Kalian bisa baca ini dulu sebelum ke cerita ini, mungkin kalian tidak akan paham jika tidak membaca cerita sebelumnya. Klik profil author, lihat di bagian karya, ada di sana ya♥️
happy reading gaes
*******
Suara gemuruh dari suara kendaraan lalu lalang terdengar di setiap sudut kota, gerimis turun cukup deras. Lama-lama, hujan lebat mengguyur kota Bandung. Semua orang berlarian, mencari tempat berteduh mengindari air yang bisa membuat sekujur tubuh mereka basah kuyup. Namun, sosok pria di tepi jalan hanya diam, menatapi sekitar dengan seksama, setelah bertahun-tahun hidup di penjara, akhirnya dia bisa menghirup udara segar, air hujan turun, entah langit menangis karena kebebasannya atau sedang bersuka cita karena kembalinya dia. Dia tidak mau ambil pusing, yang jelas dia tahu bahwa hujan adalah sebuah Rahmat dan rezeki dari Allah SWT. Muhammad Wafi Muzammil Ali Majdi, putra seorang gus tersohor yang wafat di usia masih muda yakni 35 tahun. Banyak jamaah yang berduka, dan namanya masih dikenang sampai saat ini, ilmu yang dia sampaikan di setiap ceramahnya. Membuat sosoknya tak mudah redup, khususnya untuk semua orang di pesantren Al Bidayah dan lingkungan sekitarnya.
Brug! hantaman keras terdengar. Wafi mengangkat kepalanya, rambut lurus gondrong itu tersingkap, membuat wajah tampan rupawan yang tidak pernah dilihat dunia luar akhirnya nampak, berewok dan kumis begitu tebal, kedua alisnya yang menyambung, bibirnya yang mungil, dan sorot matanya yang seperti elang. Suara merdu nya bagai alunan musik menenangkan, sudah hafal 30 juz, memahami beberapa kitab, dan mendalami ilmu pengetahuan tentang agama yang luas. Hobinya adalah membaca, mengaji dan bahkan mengajari salah satu teman satu sel nya yaitu Ismail. Walaupun hidupnya di lapas, dia aktif dalam berbagai kegiatan, sering ikut mendengarkan jika ada acara kajian yang di putar di sebuah radio setiap hari Minggu dan kamis. Tidak pernah meninggalkan sholat, keimanan dan kecintaannya kepada Allah SWT hanya dia yang tahu, dan Allah yang Maha Mengetahui. Dia masih hidup, dengan kewarasan yang utuh terjaga, karena dia menggantungkan kehidupannya hanya kepada Allah SWT, yang tak akan pernah mengecewakan setiap hamba-Nya.
Wafi berlari saat melihat seorang kakek-kakek pemulung yang terjatuh, dan gerobaknya terguling. Kemeja putihnya kini sudah basah kuyup menjadi terlihat transparan, membuat dada bidang dan punggung serta bahu kekarnya nampak jelas.
”Saya bantu, biar saya aja." Wafi menahan tangan kakek yang mau mengambil botol bekas yang berserak, kakek itu diam, melindunginya kepalanya dengan payung usang, lalu memperhatikan Wafi yang sedang memunguti barang-barang nya satu-persatu, orang-orang yang sedang berteduh nampak memperhatikan pria tampan itu yang sedang sibuk membantu, tapi mereka sendiri enggan untuk ikut turun tangan.
Seorang gadis memakai memakai setelan pakaian muslimah begitu tertutup+ di cadar berjongkok, membantu Wafi memunguti semua botol plastik itu, hujan tiba-tiba berhenti, berubah menjadi gerimis dan cahaya senja menguning mulai nampak memperlihatkan keindahannya. Wafi berhenti saat botol bekas tertinggal satu lagi, gadis itupun diam, tak mau meraih nya. Saat gadis itu mengangkat kepalanya, Wafi berpaling.
”Hemmm," gadis itu mendesah sejenak dan mengambil botol bekas lalu memasukkannya ke dalam gerobak, bajunya juga basah. Dia berdiri begitu juga dengan Wafi.
”Terima kasih, Alhamdulillah ada sepasang suami istri yang mau nolongin kakek." Kakek tersenyum lebar, Wafi melotot begitu juga dengan gadis itu.
”Kami bukan suami istri kek.” Gadis itu mengibaskan tangannya menolak.
”Oh baru mau menikah?” ucap si kakek, dan keduanya kembali terbelalak.
”Saya gak kenal sama dia," ucap Wafi begitu tegas dan bibir gadis itu mengerucut, si kakek mengangguk, sebuah anggukan kebingungan.
Wafi pun melangkah pergi, berlenggang begitu saja. Gadis itu terdiam, melihat kedua bola mata berwarna hitam terang, sepertinya dia pernah melihatnya tapi entah dimana.
"Makasih nak," imbuh si kakek dan gadis itupun mengangguk.
”Sama-sama, lain kali hati-hati ya kek. Saya pamit, assalamu'alaikum.” Gadis itu pun pergi, meninggalkan si kakek. Terukir namanya berukuran kecil di bagian belakang Hoodie jaketnya, Shafiyah Ummu Habibah. Gadis berbibir tipis berwarna pink muda alami, di poles lip balm berwarna bening, bibir begitu sehat dan jika di cecapi sangat manis lah rasanya, bibir yang masih perawan, suci dan harga dirinya selalu dijaga oleh gadis tersebut dengan baik. Bulu matanya panjang lentik, alisnya menyambung, pipinya cabi, hidungnya mancung tapi sedikit bengkok karena pernah jatuh dari sepeda. Seorang gadis yang hangat disapa Fiyah di keluarganya, tapi di luar dia sering dipanggil Shafiyah. Gadis berdarah Aceh Sunda itu begitu cantik jelita, mencari incaran para pria tapi Habibah belum mau menikah, dia sibuk. Itu alasan basi yang sering dia keluarkan saat keluarganya menyinggung tentang pernikahan.
****
Wafi terus melangkah, dia memasuki sebuah bus dan duduk di dekat jendela. Air matanya tiba-tiba menetes, merasakan rindu yang luar biasa kepada keluarganya, umi dan adik-adiknya. Akankah dia kembali diterima, atau malah menjadi masalah. Entahlah, Wafi berharap semuanya baik-baik saja. Wafi meminta bus berhenti, di sebuah pemakaman umum yang tidak jauh dari pesantren Al Bidayah. Saat melewati tempat tinggalnya, identitasnya, dia bahkan tidak sanggup, kepalanya terus tertunduk dalam. Wafi turun dari bus, dia melangkahkan kedua kaki panjangnya memasuki area pemakan, tak lupa membaca salam dan doa.
”Abi, setelah sekian tahun, aku baru berziarah. Maafkan anak mu ini abi, yang penuh dosa dan membuatmu kecewa.” Gumam Wafi dengan air mata yang bercucuran. Sesampainya di samping makam ayahnya, dia terduduk lemah, dia sentuh batu nisan ayahnya dan mengusapnya lembut.
Wafi terus menangis sesenggukan, hujan yang berhenti tergantikan dengan air matanya, suara langkah kaki membuat Wafi menoleh, dia tatap seorang pria tua renta dengan langkah sempoyongan mengarah padanya. Pria tua itu adalah Fatur, Fatur bahagia mendengar Wafi bebas, Wafi yang tidak mengenal sepupu dari ibunya itu hanya diam sambil terus memandang. Fatur tersenyum, dia melangkah lebih dekat lalu berjongkok di sebelah Wafi.
”Bapak siapa?" Tanya Wafi serak.
”Saya kenal umi kamu, nenek kamu, semuanya. Saya juga mantan napi, saya sepupu umi kamu Raihanah. Akhirnya kamu bebas, saya Fatur.” Fatur tersenyum dan membelai rambut gondrong Wafi. Wafi menepisnya kasar dan dia berpaling.
Wafi pun melanjutkan niatnya, membacakannya doa untuk sang ayah, dan Fatur diam mendengarkan lalu mengaminkannya, Wafi bingung harus pulang kemana, setelah berziarah, keduanya melangkah pergi dan Fatur mengajak Wafi ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, rumah besar yang dibeli Fatur dari Raihanah, rumah yang dulu ditinggali nenek Riska, Rayyan dan istrinya Sani diam, memperhatikan kedatangan Fatur membawa seorang pria dengan kewibawaan yang tak asing bagi mereka, cara pria itu berpaling, melangkah dan mengedarkan pandangannya, begitu sangat mirip dengan almarhum Gus Fashan. Sani adalah alumni pesantren Al Bidayah, dia mengenal baik sosok Gus Fashan.
”Apa itu Gus Mu?" Tanya Sani serak, Rayyan bangkit dari duduknya dan memperhatikan Wafi dengan seksama." Itu Gus Mu, Masya Allah." Tangisan Sani pecah, dia langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman dan kudapan terbaik untuk Gus Mu. Bagaimana pun Gus Mu, terlepas dari kasus dan predikat yang dia sandang saat ini, Sani tidak perduli. Keluarga pak kyai adalah keluarga yang harus dia hormati, dia masih ingat jelas bagaimana Wafi kecil, yang selalu ikut dengan Gus Fashan saat mengajar.
”Assalamu'alaikum," ucap Fatur.
”Wa'alaikumus Salaam." Jawab Rayyan, Wafi terkejut saat Rayyan langsung memeluknya, melihat Wafi dari dekat, Rayyan semakin yakin jika itu adalah benar anak dari Raihanah." Wafi," ucap Rayyan.
”Saya..." Wafi terdiam dan tidak melanjutkan ucapannya, dia ingat rumah tersebut, tapi orang-orangnya dia lupa, Raihanah tidak pernah membahas Fatur, dia takut karena kita semua tahu Fatur masuk penjara karena apa.
"Sani, buatkan minuman nak. Bawa semua makanan kemari." Seru Fatur keras dan menantunya sudah datang dengan semuanya, Sani diam-diam melirik Wafi. Dia merasa mimpi, rumahnya kedatangan seorang gus.
Wafi meletakkan tas ranselnya yang basah di lantai, lalu dia duduk bersama Fatur.
”Kapan kamu bebas?" Tanya Rayyan.
"Hari ini." Tegas Wafi menjawab, raut wajahnya begitu bengis, tidak nampak raut wajah keramahan. Wajahnya yang memang tampan, tapi terlihat menyeramkan. Dia di penjara bertahun-tahun, tidak pernah bertemu dengan orang-orang di luar, kecuali dengan Bayyinah dan Raihanah uminya.
Rayyan dan Fatur saling melirik, merasa prihatin dengan keadaan kerabat mereka itu.
”Istirahat disini, atau kamu mau langsung ke pesantren?" Tanya Fatur dan Wafi menggeleng kepala.
"Kalau boleh, saya mau istirahat malam ini saja disini." Pinta Wafi dan Fatur menepuk bahunya hangat.
"Tentu saja nak, ayo sekarang minum dan makan apapun yang kamu mau. Jangan sungkan-sungkan, kami bahagia kamu mau datang kemari." Fatur meraih segelas teh hangat dan Wafi menerimanya.
”Ya Allah, Gus kami telah Engkau kembalikan. Pesantren butuh, butuh sosok gus Mu yang sudah ditunggu kembalinya dia sejak lama. Walaupun pastinya, ada banyak orang yang menentang.” Gumam Sani merasa sedih, dia pernah bertemu dengan Raihanah beberapa hari yang lalu, di pasar dan sedang berbelanja.
Malam semakin larut, Wafi diam di depan jendela yang terbuka, hujan deras turun kembali, dia tatap setiap air yang begitu deras jatuh di hadapannya, kedua matanya merah penuh kedukaan, uminya Raihanah tidak tahu dia bebas hari ini, dan sekarang ia bingung bagaimana caranya masuk ke pesantren. Rasa rindu yang tak tertahan, kepada umi dan adik-adiknya. Bayyinah sudah sembuh, satu tahun di Kanada keluarganya berada, untuk menghindari celaan orang-orang dan untuk kesembuhan Bayyinah. Tahun kedua Wafi di penjara, Raihanah dan anak-anaknya kembali. Sering menjenguk Wafi di penjara, memberikan semangat dan mengirimkan makanan.
”Aku gak bisa." Wafi melangkah dengan tegasnya, dia tidak sanggup menahan lebih lama. Wafi akhirnya pergi, meninggalkan rumah Fatur dan menuju ke pesantren Al Bidayah dengan berjalan kaki, setelah cukup jauh berjalan kaki, sebuah mobil bak terbuka mengikutinya, pengemudinya terus memperhatikan Wafi dan Wafi sesekali melirik ke belakang sebatas ekor matanya.
"Apa itu dia?" Raihan bertanya-tanya, terus melajukan mobilnya perlahan-lahan, Wafi yang kesal karena terus diikuti akhirnya berhenti melangkah, dia berbalik dan menatap tajam ke arah mobil tersebut yang kini juga berhenti." Gus Mu, Fashan." Raihan langsung turun, karena dia tidak hati-hati, dia sampai terjatuh lalu bangkit dan berlari memburu ajak sahabatnya itu.
Wafi diam saat tubuh Raihan menabraknya, memeluknya dan mengelus rambut nya." Fashan ya Allah hiks." Tangis Raihan pecah, Wafi diam saat mulai sadar pria tersebut adalah sepupu ayahnya.
”Wafi, ini om. Kamu inget kan? Ngapain kamu malam-malam disini, kapan kamu bebas?” Raihan melepas pelukannya, dia pandangi Wafi dengan seksama, bagaimana bisa dia lupa dengan anak itu.
”Iya," hanya itu yang terucap. Begitu singkat dan wajahnya datar tanpa ekspresi. Raihan langsung mengajaknya pergi, dan bertanya kemana tujuan Wafi. Wafi mengatakan dia mau ke pesantren, bertemu keluarganya. Raihan pun dengan cepat memotong jalan agar sampai lebih cepat, Wafi yang melihat rokok dan korek api menyambarnya, Raihan tercengang melihat apa yang terjadi. Gus Fashan sama sekali tidak pernah menyentuh barang seperti itu, tapi sekarang putranya sepertinya pecandu. Wafi merokok untuk menghilangkan rasa stress nya sejenak, dia hanya menghisap rokok setengahnya, lalu setengahnya lagi dia simpan.
”Abi kamu gak merokok Wafi.”
”Dulu dan sekarang beda om." Jawab Wafi lalu mengusap rambutnya yang basah. Raihan menggeleng kepala dan khawatir melihat tingkah laku dan kondisi Wafi Muzammil.
”Fashan, kamu akan hancur jika tahu kehidupan anak kamu sesulit ini, aku janji. Aku gak akan biarin Wafi sendiri, aku akan menjaganya seperti kamu menjaga Wafi kalau kamu masih hidup. Anak kamu sudah dewasa, hidup di penjara memang gak mudah. Seburuk apapun kehidupan di penjara, aku yakin putramu gak akan salah jalan Fashan. Dia putramu, sama seperti kamu, wajah dan karismanya sama seperti kamu." Gumam Raihan dan terus melirik Wafi, Wafi diam dan menutup matanya, sadar perjalanan lumayan jauh dia memilih tidur sejenak.
Sesampainya di pesantren Al Bidayah, Raihan membangunkannya, Wafi bangun dan keluar. Terlihat beberapa santri yang sedang berjaga menoleh, Raihan merangkul bahu Wafi dan mengajak nya masuk.
”Assalamu'alaikum kang." Tegur seorang santri.
"Wa'alaikumus Salaam, Bu nyai ada?" Tanya Raihan.
Santri itupun melirik ke rumah Bu nyai, Wafi juga melirik, dia menyapu sekeliling, tempat tinggalnya, tempatnya tumbuh dan sering bermain-main di sekitar pesantren, dan rumah itu, rumah yang menyimpan banyak kenangan suka dan duka. Wafi tersenyum tipis, dia melangkah lebih dulu dan Raihan tersentak.
”Itu siapa ya kang? Tolong jangan bawa laki-laki sembarangan. Kami takut Bu nyai kenapa-kenapa." Seru santri dan melangkah untuk menahan Wafi tapi langsung di dorong Raihan.
"Jangan sembarangan kamu, kamu gak tahu dia siapa. Dia Gus Mu!" Raihan setengah berteriak dan pemuda itupun tersentak, suara Raihan menggema.
Pralakkkkkk dwarrrrr! Suara guntur dan petir menyambar begitu kencang, semuanya menengadah melihat angin ribut terdengar. Hujan berhenti tapi petir dan gemuruhnya tak kunjung reda. Seolah di langit sana tidak suka dengan tuduhan yang menghujam Gus Mu.
Raihan pun melangkah pergi, santri yang tadi berlari mendekati santri yang lain, semuanya heboh mendengar kembalinya Gus Mu. Kabar tersebut pun sampai di telinga Ikhsan, Syifa dan langsung mengabari Yaman dan Faiza. Syifa langsung menelepon Fahira, tapi Sabila yang mengangkatnya.
"Wafi pulang, bilang sama ibu kamu nak. Keponakannya sudah pulang." Jerit Syifa histeris, Sabila tersenyum lebar mendengar kabar bahagia tersebut.
Di rumah Bu nyai, wanita renta yaitu Raihanah sedang mengaji, suaranya sayup-sayup terdengar. Wafi masuk dari pintu belakang, lampu tiba-tiba mati dan Raihanah meraba-raba ponselnya, menyalakan senter dan mengarahkannya sejenak kepada Bayyinah dan Afsheen yang sudah terlelap.
”Neng bangun, bantuin umi cari lilin." Pinta Raihanah.
Bayyinah menggeliat, lalu bangun dan mengucek matanya." Mati lampu jam segini." Gerutu Bayyinah. Dia meraih tongkat kakinya, lalu bangkit perlahan. Bayyinah mengalami kecacatan setelah kejadian itu, kaki kirinya tidak bisa dia gunakan dengan baik. Kecacatan yang menjadi bahan celaan para lelaki, di usianya yang sudah matang. Belum ada tanda-tanda ada pria yang tulus mau meminangnya, sementara Daniyyah, dia baru di Khitbah dua Minggu yang lalu.
Bayyinah melangkah, membawa senter kecil dan keluar dari kamar. Rumah besar tersebut hanya di huni oleh tiga orang wanita, yang sangat di jaga oleh para santri.
Raihan di luar rumah pergi lagi, untuk memberi tahu Ilham. Wafi kini sudah masuk dan Bayyinah yang mendengar suara pintu terbuka terkejut.
”Umi," jerit Bayyinah ketakutan.
Wafi membuka lemari, mencari lilin dan bayyinah yang melihat bayangan pria tinggi sampai hampir terjatuh dan untung saja Raihanah menahannya.
Jeklik! Wafi menyalakan kompor, menyalakan lilin lalu kompor dia matikan kembali. Raihanah dan Bayyinah diam, saling bergenggaman tangan, ada maling masuk ke rumah mereka, harus minta tolong kepada siapa kalau begini, mereka bingung dan pasrah.
Wafi melangkah perlahan, mengarahkan lilin ke hadapan wajahnya agar umi dan adiknya bisa melihatnya.
”Astaghfirullah," jerit Raihanah. Dia pandangi wajah putranya dengan seksama, apakah dia mimpi saat ini? Bayyinah bahkan mengucek matanya perlahan, untuk memastikan apa yang dia lihat adalah sebuah halusinasi atau bukan.
Raihanah menyentuh wajah tampan putranya, membelainya lalu membelai rambutnya, rambut yang sama dengan rambut almarhum." Ini aa?" Tanya Raihanah masih tidak percaya, lalu Wafi mengangguk.
”Neng, ini umi mimpi ya atau gimana?" Raihanah berbalik badan, menatap Bayyinah sejenak.
”Itu aa umi, itu a Wafi hiks." Bayyinah menangis sejadi-jadinya, sampai Afsheen yang mendengar terbangun dari tidurnya.
Wafi meletakkan lilin di atas meja, dia melangkah mendekat dan bersimpuh di kedua kaki Uminya. Raihanah terkejut, Wafi mencium kedua kaki uminya bergantian, memeluk kedua kaki lemah itu, lalu meraih kedua tangan uminya. Mencium punggung dan telapak tangan uminya lembut, Raihanah menangis. Tangisan bahagia dan tidak percaya.
Afsheen keluar dari kamar dan memperhatikan ketiganya.
Wafi terus memeluk pinggang uminya erat, Raihanah mengelus rambut tebal putranya sambil terus menangis.
”Bangun a, bangun sayang.”
”Hiks." Wafi terus menangis dan kedua kakinya terasa lumpuh di hadapan uminya, akhirnya dia bisa memeluk uminya erat dan sepuasnya, seorang anak yang terhalang oleh jeruji besi, dijenguk dengan waktu yang sudah ditentukan, sendirian di penjara dengan merindu yang menyiksa. Tubuhnya memang tinggi, kekar dan gagah. Tapi sejatinya dia sangat lemah dan rapuh.
"Maafin aku umi," ucap Wafi terus-menerus. Selalu itu yang Raihanah dengar ketiga menjenguk putranya.” Maaf,” ucap nya kembali dengan tangisan yang lebih histeris.
”Bangun a, kenapa aa gak ngomong sama umi? Aa pulang sendirian?” lirih Raihanah, dia tarik bahu putranya agar bangun dan Wafi tetap duduk, sudah lama Raihanah tidak datang menjenguk putranya, dan sekarang tahu-tahu putranya datang.” Aa gak aneh-aneh kan?” Raihanah khawatir, dia takut putranya itu kabur dan Wafi menggeleng kepala.
”Ya udah aa bangun ayo, Masya Allah anak umi udah pulang.” Raihanah terus menangis, Wafi akhirnya bangkit dan Raihanah memeluknya erat, dia ciumi seluruh wajah putranya tanpa celah. Wafi membalas pelukan uminya erat dan keduanya menangis bersama, Bayyinah menarik tangan Afsheen, dan saat keduanya dekat, Wafi memeluk kedua adiknya itu hangat. Keempatnya sudah berkumpul bersama kembali, setelah sekian lama berpisah.
Keesokan paginya, semua kerabat datang, Fahira yang jauh pun langsung berangkat ke Bandung untuk melihat keponakannya tersayang. Saat ini, Raihanah sedang mengambil pakaian suaminya, yang masih tersimpan baik, selalu dia cuci walaupun tidak pernah dipakai. Selalu wangi, dan bersih. Wafi diam, dia hanya memakai handuk yang melilit pinggang kokohnya, dia tidak memiliki pakaian yang bagus karena dia hanya memiliki dua potong pakaian tahanan, dan kaos dan celana yang dia pakai semalam, sudah lusuh dan usang. Baju Koko dan kain sarungnya dia berikan kepada temannya dipenjara sebagai kenang-kenangan.
”Pakai ini, nanti umi belikan yang baru. Ini untuk sementara." Raihanah menyodorkan pakaian suaminya kepada putranya, Wafi mengangguk dan meraih peci ayahnya terlebih dahulu, dia tersenyum, dia yang dulu sering memainkan peci ayahnya saat kecil." Umi tunggu di luar," ucap Raihanah dan Wafi mengangguk. Raihanah pun keluar dari kamar tersebut dan menunggu sampai Wafi selesai.
Raihanah diam mendengarkan suara semua orang di lantai satu sedang membicarakan putranya, dia menoleh, menatap pigura foto pernikahannya dengan gus Fashan yang semakin terlihat usang. Bibirnya tersenyum manis, wajah cantik Raihanah yang kini semakin kurus dan pipinya begitu cekung, kehidupan tidak mudah baginya, mencari nafkah untuk kedua putrinya, dan belum lagi memikirkan putra yang dipenjara. Tubuhnya semakin terkikis karena berat dan sulitnya kehidupan, dia tidak pernah menadahkan tangan kepada siapapun, kecuali hanya kepada Allah SWT dalam keadaan sesulit apapun. Raihanah malah sering mengingat pesan suaminya, memberi lebih baik daripada meminta, dia masih mampu untuk memberikan sedikit rezekinya untuk orang lain yang kehidupannya jauh lebih sulit darinya.
Suara pintu dibuka membuat Raihanah menoleh, dia diam melihat potret putranya yang begitu rapih, dan tampan tidak lusuh seperti semalam.
”Masya Allah, anak lelaki umi sama abi. Sini." Raihanah merentangkan kedua tangannya, dia peluk tubuh putranya itu erat dan Wafi tersenyum. Setelah merasa cukup, Raihanah melepaskan pelukannya, Wafi mengusap air mata uminya lembut.
”Aku udah pulang, kenapa umi masih nangis begini?"
”Umi takut ini semua mimpi," ucap Raihanah serak. Wafi tersenyum dan menggeleng kepala, dia raih tangan keriput uminya lalu dia tempelkan di pipinya.
"Ini aku, Wafi. Putranya umi." Wafi tersenyum lebar, Raihanah menarik bahu putranya itu dan Wafi mencondongkan tubuhnya, membiarkan bibir uminya mendarat di keningnya.
”Alhamdulillah." Raihanah tak henti-hentinya mengucap syukur, dia tarik lengan putranya itu, dan begitu bersemangat untuk memperlihatkan kepada semua orang jika putranya sudah kembali.
Sabila tersenyum saat melihat Wafi, Wafi dan uminya menuruni tangga perlahan-lahan. Faiza dan Fahira menangis, sekelebat keduanya merasa melihat bayangan Gus Fashan dalam aura tubuh keponakan mereka. Fara dan Nafis yang baru datang langsung masuk, Fara mengusap air matanya. Dia pandangi keponakannya dengan seksama.
”Wafi," lirih Fara seraya mendekat.” Kenapa gak bilang sama bibi, bibi bisa jemput kamu. Bibi pangling banget hiks." Tangis Fara pecah dan langsung memeluk Wafi erat, wafi tersenyum dan memperhatikan dua anak perempuan yaitu Hasna dan Husna, putri kembarnya Nafis dan Faradila.
Tatapan Wafi beralih kepada Afsheen yang langsung keluar, memperlihatkan bagaimana dia tidak suka dengan kembalinya Gus Mu. Kakaknya sendiri. Afsheen memilih pergi untuk bekerja, tanpa berpamitan kepada siapapun.
Semua santriwati berkumpul di balkon, belum lagi di depan asrama, memperhatikan dimana Gus mereka yang sudah kembali, dan sepertinya tidak akan mudah untuk melihatnya.
”Seperti apa Gus Mu, apa ada yang tahu?" Tanya Shafiyah begitu penasaran.
”Ganteng, tinggi, berkarisma seperti almarhum abinya." Sahut ustadzah Zaenab, istrinya Ilham ( masih ingatkan kalian?).
Shafiyah menunduk dan merasa malu karena pertanyaannya sendiri.
”Khalisah harus tahu, dia yang paling penasaran seperti apa Gus Mu." Gumam Salwa dan berharap sepupunya khalisah segera kembali ke pesantren.
Zaenab terus tersenyum, kedua matanya berair, sosok gus Fashan begitu tidak bisa lepas dari bayangannya, dia sangat mencintai suaminya, tapi dia juga pernah mencintai sosok abinya Gus Mu. Dia bahagia, Raihanah sudah kembali berkumpul dengan anak lelakinya.
Kembali di rumah Bu nyai, Wafi bersalaman dengan para lelaki, diam-diam Salsabila memperhatikannya. Wafi duduk diantara ikhsan dan Ahmad. Ahmad merangkul, memukul bahu kuat Wafi. Kenapa bisa bahunya kini lebih tinggi Wafi, Ahmad terus menggerutu dan Wafi hanya tersenyum.
”Masya Allah Wafi, kok kamu ganteng banget si." Puji Sabilla dalam hatinya.
Dia yang mendapatkan lirikan sekilas dari Wafi merasa grogi dan akhirnya ke dapur, Raihanah begitu sibuk memasak dibantu yang lain, Bayyinah melangkah menuju ke kamar dan Wafi yang melihat adiknya kesulitan langsung bangkit, membukakan pintu yang memang macet itu.
”Nanti aku perbaiki, mau apa?" Tanya Wafi dan Bayyinah menariknya ke dalam kamar. Dia peluk tubuh kakaknya itu erat. Wafi tersenyum dan membalas pelukan nya.
”Aa udah pulang hiks, jangan tinggalin Bayyin ya a. Jangan jauh-jauh dari Bayyin lagi." Suara Bayyin serak dan Wafi mengangguk.
"Aku disini, sama umi, kamu sama Afsheen. Kita bareng-bareng lagi sekarang, aku janji. Aku akan mencari kerja, dan berusaha mencari pengobatan terbaik untuk kaki kamu." Wafi menunduk, memperhatikan kaki adiknya dan Bayyin menggeleng kepala.
"Bayyin udah pasrah, udah menerima apapun kondisi Bayyin sekarang. Aa pikirkan aja, kehidupan aa, masa depan apa yang tertunda. Jangan pikirin Bayyin ya."
”Bagaimana bisa begitu." Protes Wafi dan Bayyin menggeleng kepala, tidak mau dibantah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!