Brajamusti

Brajamusti

Pukulan Pertama

Seorang Dul Karim sedang merapikan beton. Mumpung belum keras sempurna. Tiba-tiba seorang mandor datang dan menunjuk dengan kaki persis dekat muka Dul Karim yang sedang jongkok asik bekerja. Mandor itu terus ngoceh tanpa menghiraukan perasaan Dul Karim yang tersinggung. Hari sedang terik-teriknya.

"Kan sudah ada ukurannya, kenapa masih melenceng!" kata mandor itu sekarang bertolak pinggang sambil satu kakinya menendang-nendang beton yang belum mengeras sempurna itu. Tiba-tiba Dul Karim bangkit dengan dengusan sakit hati. Seketika ia menatap tajam dengan bengis ke arah mandor itu dan... Tidak ada yang menduga, Dul Karim melayangkan tinju dan telak mengenai rahang si mandor. Si Mandor sampai terpelanting jauh kebelakang. Sontak teman-teman kerja Dul Karim melerai. Dul Karim blingsatan. Dul Karim masih ingin menghajar dan menendang itu pun akhirnya bisa diamankan dan di jauhkan dari sang Mandor yang terjungkal kesakitan dengan rahang yang penyok itu.

Suasana seketika riuh. Ada yang menghujat mandor itu karena sudah keterlaluan menunjuk dengan kaki dan itu berbuntut panjang. Beberapa orang penjilat membela mandor dan tak kalah banyak juga yang mendukung tindakan Dul Karim. Seorang pengawas tidak tinggal diam, ia menghubungi polisi.

Dua kubu yang awalnya perang mulut sekarang adu jotos. Polisi pun datang. Dua orang dalam satu mobil patroli. Kedua polisi itu langsung melerai dengan tembakan peringatan.

DOR! DOR!

Massa pun berhenti.

"Cukup! Tenang!! tenang!!!" teriak kedua polisi itu yang kemudian menodongkan pistol ke arah kerumunan massa yang berang dan seorang pengawas yang melihat perkelahian awal memberi petunjuk, bahwa Dul Karim-lah yang memulai. Seorang polisi menangkap Dul Karim. Tanpa diduga, di antara sekian puluh teman-teman Dul Karim, ada satu orang yang mengangkat palu hendak memukul polisi yang menggiring Dul Karim. Tau itu, seorang polisi yang satunya lagi spontan mengarahkan moncong pistolnya ke arah orang nekad itu. Tapi sebelum pelatuknya ditarik, dengan insting yang tajam dan gerakan yang sangat cepat, Dul Karim mendorong tangan polisi itu dan moncong pistol itu jadi mengarah tepat ke kepala polisi yang satunya lagi di sampingnya dan seketika,

DORR!

Pistol itu meletus dan timah panas itu menembus batok kepala polisi itu. Darahnya membuncah dan lantas mengalir. Semua terkesiap. Dengan mata yang seakan tak percaya, polisi yang masih memegang pistol yang salah sasaran itu kini menempelkan pistolnya ke kepala Dul Karim. Dul Karim tak bergeming dengan hati melenguh. Kerumunan massa beringsut mundur. Dul Karim mengangkat kedua tangan dengan tubuh lunglai. Polisi itu pun membawa Dul Karim.

Perlahan.

Menjauhi massa yang siap menerkam, orang-orang yang legam, orang-orang yang geram, orang-orang yang seketika ciut melihat seorang polisi terkapar bersimbah darah di bawah matahari yang terik, di antara debu yang mulai kembali mencium bumi, bumi yang gersang teraliri darah segar.

Hari bergulir, malam menyiksa. Dul Karim meringkuk sendiri dalam penjara. Terbayang dibenaknya, senyum sang istri yang sedang hamil.

Hari terus bergulir Dul Karim didakwa dengan pasal berlapis. Mulai dari penganiayaan sampai tudingan pembunuhan seorang polisi. Dul Karim tak mengerti, pasal mana yang menyebutkan ketidaksengajaannya mengalihkan tembakan polisi itu membuatnya harus divonis penjara seumur hidup. Tanpa pembelaan, tanpa keraguan. Ketukan palu itu begitu meyakinkan, menggetarkan hati Dul Karim.

Hari terus bergulir.

"Apakah sekarang istriku masih punya uang untuk membeli beras?" batin Dul Karim menjerit, "bagaimana kesehatan si jabang bayi bila sang Ibu yang mengandungnya kelaparan," jerit Dul Karim dalam batin dan terasa sakit sekali menyalak hati.

Tiba saatnya seorang perempuan muda yang mengenakan daster pucat, berwajah pucat menjenguk sang suami, yang tidak lain suaminya adalah Dul Karim. Dul Karim lemas tak berdaya menatap pujaan hati yang datang mengelus perut buncit. Tangisnya pun meledak. "Maafkan Abang Ratih," ratap Dul Karim di balik kaca tebal lewat telepon kabel. Sang istri pun terisak. Perih. Seorang teman yang kebetulan juga mendapat kunjungan menyentuh bahu Dul Karim. Sampai waktu berkunjung habis, Dul Karim dan istrinya hanya memadu tangis, memadu bahasa batin yang sakit tak terperi. Dul Karim terus memikirkan statusnya sebagai tahanan dan bagaimana nasib istri dan calon anaknya kelak.

***

Bersamaan dengan masuknya Dul Karim ke dalam penjara. Seorang sipir menghampiri Boim, pria setengah tua berbadan gendut dan tubuh penuh dengan tato. Sipir itu tampak menenteng sebuah map. Boim yang sedang dipijat oleh seorang temannya di bangku besi yang menghadap lapangan itu pun mengerti apa maksud dan tujuan sipir itu. Napi-napi yang lain sedang bermain basket dan kebanyakan berkerumun dan ngobrol. Sipir itu pun sampai kehadapan Boim.

"Tinggalkan kami berdua," titah Boim pada temannya yang sedang memijatnya itu. Orang itu pun menurut. Sipir itu menyerahkan sebuah map yang memuat data-data Dul Karim. Seperti biasa, sipir itu menerima pekerjaan sampingan dari Boim. Boim meminta data napi-napi spesial yang baru masuk penjara. Tidak lain dan tidak bukan maksudnya adalah untuk rekrutmen bisnis haram yang dikelolanya. Boim tercengang begitu membaca data dalam map itu. Data tentang hasil forensik seorang mandor bangunan yang menjalani operasi rahang dan tulang pipi yang remuk.

"Banyak saksi yang bisa dipercaya. Padahal cuma tangan kosong," ucap sipir itu. Boim senang bukan kepalang, padahal belum tentu Dul Karim mau dia rekrut.

"Pinjam telpon," pinta Boim pada sipir itu. Sipir itu pun memberikan ponselnya. Boim menghubungi seseorang.

"Hendrick, bagaimana perkembangan bisnis kita di wilayah Utara?"

"Kacau Bos, sejak jaringan kita di wilayah itu terbongkar. Mereka makin songong masuk terang-terangan," suara Hendrick.

"Kamu tenang saja dan urus tugas kamu di selatan, saya sudah punya eksekutor buat menyingkirkannya."

"Halo, Bos, siapa yang Bos maksud. Kenapa tidak anak buah saya aja Bos, kalo mau begitu."

"Kita lihat saja nanti."

"Halo, Bos?" Boim menyerahkan handphone itu pada pemiliknya. Hendrik belum selesai bicara, tapi rupanya Bos Boim sudah menutup teleponnya.

"Sial!," umpat Hendrik.

***

Tanpa Dul Karim sadari. Penjara adalah dunia yang berbeda dengan dunia luar. Di luar, mungkin nanti dirinya di cap residivis yang bakal sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan pengakuan masyarakat. Tapi di dalam penjara, di dalam dunia orang-orang pesakitan, orang-orang salah, orang-orang yang bangga dengan dosa dan sebagainya, Dul Karim punya harga. Apalagi rumor tentang menembak polisi dari jarak dekat. Sungguh itu daya pikat tersendiri bagi seorang teman di dalam penjara itu. Dia lah Boim. Teman-teman Dul Karim memanggilnya bos Boim. Orang yang paling disegani oleh para napi juga para sipir penjara. Mereka tahu, mana penjahat kelas teri, mana penjahat kelas kakap.

Bos Boim yang tempo hari menepuk pundak Dul Karim sekarang memberikan tawaran yang menurut Dul Karim sendiri itu tidak masuk akal.

"Saya turut prihatin atas petaka yang menimpamu anak muda," kata Bos Boim yang selalu menyempatkan makan satu meja dengan Dul Karim.

"Terima kasih Bos," hormat Dul Karim mengikuti tingkah teman-teman yang lain. Memanggilnya Bos.

"Mau kah kamu jadi saudara saya?" tanya Bos Boim suatu ketika di sudut lapangan basket, "atau jadikan aku kakek untuk anakmu kelak."

"Ah, Bos ini bisa saja. Kebetulan Bapak saya sudah almarhum, haha. Terima kasih Bos."

"Kamu anak muda yang tangguh, mungkin, Kalo anak saya masih hidup, sekarang ia seperti kamu," lanjut Bos Boim dengan tatapan terjatuh. Saya yakin itu. Ngomong-ngomong, saya punya pekerjaan buat kamu."

"Pekerjaan???" Dul Karim mendelik tak percaya. Pekerjaan macam apa di dalam penjara. Ia sudah banyak pekerjaan dalam penjara itu. Mulai dari menanam sayuran sampai diajari menjahit.

"Perlu kamu tahu, saya sampai masuk penjara ini gara-gara pengkhianatan seorang teman," cerita Boim.

"Maukah kamu membalaskan dendam saya." Dul Karim tercenung tak mengerti.

"Sebagai imbalannya, kamu minta apa? Bilang saja," Lanjut Boim. Dalam hati, Dul Karim jadi ingat wajah lugu sang istri, kesulitan hidup dan sebagainya. Tapi?

"Hm." Dul Karim tersenyum hampa. Seolah membayangkan kemungkinan terbaik yang sangat tidak mungkin ia dapatkan sekarang.

"Apa yang bisa saya lakukan Bos?" Canda Dul Karim merendahkan diri.

"Membunuh. Kalo kamu bersedia, nanti ada anak buah saya yang urus segala sesuatunya."

"Tapi bagaimana mungkin? Kan kita sekarang..."

"Kamu tidak percaya uang? Kamu tinggal jawab. Bersedia, atau tidak. Pikirkan dulu baik-baik. Waktumu tidak banyak, jangan biarkan istrimu sengsara berlama-lama dan ia akan segera melahirkan bukan," kata Boim seraya bangkit dan menepuk bahu Dul Karim yang kekar dan legam itu.

Dul Karim pun ditinggalkan sendiri beserta khayalannya.

Sampai malam kemudian, Dul Karim terus berkhayal dan mengumpulkan keberanian. "Kapan lagi ada yang memberi peluang emas."

Besoknya Dul Karim mendatangi Bos Boim di meja makan dan, "Saya Bersedia." Bos Boim pun tersenyum bangga.

Tidak lama kemudian datang seorang pengacara menemui Bos Boim. Besoknya pengacara itu mengajukan banding dengan membawa beberapa saksi termasuk polisi yang menarik pelatuk itu dan entah bagaimana caranya, Dul Karim bebas bersyarat dengan uang jaminan.

Terpopuler

Comments

Budi Efendi

Budi Efendi

lanjutkan

2022-11-15

1

Ayi Hadi

Ayi Hadi

lanjut

2022-10-01

2

Amaryllis

Amaryllis

jejak

2021-09-26

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!