berhenti tapi petir dan gemuruhnya tak kunjung reda. Seolah di langit sana tidak suka dengan tuduhan yang menghujam Gus Mu.
Raihan pun melangkah pergi, santri yang tadi berlari mendekati santri yang lain, semuanya heboh mendengar kembalinya Gus Mu. Kabar tersebut pun sampai di telinga Ikhsan, Syifa dan langsung mengabari Yaman dan Faiza. Syifa langsung menelepon Fahira, tapi Sabila yang mengangkatnya.
"Wafi pulang, bilang sama ibu kamu nak. Keponakannya sudah pulang." Jerit Syifa histeris, Sabila tersenyum lebar mendengar kabar bahagia tersebut.
Di rumah Bu nyai, wanita renta yaitu Raihanah sedang mengaji, suaranya sayup-sayup terdengar. Wafi masuk dari pintu belakang, lampu tiba-tiba mati dan Raihanah meraba-raba ponselnya, menyalakan senter dan mengarahkannya sejenak kepada Bayyinah dan Afsheen yang sudah terlelap.
”Neng bangun, bantuin umi cari lilin." Pinta Raihanah.
Bayyinah menggeliat, lalu bangun dan mengucek matanya." Mati lampu jam segini." Gerutu Bayyinah. Dia meraih tongkat kakinya, lalu bangkit perlahan. Bayyinah mengalami kecacatan setelah kejadian itu, kaki kirinya tidak bisa dia gunakan dengan baik. Kecacatan yang menjadi bahan celaan para lelaki, di usianya yang sudah matang. Belum ada tanda-tanda ada pria yang tulus mau meminangnya, sementara Daniyyah, dia baru di Khitbah dua Minggu yang lalu.
Bayyinah melangkah, membawa senter kecil dan keluar dari kamar. Rumah besar tersebut hanya di huni oleh tiga orang wanita, yang sangat di jaga oleh para santri.
Raihan di luar rumah pergi lagi, untuk memberi tahu Ilham. Wafi kini sudah masuk dan Bayyinah yang mendengar suara pintu terbuka terkejut.
”Umi," jerit Bayyinah ketakutan.
Wafi membuka lemari, mencari lilin dan bayyinah yang melihat bayangan pria tinggi sampai hampir terjatuh dan untung saja Raihanah menahannya.
Jeklik! Wafi menyalakan kompor, menyalakan lilin lalu kompor dia matikan kembali. Raihanah dan Bayyinah diam, saling bergenggaman tangan, ada maling masuk ke rumah mereka, harus minta tolong kepada siapa kalau begini, mereka bingung dan pasrah.
Wafi melangkah perlahan, mengarahkan lilin ke hadapan wajahnya agar umi dan adiknya bisa melihatnya.
”Astaghfirullah," jerit Raihanah. Dia pandangi wajah putranya dengan seksama, apakah dia mimpi saat ini? Bayyinah bahkan mengucek matanya perlahan, untuk memastikan apa yang dia lihat adalah sebuah halusinasi atau bukan.
Raihanah menyentuh wajah tampan putranya, membelainya lalu membelai rambutnya, rambut yang sama dengan rambut almarhum." Ini aa?" Tanya Raihanah masih tidak percaya, lalu Wafi mengangguk.
”Neng, ini umi mimpi ya atau gimana?" Raihanah berbalik badan, menatap Bayyinah sejenak.
”Itu aa umi, itu a Wafi hiks." Bayyinah menangis sejadi-jadinya, sampai Afsheen yang mendengar terbangun dari tidurnya.
Wafi meletakkan lilin di atas meja, dia melangkah mendekat dan bersimpuh di kedua kaki Uminya. Raihanah terkejut, Wafi mencium kedua kaki uminya bergantian, memeluk kedua kaki lemah itu, lalu meraih kedua tangan uminya. Mencium punggung dan telapak tangan uminya lembut, Raihanah menangis. Tangisan bahagia dan tidak percaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Liii
setiap ada nama Gus fashan aku sedih ga tau knp rasanya merasakan sikap Gus fashan yang begitu penyang perhatian terutama ke istirahat nya Ning raihanah, mungkin aku berharap memiliki suami seperti Gus fashan yang MasyaAllaah penyayang perhatian sabar🥺❤️
2023-11-13
0
G@mbru_Afi
Ya Allah..ini bawang 1 kwintal di taruh di sini semua.mata kan jadi perih 😭😭
2023-05-13
1
Liz Chelink
belom2 udh bikin blewer aj....😭😭😭
2022-04-16
0