Afsheen keluar dari kamar dan memperhatikan ketiganya.
Wafi terus memeluk pinggang uminya erat, Raihanah mengelus rambut tebal putranya sambil terus menangis.
”Bangun a, bangun sayang.”
”Hiks." Wafi terus menangis dan kedua kakinya terasa lumpuh di hadapan uminya, akhirnya dia bisa memeluk uminya erat dan sepuasnya, seorang anak yang terhalang oleh jeruji besi, dijenguk dengan waktu yang sudah ditentukan, sendirian di penjara dengan merindu yang menyiksa. Tubuhnya memang tinggi, kekar dan gagah. Tapi sejatinya dia sangat lemah dan rapuh.
"Maafin aku umi," ucap Wafi terus-menerus. Selalu itu yang Raihanah dengar ketiga menjenguk putranya.” Maaf,” ucap nya kembali dengan tangisan yang lebih histeris.
”Bangun a, kenapa aa gak ngomong sama umi? Aa pulang sendirian?” lirih Raihanah, dia tarik bahu putranya agar bangun dan Wafi tetap duduk, sudah lama Raihanah tidak datang menjenguk putranya, dan sekarang tahu-tahu putranya datang.” Aa gak aneh-aneh kan?” Raihanah khawatir, dia takut putranya itu kabur dan Wafi menggeleng kepala.
”Ya udah aa bangun ayo, Masya Allah anak umi udah pulang.” Raihanah terus menangis, Wafi akhirnya bangkit dan Raihanah memeluknya erat, dia ciumi seluruh wajah putranya tanpa celah. Wafi membalas pelukan uminya erat dan keduanya menangis bersama, Bayyinah menarik tangan Afsheen, dan saat keduanya dekat, Wafi memeluk kedua adiknya itu hangat. Keempatnya sudah berkumpul bersama kembali, setelah sekian lama berpisah.
Keesokan paginya, semua kerabat datang, Fahira yang jauh pun langsung berangkat ke Bandung untuk melihat keponakannya tersayang. Saat ini, Raihanah sedang mengambil pakaian suaminya, yang masih tersimpan baik, selalu dia cuci walaupun tidak pernah dipakai. Selalu wangi, dan bersih. Wafi diam, dia hanya memakai handuk yang melilit pinggang kokohnya, dia tidak memiliki pakaian yang bagus karena dia hanya memiliki dua potong pakaian tahanan, dan kaos dan celana yang dia pakai semalam, sudah lusuh dan usang. Baju Koko dan kain sarungnya dia berikan kepada temannya dipenjara sebagai kenang-kenangan.
”Pakai ini, nanti umi belikan yang baru. Ini untuk sementara." Raihanah menyodorkan pakaian suaminya kepada putranya, Wafi mengangguk dan meraih peci ayahnya terlebih dahulu, dia tersenyum, dia yang dulu sering memainkan peci ayahnya saat kecil." Umi tunggu di luar," ucap Raihanah dan Wafi mengangguk. Raihanah pun keluar dari kamar tersebut dan menunggu sampai Wafi selesai.
Raihanah diam mendengarkan suara semua orang di lantai satu sedang membicarakan putranya, dia menoleh, menatap pigura foto pernikahannya dengan gus Fashan yang semakin terlihat usang. Bibirnya tersenyum manis, wajah cantik Raihanah yang kini semakin kurus dan pipinya begitu cekung, kehidupan tidak mudah baginya, mencari nafkah untuk kedua putrinya, dan belum lagi memikirkan putra yang dipenjara. Tubuhnya semakin terkikis karena berat dan sulitnya kehidupan, dia tidak pernah menadahkan tangan kepada siapapun, kecuali hanya kepada Allah SWT dalam keadaan sesulit apapun. Raihanah malah sering mengingat pesan suaminya, memberi lebih baik daripada meminta, dia masih mampu untuk memberikan sedikit rezekinya untuk orang lain yang kehidupannya jauh lebih sulit darinya.
Suara pintu dibuka membuat Raihanah menoleh, dia diam melihat potret putranya yang begitu rapih, dan tampan tidak lusuh seperti semalam.
”Masya Allah, anak lelaki umi sama abi. Sini." Raihanah merentangkan kedua tangannya, dia peluk tubuh putranya itu erat dan Wafi tersenyum. Setelah merasa cukup, Raihanah melepaskan pelukannya, Wafi mengusap air mata uminya lembut.
”Aku udah pulang, kenapa umi masih nangis begini?"
”Umi takut ini semua mimpi," ucap Raihanah serak. Wafi tersenyum dan menggeleng kepala, dia raih tangan keriput uminya lalu dia tempelkan di pipinya.
"Ini aku, Wafi. Putranya umi." Wafi tersenyum lebar, Raihanah menarik bahu putranya itu dan Wafi mencondongkan tubuhnya, membiarkan bibir uminya mendarat di keningnya.
”Alhamdulillah." Raihanah tak henti-hentinya mengucap syukur, dia tarik lengan putranya itu, dan begitu bersemangat untuk memperlihatkan kepada semua orang jika putranya sudah kembali.
Sabila tersenyum saat melihat Wafi, Wafi dan uminya menuruni tangga perlahan-lahan. Faiza dan Fahira menangis, sekelebat keduanya merasa melihat bayangan Gus Fashan dalam aura tubuh keponakan mereka. Fara dan Nafis yang baru datang langsung masuk, Fara mengusap air matanya. Dia pandangi keponakannya dengan seksama.
”Wafi," lirih Fara seraya mendekat.” Kenapa gak bilang sama bibi, bibi bisa jemput kamu. Bibi pangling banget hiks." Tangis Fara pecah dan langsung memeluk Wafi erat, wafi tersenyum dan memperhatikan dua anak perempuan yaitu Hasna dan Husna, putri kembarnya Nafis dan Faradila.
Tatapan Wafi beralih kepada Afsheen yang langsung keluar, memperlihatkan bagaimana dia tidak suka dengan kembalinya Gus Mu. Kakaknya sendiri. Afsheen memilih pergi untuk bekerja, tanpa berpamitan kepada siapapun.
Semua santriwati berkumpul di balkon, belum lagi di depan asrama, memperhatikan dimana Gus mereka yang sudah kembali, dan sepertinya tidak akan mudah untuk melihatnya.
”Seperti apa Gus Mu, apa ada yang tahu?" Tanya Shafiyah begitu penasaran.
”Ganteng, tinggi, berkarisma seperti almarhum abinya." Sahut ustadzah Zaenab, istrinya Ilham ( masih ingatkan kalian?).
Shafiyah menunduk dan merasa malu karena pertanyaannya sendiri.
”Khalisah harus tahu, dia yang paling penasaran seperti apa Gus Mu." Gumam Salwa dan berharap sepupunya khalisah segera kembali ke pesantren.
Zaenab terus tersenyum, kedua matanya berair, sosok gus Fashan begitu tidak bisa lepas dari bayangannya, dia sangat mencintai suaminya, tapi dia juga pernah mencintai sosok abinya Gus Mu. Dia bahagia, Raihanah sudah kembali berkumpul dengan anak lelakinya.
Kembali di rumah Bu nyai, Wafi bersalaman dengan para lelaki, diam-diam Salsabila memperhatikannya. Wafi duduk diantara ikhsan dan Ahmad. Ahmad merangkul, memukul bahu kuat Wafi. Kenapa bisa bahunya kini lebih tinggi Wafi, Ahmad terus menggerutu dan Wafi hanya tersenyum.
”Masya Allah Wafi, kok kamu ganteng banget si." Puji Sabilla dalam hatinya.
Dia yang mendapatkan lirikan sekilas dari Wafi merasa grogi dan akhirnya ke dapur, Raihanah begitu sibuk memasak dibantu yang lain, Bayyinah melangkah menuju ke kamar dan Wafi yang melihat adiknya kesulitan langsung bangkit, membukakan pintu yang memang macet itu.
”Nanti aku perbaiki, mau apa?" Tanya Wafi dan Bayyinah menariknya ke dalam kamar. Dia peluk tubuh kakaknya itu erat. Wafi tersenyum dan membalas pelukan nya.
”Aa udah pulang hiks, jangan tinggalin Bayyin ya a. Jangan jauh-jauh dari Bayyin lagi." Suara Bayyin serak dan Wafi mengangguk.
"Aku disini, sama umi, kamu sama Afsheen. Kita bareng-bareng lagi sekarang, aku janji. Aku akan mencari kerja, dan berusaha mencari pengobatan terbaik untuk kaki kamu." Wafi menunduk, memperhatikan kaki adiknya dan Bayyin menggeleng kepala.
"Bayyin udah pasrah, udah menerima apapun kondisi Bayyin sekarang. Aa pikirkan aja, kehidupan aa, masa depan apa yang tertunda. Jangan pikirin Bayyin ya."
”Bagaimana bisa begitu." Protes Wafi dan Bayyin menggeleng kepala, tidak mau dibantah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
shakila
q nangis trs klau inget gus fashan trs nasib anknya skrg gni
2022-06-07
1
Sofie Ilyas Ilyas
Gus mu mirip abinya gus fashan
2022-02-25
0
Inaqn Sofie
itu si daniyyah/ afsen knp g senag kknya pulng...
2022-01-06
0